Begitu serunya mereka membicarakan Megha dengan nasibnya yang sedang terjatuh sekarang. Bahkan jika dibiarkan, satu malam pun tak cukup untuk menyudahi.
Beberapa saat kemudian handphone Ongky berbunyi. Ada pesan singkat yang ia terima dari Megha.
"Eh, geng! Stop-stop!" pinta Ongky pada keempat temannya yang asik mengoceh. "Ada pesan dari Metha."
"Pesan apa'an?" sahut Rully.
"Neh, gue bacain ya. 'Ong, gue udah ambil keputusan. Gue akan rawat anak Alvan dan Megha. Doain gue ya, supaya bisa ngeyakinin bokapnya Alvan dan Alvannya juga. Jadi pernikahan gue nggak perlu dibatalin'"
"Najis deh! Nekat amat tuh anak!" tukas Lala. "Bisa-bisanya dia mau ngerawat hasil selingkuhan pacar sama adiknya! Gue sih ogah!"
"Wah! Bener-bener pakem cintanya Metha buat si Alvan," tambah Didot.
"Gue balas apa nih?" Ongky kebingungan.
"Ya terserah elu! Kalo lo mau doain, jawab aja iya!" jawab Lala.
Bukanya langsung merespons Ongky justru terdiam dengan dahi mengerut.
Didot tertawa melihat ekspresi Ongky "Muke lu dah kayak ayam putus cinta, Ong!" ledek lelaki itu. "Tinggal jawab iya aja apa susahnya sih!"
"Eh, gue ngga mau munafik ya!"
Keempatnya tahu benat apa maksud dari ungkapan Ongky.
"Untung dia ngga minta doa sama gue!" celetuk Lala.
Baru saja Lala menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba handphone-nya berbunyi singkat. Menyusul suara handphone Fika, Dodit, dan terakhir nada telepon genggam Rully.
"Lah! Gue juga dimintain doa!" seru Didot.
"Kita semua dikirimin nih!" tambah Rully. Membuat Ongky terpingkal-pingkal.
"Tau rasa, lo ya semua!" ujar Ongky.
"Balas apa nih?" Didot gantian bertanya.
"Apa susahnya sih, jawab iya?!" Ongky sengaja membalikkan kata-kata pria itu.
"Gue juga nggak mau munafik!" tukas Didot.
"Yaudah lah... biarpun si Metha suka ngeselin, dia tetap aja sahabat kita. Dan sebagai sahabat yang baik kita harus mendoakan, toh?" Fika mencoba menengahi.
Rully mengangguk-angguk setuju. "Bener tuh kata Fika. Mending abis kita balas ni pesan, terus kita doa bersama. Gimana?"
Ongky, Lala dan Didot mengangguk lesu.
"Ya udah deh," sahut Lala.
Segera mereka mengirim pesan balik kepada Metha untuk mengatakan bahwa mereka akan mendoakan sekaligus memberi dukungan kepada sahabat mereka yang satu itu.
"Siapa nih yang mau pimpin Doa?" Didot memulai. "Lu aja deh, Rul. Kan lo pernah sakit hati sama si Metha tuh, siapa tahu setelah lo doain dia hati lo jadi kalem."
"Ih, jangan gue lah! Lala tuh, yang paling nyesek!"
Mata Lala terbuka lebar mendengar penyudutan Rully. "Gue?! Enggak ah! Ongky aja tuh!"
Ongky juga tak kalah kaget. "Kok gue?!"
"Duh udah dong!" Fika tak tahan mendengar perbedaan pendapat mereka. "Kalau main tunjuk-tunjukkan nggak bakal kelar nih doa!" tukasnya. "Ya udah Dot, lo ajah yang mimpin."
"Jiah! Sama aja lo Fik."
Didot juga tak ingin membuang waktu. Bersama mereka mengangkat tangan sesuai tradisi agamanya masing-masing dan dengan suaranya Didot memimpin.
"Tuhan, kami di sini berkumpul untuk mendoakan teman kami," mula Didot seraya kompak bersama keempat sahabatnya menundukkan kepala sekaligus memejamkan mata. "Izinkanlah pernikahan sahabat kami Megha berjalan dengan lancar, Tuhan."
Sebelah mata keempat temannya langsung terbuka. Merasa ada yang janggal dari ucapan Didot.
"Kasihanilah Megha, Tuhan. Dia cinta banget sama Alvan," lanjut Didot.
"Ssutt! Dot! Kayaknya lo salah nyebut nama," ucap Rully di sebelahnya.
