Chereads / Sayonara My Playgirl / Chapter 10 - KEBANGGAAN DIRI

Chapter 10 - KEBANGGAAN DIRI

"Tha," Mama Mawar tiba-tiba menepuk lembut paha Metha. "Ditanya Om Darma tuh."

Metha buru-buru sadar. Ia padamkan pandangan apinya dari Megha. "Eh! Iya gimana Om?"

"Om Darma tanya, gimana sama pekerjaan kamu?"

"Oo... itu," Metha berusaha mengumpulkan lebih banyak kesadarannya. "Lancar, Om. Bahkan bulan depan, aku akan diangkat jadi pemimpin redaksi."

"Wah, hebat kamu Tha," puji Om Darma. Membuat Metha tersanjung. "Kamu memang cocok kerja di Rose Magazine."

"Iya, Om. Aku suka banget dengan pekerjaan aku yang sekarang."

"Itu bagus, Tha. Kita memang harus punya minat di pekerjaan kita. Bersyukurlah kamu bisa mendapat tempat kamu sekarang, karena di luar sana masih banyak orang yang harus melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan passion-nya."

"Benar, Om. Metha setuju banget."

"Lalu... bagaimana caranya perusahaan kamu bisa tetap berdiri di tengah kemajuan teknologi sekarang? Apa lagi, media cetak seperti majalah sudah mulai jarang dipilih generasi muda. Target pasar Rose Magazine anak-anak muda kan, Tha?"

"Betul, Om."

"Nah, anak muda sekarang kan, lebih senang cari apa-apa lewat internet."

Metha mulai terpancing. Pertanyaan Papi Darma baginya adalah kesempatan untuk menunjukkan kualitas dirinya di hadapan keluarga Alvan. Ia yakin, dengan membuat Megha jauh tertinggal di belakang dalam hal karier, Papi Darma yang super sibuk dan sangat jarang ia temui akan tetap lebih memilihnya dibanding Megha pedagang kopi.

"Itu dia Om, yang menarik," mula Metha. "Kebetulan aku juga dekat dengan para senior dan pimpinan di sana. Sempat aku mengajukan ide untuk mengikuti perkembangan digital dengan membuat platform Rose Magazine, yang di dalamnya pembaca bukan hanya mendapatkan berita hiburan dan edukasi. Akan tetapi pembaca juga bisa menghasilkan uang tambahan. Seperti... mengirimkan cerpen dan cerbung, resep masakan, jurnal, desain pakaian, foto. Dan dari karya buatan mereka yang bisa dilihat pengguna, mereka bisa mendapat bayaran dari iklan yang masuk."

"Oh ya?! Lalu?!" Papi Darma semakin tertarik.

Metha langsung tersenyum lebar. "Untunglah ide aku diterima, Om. Dan sekarang platform itu sedang dalam proses pembuatan."

"Wah, luar biasa kamu, Tha!"

"Cuma ide kecil kok Om," Metha mencoba merendah. Diliriknya Alvan yang memandanginya penuh saksama. Wanita itu pun memainkan pesonanya, ia sampirkan rambut panjangnya yang hitam kembali ke balik telinga. Penuh kelembutan dengan bibir merah yang masih menunjukkan senyuman.

Megha yang tahu betul bagaimana sifat saudara kembarnya membatin di dalam hati. "Lagu lama lo, Tha! Caper!"

"Terus gimana dengan kamu Megha?"

Pertanyaan Papi Darma kini beralih menghujaninya. Degup jantung Megha langsung bergerak cepat, lagi-lagi ia membatin. "Duh, si Om. Kenapa harus kepo juga sama kerjaan gue sih! Bisa kalah pamor gue sama si Metha."

Metha merasa puas. Ada senyum sinis yang terlukis tipis di sudut bibirnya. Ia yakin penuh kalau Megha yang Cuma pedagang kopi akan kalah membanggakan dari dirinya.

"Om dengar kamu jualan kopi?" sambung Papi Darma.

"I – iya, Om. Namanya... Kopi, Hem..."

Papi Darma langsung dibuatnya mengernyit. "Kopi Hem?"

"Nggak pendek, Om. Agak dipanjangin kayak kita habis nyeruput kopi enak. Jadi – Kopi, Hem..." ekspresi Megha menunjukkan seperti ia sedang mencoba secangkir minuman nikmat itu.

Papi Darma langsung tertawa. Tak terkecuali Papa, Mama, Alvan dan juga Rako. Hanya Metha yang lebih memilih mengunci mulutnya.

