I light a candle in the garden of love
To blind the angels looking down from above
Satu jam kemudian Ben menemukan dirinya duduk di meja makan dirumah mami Jana, mengenakan pakaian, bahkan celana dalam yang bukan miliknya, sementara menunggu hingga pakaiannya kering. Menurut beliau pakaian ini milik adik Jana yang sedang kuliah di Amerika. Setelah memeluknya dengan antusias, alhasil membuat pakaian putih bersihnya kotor dan menyambutnya ke dalam lingkaran keluarga, mami Jana memaksanya mandi di rumahnya, bahkan bersedia mencuci pakaiannya segala.
Ketika dia keluar dari kamar mandi setengah jam lalu hanya mengenakan handuk, mami Jana mencegatnya sebelum dia berpakaian.
"Permisi, Tante," ucap Ben pelan, mencoba mengambil langkah ke kiri untuk melewati Mami Jana.
"Tante perlu bicara sama kamu."
Kata-kata ini membuatnya berhenti dan menatap mami Jana yang sedang menatapnya tajam.
"O-oke. Apa boleh saya pakai pakaian dulu?"
Mami Jana hanya memicingkan matanya dan Ben tidak tahu kenapa dia harus takut sama wanita yang bobot tubuhnya kemungkinan hanya setengah bobot tubuhnya dan tingginya bahkan tidak mencapai bahunya, tapi dia menemukan dirinya hanya menutup mulut dan menunggu.
"Tante nggak tahu apa yang terjadi delapan tahun lalu di antara kamu dan Jana. Sampai setengah jam yang lalu, Tante bahkan nggak tahu kalau ayahnya Erga dan Raka adalah orang Indonesia. Apalagi anaknya Oscar Barata."
Oh my God, apa yang wanita ini inginkan darinya? Apa mami Jana berencana untuk memerasnya setelah tahu siapa dirinya? Well, beliau nggak perlu repot-repot. Dia sudah bertekad memberikan support keuangan penuh kepada anak-anaknya sampai mereka bisa berdiri sendiri. Andaikan beliau tahu bahwa satu-satunya penghalang baginya untuk melakukannya adalah Jana, yang kelihatan lebih baik mati daripada menerima sepeser pun darinya. Tapi terlepas dari apa yang mami Jana inginkan darinya, dia tidak menyangka bahwa Jana bahkan tidak pernah menceritakan siapa dirinya kepada orangtuanya. Jana pasti betul-betul membencinya sampai-sampai memutuskan semua asosiasi dengan dirinya seperti itu, meskipun dengan risiko dinilai buruk oleh semua orang karena sudah hamil tanpa suami.
"Apa kamu tahu kalau dia hamil?"
Ben menarik napas dalam. Dia tahu salah satu kata saja, dia bisa kehilangan segalanya, oleh karena itu, dia harus memilih kata-katanya dengan sehati-hati mungkin. "Saya tahu kalo Jana hamil, tapi saya nggak pernah tahu kalo Jana mutusin untuk… keep the baby, well babies… daripada menggugurkannya."
"Kamu ini siapanya Jana waktu itu?" "Saya pacarnya."
Melihat mami Jana yang kelihatan seperti baru dilindas bulldozer mendengar berita ini, Ben buru-buru menambahkan, "Jana memang nggak pernah cerita ke Tante atau Oom tentang saya. Dia takut Tante dan Oom nggak akan setuju kalau dia punya pacar waktu kuliah." Salah satu tangan mami Jana mulai mengelus-elus dadanya. Dan Ben berpikir beliau akan menangis sebentar lagi. Dia betul-betul nggak tahu apa yang dia akan lakukan kalau itu sampai terjadi. Memeluk beliau sementara dia hanya mengenakan handuk bukanlah pilihan. Untungnya beliau kemudian bisa mengontrol emosinya dan bertanya, "Kapan kamu tahu keberadaan Raka dan Erga?"
