Lies
You never really told me and I never thought to ask you why
Begitu Jana memasuki kantor pagi ini, hal pertama yang dia sadari adalah aroma yang berbeda. Dia mencium aroma bunga-bungaan yang sangat kuat, bukan citrus seperti biasanya.
"Ada yang meninggal apa, kok kantor baunya kayak kuburan begini?" canda Jana pada Monique, resepsionis kantor.
"Oh, nggak, Bu. Sejam yang lalu ada yang nganter bunga banyak banget ke Mbak Caca." "Caca? Bukannya itu sekertaris kamu, Jan?" Tanya Obar, salah satu arsitek senior yang juga bekerja untuk Papi, yang kebetulan sampai kantor bersamaan dengannya.
Jana mengangguk, menanggapi pertanyaan itu.
"I guess someone has a very romantic boyfriend," ucap Obar sambil tersenyum dan berlalu menuju ruangannya.
Jana hanya tertawa mendengar ini, meskipun sedikit bingung karena setahunya Caca nggak punya pacar.
Ketika dia sampai di depan ruangannya dan melihat meja Caca penuh dengan karangan bunga berbagai jenis, dia mengomentari, "Nice flowers, Ca. smells good, too," sebelum melangkah masuk keruangannya.
Dan dia harus mundur lagi karena berpikir sudah masuk ke ruangan yang salah. Dia melirik plang nama pada pintunya yang bertuliskan nama dan jabatannya, dan menoleh ke Caca, bingung. "Kenapa ada banyak banget karangan bunga di ruangan saya?"
"Oh, iya, Bu. Tadi pagi ada yang nganter seabrek. Saya udah coba tata sebanyak-banyaknya di ruangan Ibu, tapi masih banyak sisa, makannya tumpah ke meja saya."
Jana semakin bingung. Seumur hidupnya, tidak pernah ada orang yang memberikan bunga padanya. Apa dari klien? Tapi jenis karangan bunga yang sekarang menghiasi ruangannya bukan jenis yang biasa dikirimkan seseorang ke rekan bisnis, lebih seperti bunga yang dikirimkan seseorang ke pacarnya. Dengan kesadaran ini, dia langsung waswas. "Bunganya dari siapa, Ca??"
Please don't say, Ben. Please don't say, Ben. Please don't say, Ben, jana memohon dalam hati.
"Dari Pak Ben, Bu."
AMPUUUNNN DORAEMOOONNN!!! Jana berteriak dalam hati. Dia seharusnya lebih spesifik lagi waktu memberikan perintah kepada Caca tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ben. Dia sekarang yakin bahwa Ben bukan saja kreatif, tapi nekat. Entah apa yang Papi akan pikir begitu beliau lihat kantornya yang rapi, bersih, dan steril ini kini sudah kelihatan seperti toko bunga, atau lebih parah lagi… rumah duka. Oh, my God, Papi!!! Beliau nggak boleh melihat semua ini. Karena beliau pasti akan mulai bertanya-tanya siapakah yang mengirim bunga sebanyak ini? Dan dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu tanpa harus berbohong lagi.
"Apa TO udah sampe kantor?" Tanya Jana setenang mungkin, mencoba menyembunyikan kepanikannya.
"Belum, Bu."
"Ca, tolong bantu saya ngebuang semua bunga ini." "Semuanya, Bu?" Tanya Caca ragu.
"Semuanya," tandas Jana yang tanpa menunggu reaksi Caca, langsung bergegas memasuki ruangannya dan mengambil dua karangan bunga pertama yang dilihatnya.
Setengah jam kemudian Jana baru bisa bernapas lagi setelah ruangannya dan meja Caca bersih dari rangkaian bunga. Dia meminta Caca menyemprotkan pewangi ruangan citrus sebanyak-banyaknya di sekitar kantor sampai aroma bunga-bungaan tidak tercium lagi. Puas telah menutupi jejaknya, dia duduk kembali di meja kerja dan menghembuskan napas lega. Caca berdiri di dekat tempat sampah di mana dia baru saja membuang semua rangkaian bunga milik Bu Jana. Ada sedikit kesedihan melihat semua bunga yang sudah dirangkai dengan rapi dan indah kini teronggok terabaikan. Dia tidak tahu masalah apa yang dimiliki Bu Jana dengan Pak Ben yang ditemuinya hamper dua minggu lalu di acara amal itu, tapi sepertinya masalahnya cukup serius sehingga membuat bosnya yang biasanya kalem dan sopan jadi kalang kabut dan bisa menyumpah dengan fasih.
