"Maaf ya, aku udah buat kamu nunggu lama!" Metha menyentuh bahu Alvan, tersenyum manis tanpa ragu menyapa tunangannya. "Pekerjaanku di kantor hari ini lebih banyak. Jadi aku baru bisa datang kesini."
"Hem, nggak pa-pa." Berbeda dengan kekasihnya, wajah Alvan terlihat tak berseri-seri menyambut kedatangan Metha. Raut mukanya suram seperti orang yang sedang banyak pikiran.
Bergegas Metha duduk tepat di hadapan Alvan, dan dengan santainya ia langsung meneguk minuman yang sudah di pesankan Alvan sebelum ia datang.
Metha sadar, wajah Alvan tak menunjukkan kesenangan. Sempat ia menggoda, agar sang pujaan hati tidak memasang wajah muram dan memberi senyum khasnya sebagai sambutan.
"Ayo... senyumin aku dulu...," Metha merengek manja. "Atau aku nggak mau makan."
Alvan menarik nafasnya dalam-dalam, ia lihat Metha penuh saksama. Dalam hatinya ia merasa iba, Metha tidak akan lagi bisa menunjukkan sikap manjanya. Sekaligus merasa bersalah, karena sebentar lagi ia harus mengakhiri hubungan indah mereka. Metha akan terluka, menangis sekaligus marah.
Ini akan menjadi makan malam terakhir di restoran favorit Alvan bersama Metha. Dua tahun Bonanza Restaurant menjadi saksi bagi kisah mereka. Ruang Eksklusif, yakni ruang yang tersedia untuk tamu yang ingin memesan meja tanpa perlu bergabung dengan pengunjung restoran lainnya, menjadi tempat yang selalu dipesan oleh Alvan untuk menikmati hidangan lezat bersama Metha.
"Kok kamu malah bengong?" Metha mulai tertular kegundahan Alvan. "Ada apa sih?" tanyanya lagi.
Alvan tersadar dari lamunannya, hanya sebuah senyuman tipis yang akhirnya ia lontarkan kepada wanita di depannya.
"Kamu marah sama aku?" Metha masih menyelidik.
"Nggak. Aku cuma... mau mengatakan suatu hal ke kamu. Tapi... aku bingung harus mulai dari mana."
Metha meneguk orange juice di depannya lagi. Lalu dengan santai ia menopang dagunya dengan siku sambil menebak-nebak. "Apa itu tentang pernikahan kita? Atau... tentang rencana papi kamu untuk mengangkat kamu sebagai direktur utama?"
Namun Alvan hanya terdiam, ia merasa masih belum sanggup untuk mengatakan.
Sesaat kemudian tangan Metha meraih tangan Alvan. Membuat jantung pria itu berdegup cepat, dan lidahnya kelu untuk mengatakan kejujuran.
"Dua minggu lagi kita akan menikah," sambung Metha. "Aku nggak mau, masih ada rahasia di antara kita."
"Ya, kamu benar. Nggak seharusnya aku menyimpan rahasia, kan?"
Metha mengangguk ragu. Dalam hati ia jadi merasa tegang, penasaran dengan apa yang ingin Alvan katakan.
Belum sempat perkataan itu keluar dari bibir merah jambu Alvan. Tiba-tiba saja Metha dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita lain.
Wajah wanita itu jelas tak asing buat Metha. Rambut hitam, mata bulat, dan hidung mancung yang semuanya sama persis juga ada pada dirinya.
"Megha?! Kok lo bisa ada di sini?!" Metha langsung memburunya dengan pertanyaan. Sempat Metha mengedarkan pandangan. "Lo lagi nggak salah ruangan, kan?!"
"Enggak. Gue kesini karena diajak Alvan."
"Di ajak Alvan?!" Metha langsung melirik ke arah kekasihnya. "Sayang, ini maksudnya apa ya?"
"Ini yang mau aku bilang sama kamu."
Dahi Metha semakin mengerut, tidak sabar menunggu penjelasan Alvan.
Alvan meminta Megha untuk duduk bersama mereka. Setelahnya, dengan perasaan berkecamuk ia mengakui segalanya kepada Megha.
"Maafkan aku, Tha. Aku harus... membatalkan pernikahan kita."
"Kamu jangan bercanda, ya! Ini nggak lucu sama sekali!" Metha mulai emosional. "Nggak usah ikut-ikutan bocil yang suka ngeprank deh!"
Megha mendengus sinis melihat saudara kembarnya mulai panik.
Alvan memajukan tubuhnya seraya mengendurkan ikatan dasi. Tatapan kesungguhan kepada Metha sedikit pun tidak ia lepaskan. "Aku nggak main-main, Tha. Aku serius! Aku harus membatalkan pernikahan kita karena–
"Karena Megha...
"Megha...
"Karena...."
