Bab. 14. Wanita Bar
Di hari pertama masuk kerja, setelah izin libur selama empat hari karena kangen istri dan juga kekasih hati, Jimi merasakan remuk di seluruh bagian tubuhnya. Pegal dan tentu saja linu karena berdiri sepanjang hari.
Begitu selesai pukul empat sore, Jimi pun menyempatkan diri untuk merebahkan tubuhnya di ruang ganti para karyawan lelaki. Menggeliat ke sana-kemari sebelum duduk bersila lagi sambil menghela napas panjang.
Tanggung jawab sebagai seorang suami, nyatanya memang jauh lebih berat ketimbang semasa bujang, seperti tiga tahun yang lalu. Selain karena harus giat, seluruh uang yang didapatkannya beralih tangan setiap awal bulan. Hanya saja, karena Jimi semakin nakal, ia kerap mengurangi jatah untuk istrinya.
"Bang!" panggil Ali, yang baru saja masuk untuk mengganti baju. Jimi menoleh malas, lalu menatap Ali barang sekejap sambil menyahut. "Dah siap pulang?"
"Keknya, gue pulang sendiri aja, Li. Mau jalan dulu gue. Cuci mata!" Jimi pun berdecak, songong.
"Lagak! Emang mau ke mana sore-sore begini?" Ali yang baru selesai melepaskan celemeknya pun duduk di samping Jimi.
"Belum tau, sih. Tapi, kayaknya gue jalan-jalan di sekitaran sini aja. Ke mall, atau ... jalan-jalan sore di sepanjang jalan sambil pulang." Jimi beranjak bangun, berdiri sambil melepaskan celemeknya. "Gue mandi dululah. Biar tambah ganteng."
"Astaga, Bang ... Bang." Ali tertawa sambil menggeleng, begitu mendengar ke-PD-an Jimi yang masih saja sama seperti biasanya. Lantas, bersama teman-temannya yang baru masuk dan langsung berganti pakaian, Ali pulang ke kontrakan.
Dia, Ucok dan Baim lebih sering memilih pulang untuk beristirahat, ketimbang jalan-jalan yang sudah jelas membuang waktu, duit, juga tenaga. Dan itu seratus delapan puluh derajat, jauh beda dengan jalan pikiran Jimi.
Selepas mandi dan mempertampan diri, Jimi pun keluar dengan gayanya yang khas. Celana jeans pensil warna biru, dipadu-padankan dengan baju kaos warna hitam. Lantas ditambah sweter oranye bertudung saji.
Sepatu sport putih pun melengkapi penampilannya. Membuat Jimi terlihat jauh lebih keren, dibanding dengan memakai celemek putih dengan topi khusus asisten koki warna senada.
Rambutnya klimis oleh minyak rambut. Sementara aroma dari tubuhnya menguar kuat. Harum dan segar. Jimi pun keluar dari ruang ganti dengan tas di punggung. Lalu berjalan santai melewati gang yang langsung membawanya ke luar dari restoran.
Belum sempat kakinya melangkah jauh ke parkiran, ponsel yang sedari tadi teronggok dalam tas pun berdering nyaring. Buru-buru Syakir mengambilnya, satu panggilan masuk dari kekasihnya.
"Halo, Sayang. Pas banget kamu teleponnya." Jimi menyapa lebih dulu sambil melanjutkan langkahnya, memasuki area parkir. Lalu keluar, dan menembus trotoar jalan.
"Bukan aku kalau nggak tau jamnya kamu pulang." balas Hani, yang terdengar begitu senang.
"Beuh. Siapa dulu dong pacarnya? Ahaha!" Jimi tergelak seraya memperhatikan jalan. Dia memang ingin mencuci mata, sambil melihat-lihat suasana jalanan sore yang selalu ramai.
"Pacar Babang Jimi yang tampannya melebihi batas. Siwon aja kalah!" Hani balas tergelak. Malah terdengar jauh lebih renyah dan senang, karena berhasil menggoda lelaki yang sangat dicintainya.
Ah, tidak. Tapi, lebih tepatnya, Jimi adalah lelaki yang menjadi candu dalam hidupnya. Dia bahkan tak bisa melepaskan diri, dan lebih menerima hidup di bawah bayang-bayang rasa bersalah terhadap Mayang.
"Cakep. Pacarnya Abang lagi ngapain dong? Udah makan belum?"
"Udah, dong. Ini baru selesai makan. Capek soalnya." Hani tertawa tipis di ujung bicaranya.
"Capek? Emang abis ngapain?"
"Biasa, baru selesai beres-beresin baju dalam lemari. Udah penuh dan nggak beraturan tata letaknya."
"Oh ... emang nggak maen ke tempat Mayang? Entah lagi ngapain dia. Setelah meneleponku pagi-pagi sekali, sampai sekarang belum menelepon lagi."
"Hm. Sibuk beres-beres juga kali. Tau sendiri, rajinnya dia itu kelebihan batas. Lantai yang masih bersih aja terus dipel, kok." Di ujung bicaranya, Hani tertawa lagi. Namun, jelas kalau kali ini tawanya itu karena menertawakan Mayang.
"Bisa jadi. Tapi, sebaiknya aku telepon dia duluan, deh. Nggak apa-apa, 'kan?"
"Yah ... aku masih kangen tauk!"