Papi Darma melirik ke arah kedua putranya. Ada bahagia tersembunyi di dalam hati melihat Alvan dan Rako yang sebelumnya tegang bertikai kini bisa meluapkan tawa bersama di atas meja makan. Walaupun Papi Darma juga sadar, mungkin momen itu hanya akan terjadi sebentar. Akan tetapi ia bersyukur, Megha sudah mau menaburi kehangatan di makan malam itu.

"Terus gimana sama perkembangan usahanya?" tanya Papi Darma lagi.

Megha terdiam sesaat.

"Syukurin lu! Kena kan! Om Darma nggak bakal bangga sama lo, Gha!" gerutu batin Metha.

***

Di Apartemen Mokaland.

"Gimana?! Udah ada kabar belum dari Megha?!" Mayang bertanya lagi masih dengan perasaan cemas kepada Rindu yang sibuk berkutat dengan laptopnya.

"Belum ada balasan," Rindu menunjukkan layar handphone-nya.

Melompat Mayang menjatuhkan diri di atas tempat tidur. "Dia yang mau ketemu camer, kok gue yang gelisah ya!" ujarnya kemudian.

"Sama! Apalagi di sana ada Metha. Gue takut dia jadi bahan amukan itu orang. Lo tau sendiri kan, Metha kalo udah nyakar, kulit jadi berasa panas!"

"Gue sih nggak tau. Kan elu yang udah pernah nyoba," ledek Mayang.

"Hu...!" Rindu langsung memutar kursinya melempar kertas yang kebetulan sudah ia lumat ke kepala Mayang. "Ngeledek gue aja, luw!" serunya sewot.

Mayang tertawa terbahak-bahak. Dalam benaknya ia memutar rekaman bagaimana ketika Rindu adu mulut dengan Metha dan berakhir mendapat cakaran ganas dari perempuan itu.

"Tapi Jujur, May," Rindu memulai pembicaraannya lagi. Badannya menyender santai dengan tangan bersilang di atas kursi kerja. "Nggak tau kenapa, gue lebih suka kalau Megha nikah sama Alvan dibanding sama Rako."

"Hah?!" Mayang terbelalak. "Wah, kalo sampe Rako denger omongan lo, Ndu. Tuh laki keselnya bisa sampe ubun-ubun!" Mayang tertawa lagi.

"Justru gue pingin banget dia denger! Biar dia tau, kalau gue nggak suka sama sikapnya dia yang selalu mendominasi Megha."

"Jadi ceritanya, diam-diam lo masih simpan rasa keberatan nih, sama hubungan mereka?"

"Iya! Emang udah lama gue simpan! Udah sekian lama juga, gue berusaha keras jaga mulut gue. Gue nggak bisa blak-blakan sama Megha karna gue tau, dia cinta banget sama Rako."

"Dan sebentar lagi harapan lo tercapai, ditambah punya calon keponakan."

Rindu tersenyum mendengar ucapan Mayang. Seketika alisnya naik turun menyiratkan kode. "Lo bener, May. Dan gue juga udah nggak sabar pingin lihat mukanya si Rako yang nyesek ngeliat Megha sama Alvan di pelaminan."

"Ih, jahat lo ndu!"

"Biarin!"

Mereka pun saling memberi sorot mata yang dalam. Terasa sudah saling mengerti. Lantas sekejap kemudian, tawa dari keduanya pun lepas membahana ke seisi ruang.

***

"Alhamdulullah, Om," Megha melanjutkan ucapannya. "Usaha yang Megha bangun bersama teman-teman tahun ini sudah menarik banyak investor. Dan sekarang cabang kafe kopi kita, sudah ada 35 unit di wilayah Jawa.

"Dan ke depan... kita mau ekspansi pasar ke luar Jawa, Om. Karena di media sosial kita sudah banyak banget penggemar Kopi Hem yang minta kita buka cabang di daerah mereka."

Papi Darma terlihat sangat antusias. "Wah-wah-wah, Om nggak nyangka loh! Kalau bisnis kamu sudah berkembang seperti ini sekarang. Papa kamu ngga banyak cerita sama Om. Om bangga banget sama kamu, Megha."

Megha tersenyum simpul, tak menduga Papi Darma akan sesenang itu mendengarnya. Sempat ia melirik ke arah Papi Agung, teringat kembali di benaknya kalimat terakhir Papi Darma barusan.

Lantas Megha pun menunduk menyembunyikan senyum yang lenyap berganti datar. Batinnya berujar menyiratkan sendu. "Kalau pun Om tanya sama Papa, Papa juga ngga akan tahu, Om."