Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 36 - Dua Orang

Chapter 36 - Dua Orang

Senin pagi, Tristan, Jevan dan Luki sudah bergegas menuju halaman parkir kepolisian setelah apel pagi. Penampilan sudah diubah, menjadi sebagaimana warga sipil karena penyamaran menjadi salah satu metode mereka dalam kegiatan mereka kali ini. Mereka bertiga bersama Damar akan mengobservasi kediaman dua mantan tersangka The Retro yang pernah ditahan dan diperiksa oleh kepolisian dua tahun lalu.

"Komplek Perumahan Nirvana Asri Blok. C1 No.27, Kebon Jeruk, Jakarta." Jevan kembali membacakan alamat yang menjadi tujuan perjalanan mereka kali ini. Tristan dibalik kemudi mengangguk paham, begitu juga dengan Luki di bangku belakang.

"Pak Damar sudah standby?" tanya Luki kali ini.

Tristan mengangguk, "Ya, katanya beliau sudah disana sejak tadi, menunggu Kita," jawab Tristan. Damar memang sudah menghubunginya menjelang apel pagi tadi. Jaksa Penuntut Umum yang satu itu memang terlihat sangat berambisi sekali. Entah untuk memulihkan reputasinya yang agak rusak akibat salah vonis atau memang penasaran akan kebenaran yang diyakininya.

Jalanan Jakarta bersahabat dengan mereka pagi itu. Mudah saja Tristan melenggang di jalan protokol, tanpa kemacetan. Hingga akhirnya setengah jam lebih kemudian mereka sampai di komplek perumahan yang dimaksud.

Luki mengobservasi perumahan itu dari balik jendela, "Ini perumahan elit ya?" tanyanya meminta pendapat.

Jevan dan Tristan di depan ikutan mengobservasi, "Iya. Ini perumahan elit," jawab Jevan.

Tristan terus mengikuti arahan dari navigator mobilnya, hingga dalam radius sekian puluh meter Ia mendapati sedan midnight blue milik Damar terparkir di dekat taman komplek. Tristan hafal benar plat nomor polisinya.

Tristan lantas memutuskan untuk turun, sementara Jevan dan Luki menunggu instruksi Tristan selanjutnya. Mereka sudah merencanakan untuk mengobservasi kediaman mantan tersangka pertama itu dengan berpencar di beberapa titik.

TOK TOK TOK!

Tristan mengetuk kaca jendela mobil Damar yang tertutup. Tampak di dalam si pemilik sedang menghubungi seseorang. Melihat Tristan, langsung saja Ia keluar.

"Gimana Dam? Itu kan rumahnya?" Tristan menunjuk satu rumah berlantai dua cat putih gading beberapa ratus meter di seberang mereka. Posisi berdiri mereka saat ini sebenarnya cukup jauh dari lokasi.

Damar menggeleng, "Bukan, Tan. Sebelahnya. Yang dekat jalan setapak kecil itu, itu rumah si mantan tersangka, namanya Vernaldi," terangnya.

Tristan memicingkan matanya, seolah tidak percaya dengan kontras tinggi kedua rumah itu. Tristan bahkan heran kenapa ada rumah kecil dan kusam seperti itu di kawasan perumahan elit.

"Baik. Kalau begitu. Gue dan dua tim Gue akan mendekat kesana, Lo mungkin akan mengobservasi dari agak jauh karena dia udah kenal Lo," titah Tristan. Cepat saja memberikan briefing.

Damar mengangguk paham, mengunci mobilnya dengan remote key, "Ya, Gue akan tanya sama beberapa masyarakat sini, atau mungkin ... pimpinan kompleknya," ujarnya.

Tristan dan Damar akhirnya berpencar, dengan Tristan berbelok kanan dan Damar ke kiri begitu mereka sampai di pertigaan.

"Halo Capt!" Luki menghubungi Tristan via wireless radio mereka.

"Ya, halo. Kalian sudah gerak?" tanya Tristan, seraya berjalan kasual di jalan paving komplek itu.

"Sudah Capt, Kami berpisah jalan. Saya ke arah utara, Jevan memutar ke timur. Sasaran kita rumah lantai dua bercat putih gading."

"Lokasinya diganti. Menjadi rumah kecil disampingnya, bukan lagi rumah mewah yang sebelumnya," ujar Tristan.

"Oh? Baik."

"Baik, observasi segala hal terkait orang bernama Vernaldi ini, atau apapun yang mengarah pada unsur-unsur The Retro," titahnya yang kembali diangguki Luki. Setelah ini Ia akan meneruskannya pada Jevan.

