Ji Min mendengar alasan tidak logis dari temannya hanya bisa terkekeh kecil, pria itu mengambil tas nya dan melupakan apakah akan ada pelanggan yang datang apa tidak sepagi ini.
Pria itu memilih untuk mengambil kotak P3K untuk mengurus sedikit luka milik Jung Ki. Namun geralan itu justru terhenti degan tangan Jung Ki yang memperlihatkan pada Ji Min jika ada pelanggan pertamanya hari ini.
"Kau harus berjanji padaku untuk mengobati semua lukamu apa yang sebenarnya terjadi, Jeon Jung Ki." Ji Min berjalan mendekat pelanggan pertamanya dimana ada dua remaja laki-laki dan juga satu perempuan seusianya.
"Kalian ingin pesan sesuatu?" tanya Ji Min saat melihat mereka memilih tidak duduk untik memesan minumannya. "Tiga susu coklat hangat dan tiga roti isi," jawab laki-laki yang memiliki tinggi tubuh paling menonjol. "Baiklah, kalian bisa menunggunya sebentar," jawab Ji Min menulis pesanannya dan segera berjalan mendekat ke arah Jung Ki.
"Tiga susu coklat hangat dan tiga roti isi, biar ku bantu." Ji Min mengambil langkah cepat dengan membuatkan tiga roti isi untuk sarapan remaja tadi.
"Terimakasih Kak Ji Min." Ji Min tidak menjawab apapun, tangannya mulai mempersiapkan pesanannya dan juga Jung Ki dengan diam mulai melakukan hal yang sama juga.
Lima menit menyiapkannya akhirnya Jung Ki memberikannya pada Ji Min, pria itu memberikannya pada remaja tadi dan membayar transaksi pembeliannya juga.
"Apa sangat berbahaya jalan arah tempatmu pulang? Kau seharusnya mengambil jalan lain jika kau akab terluka lagi, Jung Ki." Ji Mengambil kita obat miliknya dan mengeluarkan beberapa alkohol untuk membersihkan luka-luka kecil di wajah Jung Ki.
"Kau sudah mengompresnya?" tanya Ji Min menyadari lukanya sudah mulai mengecil tidak separah sebelumnya, itu hanya firasat Ji Min saja. "Sudah, sebelum tidur dan bangun tidur juga. Aku tidur pukul dua pagi, sepertinya." Jung Ki tidak yakin dengan jam nya, namun yang Jung Ki ingat dirinya hanya berkelahi cukup parah dengan Ji Hoon.
"Kau meminta menutup caffe pukul sebelas dan kau tidur pukul dua pagi? Ada apa denganmu, Jung Ki?" Jung Ki menggigit bibirnya kecil, dia merasakan seberapa sakit dam perihnya alkohol berlapis kapas itu mengelus sudut bibirnya dan sebagian lukanya.
"Aku sudah mengatakan padamu sebelumnya Kak, aku tidak tahu menau mengenai luka ini, dan aku juga--"
"Kau terlalu naif," ucap Ji Min tidak membiarkan Jung Ki menjelaskan seberapa jauh pria itu akan membual lagi. "Aku hanya tidak bisa mengatakannya," ulang Jung Ki sebagai revisi dimana Ji Min sudah tahu seberapa Jung Ki akan menyangkalnya.
Pria itu menghela nafasnya berat negitu Ji Min selesai mengobatinya, ada sedikit penutup luka yang sengaja dibuat kecil sudut dan sebagian dahi dan juga samping mata.
"Kau dipukuli atau bagaimana, kenapa wajahmu apa sampai membiru parah seperti ini?" tanya Ji Min saat selesai mengobati luka Jung Ki sedikit meringis melihatnya.
"Sebenarnya hanya aku dan seseorang, tapi aku tidak bisa melawan pukulannya, aku sudah menahannya tapi dia menjadi seperti babi." Ji Min bahkan sampai tidak habis pikir bagaimana Jung Ki benar-benar menjelaskannya dengan bahasa sangat santai dan wajah datar.
Ini mengerikan, Jung Ki benar-benar merasakan tubuhnya sakit, dia hanya secara tidak langsung memberitahu luka di wajahnya yang tidak bisa ditutupi.
Jika Jung Ki membuka bajunya, semua masalah akan menjadi serius. Mungkin pria itu akan menelfon polisi untuk mencari siapa yang memukuli Jeon Jung Ki atau bahkan melakukan hal lebih mengerikan dari itu.
