Chereads / Berawal dari Satu Malam / Chapter 20 - 20 Ego Tinggi Membawa Petaka

Chapter 20 - 20 Ego Tinggi Membawa Petaka

"Ku sarankan kau berhati-hati ke si nona sekretaris. Dia diam-diam menghanyutkan lho."

Saat dirasa aman, Rey pun mengatakan hal yang menganggu pikirannya. Tak jauh-jauh dari hal buruk.

"Ck aku tahu, tak usah bilang apapun," balas Redis yang fokus ke berkas-berkas kantor.

Acara cek lokasi berjalan baik, hanya saja Redis terpaku melihat wajah Reni yang menjabat sebagai sekertaris perusahaan Samira Corp. Bukan apa-apa, sebab posisi mereka saat itu sangat intim.

Laki-laki yang hanya menghabiskan waktu dan hidup dengan pekerjaan kantor, mana pernah berpelukan sama perempuan.

Yang ada justru elus-elus berkas kantor doang.

Lantas bagaimana bisa ditengah kesibukan Redis, Radit yang juga menjabat sebagai CEO punya waktu bermain perempuan.

Entahlah, Redis hanya tak percaya sesuatu yang namanya cinta. Jadi tak terlalu berpikir soal perempuan yang baginya buat repot.

Perlu ditekankan, Redis normal. Hanya masih belum datang waktu tepat alias 'hidayah.' Cuma itu kok.

"Kamu mau balas dendam gak? Nanti aku berkunjung ke flat Rein."

Alis Rey terangkat sempurna. Balas dendam, itu terdengar bagus. Tentu saja ia tak mungkin melewatkan kesempatan tersebut. Sambil tersenyum plus memainkan lidah dalam mulut, Rey respon Redis.

"Ya maulah. Lihat aja, akan ku buat perempuan bar-bar itu menyesal." Rey bersmirk.

Tak sabar balas Meri lebih sadis. Enak aja, junior Rey bahkan sangat ingin balas bukan hanya si pemilik.

"Kamu mau apa?" Redis bertanya, masih fokus ke berkas kantor.

"Itu urusanku, bukan urusanmu."

Redis mengangkat bahu acuh. Terserah yang Rey pikir, yang berputar-putar di otak orang itu hanyalah ingin menyelesaikan berkas.

"Apa gak bosen Dis, lihat berkas kantor mulu?"

"Tidak," jawab Redis singkat, padat dan jelas.

Terkadang dua orang itu bisa akrab yang selanjutnya bertukar ke hubungan tak wajar. Begitulah, baik Redis maupun Rey sudah terbiasa satu sama lain.

Mau jungkir balik hubungan mereka, masih bisa aja. Keduanya belum pernah bertengkar serius sih, yang terlihat akhir-akhir ini belum termasuk batas berlebih penerimaan kedua orang tersebut.

"Dis, gimana pengalaman one night standmu?"

Pletak!

Pulpen melayang, tepat sasaran yaitu kening Rey yang paripurna. Penganiayaan tersebut harus berhenti, kalau tidak lama-lama Rey bisa mati muda.

Sang empu mencak-mencak. Kok gini amet sih harus sabar menghadapi Redis!?

"Aku cuma bertanya Dis. Santai aja," dengus Rey, tanpa sadar malah melempar berkas kantor tepat ke wajah sang atasan.

Walau merasa senang sebab setelah sekian lama akhirnya membalas, ada juga rasa takut di sudut hati Rey.

Gawat!

Redis akan membalas lebih sadis!

Rey pun sontak meringis lihat wajah kesal atasannya. Entah apalagi yang akan terjadi setelah itu.

"Aku tahu akhir-akhir ini kau banyak mengalami hal sulit. It's oke, aku melepaskanmu sekali lagi. Berterima kasihlah pada suasana hatiku tak tak terlalu buruk."

Eh, apa sebab pelukan ke Reni?

Rey sontak menggeleng, lantas setelahnya lihat Redis dan berucap begini.

