"Kamu pasti mau, kan?" lirih Metha menatap dalam sosok Alvan di seberangnya. "Aku tahu, situasi ini di luar kendali kamu. Sulit dan juga rumit. Tetapi aku tetap akan memilih di samping kamu, Van. Tetap setia dan nggak akan pergi ke mana-mana."
Megha yang terduduk di sebelah Alvan merasa muak dengan ucapan Metha. Ia tidak paham, kenapa cinta wanita itu tetap besar walau sudah menerima pengkhianatan. Megha merasa sudah tak punya harapan, kekesalannya melihat perlakuan kedua keluarga itu sudah mengeringkan air matanya yang semula menggenang. Terutama sikap ayahnya, yang membuat ia merasa asing terhadap keluarganya sendiri.
Namun Megha tetap teguh ingin menantang badai. Jika hasil dari pertemuan ini tak sesuai harapan, maka ia siap lenyap dari kehidupan mereka diam-diam.
Alvan memandangi satu persatu dari mereka yang duduk mengitari meja makan. Tatapan matanya masih menunjukkan penyesalan di sana. Hingga matanya berhenti lama pada satu wanita. Wanita yang mengaku tetap setia dan sedang menunggu jawabannya.
"Maafin aku, Tha," ucapannya yang lembut menimbulkan kerut di dahi setiap orang. "Aku tetap akan menikahi Megha."
"ALVAN!" Metha lantang enggan menerima. "KENAPA SIH, KAMU!"
"Kak! Apa-apa'an sih lo? Udah bagus cewek lo mau nerima lo lagi!" Rako ikut bersuara tinggi, walau tak setinggi Metha.
"Alvan, kamu jangan main-main ya!" Papa Agung ikut tak tahan.
"Alvan! Metha itu betul-betul serius sama ucapannya!" Mama Mawar menyakinkan.
Papi Darma terdiam tanpa ekspresi. Telapak tangannya saling mencengkeram dengan topangan kedua siku yang menekuk di atas meja. Sementara Megha, ia cuma melongo sambil bertanya-tanya di dalam hati apa yang menjadi alasan dari keputusan besar Alvan.
"Maaf Om, Tante. Papi dan Mami sudah mendidik aku dari kecil agar mempertanggungjawabkan semua tindakan yang sudah aku lakukan! Meski situasi ini di luar kendaliku seperti yang Metha bilang, tetapi bukan berarti aku lepas tangan. Biar bagaimanapun aku sudah melakukannya, aku ada di dalamnya dan aku harus bertanggung jawab atasnya!"
Metha tak kuasa lagi meluapkan kekesalannya. "Gimana bisa kamu berpikir meninggalkan aku lalu menikahi Metha adalah sebuah tanggung jawab?!"
"Menurut aku itu adalah tanggung jawab yang paling tepat, Tha! Kita pisah adalah pilihan yang paling baik, dan kesempatan kamu juga untuk dapat yang lebih baik!"
"BUAT AKU YANG TERBAIK ITU KAMU!"
"Bukan, Tha! Bukan aku! Tapi pria lain di luar sana! Dan kamu sudah harus memulai untuk membuka Mata!"
"ALVAN!"
"CUKUP!" suara keras namun tetap mengandung wibawa itu lagi-lagi menghentikan perdebatan.
Metha membeku. Hanya air mata yang jatuh di pipi menjadi bahasa bahwa cinta di dalam hatinya telah tercincang halus.
"Alvan! Apa kamu yakin dengan keputusan kamu?!" Papi Darma meminta ketegasan.
"Aku yakin, Pa!" balas Alvan sungguh-sungguh.
Papi Darma menoleh kepada Papa Agung yang masih terlihat kesal. "Pak Agung, saya rasa semuanya sudah jelas. Rencana pernikahan Metha dan Alvan tidak bisa kita lanjutkan. Saya mohon, Bapak, Ibu, dan kamu Metha, bisa menghormati keputusan anak saya."
Papa Agung tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia merasa percuma jika harus memaksakan kehendak anak kesayangannya yang saat itu sedang menangis tersedu-sedu. Akhirnya Papa Agung untuk pamit membawa Metha dan Mama Mawar pulang. Sempat Metha menolak, dan masih ingin meyakinkan Alvan. Namun disaat yang bersamaan pula Papa Agung mencegahnya, menjaga agar Metha tidak sampai merendahkan diri hadapan pria itu. Bagaimana pun Alvanlah yang memberi goresan luka, maka tidak sepatutnya Metha meengemis-ngemis kepadanya.
