Kedatangan Vania membuat Farisha kaget. Pasalnya mereka tidak ada rencana untuk bertemu hari ini. Setelah saling cipika-cipiki, Farisha pamit pada Azhari untuk berbicara dengan Vania.
"Bu, aku mau bicara sama Vania dulu, yah. Kamu di sini ngobrol sama Usman saja," ujar Farisha. Lalu menarik Vania untuk mengikutinya.
Vania menatap Usman dengan tatapan tidak suka. Bagaimana Farisha akan menikahi lelaki yang seperti itu? Maka hanya sebuah tatapan kebencian di mata Vania untuk Usman.
"Kenapa kamu ke sini, Vania?" tanya Farisha. Ia tidak mengetahui kalau wanita di sampingnya akan muncul di waktu yang tidak seharusnya. "Apa kamu mau rencana yang aku buat, menjadi berantakan, hemm?"
"Tidak Farisha! Kenapa kamu mau menikah dengan orang itu? Aku tidak terima! Kamu hanya milikku! Kamu hanya akan menikah denganku!" geram Vania. Ia tidak terima kalau ada yang merebut wanitanya untuk orang lain.
"Tapi, Vania! Apa kata orang nanti kalau kita menikah? Mereka tidak akan bisa menerima kita, Sayang." Farisha memeluk wanita itu dengan mesra.
"Aku tidak butuh semua perkataan orang. Aku hanya mau kamu hanya milikku seorang. Jadi jangan kamu lakukan itu lagi, Baby." Tanpa melihat sekitar, Vania memberikan ciuman panas pada Farisha.
Keduanya melihat sekitar dan memasuki kamar ganti, melanjutkan aktifitas antara dua wanita yang saling berburu nafsu. Keduanya saling melumat, meremas dan saling memberikan kepuasan kepada lawan mainnya.
Usman dan Azhari menunggu Farisha kembali. Sudah lima belas menit mereka saling mengobrol tapi tidak juga Farisha datang. Seharusnya mereka tidak menunda waktu untuk membeli cincin pernikahan dan yang lainnya.
"Kenapa Farisha tidak kunjung selesai? Sebenarnya apa yang dilakukannya sama temannya itu? Usman, apa kamu tahu wanita yang menjadi temannya Farisha?" tanya Azhari pada pemuda di sampingnya.
"Nggak tahu, Bu. Aku juga baru tahu tadi. Bu, aku ganti baju dulu, yah. Ini harusnya dipakai saat pernikahan nanti." Usman pamit pada calon mertuanya.
"Iya sudah, Nak. Kamu ganti saja dulu. Tapi sepertinya ini sudah cukup. Kita punya pakaian pengantin hari ini. Setelah ini, kita akan carikan cincin pernikahan untuk kalian. Gantilah sekarang!" perintah Azhari, membiarkan Usman.
Tak lama setelah itu, Farisha baru muncul dengan pakaian yang sudah diganti dan rambutnya acak-acakan. Namun pakaiannya kali ini lebih tertutup.
"Kalau gitu, aku pergi dulu, Farisha. Permisi, Tante," ungkap Vania, pamit pada Azhari. "Semoga pernikahannya lancar ya, Beb." Wanita itu meninggalkan Farisha dan Azhari.
Azhari melihat anaknya yang terlihat lusuh dan rambut itu berantakan. Ia tidak tahu apa yang dilakukan kedua wanita itu ketika berbicara satu sama lain. Tetapi terlihat perbedaan penampilan dari anak perempuannya. Yang kali ini memakai pakaian tertutup dan rambut yang acak-acakan.
"Kenapa denganmu, Nak? Apa kamu tidak berantem dengan wanita tadi, hemm?" tanya Farisha, curiga terhadap wanita yang ia lahirkan.
"Enggak apa, Bu. Tadi aku hanya berbicara lama sama dia. Eh, kita jadi lupa waktu dan nggak sengaja ada keributan, orang yang sedang berkelahi. Dan kami yang melerainya. Jadi rambut aku berantakan, hehehe," kekeh Farisha penuh kehati-hatian.
Azhari membetulkan rambut anak perempuannya. Dengan senyuman yang sebenarnya ia curiga dengan apa yang disembunyikan oleh anaknya. Tapi ia tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Anak perempuannya mau menikah dan ia tidak ingin mencari masalah lain dan membuat persepsi yang salah.