Ben menelan ludah, memori hari itu masih membuat hatinya remuk. "Seminggu yang lalu," ucapnya pelan.
Mami Jana terpekik dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Matanya menatapnya tidak percaya. "Jadi kamu nggak pernah tahu kalo kamu punya anak, hingga minggu lalu?" bisiknya.
Ben mengangguk. "Waktu Jana ninggalin saya, dia bilang dia udah ngegugurin kandungannya. Dan nggak pernah terlintas di pikiran saya sama sekali bahwa dia udah bohong."
"Kenapa dia harus bohong sama kamu?"
Oh, God. Here we go. Lebih baik mami Jana tahu mengenai ini darinya, mungkin dengan begitu, beliau akan lebih toleran terhadapnya. Ben menarik napas dan berkata secepat mungkin, "Waktu Jana datang ketemu saya dan bilang dia hamil… saya.. saya minta… saya minta dia untuk ngegugurin kandungannya."
Dia menunggu teriakan sumpah serapah, tamparan, dan pukulan dari mami Jana, seperti yang Eva lakukan padanya. Dia terkejut ketika menemukan beliau hanya menatapnya dengan mulut ternganga.
"Saya tahu saya sudah salah besar, Tante. Bukan Cuma terhadap Jana, tapi juga terhadap Erga dan Raka. Saya ngerti kalau Tante marah dan mau memaki-maki, menampar, atau memukuli saya. Saya berhak mendapatkan itu. Tapi saya mohon, jangan jauhkan saya dari anak-anak saya. Kasih saya kesempatan untuk memperbaiki ini semua. Saya harus memperbaiki ini semua, Tante."
Mami Jana menatapnya dengan penuh pertimbangan dan berkata penuh ancaman, "Tante seharusnya memotong testikel kamu dan mengusir kamu dari rumah ini sekarang juga setelah apa yang sudah kamu lakukan terhadap Jana."
Ben meringis dan otomatis tangannya langsung menutupi testikelnya, takut mami Jana tiba- tiba mengeluarkan pisau dan betul-betul melaksanakan ancamannya.
"Tapi Jana juga salah karena menyembunyikan Raka dan Erga dari kamu," sambung beliau dengan nada lebih tenang.
Untuk beberapa menit Ben hanya menatap mami Jana tanpa berkedip, berpikir beliau sedang bercanda. Ketika dia sadar bahwa beliau serius, dia menghembuskan napas yang dia bahkan tidak sadar sudah dia tahan. Tanpa dia sadari, dia juga menginginkan pengampunan, bukan saja dari Jana, tapi juga dari orangtuanya.
"Oleh karena itu, Tante akan kasih kamu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kamu, begitu juga Jana. Tapi inget, Ben, kalau sampai kamu messed-up lagi, jangan harap kamu akan bisa ketemu cucu-cucu tante lagi."
Ben sebetulnya ingin nyeletuk bahwa "cucu-cucu Tante" itu adalah anak-anaknya, tapi dia cukup pintar untuk tidak mengatakannya. "Tante bisa pegang kata-kata saya." Ucapnya. Mami Jana melambaikan tangannya dan berkata, "Bah!!! Kata-kata itu Cuma angin kalau nggak diikuti sama tindakan yang benar. Pikirkan betul-betul tindakan kamu setelah ini, Ben."
Kali ini Ben hanya mengangguk. Seperti puas bahwa Ben memahami pesannya, mami Jana melangkah mendekat dan menepuk-nepuk pipinya. "Jadi kapan kamu akan menikahi Jana?" HAAAHHH???!! Ben mencoba memformulasikan jawaban yang tepat, tapi tidak bisa. Dia hanya berhasil megap-megap jawab pertanyaan ini, mami Jana hanya terkekeh dan berkata, "Tante akan bawa Erga dan Raka makan es krim. Kami akan kembali sejam lagi. Gunakan waktu ini untuk berbicara dengan Jana." Sebelum berlalu meninggalkannya sendiri.
