"Iya, oke! Anggaplah di sini kita udah buat jahat sama Kak Alvan. Tetapi ini demi masa depan kita, Megha. Aku, kamu dan calon anak kita!
"Aku udah lelah dianggap lebih rendah dari Alvan oleh Papi. Sejak kecil aku selalu ingin membuktikan kalau aku nggak kalah hebat dari dia, tapi nyatanya apa?! Tetap Papi nggak pernah bisa mengapresiasi hasil kerja keras aku.
"Dan sekarang kalau Papi sampai tahu aku udah hamilin kamu, Papi bisa aja mencoret aku dari daftar pewaris!
"Sebentar aja, Megha. Hanya beberapa bulan aja. Setelahnya akan aku bereskan. Aku tetap akan membuat Kak Alvan hidup berkecukupan, dan mencarikan istri baru yang cocok buatnya."
Megha mematung, ucapan Rako telah merasuki alam pikirnya.
"Aku ingin anak kita bangga sama ayahnya. Ayah yang menjadi nomor satu bukan saja hanya buatnya, tetapi juga buat orang banyak."
"Terus gimana kalau rencana ini gagal?"
Seketika wajah memelas Rako berubah. Dahinya mulai mengerut, dan sorot matanya terkesan tak suka dengan pertanyaan Megha.
"Maka anak kita nggak akan pernah mengenal bapaknya."
Sekejap Megha tergemap. Ucapan Rako telah menjadi setan yang menakuti-nakuti. Ia mengerti benar Rako orang yang nekat, bisa saja Rako melakukan sesuatu di luar nalar. Kalau sampai hal yang tidak diinginkannya terjadi, itu sama saja ia telah menggali kuburnya sendiri.
Baru membayangkannya saja Megha sudah merasa ngeri jika sampai kehilangan Rako, seseorang yang paling ia cintai, yang selalu setia menemaninya melebihi kesetiaan orangtuanya.
Air mata Megha tumpah. Secepat kilat ia meraih tubuh atletis Rako, memeluk pria itu erat bersama tangisnya.
"Ayo, kita buat rencana ini berhasil."
Rasa lega pun menaburi hati Rako. Kini ia kembali menguat dengan keyakinannya. Orang yang ia cintai bersedia sepihak bahkan rela berbuat banyak.
"Makasih, Sayang," ucap Rako seraya membalas pelukan Megha.
***
Esok harinya.
Pagi itu Alvan terlihat tampak gelisah di ruang kerjanya. Ia terlihat sibuk mondar-mandir sambil sesekali memperhatikan telepon genggamnya.
Semua karena Megha. Wanita itu sudah berhasil meresahkan hatinya. Sejak semalam Megha tidak mengaktifkan handphonenya, pesan singkat yang dikirim juga belum menunjukkan tanda centang biru. Alvan tidak ingin sesuatu yang buruk sampai menimpa Megha. Di tepi jendela ia hanya bisa menunggu, tak peduli walau pekerjaannya terganggu.
KREKK
Tiba-tiba saja suara pintu dibuka tanpa permisi. Begitu kagetnya Alvan ketika melihat Rako datang dan langsung menghampirinya dengan muka marah.
"BAJINGAN!" bentak Rako kasar.
BUUKKK
Alvan langsung tersungkur dan rasa sakit di wajahnya membuat penglihatannya serasa kabur.
"BISA-BISANYA LO HAMILIN PACAR GUE!"
Alvan berusaha meneguhkan dirinya lagi. Pelan-pelan ia mencoba bangkit berdiri, namun belum sampai kakinya menyangga tubuh dengan kuat, lagi-lagi Rako mendaratkan tinjunya di wajah Alvan.
Dan pukulan kali ini, mengeluarkan darah kental dari hidung Alvan.
Rako berjongkok mendekati wajah Alvan, ia tarik kerah baju kakaknya kuat-kuat. Dengan rasa kemenangan ia mengancam. "Gue pastiin Papi bakal tau! Seperti apa kelakuan bejat anak kebanggaannya!"
Alvan tak sanggup membalas sama sekali. Ia terima dengan pasrah pukulan dan cacian dari adiknya. Ia sadar rasa sakitnya tentu tidak seberapa dibanding perasaan kecewa yang sebentar lagi akan dirasakan ayah mereka.
"Pukulan sebanyak apa pun nggak cukup buat membalas rasa sakit hati gue! Lo nggak pantas ada di perusahaan ini Kak. Lo cuma perusak nama baik keluarga kita! Nama yang bertahun-tahun Papi perjuangin!"