"Aish dasar, kamu bikin jijik tahu gak."

"Tutup mulutmu dan kembali bekerja. Kalau tidak, angkat kaki dari perusahaan."

Seolah bukan hal besar, Redis justru kembali melihat berkas. Presdir, suka-suka hatilah mau pecat karyawan. Toh buat kesal.

Rey ingin mencoba peruntungan untuk Redis, kira-kira respon orang itu seperti apa?

Rey yakin, Redis gak bakal tega kok benar-benar pecat. Kalaupun iya, Rey bakal melakukan sesuatu biar gak terealisasi.

"Kau tahu, kamu beruntung mengalami kecelakaan one night stand. Kalau tidak, kamu bakal terus jadi perjaka tua. Setelah itu nikah tuh dengan kertas-kertas kantor."

"Silahkan keluar."

Gak sulit kok. Kalau belum keluar juga, mohon maaf, Redis akan main tangan.

Rupanya Rey belum menyerah, otak pintarnya tengah memikirkan sesuatu.

"Ayolah Dis, aku punya ide nih. Kita kan mau pergi ke flat nona Rein."

Pada akhirnya Redis pun mengangkat kepala untuk berhadapan langsung ke Rey, sang sekretaris. Tumben, apa isi otak sekretarisnya itu?

"Apa yang kamu pikirkan?"

Sebuah senyuman misterius tercetak sempurna di sudut wajah Rey. Akhirnya Redis memperhitungkan keberadaannya. Itu bagus, Rey tinggal kasih 'bumbu pelengkap.'

Gak apa-apa, silahkan berpikir soal makanan biar pada lapar. Sengaja kok.

Biar keren, Rey perbaiki kerah baju kantor nan cetar miliknya. Jelas cetar, toh yang pakai orang genteng.

"Tertarik ngulang one night stand, aku pun juga akan melakukan itu."

Plak!!!

Dua lemparan sekaligus tepat mengenai wajah Rey.

Cukup, oke, lebih baik ia pergi dari tempat itu. Kalau tidak, sungguh. Wajah Rey bisa hancur ditangan Redis. Yang jelas bukan keluar perusahaan namun ke ruang sekretaris.

"Ya udah aku pergi. Aku kan cuman kasih saran. Tapi kalau kamu gak mau ya terserah. Kamu mabuk saat itu Redis. Mana mungkin tahu rasanya. Dasar cemen, pengecut!"

Bersamaan mengatakan itu, Rey angkat kaki keluar ruang presdir. Baik hubungan pekerjaan dan persahabatan antara keduanya memang absurd.

Siapa yang berpikir kalau sejatinya Redis adalah orang yang tak suka diremehkan. Terlebih oleh orang terdekatnya sendiri.

Satu kebenaran lain, yang membuat Redis berakhir mabuk di meja bar adalah karena ia diremehkan Radit. Kedua orang tersebut bertengkar hebat malam itu.

Tak heran kan kalau Radit tahu yang dialami kakak sepupunya.

Lantas, setelah bertengkar dengan ayah dan ibu, terakhir Redis mengalami kecelakaan.

Apapun bisa terjadi, tergantung mau atau tidak lihat peluang untuk hal tersebut.

"Stop Reytama!"

Si empu yang ingin membuka pintu terhenti oleh suara melengking Redis. Kenapa, what happen?

Ada yang salah?

Gak harus berlebihan juga dong.

Rey tahu pasti bagaimana kepribadian Redis. Lantas pada akhirnya ia berbalik. Berhadapan langsung ke wajah merah padam Redis yang menatap lurus.

Perlahan Redis menghampiri Rey, orang santai berpose memasukkan tangan ke saku. Tak ada yang harus ditakutkan.

Yang Jelas sekarang jauh dari kata-kata pecat. Harga diri Redis lebih penting.

"Aku pengecut, cemen. Ayo buktiin seberapa berani kamu meniduri perempuan yang

gak kamu kenal baik. Satu syarat, tak ada pengaruh obat perangsang, alkohol ataupun paksaan. Aku bisa mengetahui apapun, camkan itu."

