"Ikut gue cepet..!!" nada perintah itu tak membuat Jen goyah, masih bertahan pada tempatnya—menikmati ekspresi kesal yang ketara dari wajah Agni. Saat ini mereka ada di salah satu bangku taman kampus fisipol, sesaat setelah pertemuan wajib anggota Aurora, Jen berinisiatif mengajak Agni ke sini untuk membahas mengenai tugas hunting pertama klub, yah walau untuk bisa membawa Agni kesini membutuhkan effort yang sangat-sangat menguras energi serta kesabarannya sebagai manusia biasa.
Agni dengan tenaga bar-barnya jelas bukan sesuatu yang Jen prediksi, perempuan itu benar-benar menolak keras keinginan Jen, meskipun Jen juga sudah tau kalau Agni tidak mungkin sesuka hati ikut dengannya.
"Jangan diem aja sialan..?! Gue tau ini akal-akalan lo.!!!"teriaknya marah, kesabaran Agni kian menipis, bisa-bisa dia darah tinggi kalau harus berhadapan dengan laki-laki ini setiap saat. Sejak tadi tak ada pembicaraan santai antara keduanya—ralat—sebenarnya Jen terlihat santai, dan Agni heboh dengan teriakan dan pekikan, seakan dia lupa caranya berbicata santai.
Melihat kemurkaan Agni yang sepertinya sudah diambang batas, Jen agak panik juga, "Wo..wo.." Jen melangkah mundur, mengangkat tangannya meminta Agni untuk tenang, berharap Agni sadar mereka masih ditempat umum.
"Kita bicara santai Ag, lo gak perlu teriak-teriak kayak itu." katanya berusaha menenangkan, agak malu juga karena mereka sempat menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Mungkin mereka berpikir bahwa kedua orang ini adalah 'pasangan' yang sedang ribut tidak tau karena apa.
Agni mengdengkus kasar, mengabaikan saran Jen tentu saja. Siapa memangnya laki-laki ini hingga bisa mengatur-atur dirinya seenak jidat.
"Gue yakin elo ada hubungannya sama pembagian kelompok ini, kenapa gue bisa 'kebetulan' bareng sama lo, terus Alka ma Hara..?!" tekannya pada kata kebetulan. Sejujurnya saat nama Alka dan Hara dipanggil sebagai satu kelompok Agni belum menaruh curiga apa-apa. Nemun ketika tau dirinya juga harus satu kelompok dengan laki-laki ini, jelas Agni mencium suatu konspirasi di balik pembuatan kelompok tadi.
"Why should i do that ? " Jen berujar gemas dengan senyum tipis, kalau saja Agni bukan orang yang mengenal Jen sejak lama, sudah tentu dia akan terbuai dan percaya dengan kata-kata lekaki dihadapannya ini, tapi ingatkan Agni bahwa dia sedang berhadapan dengan manusia licik dan manupulatif, hell Agni tak akan tertipu.
"Ya itu yang mau gue tanyakan ?! kenapa lo harus banget ngemanipulasi sistem pembagian kelompok, pengen banget lo sekelompok sama gue ?" sarkasnya tajam, Agni sebenarnya sudah ingin membanting Jen—kalau dia memang bisa.
Jen ikut menatap gadis mungil dihadapannya dengan santai, Ah ternyata Agni jauh lebih menggemaskan ketika sedang marah, kenapa dirinya tidak pernah sadar dulu, "Honestly, gue emang mau sekelompok sama lo, tapi gue siapa sih Ag sampe bisa ngemanipulasi hasil pembagian kelompok ?" Jen masih tidak menyerah, tetap melakukan pembelaan atas dirinya—oh tentu saja hal itu membuat Agni semakin murka.
"Lo tanya gue lo siapa ? Jen..do you think i'm really that stupid ? Gue belom amnesia untuk inget kalao Seth is your fucking cousin, bukan perkara sulit untuk lo minta hal ini dari sepupu lo—well, kecuali lo emang udah didepak dari keluarga Wilson, gue akan mempertimbangkan bahwa lo gak terlibat dalam konspirasi ini." ujaran itu nembuat Jen memaki sesaat dalam hati 'shit', kenapa dia bisa-bisanya lupa kalau Agni itu hapal silsilah keluarganya—bukan cuma keluarga inti, tapi sampai keluarga besarnya—buyut-buyutnya.