Dari sedikit percakapan yang dia dengar malam itu, sepertinya mereka adalah mantan pacar, meskipun dia tidak tahu kapan persisnya hubungan mereka tejadi. Dan sepertinya hubungan mereka tidak berakhir dengan baik karena Bu Jana berusaha menghindari Pak Ben itu dengan mengatakan dia sudah punya suami. Sesuatu yang menurutnya sangat aneh untuk dikatakan, karena setahunya Bu Jana nggak punya suami. Jangankan suami, menurut gossip yang bereddar di kantor, Bu Jana bahkan nggak pernah punya pacar atau menunjukkan ketertarikan sama sekali untuk menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Dan ini bukan karena tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya. Banyak pegawai laki- laki dan juga beberapa klien yang naksir berat dengan Bu Jana. Dan kenapa tidak? Dengan kulit putih bersih, wajah berbentuk hati, dan mata seperti almond, Bu Jana mengingatkannya pada Sailor Moon.
Sebagai orang yang cukup romantis, Caca tidak mengerti tindakan Bu Jana yang menurutnya ekstrem ini. Gimana bisa seorang wanita waras menolak laki-laki seperti Pak Ben? Sudah ganteng, romantic gila, lagi, sampai ngirimin berpuluh-puluh rangkaian bunga. Oh, kalau saja ada yang rela mengirimkan satu rangkaian bunga untuknya, dia pasti senangnya tujuh turunan. Mungkin dia bisa menyimpan satu saja dari semua karangan bunga ini? Hitung-hitung dapat pahala karena menyelamatkan makhluk hidup di muka bumi ini dari kehancuran.
Dan dengan begitu, dia mulai mengaduk-aduk tempat sampah memilih karangan bunga yang masih utuh dan belum penyet. Beberapa OB yang melewatinya menatapnya bingung, tapi dia tidak menghiraukan mereka. Setelah beberapa menit akhirnya dia menemukan karangan bunga yang diinginkannya. Karangan bunga matahari dan peoni. Dia mendekatkan rangkaian itu ke hidungnya untuk mencium aromanya, dan pada saat itulah dia melihat kartu kecil berwarna putih yang terselip di tengah-tengah rangkaian bunga itu. Dia menarik kartu itu dan menatapnya ragu. Dia tahu dia tidak berhak membaca pesan yang dituliskan pada kartu tersebut. Bahwa kalau dia sampai membacanya, maka dia sudah melanggar privasi Bu Jana. Tapi keingintahuan menggerogotinya, detik selanjutnya dia sudah membaca isi kartu itu.
Dear J,
I love you because you're my sunflower. Love B.
Dia langsung meraba dadanya, terharu oleh kata-kata yang simple tapi sangat sweet itu. Dan dengan semangat dia langsung mengaduk-aduk seluruh tempat sampah untuk menarik semua kartu yang ditemukannya pada setiap karangan bunga dan membacanya. Setiap kartu semakin membuatnya meleleh dan laki-laki mana pun yang bisa membuat wanita merasa seperti ini hanya dengan kata-katanya berhak mendapatkan kesempatan.
***
"Bu."
Jana mengangkat tatapannya dari layar laptop dan melihat Caca berdiri ragu di ambang pintu. "Ada apa, Ca?"
Caca melangkah masuk ke ruangannya dan meletakkan setumpuk kertas kecil di atas mejanya sebelum melangkah keluar tanpa mengatakan apa-apa. Jana mengangkat alisnya, bingung melihat kelakuan misterius asistennya ini. Kemudian tatapannya jatuh pada tumpukan yang Caca tinggalkan, yang ternyata adalah kartu. Kartu yang dia lihat diselipkan pada setiap karangan bunga yang baru saja dibuangnya. Jana menatap tumpukan itu seakan itu bom. Dia baru saja akan mengangkat tumpukan itu dan membuangnya ke tempat sampah ketika matanya membaca tulisan pada kartu yang paling atas. Dia mengenali tulisan itu sebagai tulisan tangan kiri Ben yang mirip cakar ayam.
I Love you because you're the smartest person I know.
Dan tanpa Jana sadari, dia sudah membaca kartu selanjutnya yang ada di dalam genggamannya.
I love you because you went to Bon Jovi concert with me even though you hate loud noises. I love you because you always made my T-shirt smells like you.
I love you because you tolerated my singing.
I love you because you watched horror movies with me even though you were scared shitless.
I love you because you're the most beautiful woman I've ever seen. I love you because you make me a better person.
