Alvan tercenung oleh pertanyaan Megha.
"Gimana kalau anak ini bukan anak lo?" Megha melanjutkan dengan berani. Rasa penasarannya terlalu tebal, ia sengaja ungkapkan terang-terangan mengingat Metha sudah mulai curiga. Megha tergelitik, kalau Metha saja bisa curiga lantas bagaimana dengan Alvan? Terlebih, Alvan punya daya nalar yang tinggi. Tidak sewajarnya ia mudah ditipu dengan kehamilan ini.
Desahan nafas Alvan terdengar. Bibir merah muda itu tersungging bersama sorot mata yang lembut. "Lo tahu, Gha?" mula Alvan. "Terkadang – kita nggak butuh logika untuk mempercayai orang yang kita sayang."
"Sayang?"
"Iya – sayang. Untuk orang-orang yang paling dekat dengan kita, untuk orang-orang yang memiliki ikatan kuat dengan kita. Entah itu keluarga, kekasih, atau sahabat. Sering kita enggan untuk memproses lagi apakah yang dia katakan benar atau kebohongan. Walau pada akhirnya kita bisa saja dibohongi, tetapi kita akan tetap melakukannya lagi dan lagi."
