Total.
Pukul tiga pagi pria manis itu sama sekali tidak bisa tidur, wajah yang sudah hampir membiru, sudut bibir berdarah, dan sebagian punggung dan pinggangnya yang bercak abu karena pukulan menggunakan sabuk pinggang terus dipukulkan oleh Jeon Ji Hoon pada Jeon Jung Ki.
Pria manis itu terus mengelus sudut bibirnya, berusaha mengambil posisi tidur yang nyaman karena setiap pria itu berpindah dan menggeserkan tubuhnya untuk mencari kenyamanan pria itu terus meringis.
"Kak Ji Hoon tidak main-main saat memukulku kali ini, apa dia begitu membenciku?" tanya Jung Ki masih berusaha mengompres luka lebam di wajahnya dan sengaja tidak mengenakan apapun dibagian atas tubuhnya.
Menyalakan AC sangat dingin untuk mengompres penuh seluruh tubuhnya, Jung Ki tidak perduli jika bayaran listriknya nanti akan melonjak, yang ada didalam kepalanya Jung Ki hanya pria itu harus tidur setidaknya tiga jam walaupun tubuhnya memintanya untuk sekarat.
"Ini gila," gumam Jung Ki saat dia menyadari sebagian tubuhnya menjadi kebas dan tidak terasa, tangannya mengambil alis selimut untuk menutup sebagian tubuhnya untuk mendapat kehangatan.
Tidak perduli apapun yang terjadi selanjutnya pria kecil itu memilih untuk memaksakan matanya untuk terpejam dan tidur dalam keadaan tubuh yang tidak baik-baik saja.
"Mimpi Indah, Jung Ki. Apapun yang terjadi, besok adalah hari yang baik untukmu," ucap Jung Ki sebelum dirinya mulai tertidur karena tubuhnya mulai bisa tertidur bersamanya.
Ya.
Jika melihat kejadian sebelumnya, antara paman Jeon yang berperilaku sangat baik pada Jung Ki, memberi semua perhatian dan perilaku baik pada keponakan laki-laki yang kakaknya titipkan padanya adalah sebuah anugrah.
Paman Jung Ki sama sekali tidak memikirkan soal uang dan perusahaan yang ditinggalkan dan dipindah nama dari dirinya jika itu hanya sebagian kecil milik suami kakak perempuannya dan sebagian besar perusahaan peninggalan ayah Jung Ki kembali pada keluarganya.
Sebenarnya keluarga Jeon Jung Ki sebelumnya sangat harmonis, bahagia dan kaya raya. Dari pihak keluarga Jeon (ibu Jeon Jung Ki) juga hanya wanita seadanya, mereka menikah bukan karena harta melainkan karena perasaan.
Sama halnya paman dan bibi Jung Ki sebenarnya, namun karena kekayaan ayah Jung Ki juga tidak pria itu dapatkan sebelum menikah sebagaian kekayaannya hanya jatuh pada istri dan suami. Jung Ki saat itu masih belum diberikan berapa persen dan Won yang akan pria kecil dan malang itu dapatkan.
Saat terjadinya peledakan, menewaskan semua orang yang ada di rumah Jeon, tidak ada seorang pun yang selamat. Hanya Jeon Jung Ki yang sedang pergi kerja kelompok dengan teman-temannya yang selamat karena tidak ada ditempat kejadian, beberapa masalah mulai muncul.
Pria cantik berkulit putih susu dan manis itu hanya bisa menangis diramainya ambulan, yang terus datang, banyak yang datang untuk menyelamatkan dan menyaksikan kejadian tersebut.
Jung Ki yang tidak tahu siapa saja yang datang pada akhirnya diantarkan ke rumah pamannya karena pihak polisi memberikan kabar dan infomasi atas kasus kematian besar saat itu menjadi sangat panas.
Jeon, selain paman Jung Ki menerimanya. Pria itu mengenal baik Jeon Jung Ki, walaupun sampai akhirnya semua kekayaan dan saham milik ayah Jeon Jung Ki semua kasus menjadi sangat rumit.
Jung Ki yang kecil dan malang itu sama sekali tidak tahu apapun, bahkan yang Jung Ki ingat hanya, pamannya menyayanginya.