Seperti menelfon Kim Seok Jin dan meminta caffe tutup untuk beberapa hari karena Jung Ki harus di rawat di rumah sakit.
"Dasar babi berotot," Kung Ki terkekeh begitu mendengar umpatan dari Ji Min dengan tertawa kecil kembali ke tas nya dan memilih untuk kembali ke tempat sebelumnya dimana mereka bisa berbicara banyak hal dengan Jung Ki juga.
"Sepertinya aku harus mengantarmu pulang malam nanti," ucap Ji Min merencanakan apa yang akan dia lakukan untuk hari ini. "Tidak perlu, Kak." Ji Min menyatukan alisnya merengut. "Kenapa?" tanya Ji Min meminta alasannya.
"Jangan datang, rumahku jelek," ucap Jung Ki menolaknya secara bercanda dan halus agar Ji Min tidak perlu repot-repot mengantarnya. "Kenapa?"
"Aku hanya ingin tahu dimana rumahmu, dan jika kau berjalan kaki menghabiskan waktu berapa menit, lalu aku akan datang ke rumahmu untuk--"
"Tidak perlu Kak," tolak Jung Ki langsung membuat Ji Min menghela nafasnya berat. "Kenapa tidak boleh? Kau datang ke rumahku walaupun rumahku kecil dan jelek, aku hanya ingin tahu rumahmu dimana, dan kau juga mengenal kedua orang tuaku. Kenapa kau tidak memperbolehkanku datang ke rumahmu?"
"Beri aku satu alasan," minta Ji Min kali ini membuat Jung Ki menelan ludahnya sukar. "Itu hanya," ucap Jung Ki segaja memelankan suaranya dan membiarkan tuhan membantunya agar pria di depannya sekarang tidak memintanya untuk menjawabnya. "Ya?"
Ting!
Suara lonceng pelanggan masuk, Ji Min refleks bergerak untuk menyapa pelanggan yang kali ini datang, namun gerakannya teralihkan saat pelanggan yang datang bukanlah pelangannya melainkan pelanggan istimewa milik Jeon Jung Ki. "Ah, pria itu."
Ji Min berjalan ke arah lain yang kali ini ada orang yang yang masuk tidak lama dari kedatangannya Tae Woo. Benar saja, pria itu mendatangi Jung Ki langsung. Bahkan pria itu langsung membuat Jung Ki merasa terkejut bukan main dan memilih mengambil masker sebelumnya dan memadangnya santai.
"Ada apa? Kenapa kau panik?" tanya Tae Woo saat melihat seberapa Jung Ki terlihat panik atas kedatangannya. Jung Ki menggelengkan kepalanya pelan, pria manis itu sengaja menutup mulutnya agar semuanya berjalan dengan lancar. "Kenapa?" tanya Tae Woo meminta jawaban dari pacarnya karena sejak tadi pria itu hanya meggelengkan kepalanya sebagai syarat respon saja.
Lagi-lagi Jung Ki tidak menjawab, pria dominan itu memilih menghela nafasnya tanpa dan melirik ke arah mata dimana Jung Ki melihat Ji Min sedang menunggu kepergiannya.
"Aku menunggu suaramu, Jung Ki." Pada akhirnya Tae Woo mengalah dan memilih untuk duduk ditempat yang sama biasanya dia datang dan melihat pekerjaan Jeon Jung Ki dengan baik.
Ingat. Tanpa melupakan pekerjaannya juga. "Apa kau ada masalah dengan pria itu, lagi?" Jung Ki menggelengkan kepalanya pelan tanpa suara, dan kali ini tangan putih itu mengambil satu kertas pesanan pelanggannya.
"Tiga es teh lemon," jawab Ji Min memperlihatkan kertas pesanannya, Jung Ki mengambil gelas ukurannya dan memilih membuatnya tanpa suara.
Pria itu tahu jelas apa yang Tae Woo lihat kali ini, pria itu menatap tajam ke arah Ji Min dan membiarkan Jung Ki melakukan pekerjaannya tanpa terlihat diintimidasi oleh Tae Woo.
