Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 30 - Saya Harap Kamu Gak Keberatan

Chapter 30 - Saya Harap Kamu Gak Keberatan

Bella mengerutkan keningnya, "Macem macem dalam konteks apa nih, Kapten?"

"Ya ... ya ... macem-macem diluar konteks pekerjaan misalkan." Tristan mendadak kikuk. Bukan tanpa alasan sebenarnya Ia memperingatkan Bella seperti itu.

"Oh gitu. Oke sip. Makasih ya."

Tristan berdecak pelan, "Kamu tuh bilang makasih terus dari dulu. Gak bosen apa?" tanyanya.

Bella tertawa, seraya memasukkan kembali notebook barang barang lainnya ke dalam tas. Tak lama berselang, seseorang yang tampaknya Cici mengetuk pintu. Ah bahkan mereka lupa soal makanan yang mereka pesan.

"Thanks, Ci," ujar Tristan.

"Makasih Mbak."

"Iya, sama sama."

Hening kemudian, keduanya asik mencicipi makanan dan minuman yang katanya signature dish dari kafe milik Tristan itu.

"Oh ya Bella, Saya jadi inget sesuatu."

"Hm? Kenapa?"

"Penelitian Kamu akan disebar ke 34 provinsi, Kamu sendiri bakal handle dimana?"

"Oh, Saya di area Jawa dan Sumatera. Sisanya akan dihandle sama delapan mahasiswa bimbingan Saya," jelasnya.

Tristan mengangguk, "Saya sebenernya mau ceritain soal kerjaan Saya, kasus yang lagi Saya bantu usut, dan Saya pikir itu ada sedikit kaitannya dengan bidang penelitian Kamu," ujarnya.

Bella menegakkan duduknya, mulai antusias, "Oh ya? The Retro?"

Tristan mengangguk, "Ya, apa bisa seseorang di klaim sebagai seorang psikopat dari jejak tingkah lakunya saja? Tanpa harus menanyai orangnya dan melakukan self-assesment?" tanyanya.

Bella tampak sedikit berpikir, "Sebenarnya bisa, tapi itu sebagai indikasi. Untuk memvalidasi kita butuh self-assesment terhadap orang itu."

"Oh begitu ya? Tapi seberapa kuat atau ... mendekatinya indikasi yang kita nilai ini dengan kondisi aslinya?"

"Bisa sangat kuat, bisa sangat lemah. Lagi lagi kan, banyak faktor yang mempengaruhi. Bisa aja yang kita lihat dan jadikan patokan untuk mengklaim orang ini seorang psikopat atau tidaknya itu hanya segelintir perilakunya, dan kita mendistorsikan sebagian yang lain," jelas Bella panjang lebar.

Tristan mengangguk, "Benar juga. Tapi gini, khusus The Retro ya, Saya menginvestigasi ulang, mengamati lebih dekat perilakunya yang terdokumentasi kepolisian ..."

"Apa lazim menurut Kamu ... kalau jenazah korban ditemukan dalam kondisi rapi, bersih, dan diberikan pakaian dan pose seolah dia sedang digunakan sebagai model pemotretan majalah konsep 'Retro'?"

Bella terdiam, berpikir keras kali ini.

"Gak ada darah, atau lebam sedikit pun. Lalu di TKP yang direinvestigasi, beberapa ditemukan benda berwarna merah, tapi bukan darah, tapi anehnya ... ada dua komponen penyusun darah disana."

"Kamu yakin kondisi jenazah korban pembunuhan itu ditemukan dalam kondisi yang sama seperti yang Kamu sebutkan tadi?" tanya Bella yang diangguki Tristan cepat.

"Apa yang membuat Kamu menduga dia psikopat?"

"Seni. Ada seni dari caranya membunuh orang, dan memperlakukan korbannya. Coba dipikirkan, seni aliran retro itu dia gunakan untuk apa?"

Kedua orang itu kini bertatapan intens, menyatukan pemikiran yang belum saling bertemu ujungnya.

"Kalau Saya ... memposisikan diri sebagai si pembunuh, si The Retro ini ... seni itu hanya digunakan untuk bersenang-senang. Saya gak akan merasa takut saat korban Saya mati, justru Saya senang karena mendandaninya seperti itu, dipertontonkan di area publik yang ramai dengan estetik."

Bella tersenyum miring, "Benar, salah satu ciri psikopat adalah lack of empathy. Perilaku kesenian The Retro ini gak masuk akal memang."

"Mungkin ya mungkin, dia punya indikasi psikopat itu," lanjut Bella.

Tristan menghela nafasnya, "Ya, setidaknya terindikasi. Saya coba cari validasi soal ini karena di seluruh laporan investigasi gak ada yang menyebutkan kalau si pelaku ini psikopat. Padahal ... dengan mengetahui karakter si pelaku, metode penangkapannya bisa jadi berbeda."

"Contohnya yang berbeda?"