Jana tidak bisa berhenti hingga dia membaca kartu terakhir. Ada 24 kartu, total. Semuanya dengan pesan berbeda-beda. Semua kartu akan dimulain dengan "Dear J" dan diakhiri dengan "Love B" sebagaimana mereka memanggil satu sama lain waktu pacaran. Hanya Ben-lah yang memanggilnya "J" dan dia ada feeling bahwa hanya dirinyalah yang pernah memanggil Ben, "B". hah! Peduli setan dengan memori itu. Dia tidak akan terperangkap lagi oleh gombalan Ben. Tidak peduli bagaimana dia memanggilnya. Dan tanpa pikir panjang lagi Jana membuang tumpukan kartu itu ke dalam tempat sampah.
Beberapa hari kemudian Jana memasuki ruang kerjanya setelah menghadiri rapat bulanan kantor yang memakan waktu lebih lama dari biasanya. Kepalanya sudah nyut-nyutan karena tadi pagi belum sempat sarapan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.30. berarti dia memiliki tiga puluh menit sebelum Erga dan Raka sampai. Hari ini sekali lagi mereka harus menghabiskan sore mereka dengannya karena Mami ada acara, jadi tidak bisa menjaga mereka. Dia baru saja mengeluarkan dompetnya dari laci untuk pergi makan siang ketika teleponnya bordering. Hari ini Caca sedang sakit, jadi tugas menerima telepon dialihkan ke Monique, resepsionis kantor.
"Ibu Jana, ada Bapak Ben di ruang tunggu yang mau ketemu sama Ibu." Jana pikir dia sudah salah dengar dan bertanya, "Did you say Bapak Ben?" "Bener, Bu." Tegas Monique.
Jana tidak perlu bertanya dua kali untuk tahu bahwa Ben yang di maksud Monique adalah Ben Barata. Shit!!! What the hell is he doing here??!!! Dia pikir dia sudah aman karena setelah mengirimkan bunga padanya beberapa hari yang lalu, dia tidak mendengar kabar sama sekali darinya. Dia seharusnya tahu bahwa semua mimpi buruk ini belum berakhir. Jam dinding berganti ke 12.35 dan kepanikannya menyerangnya. Oh, my God. Dia harus mengusir Ben sekarang juga. Anak-anak akan tiba di kantor sebentar lagi dan mereka nggak boleh ketemu. Oh, andaikan Caca ada di sini. Dia tidak perlu pusing memikirkan cara mengusir Ben karena Caca yang tahu persis perasaannya terhadap Ben akan langsung menanganinya.
"Mon, tolong bilang ke Pak Ben kalau saya sibuk sekali dan nggak bisa menemui beliau hari ini."
Samar-samar Jana mendengar Monique mengulangi kata-katanya. Kemudian dia mendengar seseorang dengan suara berat membalas, tapi dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Detik selanjutnya dia mendengar suara Monique lagi.
"Bu Jana, Pak Ben bilang dia akan duduk di sini seharian sampe Ibu ada waktu untuk menemuinya." Yang ingin Jana lakukan adalah meminta Monique menelepon security untuk mengusir Ben dari kantornya, tapi dia tidak bisa melakukan itu tanpa menjadi bahan omongan kantor. Oh, this is stupid. Baiklah, kalau Ben memang segini ngototnya ingin menemuinya. Mungkin setelah ini, dia akan meninggalkannya sendiri. Dia hanya berharap bahwa Ben bisa pergi dengan damai, Karena dia betul-betul tidak mau menimbulkan keributan sampai bisa didengar oleh Papi, yang untungnya hari ini sedang ada di Yogya.
"Oke, saya akan keluar sebentar lagi," ucap Jana dan bergegas menuju ruang tunggu tamu.
***
Ben duduk tidak sabaran, menunggu Jana yang menurut resepsionis sedang dalam perjalanan menuju ruang tunggu. Resepsionis itu kini menatapnya dengan seksama, seakan dia specimen penelitian. Dia kelihatan tidak senang sama sekali melihatnya dan Ben tidak tahu kenapa. Seingatnya, mereka belum pernah bertemu sebelum sepuluh menit yang lalu, ketika dia menginformasikan ingin bertemu dengan Jana. Sekilas dia melarikan matanya pada jins gelap dan kemeja putih dengan lengan di lipat hingga ke siku yang dikenakannya. Apa si resepsionis ini tidak menyetujui penampilan kasualnya?