Tristan terus berjalan, senormal mungkin. Tampilannya yang hanya memakai celana bahan dan kaos putih itu sepertinya tidak akan mudah dicurigai kalau Ia adalah seorang detektif tentunya. Berjalan beberapa menit, Tristan akhirnya sampai di depan rumah berpagar kayu dan cat abu-abu itu.

Tristan tak semata-mata menghentikan langkahnya, Ia masih berjalan, dengan radius langkah tidak sampai setengah meter, mencegah seseorang menyadari bahwa Ia memang sedang mengamati rumah yang seperti tidak ditemukan kehidupan di dalamnya itu.

Mata melirik tajam ke kanan, Tristan mendapati pintu gerbang rumah itu tidak dikunci. Ingin melihat lebih jelas, detektif itu lantas menyeberang, mengkondisikan langkah dan cara berjalannya sedemikian rupa agar tak dicurigai berdiam di depan pagar rumah seseorang. Bahaya, bisa jadi Ia dikira ingin bertamu dan malah dipertemukan dengan si pemilik rumah sebelum waktunya.

Dari penglihatannya melalui celah minim gerbang, Tristan dapat melihat sekilas ke dalam. Rumah itu memang sudah usang, tapi sepertinya memang karena tak dirawat, bukan karena kualitas bangunannya. Pintu utama dan seluruh jendela depan rumah itu tertutup, Tristan tak melihat adanya pergerakan manusia disana.

"Letnan Luki! Letnan Jevan!" panggil Tristan melalui wireless radionya setelah menjauhkan diri beberapa meter dari rumah.

"Siap, Capt?!" Jevan merespon.

"Apa ada yang mengamati lokasi dari belakang dan samping? Saya tidak mendapati pergerakan orang dari depan," tanyanya.

"Saya, Capt, di belakang," jawab Luki kali ini.

"Bagaimana?"

"Tidak ada pergerakan orang, tapi disini ada tumpukan sampah rumah tangga kategori organik yang sepertinya baru dikeluarkan. Masih segar. Saya menyimpulkan masih ada orang di dalam," jelasnya panjang lebar.

Tristan mengangguk paham, "Apa bisa mendekat dan masuk? Apa ada pembatas gerbang disana?" tanyanya kemudian.

"Tidak ada, Capt. Saya akan coba masuk," lanjut Luki yang disetujui oleh Jevan sekaligus Tristan.

Tristan mengedarkan pandangannya ke sekitar, rupanya sepi. Tidak ada satu pun orang melintas disekitarnya, mungkin karena lokasi rumah itu yang berada di pojok kluster. Tristan lantas kembali mendekat ke rumah itu. Lebih berani, kali ini Ia lebih dekat pada gerbang yang terbuka.

"Berantakan. Banyak bunga yang tidak terurus ..." Tristan menyebutkan dalam hati segala hal yang ditangkap matanya di depan. Itu salah satu caranya mendapatkan sesuatu di TKP.

Memicingkan matanya lebih intens, Tristan beralih pada beranda rumah. Detik berikutnya, Ia agak mengerutkan dahinya, "Berandanya bersih? Sementara atap-atapnya kotor penuh debu dan sarang laba-laba," lanjutnya bermonolog dalam hati sementara otaknya sudah bekerja sebagai catatan automatis.

Tristan terus menggerakan intuisinya, menerka-nerka apa sebenarnya nuansa yang sedang Ia rasakan begitu melihat bagian depan rumah itu dari taman kecil hingga berandanya. Terlalu abstrak di kepala Tristan, sementara tidak ada lagi hal janggal yang bisa Ia observasi melalui celah sekian sentimeter di pintu pagar kayu.

Fokus Tristan akhirnya sedikit terganggu oleh suara di wireless radionya.

"Kapten Tristan!" rupanya itu Luki.

"Ya, bagaimana?"

"Saya menangkap pergerakan dua orang di dalam. Tapi sepertinya mereka tidak sadar juga jika Saya masuk," ujarnya.

Tristan mengantisipasi, "Apa Anda bisa melihat, itu Vernaldi atau bukan?" tanyanya.

"Sayangnya tidak, Capt. Tapi yang jelas, satu orang lagi masih dibawah umur. Sepertinya seumuran anak SMP."

"Pergerakan apa yang Anda tangkap disana?"

"Seorang yang lebih tua mengawasi seorang yang lebih muda yang sedang menggunakan komputernya. Mereka dalam posisi membelakangi Saya, jadi Saya tidak bisa melihat wajah mereka."