"Karena gue hamil!" langsung saja ucapan Megha menjadi sambungan dari kalimat Alvan yang terpatah-patah.
Metha tercengang hebat. Sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
"Aku nggak mau melukai kamu lagi, Tha. Karena itu, aku juga mau hubungan kita berakhir. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari pada aku."
BRAKKKK
Seketika Alvan dan Megha dibuat melompat. Gebrakan meja yang begitu keras lahir dari tangan lembut Metha. Wanita itu pun berdiri memberi sorotan mata yang menyayat.
"Huh, keluar juga kan aslinya," gumam Megha seorang diri.
"Bisa-bisanya ya kalian khianati aku!" bentak Metha. Setetes air mata dari wanita itu terjatuh. "Salah aku apa sih sama kamu?! Sampai kamu tega ngelakuin ini sama aku?!"
"Aku nggak sengaja!" Alvan ikut bangkit berdiri bersama pembelaan dirinya.
"Nggak sengaja kamu bilang! Itu cuma alasan konyol!" Metha lalu melirik tajam ke arah Megha. "Dan elo, Gha! Elo itu saudara kembar gue! Ngga seharusnya lo nusuk gue dari belakang!"
Megha memasang muka terkejut menerima. "Astaga, jadi selama ini kita saudara kembar?" ujarnya sambil memegang kedua pipi.
Langsung saja Metha menarik kerah baju Megha. "Lo sama sekali nggak punya perasaan ya, Gha!"
Tidak ingin dipojokkan, Megha turut bangkit berdiri menyejajarkan sorot matanya dengan mata Metha.
Dengan nada yang tenang namun tetap mematikan, Megha membalas ucapan kakaknya. "Terserah lo mau nilai gue apa. Tapi yang pasti, cowok lo harus bertanggung jawab atas bayi di kandungan gue."
"Brengsek!"
"Kejutaaannnnn! Lo akan jadi tante, Tha. Selamat ya," Megha melukiskan senyum palsunya.
"Metha maafin aku. Waktu itu, di pesta yang Boy buat, aku sama Megha betul-betul mabuk! Jadi kami–"
PAAKKK – tamparan keras dari Metha harus Alvan rasakan.
"Enggak usah kamu lanjutin! Aku jijik dengarnya!" panas di pipi yang Alvan rasakan, membekukan lidahnya untuk melanjutkan pembelaan diri. "Nggak ada alasan, Van. Kamu tetap udah lukain aku."
Dengan hatinya yang terbakar bergegas Metha keluar ruangan. Berusaha meninggalkan Alvan di belakang yang masih dirundung oleh rasa bersalah.
"Metha tunggu, Tha. Aku mau kita berakhir dengan baik-baik." Belum sempat Metha menjauh Alvan langsung menahan kepergiannya.
"Baik-baik kamu bilang?! Kamu udah hamilin adik aku, minta aku terima pembatalan pernikahan kita, dan sekarang kamu minta kita berakhir baik?!
"Perasaan kamu di mana?!"
"Ma – maaf. Atau... aku antar kamu pulang ya?"
"Enggak!"
"Tha...."
"Jangan sebut nama aku! Aku nggak sudi dipanggil sama laki-laki penghianat kayak kamu!"
"Udahlah, Van. Biar aja dia pergi, dia butuh waktu sendiri," Megha tak segan-segan ikut menyahut.
Metha melirik ke arah Megha. Matanya masih terlihat merah memendam amarah, akan tetapi emosi keras itu tak sedikit pun menggetarkan perasaan Megha. Ia sama sekali tak merasa takut, tetap santai seraya bersilang tangan.
"Aku nggak akan memaafkan perbuatan kalian!"
"Tha."
"Jangan sentuh aku!" bentakan terakhir Metha menjadi salam perpisahannya terhadap Alvan. Melangkah cepat wanita itu, tak peduli lagi pada orang yang pernah ia cintai.
Air mata Metha tumpah tak lagi bisa ditahan. Di balik mata Alvan, ia berjalan kaki seorang diri menikmati tangisannya. Merana tertimpa hujan luka.
Pengakuan Alvan telah menjadi pedang yang membelah hatinya, tidak ada angka satu untuk ikatan kasih sayang mereka, yang ada hanyalah tiga, karena Megha telah berdiri di tengahnya.
Impian yang selama ini Metha khayalkan akan selamanya menjadi khayalan. Pintu ajaib yang bisa mengubahnya menjadi nyata telah tertutup, tak ada lagi kesempatan untuk terbuka.
"Nggak! Nggak boleh!" tiba-tiba menyusup perasaan lain di hati Metha. "Ini pasti ada yang salah. Gue nggak boleh ngebiarin Megha hancurin impian gue gitu aja. Ngggak! Gimana pun caranya gue harus tetap menikah sama Alvan! Cowok impian gue!"