"Lah?! Emang gue nyebut nama siapa?"
"Metha, Dot! Bukan Megha!"
"Masa sih?!" Didot lihat ke empat temannya tersengguk-sengguk. "Yah, gimana dong! Gue udah kepalang minta sama Tuhan."
"Ho'oh, udah dicatat malaikat juga tuh! Jangan songong buat nyuruh malaikat tipe-ex," tambah Ongky.
"Yaudahlah, aminin aja!" Lala mengambil jalan pintas.
"Jadi kita ngedoain Megha, nih?!" tambah Fika.
Mereka semua saling melempar pandangan, menunjukkan kebingungan yang bermain di benak mereka.
Hingga akhirnya...
"AAAMIIINNN," begitu kompak mereka memutuskan mengaminkan bersama.
***
Di rumah Papi Darma.
Metha sangat terkejut melihat siapa yang hadir selain ia dengan kedua orangtuanya dan keluarga Alvan. Ternyata Megha sudah ada di sana Juga. Terduduk kalem di meja makan dengan balutan gaun yang sama hitam seperti yang ia kenakan.
Hal lain yang membuat Metha bertambah kesal adalah, Megha bahkan mengambil posisi duduk di sebelah Alvan yang seharusnya adalah miliknya.
"Selamat datang, Pak Agung," sapa Papi Darma diikuti salam penuh hangat kembali dari Papa Agung, Mama Mawar dan Metha. Segera Papi Darma meminta tamunya untuk mengambil posisi duduk di meja makan.
Alvan sempat berdiri turut menyapa Papa Agung, Mama Mawar dan juga Metha. Namun Metha yang sedang jengkel itu hanya menjawab seadanya. Tentu saja, Alvan rela menelan sikap tidak ramah Metha karena ia sadar atas kesalahannya.
"Jadi lo di sini juga, Gha?" ucap Metha sambil menarik kursinya.
"Iya. Om Darma juga undang gue," jawab Megha datar.
Metha juga melirik ke sebelah Alvan. Rako juga sudah hadir, sejak tadi hanya diam memasang muka tak kalah masam. Kini Metha sadar, Om Darma memang akan melakukan pembicaraan besar kepada setiap pihak yang terlibat dalam masalah ini.
"Sebelum kita membahas soal pernikahan anak kita, bagaimana kalau kita mengisi perut kita dulu?" tawar ramah Papi Darma.
Papa Agung dan Mama Mawar yang bersikap lebih santai dari anak-anaknya mengangguk setuju.
Sambil menikmati makan malamnya, sempat Papi Darma dan Papa Agung membicarakan soal bisnis yang sedang menjadi tren di Indonesia sekarang. Mama Mawar yang tidak terlalu paham soal bisnis hanya sesekali mengangguk sambil tersenyum untuk mengimbangi. Alvan dan Rako juga hanya menjadi pendengar yang baik. Walau begitu suasana di antara kedua keluarga tetaplah hangat. Ya... sebelum bom meledak tepatnya.
Berbeda sekali dengan Metha. Pandangannya sejak tadi tak bisa lepas dari Megha yang duduk di depannya bersama Alvan. Mulutnya mengunyah daging steik tetapi matanya membakar saudara kembarnya.
Megha yang sejak tadi menyadari merasa mulai terganggu. Hatinya jadi tergelitik untuk membuat saudara kembarnya semakin panas membara.
Sejenak kemudian Megha menjalankan rencananya. Disentuhnya tangan Alvan yang sedang memperhatikan ayahnya bicara untuk menoleh kepadanya.
"Kenapa?" lirih Alvan.
Megha mendekatkan bibirnya ke telinga Alvan. Jelas saja hal itu membuat mata Metha terbelalak.
"Boleh tambah bumbu saus steiknya lagi?" bisik Megha.
Alvan mengangguk pelan, lalu mengambilkan bumbu saus steik yang ada di dekatnya, dan penuh perhatian menuangkannya ke atas piring Megha.
"Makasih," Megha tersenyum simpul, lalu dibalas anggukan dan senyum tulus yang sama dari Alvan.
Sempat Megha melirik ke arah Metha, dilihatnya ekspresi wajah geram yang amat mematikan dari kakak kembarnya. Tak ketinggalan ia lihat juga tangan si wanita yang sedang cemburu itu menggenggam garpu dan pisau menjadi sangat kuat.
Megha merasa puas. Godaannya berhasil membakar Metha.