Tidur nyenyak tiga jam pada akhirnya Jung Ki mulai bangun, pria itu mengambil posisi duduk sebelum dia akan memilih untuk mengompres tubuhnya dengan air hangat saja tanpa mandi.
Dengan menguap kecil dia kembali menghirup udaranya dengan tergesa-gesa karena lagi-lagi setelah dan selalu bertengkar dan dipukuli oleh Jeon Ji Hoon Jung Ki akan selalu berakhir mimpi buruk.
Pria itu akan dihadapkan pada satu siatuasi yang membuat dunianya semakin runtuh, jatuh, dan sulit jelaskan lagi. Jung Ki begitu taku dengan sebuah ledakan, pria kecil itu juga melihat ledakan besar tidak jauh dari rumahnya saat terjadinya sebuah kiamat kecilnya.
"Hari yang seharusnya bagus untukmu, Jung Ki?" Pria itu bangkit, tidak lama dari itu Jung Ki memilih mengambil tempat air untuk mengompres tubuhnya, Jung Ki mengambil air hangat dari kamar mandi dan mulai duduk di tepi tempat jemuran pakaian dimana pria itu mencuci bajunya.
"Ah," ringis bibir kecil Jung Ki saat satu usapan saja mampu membuat dirinya meringis karena hangatnya air yang mengelap pada tubuh halusnya.
"Sial, ini mengerikan," keluh Jung Ki begitu menyadari seberapa parah lecet dalam tubuhnya walaupun Jung Ki masih memilih untuk mengompres tanpa mandi hari ini.
Hampir tigapuluh menit berjalan pria itu sama sekali tidak mengeluh, Jung Ki memilih kr westafle karena dia akan tetap mencuci wajahnya walaupun dirinya sudah mengompres tubuhnya tanpa ringisan.
Air mengalir dengan deras karena bilasan pertama Jung Ki langsung mengambil sabun pencuci wajah dan memilih melakukamnya dengan pelan karena dia juga masih menahan rasa sakitnya.
Selesai dari itu Jung Ki berinisiatif untuk menganti pakaiannya, mulai melepas celananya dan mulai mengganti pakaiannya dengan pakaian yang santai untuk bekerja dan membawa satu untuk cadangan.
Pria itu melirik jam dinding karena Jung Ki akan selalu pergi cepat karena luka lebam di tubuhnya yang akan membuat Jung Ki mendapat masalah lebih dari ini.
Pukul tujuh lebih tigabelas menit, setidaknya Jung Ki akan berangkat terlambat walaupun dia bangun lebih pagi baru saja akan membuka pintu kamarnya pria itu kembali mengambil masker untuk menutupi luka di wajahnya.
"Selesai," ucap Jung Ki saat menyadari jika kepergiannya kali ini akan lebih tidak mencurigakan.
Ternyat salah, ternyata paman dan bibinya sudah bangun, wanita dan pria itu memilih untuk memasak dan mempersiapkan pekerjaannya sebelum pukul delapan. Kecuali Ji Hoon yang selalu bangun lebih terlambat.
"Kau sudah siap, Jung Ki?" tanya pamannya membuat pria itu menganggukkan kepalanya tanpa suara. "Kau melihatnya dengan jelaskan, suamiku?" Itu suara wanita yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat dengan pertanyaan basa basi milik suaminya. "Sayang, kenapa kau seperti itu," tegur paman Jung Ki karena mau tidak mau Jung Ki memang memiliki darah kental dengan Jung Ki bukan dari pihak istrinya.
Jika suami dan anak laki-lakinya tidak menyukai Jeon Jung Ki, setidaknya sebagai pria yang hanya satu-satunya yang bisa diandalkan oleh Jung Ki sebagai paman dan pengganti ornag tua, pria itu membelanya.
"Aku hanya menegaskannya, sayang." Jung Ki menghela nafasnya berat, dia menundukkan kepalanya sembilanpuluh derajat untuk berpamitan pergi. "Paman, bibi aku izin berangkat lebih dulu." Jung Ki berpamitan dan memilih untuk bergi meninggalkan rumah pamannya untuk pergi membeli sarapan daripada ikut serta.