"Gue akan tanggung jawab."
Rako mendesah sinis. "Itu udah pasti! Tapi buat gue itu nggak cukup! Lo udah jadi duri buat hubungan gue sama Megha, dan buat kerja keras papi!"
"Trus mau lo apa?!"
"Lo tanya gue maunya apa!" Rako membisikkan ancamannya yang mematikan. "Melihat lo jatuh ke dasar jurang!"
Baru Saja Rako ingin melayangkan tangannya lagi. Tiba-tiba...
"BERHENTI!" Papi Darma muncul bersama seorang asisten pribadinya.
"Papi?" Rako langsung berdiri, membiarkan Alvan yang kesakitan terduduk lemah di atas lantai.
Papi Darma segera menghampiri kedua putranya. Wajahnya terlihat masam terkesan siap memberi amarah kepada keduanya.
"Lagi-lagi kalian bertengkar seperti anak kecil!"
"Kak Alvan yang mulai mencari masalah, Pi."
Papi Darma melirik ke arah Alvan. Putra pertamanya berusaha bangkit berdiri, ia lihat darah masih mengucur dari hidungnya. "Ada apa sebetulnya?!" tanya pria berusia 56 tahun itu.
"Megha hamil, Pi," sahut Rako.
"APA!"
PAAKKKKK
Tanpa diduga Rako mendapat hadiah tamparan dari ayahnya.
"Kenapa Papi pukul aku?!"
"Dasa berandal! Lagi-lagi kamu buat masalah! Biar Papi hajar, kamu!"
"Pi – Pi. Tunggu Pi..." Rako mulai berjalan mundur ketakutan. "Ta – tapi –"
"Hari ini Papi nggak akan kasih kamu ampun! Kemari anak nakal!"
Rako langsung terbirit-birit menghindari pukulan ayahnya. Tak kalah cepat Papi Darma terus berusaha menangkapnya. Mulutnya tak henti-hentinya memaki.
Tak peduli anak keduanya sangat ketakutan, serta ruangan yang berubah kacau balau, Papi Darma tetap penuh emosi mengejar Rako. Sementara Alvan dan Pak Rudi – asisten pribadi Papi Darma cuma bisa bengong memperhatikan pertengkaran mereka.
"PI CUKUP PI!" Rako menahan ayahnya dengan suara tinggi.
Papi Darma spontan berhenti mengejar. Nafasnya tersengal-sengal seraya tertunduk menyangga tubuh dengan lututnya.
Pak Rudi yang berinisiatif tinggi segera mengambil segelas air putih dari dispenser dan buru-buru memberikan air itu kepada pimpinannya dan juga Rako.
"Terima kasih, Rud," ucap Papi Darma setelah puas menenggak air putih itu.
"Terima kasih, Pak Rudi," susul Rako.
"Akan tetapi Papi Darma tetap belum puas mengejar anaknya. "URUSAN KITA BELUM SELLESAI!" bentaknya lagi.
"Udah, Pi. Cukup! Jangan pukul aku lagi!"
"Laki-laki yang berani menghamili anak orang lain pantas di pukul!"
"Tapi bukan aku yang menghamili Megha, Pi!"
Papa Darma mengerjap bingung, Pak Rudi ikut melongo, sementara Alvan tertunduk meringis mulai cemas.
"Bukannya Megha pacar kamu?"
"Iya! Dia memang masih jadi pacarku. Tapi yang hamilin dia bukan aku! Kak Alvan pelakunya!"
Papi Darma terperanjat tak menyangka. Pak Rudi juga tak kalah tercengang.
"Kak Alvan sudah mengkhianati aku, Pi! Padahal dua minggu lagi dia akan menikah dengan Metha, kakak kandung dari pacar aku sendiri!"
Kompak Papi Darma dan Pak Rudi menoleh kepada Alvan.
"Betul apa yang adikmu bilang, Alvan?!"
Alvan terdiam, masih terasa belum sanggup mengakui.
"JAWAB PAPI, ALVAN!" bentakan itu menggelegar lagi mengagetkan seisi ruang.
Alva kesulitan menelan ludahnya. Wajahnya masih tertunduk tak berani menatap mata sang ayah.
"ALVAN! APA KAU TULI! LIHAT PAPI!
Batin Alvan semakin terasa kacau. Ia tarik nafasnya, sadar bahwa hal seperti ini sudah tak bisa ia hindari lagi. Perlahan tetapi pasti, Alvan mengangkat wajahnya memberanikan diri bertemu mata dengan Papi Darma.
"Iya Pi, aku yang menghamili Megha."