Sebuah pernikahan yang tidak dilandasi dengan adanya cinta. Melainkan sebuah pernikahan karena faktor usia dan tidak mau diatur oleh orang tua. Menjadikan Farisha memilih untuk memutuskan sendiri pernikahannya.
Hari ini adalah hari di mana Farisha mencoba gaun pernikahannya. Bukan hari yang spesial untuknya karena ia tidak pernah sekalipun berharap akan hal itu. Pemuda di sampingnya sudah rapih memakai stelan tuksedo yang terlihat rapih.
"Wah, kamu terlihat sangat cantik, Nak," ujar Azhari dari kejauhan. "Kayaknya kamu akan menjadi pengantin yang paling bahagia sedunia. Dan anakku yang paling cantik ini," lanjutnya dengan menghias senyum.
Wanita berkerudung biru itu menghampiri putrinya yang sedang berdiri, menatap cermin. Ia memang seorang wanita dewasa dan merupakan hari yang ditunggu-tunggu disetiap orang. Mungkin ini berbeda bagi Farisha. Ia sama sekali tidak tertarik pada pernikahan.
"Nak Usman, bagaimana calon istrimu? Apakah sudah terlihat cantik?" tanya Azhari kepada Usman. Ia menengok ke arah pemuda yang dimaksud.
"Cantik, Bu. Benar-benar cantik, menurutku." Perkataan Usman tidaklah berbohong. Bagi dirinya, wanita yang memakai balutan busana pengantin itu sudah sangat cantik.
Di usia yang ketiga puluh tahun itu, Farisha belum pernah memakai pakaian seperti yang sekarang ia kenakan. Hari ini adalah hari dimana mereka sedang mencoba pakaian pernikahan. Di sebuah butik terkenal yang ada di kota itu.
"Mbak ini cantik banget," puji seorang wanita karyawati butik itu. "Tetapi kenapa yang lelaki–" Seketika ia menutup mulutnya karena ia tidak pantas mengatakannya.
Yah, ini karena Usman yang menjadi calon suami dari Farisha. Bagaikan langit dan bumi. Yang tak akan pernah cocok jika bersatu. Dengan tampilan Usman yang memakai tuksedo mewah, nyatanya masih meninggalkan kesan kampungan bagi pemuda yang baru beranjak dua puluh tahun itu.
Pernikahan bagi Usman adalah sesuatu yang bukan dalam angannya. Walaupun ia tahu betapa dirinya sangat mengharapkan sesuatu yang lebih. Menikah atau tidak, itu bukan pilihan baginya. Itu sebuah keharusan karena ia pun tidak bisa menolak pesona kecantikan Farisha. Selain karena ia ingin hidup lebih baik lagi.
Tidak adanya keinginan Usman untuk menjadi orang yang memiliki kekuasaan atau harta melimpah. Ia hanya ingin hidup dengan layak di hidupnya yang masih panjang. Bisa makan dengan layak, diperlakukan dengan baik serta kecukupan dalam hal materi. Tidak perlu banyak-banyak, yang penting dirinya tidak kelaparan dan terkatung-katung di jalanan yang keras di ibukota tersebut.
"Apakah Ibu suka dengan gaun ini?" tanya Farisha kepada ibunya. "Yah, kalau Ibu suka, kita bisa membayarnya sekarang, kan? Kita masih ada banyak urusan lain? Aku akan ganti pakaian lain dulu."
"Jangan dulu ganti, Nak. Ibu mau lihat kamu lama-lama pakai baju pengantin. Lihat itu calon suami kamu yang ganteng itu," tutur Azhari, menunjuk Usman dengan menengadahkan kepalanya.
Tatapan tidak suka ditunjukan kepada Usman oleh karyawati butik itu. Ia merasa mau muntah jika lelaki seperti Usman dibilang ganteng oleh wanita itu. Padahal yang perempuan itu lebih cantik darinya. Ia mengakui itu. Tetapi tidak menyangka, calon pengantin prianya begitu jelek menurutnya. Walaupun usia mereka sudah terlihat jelas. Sang wanita yang lebih tua dari sang pemuda yang ia taksir masih dua puluh tahunan ke bawah.
'Sebenarnya anak itu pakai pelet apaan? Masa wanita secantik itu, mau menikah sama orang jelek kayak gitu? Udah hitam, dekil, pendek, hidup lagi,' cibirnya dalam hati.
