Seketika Papi Darma merasa lemas. Mulutnya ternganga seperti ikan yang kekeringan air.
Pak Rudi pun tak kalah kaget, sekujur tubuhnya langsung merasa kepanasan. Ia kendurkan dasinya bersiap melihat tontonan yang lebih mengerikan antara ayah dan anak. Seandainya yang berbuat adalah Rako, pastilah ia dan bosnya tidak akan sekaget ini.
"Ma – maafkan aku, Pi. Aku... aku sudah buat kesalahan besar. Aku – aku akan tanggung jawab."
"Sudah pasti kamu harus bertanggung jawab, Nak," balas Papi Darma tenang. Memberi kelegaan di hati Alvan bahwa yang ia hadapi tidak seburuk yang ia bayangkan.
Rako merasa ada yang janggal dengan sikap tenang ayahnya.
"TAPI SEBELUM ITU PAPI HARUS MENGHAJARMU DULU! KEMARI ANAK NAKAL!"
Bergegas Papi Darma hendak menangkap Alvan. Tak kalah cepat Alvan pun berusaha menghindar.
"Ampun, Pi!"
"KAMU SUDAH BUAT MALU PAPI!"
Papi Darma sama sekali tak ingin menyerah. Ia terus mengejar Alvan untuk memberi pukulannya yang menyakitkan. Pak Rudi pun sampai bingung harus bagaimana.
Sementara Rako, diam-diam ia merasa puas melihat apa yang ada di depannya. Mendapati Alvan memiliki kesan buruk di depan ayah mereka.
***
Esok harinya lagi.
Megha sudah terduduk di ruang tengah. Di hadapannya Papa Agung dan Mama Mawar juga sudah ikut duduk bersamanya. Berbeda dengan Megha yang duduk bersandar terkesan santai, kedua orangtuanya justru terlihat duduk sigap memasang muka serius.
"Buat apa Papa sama Mama nyuruh aku pulang kalau cuma buat diam-diaman kayak gini?" Mula Megha tanpa segan.
Papa agung menatap dalam putrinya. "Kenapa kamu sampai bisa melakukan ini sama kakak kamu sendiri?"
"Oh," Megha menggaruk-garuk kepalanya. "Aku nggak punya alasan, Pa. Intinya aku dan Alvan akan menikah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kami."
"Megha! Apa kamu nggak pikirin perasaan kakak kamu!" serang Mama Mawar.
"Iya Ma, aku salah! Aku sudah nyakitin Metha. Aku minta maaf. Terus Mama sama Papa mau aku gimana lagi ke dia? Semua udah kejadian!"
"Batalkan pernikahan kamu sama Alvan!" sahut Papa Agung.
"Apa Papa bilang?!" Megha mendengus tak mengira. "Aku yakin di luar sana nggak ada orangtua yang meminta permintaan seperti Papa sekarang."
"Kehamilan kamu adalah kecelakaan! Sementara kakak kamu sudah memberi kesetiaannya sejak lama kepada Alvan. Ini nggak adil buat kakak kamu!"
"Trus gimana sama bayi aku, Pah?! Aku nggak mau anak ini lahir tanpa ayah! Apa papa kira Rako masih bersedia menerima aku?! Nggak Pah, hubungan kami sudah berakhir!"
"Ya pantas aja dia putusin kamu!" celetuk Mama Mawar sewot. "Makanya jadi perempuan jangan gampangan!"
Megha merasa tak suka dengan celetukkan ibunya. "Iya Ma, aku memang pantas dapatin itu dari Rako. Itu berarti Alvan juga pantas dong, putus dari Metha!"
"Tapi kakak kamu nggak mau!"
"Oh, jadi Mama sama Papa sengaja minta aku batalin pernikahan karena Metha!"
"Papa dan Mama hanya sedang berusaha menyelesaikan masalah secara bijaksana," Papa Agung kembali bersuara.
"Bijak kata Papa?! Bijak dari mana kalau aku dibiarkan menanggung ini sendirian."
"Kamu nggak akan menanggung ini sendiri. Papa sama Mama akan temani kamu sampai bayi itu lahir."
"Maksud Papa sama Mama?"
Papa Agung dan Mama Mawar saling melempar pandangan.
"Begini Megha," ucap Papa Agung memulai sambil membenarkan posisi duduknya. "Papa sama Mama sudah memiliki rencana lain untuk kamu."
"Rencana?"
