Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 32 - Cukup Jadi Highlight

Chapter 32 - Cukup Jadi Highlight

Tristan dan timnya itu sudah satu jam lebih memeriksa ulang TKP ke delapan yang mereka kunjungi siang itu. Ya, sudah satu jam dan mereka belum menemukan sesuatu yang signifikan.

Isyana sudah memeriksa kembali jam tangannya, bukan karena ini sudah mendekati habisnya jam kerja, tapi soal efisiensi. Isyana lantas menghampiri Tristan yang masih betah menelusuri detail sudut TKP.

"Tristan," panggilnya.

"Ya? Kenapa?"

"Sudah satu jam lebih dan memang sepertinya kita tidak menemukan apapun selain satu sidik jari itu kemarin. Kita semua sudah kelelahan, takutnya malah overworked dan bias," ujar Isyana memberikan pertimbangan.

Tristan tampak berpikir, lantas melirik jam tangannya juga. Berkacak pinggang, pria itu sekali lagi mengedarkan pandangannya ke sekitar TKP.

"Baik, kalau begitu kita cukupkan saja sampai disini dulu," ujarnya agak keras agar ketiga orang yang berposisi berjauhan itu dapat mendengar instruksinya.

Kelima orang itu lantas keluar dari TKP yang lagi lagi merupakan sebuah unit apartemen tak berpenghuni.

"Karena besok akhir pekan, kalian silakan beristirahat. Saya akan menganalisis hasil temuan kita sebelum dibawa ke meeting hari Senin," ujar Tristan begitu mereka sudah mengunci kembali TKP.

Isyana dan lainnya mengangguk paham, lantas operasi hari itu diakhiri, mereka kembali ke mobil, menuju markas kembali.

****

"Sore, Kapten Tristan, tadi siang ada tamu mencari Kapten saat tidak di kantor," lapor seorang petugas administrasi di depan begitu Tristan baru saja memasuki markas kepolisian.

"Oh ya? Siapa?"

"Pak Damar dari Kejaksaan Tinggi Jakarta, Kapten. Katanya beliau memang tidak sempat buat janji dengan Kapten dan berpesan agar Kapten menghubunginya," ujarnya.

Tristan tersenyum miring begitu mendengar nama Damar, rekan dekatnya itu disebutkan, "Dasar, yang perlu siapa, yang disuruh hubungi siapa. Yasudah, terimakasih informasinya," ujarnya seraya tersenyum ramah pada petugas itu.

Akhirnya tanpa menunggu waktu lama, Tristan meraih ponselnya di saku, menghubungi Damar selagi Ia berjalan menuju ruangannya.

Calling Damar Adhiyaksa - JPU ...

"Halo?" sapa Damar dari seberang sana.

"Halo Dam? Katanya ke kantor tadi? Ada apa?" tanya Tristan to the point.

"Iya Tan, Lo dari mana sih? Ada bahasan penting ini Gue," protesnya.

"Biasa lah, urusan lapangan. Ada apa?"

"Ini soal The Retro," jawab Damar, sukses membuat Tristan mengubah ekspresinya menjadi lebih serius.

"Gimana?"

"Lo reinvestigasi ulang 12 TKP kan?"

"Iya. Kenapa sih? To the point cepet!"

"Santai elah, marah-marah mulu Lo kayak ibu-ibu."

"Jadi gini, dua tahun lalu ... kan Gue sempet salah tangkap orang, merusak reputasi Gue sebagai jaksa ternama."

"Buru, atau Gue timpuk!"

"Iyee elah sabar. Ada yang janggal di salah satu TKP nya, dan Gue mau diskusiin itu sama Lo, ada kaitannya dengan salah tangkap yang Gue lakukan dua tahun lalu," ujar Damar akhirnya to the point.

"TKP mana? Korban ke delapan? Sovereign Soul Apartment Jakarta? Unit 27RQ?" tebak Tristan kemudian.

"Exactly! Kapan kita bisa ketemu?"

"Soon, but not this weekend. Gue ada acara."

"Gaya Lo ah. Yaudah Senin."

"Yaudah. Gue tunggu, di kantor Gue, jam sepuluh abis Gue meeting sama tim."

"Siap siap."

"Yaudah Gue tutup."

"Eh sabar!"

"Apa lagi?"

"Acara apaan weekend ini?"

"Kepo. Dah ya Gue tutup."

"Tungg ..."