"Dih. Baru juga kemarin cium-ciuman. Udah kangen aja kamu. Aku masih lama loh pulangnya." Jimi tertawa riang sambil terus berjalan. Langkah kakinya itu, kemudian membawa ia ke mall yang jaraknya tak begitu jauh dari restoran.
"Ya, bukan gitu. Aku masih kangen ngobrol aja gitu sama kamu. Jadi, telepon Mayang nanti aja, ya?" pintanya dengan sangat. Sangat memaksa.
"Oke, tuan putriku. Apa sih yang nggak buat kamu? Muach!"
***
Masuk ke mall, Jimi masih bicara dengan Hani dalam telepon. Namun, karena tiba-tiba Hani kebelet pipis, panggilan telepon pun sengaja Jimi putus. Dia lantas berjalan mengitari satu per satu tempat. Berharap ada yang membuatnya tergoda setelah beberapa lama tak membeli apa-apa.
Namun, seperti biasa, tak ada yang membuatnya tertarik selain duduk di kursi yang tersedia di samping pagar pembatas lantai dua. Jimi menumpangkan sebelah kaki di kakinya yang lain, lalu bersandar dengan nyaman sambil melihat layar ponsel.
Pertama-tama Jimi melihat nomor WhatsApp Mayang yang terakhir dilihatnya pun enam jam yang lalu. Lantas beralih melihat Facebook yang menjadi teman satu-satunya yang tak jarang menjadi tempat pelampiasan.
Di sana, kebanyakan akun yang berteman adalah kaum wanita. Ada ibu-ibu, gadis, bahkan tak sedikit para janda. Tentu saja, Facebook yang dipakainya itu bukan Facebook yang diketahui Hani mau pun Mayang. Melainkan Facebook khusus untuk bermain-main dan mencari teman maya.
Seperti Ana yang berhasil dikeroyok oleh Hani dan Mayang, kekasih barunya itu adalah hasil dari melanglang buana di dunia per Facebook-an. Sayangnya, setelah kejadian malam kemarin, setiap jejak tentang Ana lenyap dari pencariannya.
"Sayang sekali karena aku belum mencicipi setiap lekuk tubuhnya. Padahal dia itu begitu cantik dan seksi."
Jimi bergumam, seraya mengusap layarnya ke atas dan ke bawah tanpa henti. Sampai akhirnya, seorang wanita muda yang tiba-tiba duduk di sebelahnya menghentikan aktivitas kecil Jimi.
Dia menoleh. Wanita itu pun sama, bahkan sambil melempar senyum. "Numpang duduk di sini, ya. Nggak apa-apa, 'kan?" tanyanya.
Jimi menelan ludah dengan susah payah sambil mengangguk, begitu mendapati wanita di hadapannya itu berpakaian sangat seksi. Baju kaos putih ketat, dengan rok yang bahkan tak menutupi setengah dari pahanya.
"Makasih," lanjutnya, sambil menepuk paha Jimi. Membuat tubuh Jimi seketika mengerjap karena tiba-tiba terasa bagai kesetrum.
"Huum. Lagian aku sendiri, kok. Nggak lagi nunggu siapa-siapa gitu maksudnya." Jimi balas tersenyum kikuk.
"Oh. Sama, dong. Aku cuma mau cuci mata malahan. Sekalian nunggu malam."
"Oh ...." Jimi langsung menarik wajah, memalingkan tatapan agar tak terlihat jelalatan. Padahal, kalau saja itu Hani ataupun Mayang, sudah pasti Jimi langsung melahapnya sampai habis.
"Huum. Tapi, by the way ... aku Anita. Kamu?" tanyanya, tanpa merasa malu sedikit pun.
"Jimi!" jawabnya, sambil menebar senyum. Senang karena wanita di hadapannya itu mau mengenalkan diri lebih dulu.
"Hm, nama yang bagus. Di Jakarta kerja?"
"Ya. Asisten koki di Restoran Nusantara." Dengan PD-nya Jimi menjawab sambil memutar-mutar ponsel di tangan. Adalah hal yang langka saat seseorang tiba-tiba duduk di sebelah, tetapi kemudian berkomunikasi sampai berkenalan.
Dia harap, wanita itu meminta nomor telepon.
"Wow. Pekerjaan yang bagus juga itu. Bahkan, biasanya naik jabatan. Ya ... jadi koki misalnya."
Jimi tersenyum tipis sambil menunduk barang sekejap. "Ya, semoga saja begitu. Dulu, awalnya, aku juga cuma pelayan."
"Keren sumpah. Itu artinya kamu memang keren. Rajin gitu maksudnya. Ahaha." Bibir tipis merah merona milik Anita bergerak-gerak saat tertawa kecil. Membuat Jimi tergoda dibuatnya.
"Mungkin. Terus, kamu kerja di mana?" Jimi mulai kepo, setelah dikepoin.
"Bar. Aku kerja di bar. Dan udah lumayan lama juga. Habisnya, gaji lumayan, sih. Belum lagi kalau dapat uang tips."
"Bar?" Jimi langsung terkejut dibuatnya. Namun, melihat penampilan juga cara bicara, dia sudah mengira dari awal. Anita mengangguk. "Wow!"
"Kenapa? Kaget apa seneng?!" Anita pun menggodanya sambil tertawa. Tentu saja Syakir merasa senang setelah kehilangan Ana sebagai teman tidurnya.