"Papa dan Mama akan menjodohkan kamu dengan karyawan Papa. Dia sudah tahu semua keadaannya dan dia bersedia membantu keluarga kita."
"Hah?"
"Setelah anak itu lahir, jika kalian mau kalian bisa bercerai. Papa akan bantu carikan baby sitter buat bantu rawat bayi kamu. Jadi kamu bisa fokus mengurus bisnis kamu lagi."
"Pah?!"
"Megha. Papa mohon dengan sangat pengertian dari kamu. Sudah dua hari ini kakak kamu mengurung diri dikamar. Ngga mau kerja, Ngga mau makan, kasihan dia. Apa lagi kamu tahu sendiri kan, hubungan Papa dengan Om Darma sudah sangat baik. Papa nggak mau karena masalah ini, semua rencana yang sudah diatur menjadi berantakan."
"Metha ngurung diri di kamar?" Megha memastikan dengan lirih. "Gak mau makan?"
"Ya, Nak. Papa sama Mama takut sekali kalau kakak kembar kamu sampai sakit."
Raut sendu seketika memancar dari wajah Megha. "Kasihan ya Pah, Metha. Dia pasti kecewa banget."
"Iya Nak, kamu benar. Dia sangat kecewa."
Lantas Megha langsung beranjak berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung berjalan cepat dan menaiki anak tangga di sudut ruang untuk mendatangi Metha di kamarnya. Papa Agung dan Mama Mawar sampai terheran-heran melihatnya.
Di depan kamar Metha.
BUG – BUG – BUG
Tanpa ragu-ragu Megha menggedor pintu kamar Metha langsung dengan kepalan tangannya.
"WOI METHA! BUKA NGGAK PINTUNYA! NGGAK USAH PLAYING VICTIM LO!" teriak Megha. Suaranya sampai terdengar di telinga kedua orangtuanya.
"Ko, terdengar nggak enak ya, Ma," ujar Papa Agung.
"Pa, jangan-jangan...." Tanpa pikir panjang Papa Agung dan Mama Mawar langsung menyusul ke atas.
"NGGAK USAH SOK NGURUNG DIRI DI KAMAR DEH LO! BUKA NGGAK, ATAU GUE DOBRAK YA!"
"Megha, kamu apa-apaan sih?!" tegur Papa Agung setibanya di hadapan Megha bersama Mama Mawar. Namun sayangnya Megha tidak peduli.
BUG – BUG – BUG.
"METHA! KELUAR LO!"
KREKKKK – pintu kamar Metha pun akhirnya terbuka. Pemiliknya keluar, terlihat masih mengenakan piama dengan rambut yang berantakan.
"Apa'an sih lo! Berisik tau!" protes Metha.
Megha langsung menyelonong tanpa izin memasuki kamar Metha.
"Eh, ngapain lo!" susul Metha ikut masuk. Papa Agung dan Mama Mawar juga turut membuntuti.
Megha mengedarkan pandangannya pada seisi ruang yang di dominasi oleh warna merah jambu itu. Seketika matanya berhenti pada meja di pinggir balkon.
"Nah, kan. Mama Papa lihat kan di sana!" kata Megha sambil menunjuk pada tumpukan camilan di atas meja itu. "Metha itu cuma mogok makan nasi! Tapi kalo urusan snack, roti, susu, dia juara!"
Metha langsung semakin berang. "Keluar lo dari kamar gue!"
"Heh, gue tahu Papa sama Mama minta gue batalin pernikahan sama Alvan karena lo yang minta!" Megha melangkah mendekatkan wajahnya kepada Metha. "Tetapi gue nggak akan terima itu, Tha. Gue tetap akan menikah dengan Alvan! Sorry, gue harus gantiin lo di pelaminan."
Tangan Metha mengepal kuat, matanya mulai merah merasa naik pitam. "Lu benar-benar udah bikin gue marah ya, Gha!"
Megha mengangguk-angguk terkesan menantang. "Ya. Apa boleh buat."
"DASAR PELAKOR!" Dengan api yang membakar hatinya, Metha langsung menjambak rambut Megha.
"Aaaaaaaaa!" Megha mengeluh kesakitan. Tetapi bukan Megha jika dia tak melawan. Dengan cepat tangannya menjalar turut meraih ubun-ubun Metha dan menarik rambut panjang wanita itu kuat-kuat.
"AAAAAAAAAAA," Metha keras berteriak kesakitan.
Bak gasing yang berputar di atas lantai. Mereka mengeluarkan penuh energinya untuk bertarung saling ingin menaklukkan.