Saking terbawa emosi, Redis sampai menunjuk Rey tepat di wajah tampannya. Respon Rey sih mengerjap lamat-lamat kemudian berganti mengusap kening.

"Jadi Pak, Anda mengajak saya bertaruh?"

Smirik Rey lebih lebar dari yang awal, seolah-olah berucap, 'kena kau.'

"Of course, aku tak suka diremehin."

Senyuman terbit di wajah Rey. Kena, sang atasan akhirnya masuk ke permainan yang ia buat. Sekarang yang harus Rey lakukan adalah kasih polesan sedikit. Tak perlu banyak.

Oke, ayo mulai permainannya.

"Saya harap Anda tak menyesal Pak, sebab ini sangat sensitif. Aturan mainnya adalah, siapa yang berhasil membuat lawan jatuh duluan, maka orang itu yang menang. Harus hati-hati, walau Bapak punya akses khusus sebab sudah akan menikah, perlu Bapak ketahui tak semua orang mudah ditaklukkan. Bapak harus tahu, kita mainnya malam ini. Bukan dalam jangka waktu yang lama."

Rey menantang, oke fine, it's easy!

Lihat siapa yang akan menang. Istilah jatuh ke lubang yang sama, cih, tak semua hal buruk terakhir buruk. Bagi Redis, harga diri tetaplah harga diri!

"Oke, siapa takut. Ku pastikan kau yang kalah. Secara kan kamu baru kenal dan terlibat masalah dengan Meri. Yang ada justru kau dapat servis tambahan," ujar Redis sambil tatapan tajam.

Orang tersebut kesal!

Rey belum pernah menantangnya begini.

Lalu lihat, bukannya tersentak, orang itu malah terkekeh.

"Hahaha Pak, Anda terlalu percaya diri. Kita lihat ya. Oh, yang kalah harus mengabulkan permintaan si pemenang."

Redis menatap nyalang, masih sempat berbuat licik?

Gak bisa dibiarin.

"Kamu pikir aku terima. Pasti minta aku menandatangani surat pemindahan perusahaan, kan!?"

Manik Redis terlihat berapi-api, alamat bakal terbakar tuh.

"Ck, astaga Redis. Aku ini temanmu, bukan musuh."

Redis membuang muka, ia muak ke Rey.

"Jangan salah, musuh dari musuh sebenarnya adalah teman sendiri. Tak ada yang tahu kebanyakan manusia serakah. Itu adalah sifat yang dimiliki setiap orang. Yang membedakannya hanyalah tingkat. Tak ada seorangpun yang merasa cukup dalam dunia ini."

Benar, itulah yang terjadi dalam hingar-bingar hidup.

Rey tentu tak terima, ia pun berucap begini.

"Pak, saya cuman kepengen Bapak membiayai pernikahan saya. Itu aja kok. Anggap bonus saya ditindas hampir tiap hari."

Selepas mengatakan itu Rey spontan tertawa. Wajah Redis bak lihat sepatu bolong!

Mana bisa dipakai.

"Don't crazy, orang playboy sepertimu menikah!?"

Eh, kok begini...?

Harus Rey urus.

"Santai Pak, soal takdir siapa yang tahu?"

Redis pun mendengus dengar perkataan Rey. Sok bijak.

"Oke, sampai ketemu nanti malam. Kita berangkat bersama. Sekarang Pak Rey, mari kembali bekerja."

Tuh kan, gak dipecat.

Baik Redis maupun Rey tersenyum misterius. Hubungan absurd adalah pembeda mereka dari yang lain.

Lantas..., apakah rencana saling menjatuhkan kedua orang itu lancar...?

Bagaimana nasib Rein dan Meri yang sama sekali tak tahu apa-apa?

Semua tentang yang terlihat dan tidak. Hidup terlalu menjijikkan jika hanya dipenuhi oleh orang-orang baik. Kodrat, ada jahat dan lurus, berpasang.

*****