Tristan memutus sambungan telepon dengan Damar sepihak begitu Ia sampai di ruangannya. Segera saja Kapten Detektif Polisi itu menuliskan sesuatu di whiteboard berlapis kaca di ruangannya. Selalu seperti ini, Tristan menuliskan apa yang Ia temukan setiap harinya untuk kemudian ditarik kesimpulan.

Selesai dengan beberapa coretan marker merah dan biru disana, Tristan menjauh beberapa langkah, membaca kembali apa yang Ia tulis dua minggu terakhir disana dalam bentuk diagram alir sederhana yang cukup kronologis.

Pria itu lantas melipat tangannya di depan dada, tampak berpikir.

"Benda berwarna merah ini ... sepertinya cukup jadi highlight perubahan di TKP."

****

Jam tujuh malam, Tristan mengajak Bella keluar setelah hampir satu minggu kedua orang itu tak saling berkomunikasi. Alasannya? Tentu karena kesibukan masing-masing. Tenang saja, mereka bukan pasangan yang harus mengabari setiap hari, hanya kalau sedang bucin saja bisa seperti itu.

"Ibumu suka apa? Biar Saya bawa sesuatu besok?" tanya Bella ditengah-tengah acara makan malam sederhana mereka di rumah makan padang pilihan Tristan. Baru saja mereka membahas soal rencana pertemuan dengan keluarga Tristan besok.

"Apa ya? Gak tau."

"Kamu ini gimana sih? Selera Ibu sendiri masa gak tau?" protes Bella mendapati cueknya jawaban Tristan.

Tristan tersenyum, "Mama tuh seleranya umum, jadi Saya gak bisa tau apa sebenernya favoritnya. Kalau dikasih apa-apa diterima aja sama beliau."

Bella manggut-manggut sembari terus makan.

"Tapi pemilih dong kalau soal calon menantu?" tanyanya kemudian.

"Kenapa? Kamu takut gak diterima keluarga Saya?" Tristan menebak, calon tunangannya itu nervous.

Bella akhirya mengangguk pelan, membuat Tristan turut menurunkan bahunya.

"Saya bahkan gak punya asal usul jelas."

Tristan lanjut tersenyum manis, "Makanya Kamu nikah sama Saya biar punya asal usul yang jelas, istrinya Kapten Tristan Emilio Fariq. Iya gak?" ujarnya menghibur.

Bella sontak memanas pipinya, "Bisa aja. Tapi serius loh, ada clue gak sih? Ibu Kamu bakal suka sama Saya apa enggak?"

"Oh Saya baru inget. Ibu Saya suka apa yang Saya sukai," ujarnya.

Bella mengerutkan dahinya bingung, "Apa yang Kamu sukai?"

Tristan mengangguk, "Iya. Artinya kalau Saya sukanya Kamu jadi istri Saya, Ibu Saya bakal suka."

Bella terdiam. Tristan menatapnya lekat-lekat.

"Ibu Saya bukan tipe orang tua interventif sama semua keputusan penting anaknya. Selama itu baik, pasti didukung. Kita berdua udah masuk standar usia menikah, pekerjaan layak, mental dewasa. Apalagi? Saya juga siap mendebat Ibu Saya kalau beliau gak setuju sampai beliau setuju," ujar Tristan serius.

Bella masih terdiam di tempatnya, menelan nasi yang tadi Ia kunyah saja agak sulit rasanya.

"Kenapa sih? Pasti mau ngatain Saya buaya lagi," goda Tristan.

Bella menggeleng, lantas meneguk air mineral di gelasnya, "Enggak. Tapi ..."

"Saya gak tau harus berterimakasih seperti apa lagi sama Kamu, Tristan."

"Saya yang harusnya terimakasih. Bisa-bisanya ada dosen muda, cantik, nerima ajakan cowok random malem malem via telepon buat tunangan. Kalau sama orang lain mungkin Saya udah ditolak mentah-mentah," ujarnya.

Bella tertawa pelan, "Masig aja dibahas."

"Abis lucu aja gitu."

"Apanya yang lucu?"

"Kamu, lucu."

"Saya udah 26 tahun, gak bisa dibilang lucu lagi," protes Bella.

Tristan mengerutkan dahinya, "Kamu 26? Kamu tau gak umur Saya berapa?"

"26 juga?"

"Bukan. Saya 28, berarti lebih tua dari Kamu. Panggil Saya 'Mas' berarti mulai sekarang," titahnya.

"Hah? Masa sih?"

"Iyaaa Bellaaa. Perlu Saya tunjukkan KTP Saya? Sekalian aja apa daftar ke KUA langsung?"