Setidaknya untuk kali ini Jung Ki menang, Tae Woo mengalah memilih untuk melupakan bagaimana Jung Ki yang hati ini tidak mengirim pesan untuknya, dan juga terlihat pria itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Membiarkan Jung Ki fokus pada pekerjaannya, pada akhirnya Tae Woo memilih untuk fokus pada pekerjaannya juga membiarkan Jung Ki nyaman dengan keberadaannya, pria itu masih melakukan hal yang sama dengan berbicara dengan Ji Min dan tidak melihat ke arah Tae Woo sama sekali.
Empat jam berjalan smeuanya terlihat sangat asing, mata Jung Ki benar-benar menjauh dari pandangan Tae Woo, dan juga bagaimana Jung Ki tetap berbicara dengan pelanggan yang mengoreksi pesanannya dan juga Ji Min yang terus memberikan pekerjaan pada prianya.
"Ada apa dengannya," gumam Tae Woo menyadari jika pagi di pria itu tidak menjawab sapaan dan pertanyaannya karena apa. "Dia menjauhiku? Tapi karena apa, bukankah sebelumnya kami baik-baik saja?" tanya Tae Woo tidak menyadari kesalahannya disisi man.
Tae Woo menghela nafasnya berat, dia belum memesan minuman apapun sampai sekarang, limabelasenit lagi makan siang Jung Ki akan di antar, Tae Woo bahkan akan memberi ceklis pada makanan mana yang akan diantarkan hari ini.
Hari ini tangannya mengambil ponsel, pria itu melirik Jung Ki yang masih sengaja tidak melihat wajahnya sama sekali.
/Mau makan apa hari ini, sayang?_
/Jika sedang longgar tolong belas pesan dariku./
/Apa salahku hari ini, tolong katakan saja, aku tidak bisa menebaknya./
/Kim Jung Ki, apa kau sedang bermain-main denganku?/
/Sayang, buka ponselmu!/
/Ah, soal kemarin. Aku ada masalah dengan seseorang, aku terlambat bangun dan bahkan tidak datang ke caffe karena aku ada masalah di kantor. Apa kau marah karena kemarin aku tidak datang?/
/Bukankah kau mengatakan padaku jika aku ada di caffe tempatmu bekerja membuatmu merasa tidak nyaman, aku tidak datang kemarin. Apa kau mengkhawatirkanku seharian kemarin?/
/Sayang, setidaknya kau harus membuka ponsel dan membaca pesanku, kenapa kau menjadi pendiam seperti ini./
Tae Woo mengetik banyak pesan untuk Jung Ki, hanya saja pria itu hanya diam menatap jalan raya saat caffe sedang tidak ramai. Ji Min yang terus berbicara pada Jung Ki, dibalas jawaban singkat menjelaskan jika pria itu sedang kesal padanya.
Setidaknya Tae Woo adalah satu alasan dimana pria itu benar-benar tidak bisa menjawab atau mluhat wajahnya.
Begitu besar masalah dan rasa kesalnya sampai-sampai semua yang menurut Tae Woo harus diperlihatkan membuat Jung Ki benar-benar menutup rapat semuanya.
/Kenapa kau mengambil topi?/
/Ada masalah apa sekarang?/
Tae Woo menghela nafasnya berat saat menyadark seberapa anehnya Jung Ki hari ini. Saat pria itu akan mendatangi Jung Ki karena ada beberapa alasan yang tidak bisa di tangan pria manis itu berlari pergi menuju suatu tempat dimana Tae Woo tidak bisa masuk, kaki yang awalnya akan bangkit memilih untuk tetap pada posisinya semula. Kali ini tangannya kembali mengirim sesuatu pada ponsel milik pacarnya lagi.
/Kau baik-baik saja?/
/Kau membuatku khawatir Jung Ki./
Tae Woo lagi-lagi dihadapkan dnegan kondisi yang sulit, pria itu sama sekali tidak bisa membantu Jung Ki. Jika Tae Woo melakukan satu gerakan fatal dengan bertanya pada Ji Min mengenai keadaan pria batista itu, semua akan menjadi semakin hancur.
Jung Ki membencinya, pria itu menjauhinya dan Tae Woo kehilangannya. Selain Jung Ki memberi syarat berpacaran mereka sedikit lebih mengerikan dan menantang mau, tapi Tae Woo menerima apapun yang akan mereka terima.
Sekalipun diasingkan saat tertangkap basah memiliki hubungan terlarang sesama jenis di lingkungan dan negaranya.
Tae Woo meremat kepalanya merasakan dunia semakin mendesaknya. "Apa yang harus ku lakukan jika seperti ini?" Tae Woo merasa sangat gusar.