Perlahan-lahan Ben menghirup the yang dibuatlam Jana untuknya sambil memikirkan kenyentrikan mami Jana. Jana sudah menelepon asistennya beberapa menit yang lalu untuk menginformasikan bahwa dia tidak akan kembali ke kantor siang ini. Dia tidak mendengar jelas alasan yang diberikan Jana dan sejujurnya, dia tidak peduli karena Jana sekarang sedang duduk di hadapannya, menghirup the dari cangkirnya. Ada sesuatu yang domestic tentang apa yang mereka sedang lakukan. Dia tidak keberatan melakukan ini setiap hari dengan Jana. Sejujurnya, dia mau melakukan apa saja asalkan dia melakukannya dengan Jana dan anak-anaknya.
Mungkin mami Jana benar. Mungkin dia harus betul-betul mempertimbangkan untuk menikahi Jana. Apa beliau betul-betul serius menginginkannya jadi menantunya? Bajingan seperti dirinya? Nggak peduli dia bajingan anak orang terkenal dan memiliki pekerjaan mapan untuk menghidupi Jana dan kedua anaknya dengan nyaman. Dan bagaimana dengan papi Jana? Menurut Jana, papinya jauh lebih strict daripada mami.
Dia yakin, di mata papi Jana, dia tetap seorang bajingan yang telah menghamili anak perempuannya dia luar nikah. Dan dia tidak bisa menyalahkannya, karena dia akan merasakan hal yang sama kalau sampai ada laki-laki yang macam-macam dengan anak perempuannya. Thank God Raka dan Erga terlahir sebagai laki-laki. Dia tidak bisa membayangkan karma apa yang akan dia dapatkan atas perlakuannya terhadap Jana kalau dia sampai punya anak perempuan.
Dia memang pulang ke Jakarta dengan rencana untuk merayu Jana, membuatnya jatuh cinta lagi kepadanya, yang dia yakin bisa dilakukannya dalam hitungan minggu, sebelum menikahinya. Tapi rencana ini buyar setelah kejadian minggu lalu, kini, semuanya jauh lebih rumit dengan kebaradaan Erga dan Raka. Dan dia bukannya menyalahkan kehadiran anak- anaknya, dia hanya menyatakan fakta. Karena kini dia tahu bahwa kalau dia mau menikahi Jana, dia bukan saja harus menyakinkan Jana, tapi juga anak-anaknya, bahwa dia laki-laki yang pantas dinikahi. Which is stupid. Mereka adalah anak-anaknya sendiri, damn it.
Tatapannya bertemu dengan Jana yang memberikan senyuman ragu dan untuk beberapa menit dia tidak bisa berkedip meskipun matanya mulai panas. Betapa berbedanya keadaan mereka kini dari tadi siang ketika mereka bertemu di restoran. Keraguan dan ketidakpastian yang menyelimuti mereka tadi siang masih ada, tapi, setidak-tidak nya kini ada sedikit kehangatan ketika Jana menatapnya. Ben tahu Jana tidak lagi bisa berlagak dia tidak terwujud. Dia ingat cara Jana menatapnya ketika Erga dan Raka berada di pelukannya. Ada kerinduan dan kesedihan pada tatapan itu. Seakan dia menginginkannya menjadi bagian keluarga kecil yang sudah dia bangun selama ini, tetapi takut membiarkannya masuk.
Jana-lah yang memalingkan wajahnya yang mulai memerah duluan untuk berjalan menuju salah satu rak. Dan dia menahan diri agar tidak mendesah karena merasa kehilangan. God, this is insane. Dia betul-betul tergila-gila pada wanita ini dan dia nggak tahu cara menghapuskan atau setidak-tidaknya mengurangi rasa itu supaya dia bisa berfungsi seperti layaknya laki-laki normal.