Menyusup perasaan bersalah di hati Megha. Ia jadi tidak tega melihat tangisan yang memancar dari kedua mata Metha. Tapi Megha pikir, ini toh sudah seperti yang dia inginkan. Ia tidak menduga, dulu Metha selalu mengalahkannya di hadapan Papa Agung dengan segala kelebihannya sebagai anak berprestasi. Namun kenyataan sekarang, saudara perempuannya itu justru tersungkur kala mereka berkompetisi untuk mendapatkan Alvan.
"Saya permisi sebentar, Om." Megha meminta izin sambil bangkit berdiri menyusul kedua orang tuanya bersama Metha ke depan.
Terburu-buru Megha melangkah, berharap mereka belum menaiki mobil dan masih ada sepatah kata yang bisa saling terucap dengan kasih sayang.
"Pa! Ma!" panggil Megha. Sebelum satu-persatu dari mereka memasuki mobil mewah putih berjenis MPV yang tiba untuk mengantar pulang.
Mereka berbalik badan, tidak terkecuali Metha. "Ngapain lagi sih lo manggil-manggil Papa sama Mama?!" perempuan itu masih menunjukkan amarahnya.
Megha enggan memedulikan sikap tak ramah Metha. Buatnya pertengkaran hanya akan membuang energi.
"Pa, Ma. Besok sore aku ke rumah ya. Aku – mau minta saran Papa sama Mama untuk konsep acara pernikahan aku sama Alvan."
Seketika tangisan Metha kembali pecah setelah mendengar ucapan Megha. "Nyebelin banget sih lo!" kesalnya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi buru-buru Metha masuk ke dalam mobil dan melanjutkan tangisnya di dalam.
"Megha kamu gimana, sih! Kamu apa nggak mikir perasaan saudara kembar kamu!" Mama Mawar jadi ikut-ikutan marah.
"Aku nggak bermaksud buruk, Ma."
"Nggak bermaksud buruk apa!" tatapan mata Mama Mawar seolah menyalak. "Buktinya kamu sengaja-ngaja bahas pernikahan kamu di depan Metha!"
Papa Agung semakin merasa pusing. "Sudah-sudah. Jangan ribut lagi. Malu! Ini masih di rumah orang," ucap pria berusia 50 tahun itu. "Dan kamu Megha. Akan lebih baik kalau pikirkan saja tentang konsep pernikahan kamu bersama Alvan. Papa dan Mama di sini masih harus menjaga perasaan kakak kamu. Bisa kan, Nak?"
"Nggak usah ditanya lah, Pa! Ayo kita naik mobil sekarang! Kasihan Metha di dalam," sela Mama Mawar.
Megha padahal belum menjawab apa pun. Namun sikap yang ditunjukkan Mama Mawar jelas-jelas bahwa ibunya tak peduli, dan mengajak ayahnya juga melakukan hal yang sama sepertinya.
Dengan raut sendu Megha melihat mobil yang keluarganya tumpangi jauh meninggalkannya di belakang. Dalam hati Megha merasa aneh sendiri, pernikahan ini hanyalah sebuah permainan licik yang ia dan Rako buat. Tidak seharusnya ia menyiapkan pernikahan ini penuh kesungguhan hati bahkan sampai berniat melibatkan orangtuanya.
"Kenapa? Kenapa gue sangat menghargai momen sakral ini? Buat apa? Nyatanya setelah mendapat penolakan dari Papa dan Mama malah bikin kecewa! Apa'an sih gue! Seharusnya gue santai aja kali nerimanya!" Megha bergumul dengan batinnya sendiri.
Dan sesaat kemudian Megha dibuat terkejut. Sebuah tangan tiba-tiba saja menepuk bahunya. Segera ia membalikkan badan.
"Kamu," ucap Megha dengan wajah tak suka mendapati Rako berdiri di depannya.
'PAKKK' tanpa aba-aba tangan itu melayang cepat dan mendarat keras di atas pipi.
***
"Kamu sudah berhasil mengecewakan banyak orang, Alvan." Suara itu terdengar lembut, walah untaian kalimatnya jelas sekali sedang mengingatkan.