"Mereka punya banyak trik, dan cara penangkapan yang terang-terangan mengancam gak akan efektif. Dari dulu, narasi penangkapan The Retro itu seperti kejar-kepung, hasilnya? Gak ketangkep. Harusnya lebih halus, karena semua kejahatan mereka itu sudah terencana dan terskenario dengan baik di kepala mereka."

"Kalau psikopatnya menggunakan pola yang sama seperti si The Retro ini, indikasinya kan dia itu terstruktur ya, jadi yang kita lakukan itu mengubah atau menggagalkan skenario dia."

"I see. Itu masuk akal. Tapi itu akan sulit, karena semua bekerja disana, strategi, pemikiran, ketangkasan, aksi."

"Bener. Pekerjaan ini bakal panjang buat Saya, bisa jadi setahun kedepan Saya akan terus sibuk," ujar Tristan, ekspresinya berubah lebih rileks.

Bella tersenyum, "Iya, pasti. Selalu jaga diri, Tristan. Kalau Kamu benar benar dealing with psycopath, itu gak main-main, bahaya."

Tristan balas tersenyum, "Ngomong-ngomong, kenapa malah jadi Saya yang buka diskusi lebih panjang dari Kamu ya?"

"Gak masalah, tapi Kamu itungannya udah bocorin kerjaan Kamu loh ini, gak masalah?" Bella kembali menyeruput minumannya.

"Boleh aja asal sama yang terpercaya."

"Kamu percaya sama Saya emang?"

"Percaya dong. Kalo gak percaya ngapain dilamar?"

Bella tersedak minumannya, buru-buru Tristan mencarikan tissue di meja belakangnya, memberikannya pada Bella yang masih terbatuk hebat. Jahatnya, pria itu malah tertawa diatas penderitaan Bella.

"Nih nih minum dulu air putih." Tristan membukakan satu botol yang Ia bawa di tasnya.

Beberapa menit kemudian, Bella akhirnya berhasil mengendalikan diri. Minuman manis itu menyisakan gatal dan serak bukan main di kerongkongannya.

Tristan masih saja tertawa. Lucu sekali Bella kalau salah tingkah, pikirnya.

Bella tiba-tiba berdiri, berkacak pinggang, megangkat tas nya, "Saya tuh udah lama mau gebukin Kamu tau!"

BUGH!

BUGH!

"Aduh!" seru Tristan begitu tas kulit berisik buku tebal dan tablet milik Bella membentur lengan atasnya.

"Gak usah ngomong gitu, Saya tuh gak biasa tau gak, aba aba kalau mau romantis!"

"Ya gak surprise dong kalau pake ancang-ancang, gimana sih?" ujar Tristan masih tertawa meledek.

Bella berdecak sebal, memalingkan wajahnya ke arah lain asal bukan ke arah Tristan. Kesal sekaligus senang diperlakukan begitu.

"Yaudah, sekarang biasain ya, soalnya Saya impulsif," ujar Tristan.

"Diem."

"Ih marah. Lucu kalo marah."

Bella mengerutkan dahinya, "Gak lucu."

"Kata Saya lucu ya berarti lucu?" Tristan mengangkat sebelah alisnya, membuat Bella kembali jengkel.

Tristan menyugar rambutnya ke belakang tanpa alasan, membuat Bella harus ambyar di tempat karena pesona pria itu bertambah dua kali lipat, "Kamu gak pernah ya sebelumnya?"

"A-apa?"

"Pacaran, deket sama laki-laki? Makanya kaget Saya ngomong gitu?" Tristan berubah agak serius.

"Iya. Belum. Kenapa emang?"

"Sama, Saya juga belum."

Bella tertawa meremehkan, "Modelan buaya kayak gini gak penah pacaran? Dusta banget. Ngaku deh, mantanmu berapa?"

"Demi Allah. Gak ada, tanya Mbak Gia, tanya si Luki temen Saya."

"Gak percaya."

Tristan menghela nafas, "Saya yakin Kamu percaya tapi. Saya gak pernah pacaran, atau sekedar dekat sama perempuan karena pekerjaan Saya."

Bella menoleh kembali, mulai penasaran dengan cerita pria didepannya ini selanjutnya.

"Saya dari dulu sibuk mengejar posisi sampai disini, dan setelah sampai pun, itu lebih berat."

Bella mengangguk paham, "Lalu?"

Tristan meneguk salivanya, menatap Bella penuh arti, "Saya harap Kamu gak keberatan dengan pekerjaan Saya, yang mungkin selalu bikin Kamu khawatir, ninggalin Kamu ..."

Ucapan Tristan terhenti, karena Bella menyentuh tangannya, "Saya gak keberatan. Kita semua memang punya risiko atas semua keputusan. Saya akan mendukung dan menguatkan Kamu atas itu."

Tristan tersenyum, ganti menumpukan satu tangannya yang lain diatas punggung tangan Bella, "Kok Kamu bisa romantis juga?"