Jen menampilkan mimik muka bersalah, atau haruskah dijabarkan bahwa wajah bersalah itu jelas hanya kamuflase, "Oh..my bad.."
Agni yang melihat Jen seperti sudah tidak mampu lagi berilah, kembali berkaca pinggang, "Jadi gimana lo udah ngaku kalo itu ulah lo ?" lagi-lagi pertanyaan itu, desakan Agni membuat Jen berdecak. Percuma juga untuk berbohong sekarang, dia sudah kehilangan alibinya. Namun seakan tak mau secara gamblang mengakui perbuatan laknatnya Jen hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.
Agni tersenyum miring, dasar stupid lo pikir gue bisa dibodoh-bodohi, begitu katanya dalam hati. "Ikut gue..Kita minta atur ulang kelompok. Sekarang juga..!!"
lni sungguh diluar prediksi Jen, rasanya mereka sedang bertukar peran, kalau dulu Agni yang mati-matian memohon pada Jen untuk satu kelompok dengannya, saat ini lah Jen yang sampai harus mengotori nama sepupunya demi keinginannya.
"Gak akan." percuma, kata-kata Jen seolah hanya angin lalu untuk Agni, lihatlah betapa bersemangat dan kasarnya gadis itu menarik-narik lengan Jen untuk mengikutinya. Yah walau percuma juga sih, tenaga Jen jauh lebih besar, jadi tarikan itu tidak menimbulkan efek apapun, Jen hanya khawatir dengan kemeja flanel berwarna hitam abu yang kenakannya sekarang—tarikan Agni sangat mungkin untuk membuat bajunya robek.
Agni yang tau bahwa lawannya tidak sebanding, akhirnya menyerah—menyerah untuk menarik bukan berhenti memprotes.
"Kenapa lo gak mau banget sih sekelompok sama gue ? Lo tau gue lebih dari sekedar berbakat dalam bidang ini, dan lo gak mungkin gak setuju dengan opini gue ini." kata Jen narsis.
Oh.. ijinkan Agni untuk sekali saja melayangkan tinjunya kepada pria sombong nan angkuh dihadapannya ini, sungguh selain wajahnya yang tampan bak artis hollywood—tak ada lagi sisi positif yang bisa dilihat dan ditinjau dari Jen.
"Lo serius nanya gitu ke gue.?!"Agni mencemooh—membawa langkahnya mendeketi pria itu, menepuk-nepuk bahu Jen seolah sedang mengusir debu disana, Jen hanya memerhatikan, tak melepas pandangannya barang sedikitpun—bahkan sekuat tenaga matanya memaksa untuk tidak berkedip walau tau itu mustahil.
"Jen perlu gue terangin berapa kali sih ke elo kalo gue gak suka ada lo deket-deket gue, jangan buat gue makin benci sama lo. Paham.!!" bukannya mundur Jen justru balik menantang balik Agni. Setelah sering mendapat penolakan bahkan makian dari perempian ini, rasanya sekarang Jen sudah kebal, kalau Agni memintanya mundur makan jangan harap Jen menurutinya.
"Kenapa lo takut banget ada didekat gue, lo masih suka sama gue ? Gue pernah denger kalau First Love seorang perempuan itu sulit dilupakan, and i know that i am your first love Aghnia"
Cukup sudah, batas sabar Agni cukup sampai disini, mendengar nada mengejek dari Jen yang mambahas masalah hatinya cukup untuk membuat Agni murka—see Jen akan selalu menjadi Jen, forever jerk forever bastard and the worst part is apa yang Jen katakan itu benar, Jen adalah cinta pertamanya yang sialnya juga belum bergeser dari hatinya sampai detik ini. Tanpa sadar kini kepala Jen sudah menengok kesamping. Napas Agni memburu setelah berhasil melayangkan tamparan yang cukup kuat, lihatlah pipi Jen yang sudah merah dengan bekas tangan Agni mempel indah disana.
"Keterlaluan lo Jen, harusnya gue sadar lo akan forever brengsek, Go to the hell, i'm really fucking hate you."
Melihat Agni yang pergi menjauh, Jen hanya bisa mengehela napas kasar, rasa sakit hatinya melihat mata itu kembali berkaca-kaca karena mulut laknatnya yang out of control—beratus kali lebih menyakitkan ketimbang pipinya yang saat ini mulai membengkak.