Well tough shit, woman. Dia suka jins dan kemeja putihnya dan tidak ada orang yang bisa mengubah opininya ini. Well, kecuali Jana mungkin. Dia akan secepat kilat menanggalkan semua pakaian ini kalau Jana sedikit saja menunjukkan dia tidak menyukai penampilannya. Memikirkan tentang Jana, membawa senyum simpul pada wajahnya. Akhirnya, dia bisa juga menembus benteng pertahanan Jana dan membuatnya menemuinya. Meskipun dengan sedikit… okay fine, banyak paksaan. Dia menyalahkan situasi ini sepenuhnya pada Jana.
Kalau saja Jana nggak terus menghindarinya, maka dia tidak perlu berkelakuan seperti ini. Dia merasakan kehadiran Jana sebelum melihatnya dan mendongak. Dia melihat wanita itu sedang bergegas ke arahnya dengan wajah serius. Dia segera berdiri dan menunggu hingga Jana berdiri di hadapannya sebelum menyapa. "Hey, Jan."
"What are you doing here?" desis Jana. "Nyariin kamu."
Jana menyedekapkan tangannya dan berkata, "Oke, kamu udah nemuin aku. Kamu bisa pergi sekarang."
Ben menatap Jana sambil mengerutkan dahi, sikap dingin Jana mulai membuatnya pissed- off.
"Did you get my flowers?" tanyanya. "Yes," jawab Jana pendek.
"Kamu suka?"
"Aku buang semuanya ke tempat sampah, Ben."
"You did whaaattt?" teriaknya membuat si resepsionis bangkit dari kursinya dan beberapa orang yang berseliweran di ruang tunggu menoleh.
"Ssssttt," ucap Jana dan melambaikan tangannya pada di resepsionis untuk kembali duduk sebelum menarik Ben keluar dari ruang tunggu menuju deretan lift.
Jana melepaskan genggamannya pada lengan Ben untuk menekan tombol turun lift dan Ben menyayangkan hilangnya sentuhan itu. Inilah pertama kalinya Jana menyentuhnya lagi dan sentuhannya pada kulit lengannya membuatnya merasa seperti baru disengat listrik. Apa Jana merasakannya juga? Sepertinya tidak, karena kini dia sedang menghadapinya dengan tatapan berapi-api. Tapi untuk beberapa menit dia tidak mengatakan apa-apa karena ada beberapa orang yang menunggu lift bersama mereka.
Salah satu orang itu menyapa Jana dan Jana membalas sapaan itu dengan ramah. Mereka mengobrol tentang sebuah proyek yang sedang mereka tangani. Dari percakapan mereka, Ben tahu Jana orang yang cukup dihormati di perusahaan ini dan sesuatu yang mirip rasa bangga menyelimutinya. Ketika pintu lift sebelah kanan terbuka, Jana mempersilahkan orang itu dan teman-temannya duluan. Dia menunggu hingga pintu lift tertutup kemudian sekali lagi menekan tombol turun, sebelum mendesis, "Aku nggak tahu cara apa lagi yang harus aku lakuin untuk bikin kamu sadar kalo aku nggak mau ketemu kamu."
Pipi Jana memerah dan napasnya pendek-pendek. God, she's beautiful when she's mad, pikir Ben. Tanpa pikir panjang dia sudah bertanya, "Apa kamu udah makan siang?"
Jana menatapnya seakan dia baru saja menanyakan apakah dia mau tidur dengannya sebelum berkata, "What?"
"Sekarang udah mau jam 13.00. tadi resepsionis kantor kamu bilang kalo kamu ada meeting dari tadi pagi," jelas Ben.
Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Ben melihat Jana melirik jam tangannya sambil mengetuk-ngetukkan sepatu haknya tidak sabar.
"Apa kamu terlambat menghadiri sesuatu?" tanyanya. "Ya," jawab Jana pendek.
Ben menunggu hingga Jana memberikan penjelasan lebih lanjut, tapi dia hanya berdiam diri sambil sekali lagi melirik jam tangannya. Giginya menggigit bibir bawahnya, kebiasaan kalau dia sedang senewen. Dan tatapan Ben langsung mengarah kepada bibir itu, mencoba sebisa mungkin mengusir keinginannya untuk menciumnya. Pikiran kotor Ben terpotong oleh terbukanya pintu lift sebelah kiri dengan bunyi "ding" yang cukup keras. Lift itu memamerkan kesesakan luar biasa, dan tanpa Ben sangka-sangka Jana memasukinya dengan paksa dan mau tidak mau dia harus mengikutinya kalau tidak mau kehilangan kesempatan berbicara dengannya. Dia harus mengucapkan maaf kepada beberapa orang yang kakinya tidak sengaja dia injak.
