***
Dikamar yang berukuran 2 kali 2 meter. Dimana menjadi tempat yang paling nyaman bagi Arin. Sebuah kamar yang sempit dnegan penuh buku-buku dan beberapa gambar yang terpajang dikamarnya. Arin masih tertidur pulas walau jam alarmnya sudah berbunyi beberapa kali. Setelah liburan 2 hari 1 malam membuatnya kelelahan dan langsung tertidur pulas setelah sampai rumah. Bahkan bajunya pun masih sama yang ia pakai saat itu pulang.
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Terdengar suara lantang memanggil namanya beberapa kali tapi tak membuatnya tergugah dari tidurnya.
" ARIN ...!! BAGUN !! INI UDAH JAM BERAPA !!! AYO SARAPAN DULU !!" saut Ibunya dengan sekuat tenang yang sudah berada dimeja makan bersama dengan anek keduanya.
Dengan rambut yang berantakkan, Arin keluar dengan mata yang masih setengah sadar berjalan menuju meja makan.
" Ibu kapan sampai ?" tanya Arin sambil menggaruk kepalanya yang terasa gatal lalu duduk disamping adiknya yang menatapnya dengan tatapan menyindir.
" semalam .. Ibu panggil panggil tahu kamu nggak jawab .. gimana liburannya seru ?" tanyanya.
" emm .. seru dong, fila milik Bibinya Yena besar banget Bu .. pokoknya seru deh .." ucap Arin yang langsung sadar sebepuhnya karean semangat mengikat liburannya.
" Besok Ibu mau balik lagi kerumah sakit, tapi Ibu nggak ajak Ririn .. kamu kan sekolahnya juga udah nggak terlalu aktif jadi jaga adik mu yaa ..." ucap Ibu terdnegar khawatir dan juga bersalah.
" Ibu nggak usah khawatir ..." ucap Arin sambil mengelus kepalanya adiknya yang berumur 9 tahun itu yang terlihat sangat mirip dengannya tetapi tidak dengan sifatnya yang sangat berbeda seperti air dan api.
" jangan sentuh setuh kepalaku .." ucapnya sinis sambil menyinkirkan tangan Arin dari atas kepalanya.
" eyyy ..." tapi Arin tampak tidak perduli dengan adiknya yang sudah tidak menerima perlakukan manja darinya. Padahal Arin selalu menganggap adiknya masih seperti bayi.
Arin berada disebuah cafe ice cream setelah jalan-jalan didalam mall untuk membeli pakaian untuk adiknya. Setelah mendapatkan gaji dari hasil kerja paruh waktunya, akhirnya dia bisa membelikan baju untuk adiknya.
" enak nggak rasanya ?" tanya Arin.
" emm .. lumayan" ucapnya dengan acuh.
Arin tersenyum melihat adiknya yang mengingatkannya pada Brian. Selalu bersikap dingin tapi sebenarnya orang yang paling hangat dibandingkan dirinya. Begitu juga dengan adiknya.
Arin melihat kearah luar kaca cafe yang terlihat orang-orang yang berlalu lalang. Hingga tiba-tiba ia berpapasan dengan seseorang yang membuat kedua matanya membulat dan tak disangka-sangka dengan kebetulan ia bertatapan dengan Brian yang saat ini berdiri dihadapannya diluar cafe.
" ohh .. !!".
" kenapa ? kakak kenal ?" tanya Ririn yang binggung dengan ekpresi kaget kakanya yang menatap kearah seorang pria disampingnya.
" siapa ?" tanya Brian yang sudah duduk disamping adiknya beberapa saat yang lalu sambil melipat kedua tangannya.
" dia ririn adikku " ucap Arin.
" waoh .. kakak ini ganteng banget .." ucap Ririn yang sikapnya berubah menjadi centil sejak Brian duduk disampingnya.
" Ririn .. sutt ..." Arin mencoba mencegah adiknya yang bertindak genit didepan Brian.