"Brengsek !" makinya ntah pada siapa.
****
"Aku mau jujur, Jen yang atur supaya kita bisa satu kelompok--"
"...." melihat Alka yang belum menanggapi, Hara memutuskan melanjutkan—
"Kamu tau Seth ?" tanyanya dengan suara yang amat sangat lembut—berbeda 180° saat dirinya berbincang dengan Jen—di sisi lain Alka mengangguk samar, dan hal itu tak luput dari pengamatan kedua bola mata Hara yang sejak tadi menatap kearahnya.
"Seth itu sepupu Jen." dia tau bahwa harusnya hal ini tidak perlu dia sampaikan pada Alka, berkali dia meminta maaf dalam hati karena telah mengumbar kebusukan sang sahabat, tapi dia selalu merasa harus selalu jujur dengan gadis dihadapannya ini, apapun itu.
"Dia minta tolong Seth atur supaya dia bisa satu kelompok dengan Agni, dan juga Aku dan kamu. Jujur aku gak pernah minta Jen untuk berbuat kayak gitu, tapi disisi lain aku senang." lagi-lagi Hara mengulas senyum hangat, belum setengah jam mereka duduk bersama di mobil Hara yang terparkir di halaman fakultas Isipol—awalnya keduanya hanya ingin membahasa mengenai ukm foto di lobi fakultas, ntah apa yang terjadi hingga kedua makhluk yang baru beberasa waktu lalu itu menangis bersama bisa terjebak dalam keadaan canggung ini.
"Kenapa seneng ?" akhirnya mulut itu membuka suara yang sangat amat Hara rindukan, meskipun masih enggan menatap kearahnya namun hal ini sudah membuat hati Hara menghangat, seolah kemarau yang dialaminya telah berlalu.
"Kayaknya kamu tau jawabannya tanpa aku bilang Al, aku seneng karena aku bisa habisin waktu sama kamu." kejujuran Hara membuat Alka serba salah. Alka menggigit bagian pipi dalamnya berusaha mempertahannya mimik wajahnya yang sudah sangat ingin mengumbar senyum, 'ayolah Al, inget kamu lagi dalam proses move on' batinnya mengingatkan.
"Oh.." hanya itu yang bisa dilontarkankan sebagai jawaban. Hara tersenyum maklum, cukup sadar diri untuk tidak berharap lebih, misalnya Alka yang tiba-tiba juga berkata bahagia karena telah dipersatukan dengannya.
"Jadi kapan jadwal kamu kosong nanti kita cari waktu yang pas untuk pergi hunting.?tanya Hara antusias. Sebenarnya dia ingin Alka yang menentukan segalanya, namun melihat Alka hanya bergeming ditempatnya, Hara mengambil inisiatif—dan berharap Alka menanggapinya dengan baik.
"Aku mungkin bisa jumat, aku gak ada jadwal kuliah hari itu."ungkapan singkat itu membawa sudut bibir Hara terangkat, rasanya seperti jantungnya memompa jauh lebih keras—tak pernah berubah sejak dia mengenal gadis ini dihidupnya, hanya Alka yang mampu membuatnya hilang akal, hilang kewarasan, tapi juga satu-satunya selain keluarganya yang mampu membuatnya lengkap.
"Sure, kita bisa pergi Jumat pagi." Alka mengangguk sebagai jawaban, selanjutnya hening menyapa keterdiaman mereka, Hara yang bingung dan takut secara bersamaan, takut ketika berusaha membuka kebisuan justru akan menimbulkan lebih banyak rasa tidak suka Alka padanya. Disisi lain Alka bingung karena sungguh berada didekat Hara sangat tidak baik untuk kondisi jantungnya. Ingat Alka sedang berusaha move on—jadi dia tak ingin salah langkah atau prinsip yang sedang coba dia bangun bisa runtuh saat itu juga.
"Kalo gitu aku pamit pulang." saat Alka meraih daun pintu, tak tau dapat keberanian dari mana Hara menahan lengan Alka cepat. "Aku anter." Ujaran singkat itu yang pada akhirnga membuat Alka menoleh, menatap lekat iris kelam yang selalu menjadi favorit Alka, tak ada kata yang terucap untuk menjawab. Alka hanya menutup kembali pintu mobil dan memakai sabuk pengamannya tanpa diminta, dari hal itu Hara sadar setidaknya dia tidak benar-benar ditolak.