Tak lama kemudian, Usman datang dengan sudah memakai pakaian yang ia kenakan saat ke butik itu. Setelah berkumpul, mereka melanjutkan untuk mencari cincin pernikahan. Mereka menemukan sebuah toko perhiasan yang letaknya tidak terlalu jauh. Sampailah di sebuah toko perhiasan yang besar dan sudah terkenal akan kualitasnya.
"Selamat datang, Kakak, Ibu, Adek. Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang wanita yang menyambut kedatangan tiga orang itu.
Wanita itu melihat seorang pemuda yang memakai pakaian sederhana. Dua orang wanita yang berusia tiga puluhan dan lima puluhan. Ia mempersilahkan mereka untuk memilih apa yang diinginkan. Terlihat dua wanita memilih cincin dan pemuda itu tetap berdiri kaku di belakang dua wanita itu.
"Silahkan dipilih, Kak. Mau beli cincin? Itu cincin pernikahan, Kak. Itu cocok kalau dipakai Mbak kalau mau nikah lagi," ujarnya. Ia tidak tahu kalau Farisha belum menikah di usianya yang terlihat bukan lagi seorang gadis.
"Ini buat pernikahan pertama dan terakhir anak saya, Mbak. Yah, mungkin terlambat bagi anak saya untuk menikah. Tapi daripada tidak sama sekali." Azhari tidak terima dengan perkataan wanita penjaga toko tersebut.
"Oh, Maaf-maaf, Bu. Kak, maafkan saya. Kalau begitu, silahkan pilih yang bagus, bagaimana?" Ia takut kalau kejadian itu dilaporkan kepada bosnya. Ia masih belum paham dengan orang, berkata pun salah.
"Ini orang niat jualan atau enggak, sih? Kenapa omongannya seperti ini?" cibir Farisha. Ia tidak tahu mengapa ada orang yang berjualan tapi tidak bisa berbicara dengan benar. "Jadi malas aku belinya, ini."
"Sabarlah, Farisha. Kita coba pilih-pilih yang mana, yang bagus." Azhari mencoba menenangkan anaknya. Ia lalu melihat Usman di belakang. "Man, kamu juga ikutan memilih."
Usman mendekat dan melihat cincin-cincin itu terlihat bagus. Sementara wanita yang bekerja di toko perhiasan itu hanya bisa diam menyaksikan. Melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak menarik hati.
"Ini semuanya bagus-bagus, Bu. Tapi harganya pasti mahal, yah?" kata Usman yang sudah memastikan hal itu. Ia melihat cincin berwarna biru langit. Terlihat cantik dan memiliki makna yang menarik.
"Ini bagus juga, Nak." Azhari melihat cincin biru yang dipilih oleh Usman. "Kamu coba pakai yang ini, deh. Kita bisa memakai ini di pernikahan kalian nanti, kan?" tanya wanita itu.
"Iya, Bu. Ini juga boleh. Desainnya juga tidak terlalu lebay. Kalau gitu kita ambil yang modelnya seperti ini." Ia menatap Usman sejenak. Memang lelaki itu tidak tampan atau menarik. Begitu bodoh baginya. Tapi pintar dalam memilih.
"Kalau gitu, yang ukuran anak dan calon memantu saya, enggak, Mbak?" tanya Azhari pada wanita itu.
Sebagai seorang karyawati yang menjaga toko perhiasan itu, dirinya merasa sesuatu yang janggal. Melihat seorang pemuda yang ia lihat dengan kumuh, menikah dengan seorang wanita cantik dan tinggi. Terlihat sekali derajat mereka sangat berbeda.
"Apa benar, ini calon suami dari Kakak ini?" tunjuk wanita itu kepada Usman lalu Farisha. "Tapi maaf, tapi kenapa?"
"Kamu nggak usah banyak bicara, Mbak! Kamu cukup cariin yang ukurannya sama denganku. Dan juga calon suamiku. Yang mau nikah itu aku, bukannya kamu! Ngapain repot-repot ngurusin pernikahan orang?"
"Eh, Maaf. Maaf, Kak. Akan aku cari segera." Ia takut karena salah dalam berbicara. Ia lalu mencari cincin dengan model yang sama dengan ukuran yang cocok.
"Coba kamu pakai yang ini, Man!" perintah Farisha terhadap Usman. Ia memberikan cincin itu karena untuk memastikan, ukurannya ngepas atau tidak.
***