" salam kenal .. Brian " ucap Brian sambil mengelus kepala Ririn dengan lembut.
" Kak Brian teman kakak ?" tanya Ririn.
" emm .. teman sekelas " jawab Brian sambil memakan ice krim milik Arin yang sentak terkejut dengan sikap Brian yang terlihat begitu santai.
" Kakak suka dengan kakakku ya ?" tanya Ririn yang kembali membuat Arin kembali terkejut untuk kedua kalinya dan panik saat melihat kearah Brian yang tampak serius menanggapi pertanyaan adikntya.
" kamu penasaran ?" tanya Brian dengan santai kembali memakan ice krim lagi.
" Hya Ririn ! kenapa ngomong kaya gitu ??" bisik Arin sambil menyengol kaku adiknya.
" emangnya kenapa ? terserah aku dong " ucap Ririn yang tidak memperdulikan kakaknya. " Kalau kakak ini nggak suka sama kakak tolong jangan buat dia salah paham dengan tingkah kakak " ucap Ririn dengan bersikap seperti orang dewasa menyindir Brian yang menggunkan sendok milik kakaknya.
Brian terdiam beberapa saat setelah mengetahui sikapnya yang ketahuan oleh adiknya Arin. Bahkan dirinya juga binggung kenapa ia selalu seperti itu seperti sebuah kebiasaan.
" apa kakak udah punya pacar ?" tanya Ririn.
" nggak "
" lalu ? apa pendapatmu tentang kakaku ?"
" emmm .. orang yang berhati hangat , ini pertama kali aku melihat orang seperti dia .. bukan deh .. kedua kalinya , karena Ibuku orang yang pertama" jawab Brian dengan tatapan penuh kehangatan.
Saat mendengarnya entak kenapa dirinya merasa sangat nyaman, seakan sinar matahari yang menghangatkan seluruh tubuhnya.
" Lulus !" ucap Ririn yang tersentuh dnegan jawaban Brian yang terdengar tulus.
" ini sedang ujian yaa " ledek Brian sambil kembali memakan ice cream milik Arin yang masih terdiam memikirkan perkataan Brian, tidak ia sangka dirinya dimata Brian adalah sosok orang yang hangat, untuk pertama kalinya Arin mendengar ucapan itu dan membuatnya bahagia, walau Brian tidak benar-benar menjawab pertanyaan tentang Brian menyukai dirinay atau tidak.
" APA !!!!???"
Mina tampak terkejut setelah mendengarkan cerita dari Yena. Begitu juga Arin yang etrkejut setelah dengar bahwa Elvina pindah kebalikpapan kemarin tanpa mengatakan apapun pada mereka.
Kelas terlihat kosong. Hingga suara Mina menggema diseluruh ruang kelas.
" pantesan aja abis dari liburan ekpresinya berubah kaya orang lagi kesel " ucap Mina yang baru menyadari tingkah Elvina yang sudah mencurigakan sejak perjalanan pulang dari Bandung.
" Tapi kenapa dia nggak bilang bilang sama kita .. kok dia begitu sihh .." kesal Mina bercampur rasa sedihnya.
" Hufff .. gue juga nggak paham sama apa yang dia pikirin, tiba-tiba cuman kirim pesan pas ditelepon udah nggak bisa dihubungi .. huff .." Yena yang juga merasa sedih sekaligus tidak percaya bahwa Elvina ppergi tanpa pamit pada dirinya.
" apa ada masalah sama keluarganya makanya dia nggak pernah cerita sama kita ?" tanya Mina, tapi kedua temannya hanya mengelengkan kepala dengan lemas seperti orang yang tak memiliki harapan.
Hanya saling menghembusakan nafas seakan saling menyauti satu sama lain meikirkan apa yang sebenarnya Elvina pikirkan hingga pergi dengan tiba-tiba padahal acara perpisahan hanya tinggal menghitung minggu saja.
***