Tidur lebih awal, bahkan sejak masih di dalam bus, membuat Jimi bangun lebih awal pula. Matanya itu mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya terbuka lebar sambil duduk menggeliat ke sisi kiri dan kanan. Meraih ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih.
Hal yang jarang terjadi, karena Jimi biasa bangun pukul enam, atau bahkan pukul tujuh saat tidur terlalu larut. Ingat akan chat dari istri juga kekasihnya yang belum dibaca, dia pun buru-buru membuka WhatsApp. Namun, belum sempat membalas pesan Mayang, istrinya itu sudah menelepon.
"Ya, Sayangku." Jimi menguap saat menyapa Mayang lebih dulu setelah mengangkat telepon. Lalu beranjak bangun dari kasur menuju kamar mandi. Dia merasa ingin buang air kecil.
"Sayang-sayang. Semalam ke mana? Kok, nggak angkat teleponku?" Suara Mayang terdengar menggelar dan cempreng dari seberang telepon. Macam kaleng Kong Guan ditabuh anak-anak pakai sepotong kayu.
"Semalam aku tidur di bus. Karena nggak ngeluarin ponsel dari tas, aku nggak sempat angka teleponmu, Sayang. Percaya nggak? Pasti nggak, deh!" Jimi pun menyiram air bekas buang air kecilnya itu dengan tiga gayung air.
"Emang nggak percaya. Abang kan setidaknya telepon aku sesaat setelah sampai." Mayang masih emosi.
"Begitu sampai boro-boro mau ngambil HP. Orang aku langsung tepar, kok. Makanya jam segini udah bangun."
"Oh, iya. Tumbenan."
"Makanya, kamu harus percaya sama aku!" Jimi tertawa kecil sambil kembali ke dalam kamar, sekaligus ruang kumpul.
"Iya, iya. Terus, sekarang Abang mau ngapain? Biasa kerja jam delapan, 'kan?"
"Maunya, sih tidur lagi. Tapi nggak ngantuk. Matanya seger banget."
"Kalau gitu, coba Abang salat. Abang udah sering ninggalin salat, 'kan?" Mayang tersenyum-senyum saat mengatakannya. Berharap, Jimi mau melakukannya.
Namun, meskipun Jimi mengangguk sambil menjawab iya, dia justru kembali tidur setelah telepon dari Mayang terputus. Padahal, benar kata Mayang, entah kapan terakhir kali dirinya salat. Sebab terlalu sibuk bekerja, juga menggombal ke mana-mana.
Bahkan, tak jarang Jimi menggoda teman wanita yang bekerja dengannya di restoran. Hanya saja, kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu berstatus istri orang. Membuat ia tak leluasa seperti mengganggu gadis atau janda.
***
Pukul tujuh, Jimi dan tiga temannya sudah bersiap untuk berangkat bekerja. Sebab hanya dia yang tak membawa motor, setiap pagi dia pun dibonceng salah satu dari temannya. Kadang bersama Ucok, tak jarang juga bersama Baim. Namun, yang lebih sering, Jimi berangkat bersama Ali seperti sekarang ini.
Melanjutkan obrolan semalam, Ali yang lebih tau banyak tentang Jimi tak pernah segan untuk membicarakan apa pun. Termasuk nasihat, barangkali Jimi mau berhenti berbuat dosa. Atau, menyuruhnya berhati-hati agar tak ketahuan istri.
Karma itu ada, katanya tempo dulu. Namun, tetap saja Jimi begitu. Jelalatan tiap kali melihat wanita cantik dan seksi. Sekarang pun, Ali mengatakan hal yang sama. Mengingatkan Jimi, bahwa apa yang terjadi kemarin, sudah pasti itu teguran dari Gusti Allah.
"Tau. Tapi, ke depannya, tentu saja gue harus lebih ekstrak hati-hati." Jimi yang duduk sambil melipat kedua tangannya di dada menimpali dengan santai. Seolah-olah, apa yang dilakukannya dengan hati-hati tak kan bertemu hari sial.
"Berhenti, bukan malah mau berhati-hati." Ali tertawa kesal, setelah mendengar jawaban Jimi. Temannya itu memang keras kepala, tetapi dia baru tau kalau sampai sekeras baru.
"Ya, susah dong, Li. Lu bayangin aja sendiri. Gue pan udah kawin. Sementara gue tinggal jauh dari bini. Pulang juga sebulan sekali. Berat batin gue. Otomatis, gue butuh pelampiasan untuk menambah semangat kerja."