Selain jika Jung Ki akan mendapat pertanyaan dengan luka yang semalam Jung Ki tidak bawa dan berakhir untuk dicurigai. Ji Hoon akan menjadi jawaban dimana dmeua luka itu ada, karena sebenci apapun istrinya, wanita itu tidak akan pernah main fisik, pada putranya ataupun pada Jung Ki sejak hari pertama Jung Ki datang diantar oleh polisi.
"Kau akan sarapan dimana jika kau tidak makan di rumah?" tanya paman Jung Ki saat prai itu msnghalangi Jung Ki pergi sebelum sarapan. "Aku akan sarapan di jalan, membeli beberapa makanan ringan untuk ku makan sebagai sarapan. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, paman." Jung Ki kembali membungkukkan tubuhnya berpamitan dan berjalan keluar dengan cepat agar pamannya tidak mengejarnya.
"Ah!" Pria itu mengeluh tanpa menangis, pinggangnya sedikit abu dan dakit karena berlari. "Aku sangat menyukainya," ucap Jung Ki melirik ada kedai makanan setidaknya untuk saraoan pagi.
"Beri aku dua porsi makanan ini, paman." Jung Ki memberikan uang 5000 won membuat pria tadi memberikan dua makanan berwarna merah dengan porsi kecil walaupun kecil. "Silahkan menikmati, tuan." Jung Ki menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan dengan santai sesekali memakan sarapannya dengan cepat.
Limabelas menit saraoan dan menuju tempat kejranya Jung Ki lega bisa memakan sarapan tanpa harus membuat orang rumah dalam masalah. "Kak Ji Min, maaf atas keterlambatanku," ucap Jung Ki saat dirinya sampia dengan pakaian tebal, topi di kepalanya dan masker di wajahnya.
"Hanya limabelas menit, ku pikir semua itu tidak masalah. Gantilah pakaianmu, Jung Ki." Ji Min masih fokus membersihkan sisi meja dan kursi agar membuat pelangganya merasa nyaman, Jung Ki memilih masuk dan mulai stay di tempatnya.
"Kau sudah sarapan? Aku membeli dua roti, satu untukmu. Untuk jaga-jaga saja apakah kau masih lapar setelah saraoan, jika kau mau---"
"Aku siap memakannya," jawab Jung Ki sangat bersemangat sampai-sampai dia sangat hapal roti rasa apa yang selalu Jung Ki konsumsi setelahnya.
"Kau ini," keluh Ji Min saat dia melirik seberapa sukanya Jung Ki memakan roti isi yang sengaja dia beli karena dia hanya yakin jika Jung Ki mungkin saja melewatkan sarapannya.
Jung Ki selesai dengan persiapannya, Ji Min selesai dengan setiap sisi dan sudut yang sudah pria itu bersihkan. Park Ji Min membuka caffe dan mulai berjalan mendekat ke arah Jung Ki.
"Kau baik-baik sjaa kemarin? Bagaimana keluargamu saat melihat kau pulang lebih awal?" tanya Ji Min karena pria itu berhasil makan malam bersama dengan ibu dan ayahnya. Walaupun pria itu makan malam bersama Jung Ki, pria itu bisa makan bersama dengan ayah ibunya kemarin malam.
"Tidak ada yang seru."
"Biasa saja," jawab Jung Ki apa adanya karena pria itu memang tidak mendapatkan, apapun karena akan berakhir dengan sama, mendapat perlakuan baik oleh pamannya, dan rasa sakit dan anak laki-lakinya.
Jung Ki akan berakhir mengenaskan juga, pria itu memilih untuk melepas masker dimana Ji Min yang ada di depannya benar-benar terkejut sekarang.
"Darimana semua lukamu, Jeon Jung Ki?" terkejut bukan main saat melihat ada beberapa luka lebam, biru dan hijau karena sebuah pukulan dan tamparan, ada sedikit bekas darah disudut bibir Jung Ki juga.
Itu baru prediksi Ji Min sebenarnya.
"Kak, aku hanya dibegal saat pulang." Ya, Jung Ki lagi-lagi memberi alasan pada Ji Min dengan jawaban yang sama. "Jung Ki, kenapa kau terus berbohong!" Ji Min tidak terima.
"Karena aku juga tidak tahu kenapa aku mendapat semua luka ini."