Usman berdiri menatap wanita yang akan dinikahinya beberapa dua minggu lagi. Tak terasa sudah seminggu ia bekerja di swalayan milik Farisha. Ia juga sudah belajar banyak dari wanita itu. Sudah tidak ada rasa canggung seperti yang sudah-sudah.
"Sudahlah, Bu. Kita juga harus membeli cincin pernikahan, bukan? Ini aku sudah rugi karena nggak buka swalayan. Hari ini aku kehilangan banyak uang karena harus menutup swalayan ku." Walau sebenarnya ia tidak terlalu memikirkan swalayan yang ia punya, hanya saja ia tidak mau repot-repot melakukan hal itu.
Farisha lebih suka kalau ia bekerja keras untuk melupakan semuanya. Kalaupun tidak, ia akan lebih suka pergi ke tempat yang biasa ia tuju. Ia bahkan sering pergi ke tempat hiburan malam akhir-akhir ini. Tanpa Azhari atau Usman mengetahuinya.
"Lima menit saja, Nak. Ibu sangat senang melihatmu memakai pakaian pengantin seperti ini. Apa kamu mau melihat ibu penasaran? Itu calon suami kamu pun melihat kamu dengan takjub. Tuh, dia lihatin kamu terus."
"Lah, lelaki seperti itu, mungkin dianya nggak pernah lihat saja. Ya sudah, Bu. Tapi ini hanya lima menit, yah! Aku sudah lelah, hari ini harusnya tidak di sini lagi. Kapan aku bisa pergi dari sini?" gerundel Farisha.
Usman masih menatap penampilan calon istrinya yang terlihat seksi dengan busana pernikahan itu. Sebuah gaun putih yang memperlihatkan garis dadanya. Begitu menggoda gelora jiwanya. Ingin sekali dirinya memegang walau hanya sesaat. Kulit putih yang tanpa adanya bekas luka yang diperoleh seminggu yang lalu. Ketika wanita itu mendapatkan pukulan dari seorang pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Yang seharusnya memberi kasih sayangnya. Jika ia mengingatnya, terasa miris hidup yang mereka alami.
"Andaikan aku menjadi suami kamu seutuhnya, aku tidak akan seperti lelaki itu. Namun apakah ini hanya khayalanku saja? Ah, apakah aku pantas mendapatkan hatinya?" Usman berpaling dari Farisha. Ia menghampiri dua wanita yang merupakan calon mertua dan calon istrinya.
"Usman ... menurutmu apakah Farisha cantik?" tanya Azhari yang sedang dalam suasana bahagia.
"Iya, Bu. Dia sangat cantik hari ini," balas Usman jujur. "Apakah kita sudah selesai memakai ini? Kita bisa melepas kembali?" tanya Usman memastikan. Ia tahu Farisha juga sudah tidak nyaman.
"Ini kenapa kalian sama saja? Apa kalian sudah tidak sabar? Sehingga kalian berdua mau buru-buru melepas pakaian pernikahan kalian? Kalau kalian nggak sabar, kita bisa majukan acara pernikahannya. Ibu juga sudah memesan tempat. Dan mereka pasti sanggup untuk membuat acara lebih awal, hemm?
"Ah, enggak lah, Bu. Aku kan sudah memutuskan, nggak bisa dimajukan atau diundur. Yang penting kan aku menikah dengan Usman," tukas Farisha.
"Aduh-aduh ... kenapa jadi gini? Ya sudah, terserah kamu saja, Nak. Kamu sudah dewasa dan kamu berhak memutuskannya. Tapi apakah kamu juga setuju saja atau gimana?" Azhari bertanya pada pemuda di depannya.
Lelaki itu mundur beberapa langkah. Ia mengangguk dan berucap, "Aku terserah Farisha saja, Bu. Lagian kami bisa menikah kapan saja. Yang penting dianya mau denganku. Dianya percaya padaku untuk menjalani pernikahan kita berdua."
"Hei, Honey? Kamu di sini juga? Wah ... kamu pakaiannya sangat cantik," ujar seorang wanita yang tiba-tiba datang. Ia langsung mencium pipi Farisha. "Hei, ini pasti ibunya Farisha, yah? Perkenalan Tante, aku Vania," ungkap Vania memperkenalkan diri.
***