"Ya, bawalah istrimu itu ke sini. Ngontrak bareng di mana gitu yang deket ke lokasi tempat kerja." Ali berkata benar. Namun, malah ditertawakan Jimi. "Kenapa malah tertawa? Gue serius, Bang."
"Bini gue nggak mau diajak ke sini, Bro. Gue udah bujuk dari setelah nikah. Tapi, dia bilang mau di kampung aja. Enak gitu."
"Ya, dikasih pengertian dong. Bilang, kalau Abang nggak bisa jauh dari bini."
Ali tertawa lepas. Mengingat dirinya yang masih bujangan, ada hal yang membuatnya merasa lucu sendiri. Tentang hasrat, mungkin dia pun akan merasakan hal sama jika sudah menikah nanti. Namun, tentu saja, dia tak mungkin melakukan apa yang dilakukan Jimi. Pikiran temannya itu terlalu sempit.
"Tau, dah. Tapi pokoknya, gue bakal tetap begitu selagi jauh dari bini. Cuma, mungkin, bakal gue kurangi dikit."
"Ya, ya, ya. Semoga saja, setelah berkurang dikit, nantinya hilang semua."
Jimi yang mendengarnya pun tertawa, tapi jauh di dasar hati, dia tak yakin untuk bisa berhenti. Sebab, hanya dengan bercinta, semangat bekerjanya terpenuhi. Tak loyo, atau malas-malasan. Sementara Mayang, istrinya itu tak bisa diajak bercinta lewat maya. Bahkan untuk sekadar difoto dalam keadaan telanjang pun tak pernah mau. Membuat Jimi terpaksa mengambil jalan lain.
Sampai di restoran yang menghidupinya selama bertahun-tahun, Jimi dan Ali langsung beraksi di dapur. Sementara Baim dan Ucok bergabung dengan pelayan restoran di depan. asisten koki, Ali dan Jimi pun siap untuk memberikan yang terbaik dalam bekerja.
Celemek, pisau, wajan dan lain sebagainya sudah menanti untuk mereka sentuh dan gunakan.
***
Salah dua pelayan di restoran Nusantara itu berhenti sejak sebulan lalu. Membuat mereka akhirnya kewalahan tiap kali pelayan membludak seperti hari ini. Sayangnya, belum ada kebijakan dari atasan saat mereka meminta tambahan pegawai sejak minggu pertama kekurangan pelayan.
Mereka pun kembali mengeluh pada manajer, bahwa pelanggan, semakin hari semakin banyak jumlahnya.
"Tenang. Besok akan ada tambahan pegawai, kok. Bahkan tiga sekaligus. Satu cewek, dua cowok. Siap-siap aja buat bimbing mereka dari nol," timpal manajernya yang sudah seperti teman, bahkan bapak sendiri.
Seru serempak pun terdengar riuh di jam istirahat mereka. Senang, karena mereka bisa bekerja normal seperti biasanya kembali. Tidak keteteran, atau terlalu kecapean. Sementara itu, dari dapur, Jimi dan yang lain hanya mendengarkan. Ikut senang, kalau memang akan ada tambahan pegawai.
Apalagi kalau pegawainya itu seorang cewek, tentu saja Jimi merasa jauh lebih senang. Dengan begitu, dia bisa melancarkan aksinya untuk mendekati wanita itu dengan dalih persahabatan.
"Yes! Kalau mangsanya sepekerjaan kan enak." Jimi bergumam sambil menikmati kopinya, di sela-sela waktu beristirahat. "Jadi nggak sabar nunggu besok. Semoga saja ceweknya cantik dan seksi. Ahaha."
Ali yang memperhatikannya sedari tadi menggeleng-gelengkan kepala. Merasa kasihan terhadap wanita yang sudah menjadi istri Jimi. Kasihan pula pada Jimi yang seolah keasyikan sendiri dalam melakukan perselingkuhan.
Namun, meski begitu, Ali tak kan segan untuk mengingatkan Jimi setiap waktu bahwa, apa yang dilakukannya itu adalah hal sia-sia. Bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali, selain memupuk dosa.
"Bang!" teriak Ali, setelah hanya memperhatikannya.
Jimi pun menoleh sambil menyeruput kopinya sampai habis. Lalu berjalan menghampiri Ali yang baru saja selesai mencuci perabot. "Apa?" tanyanya.
"Makan. Lapar gue."
"Ya, makanlah. Gue udah ngopi barusan. Belum laper!"