Selama lift dalam perjalanan turun dari lantai delapan menuju lobi, Ben melirik Jana, mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan wanita itu, tapi Jana menolak menatapnya. Mereka tidak berbicara lagi sampai mereka turun di lobi dan Jana menariknya ke belakang pilar besar, jauh dari lalu-lalang orang.
"Untuk terakhir kalinya aku minta sama kamu untuk berhenti ganggu aku. Kalo kamu pikir bisa muncul begitu aja, setelah delapan tahun tanpa kontak dan ngarepin aku akan nerima kamu ke dalam kehidupan aku hanya dengan kata-kata manis dan karangan bunga, kamu salah. Aku punya kehidupan sendiri, Ben, dan itu nggak termasuk kamu di dalamnya. So please, for the love of God, leave me the hell alone," ucap Jana.
"Aku nggak bisa," tolak Ben. "Kenapa nggak bisa?"
"Karena aku masih cinta sama kamu, oke??!! Dan aku yakin kamu masih ada deeling juga sama aku."
Ben tahu pengakuan blakblakannya ini mengagetkan Jana, tapi dia tidak akan menariknya kembali. Mungkin kalau Jana tahu persis perasaannya terhadapnya, dia tidak akan lari lagi. Namun harapannya ini hancur lebur ketika Jana hanya mengalihkan perhatiannya pada sebuah titik di samping kepalanya dan mengatakan, "Aku yakinkan ke kamu kalo aku udah nggak ada rasa apa-apa lagi sama kamu," dengan datar.
Oh hell, perempuan satu ini keras kepalanya nggak ketolongan!! Ben menatap Jana sambil memiringkan kepala, mencoba memutuskan langkah selanjutnya. Dia tahu Jana sedang berbohong padanya.
"Oke, aku akan tinggalin kamu sendiri." Ucap Ben.
Tatapan Jana langsung terfokus padanya. Dia memicingkan matanya curiga. "Don't screw with me, Ben."
Ben menyeringai, senang karena bisa membuat Jana terus berbicara dengannya, meskipun hanya untuk mengata-ngatainya. Ya, dia tahu bahwa ada yang salah dengan logika itu, tapi dia tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih lanjut. "Aku serius. Aku nggak akan ganggu kamu lagi setelah ini. Asalkan kamu bisa ulangi apa yang kamu baru omongin… sambil natap mata aku."
Mata Jana langsung terbelalak. Mulutnya terbuka dan menutup berkali-kali, tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Dan Ben tahu dia sudah menang.
"Just as I thought," ucap Ben, dan tanpa permisi lagi dia langsung menarik bahu Jana dan menciumnya.
Tanpa memberi Jana kesempatan untuk menyadari apa yang sedang terjadi, Ben sudah mendesakkan lidahnya ke dalam mulutnya. Dan hanya dengan satu gerakan lidahnya di dalam mulut Jana, Ben tahu dia sudah meninggal dan masuk surga. Rasa Jana masih sama, percampuran mint, citrus, dan Jana, dan holy hell, dia merindukan rasa itu. Dengan sedikit kasar dia mendorong punggung Jana ke pilar tanpa melepaskan bibirnya dan mengurung tubuh Jana dengan tubuhnya. Dia mensyukuri betapa kecilnya tubuh Jana sehingga bisa ditutupi seluruhnya oleh tubuhnya.
Jana mencoba menarik diri, tapi Ben justru mengeratkan pelukannya dab menciumnya lebih dalam lagi. Ketika Jana mengangkat tangannya ke dadanya untuk mendorongnya, tangan Ben bergerak ke rambut Jana yang dikonde dan menjambaknya. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Jana sadar apa yang mendominasi ciuman ini. Dia tahu bahwa dia kemungkinan sudah menyakiti Jana dengan keganasannya, tapi inilah satu-satunya cara yang dia tahu untuk membuat Jana sadar bahwa dia adalah miliknya. Terserah dia mau atau tidak. Dan ya, dia tahu pikirannya ini sangat primitive bak kaum barbar dan kalau saja kaum feminis mendengarnya, mereka akan meneriakkan sumpah serapah sebelum melemparkan panic, penggorengan, piring, mangkuk, pisau, dan peralatan dapur lainnya. Tapi dida tidak peduli. Jana adalah miliknya dan dia milik Jana. Mereka tidak akan komplet tanpa satu sama lain.