Jana berjinjit mencoba meraih sesuatu dari rak yang terlalu tinggi untuknya. "Jan, kamu lagi cari apa?" Tanya Ben.
"Biskuit. Ada di rak atas," jawab Jana tanpa menoleh, masih sibuk mengaduk-aduk rak sambil berjinjit. "Aduuuhhh… susah banget sih!!!
"Sini, aku bantu." Ben langsung bangun dan mendekati Jana. "Nggak, nggak usah. Aku bisa sendiri."
Ben tidak menghiraukan Jana dan berdiri di belakangnya sebelum mengulurkan tangannya ke dalam rak yang penuh dengan segala macam biscuit, cukup untuk ngasih makan orang sekampung.
"Biskuit mana yang kamu mau?"
Jana yang tersentak kaget mendengar suaranya, langsung mengambil langkah mundur, alhasil punggungnya menabrak perut Ben. Dan Ben justru mengambil kesempatan ini untuk melingkarkan lengannya pada pinggang Jana. "Easy there," ucapnya.
Dia mendengar Jana menarik napas sebelum tubuhnya menjadi kaku. Dan Ben tahu dia seharusnya melepaskannya, tapi dia mendapati lengannya menolak mendengarkan perintah otaknya. Dia justru mendapati dirinya menunduk untuk mencium samping kepala Jana.
Aroma sampo citrus menyerangnya, membuatnya menarik napas dalam-dalam. Gooooddd!!! Aroma itu.
Samar-samar dia mendengar Jana memanggil namanya, tapi dia menghiraukannya. Dia justru mengeratkan pelukannya pada pinggang Jana dan menariknya ke atas agar lebih bisa menguburkan hidungnya pada rambut Jana. Ben mendengar Jana mendesahkan, "Oh my God." Sebelum tubuhnya lunglai di dalam pelukannya.
Dia mengambil kesempatan ini untuk menarik rambut Jana ke samping dan menguburkan hidungnya pada kulit leher yang mengundang itu. Ketika dia merasakan tangan Jana naik untuk melingkarkannya pada lehernya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai menaburi leher Jana dengan ciuman-ciuman kecil. Dari cara tubuh Jana meleleh ketika dia melakukannya, dia tahu bahwa seperti dulu, area paling sensitive tubuhnya masih terletak pada lehernya.
"Ben, we need to stop," desah Jana dengan nada yang sama sekali nggak meyakinkan.
Hell no!!! jana sudah gila kalau menyangka akan bisa menghentikannya dengan kata-kata. "Not gonna happen, baby," jawab Ben dan menarik leher sweater tipis yang dikenakan Jana ke samping berikut dengan tali branya, sebelum melarikan lidahnya dari telinga hingga bahu.
Jana menggeram dan berkata dengan sedikit terputus-putus, "Ben stop. Kita… oh help me Jesus.. kita perlu… perlu bicara."
Ben tersenyum karena kata-kata Jana jelas-jelas nggak sinkron dengan reaksi tubuhnya. Meskipun Jana mengatakan tidak, tapi dia tidak mencoba melepaskan diri dari pelukan Ben dan suhu tubuhnya sudah naik beberapa derajat. "Nanti," bisik Ben dan melanjutkan aktivitas lidahnya.
Ya Tuhan, yang dia inginkan sekarang adalah untuk tenggelam dalam Jana dan nggak keluar- keluar lagi. Tapi Ben tahu dia sudah mendorong Jana terlalu jauh ketika tubuh Jana menjadi kaku di pelukannya dan dia menggeramkan, "Ben, aku serius!"
Meskipun enggan, tapi tahu dia harus menghormati permintaan Jana, perlahan-lahan Ben melonggarkan pelukannya, seperti akan melepaskannya. Ketika tubuh Jana sudah relaks lagi, dia membisikkan, "Oke, let me just do this."
Dan dengan hanya peringatan itu, yang sama sekali bukan peringatan kalau dipikir-pikir lagi, Ben mencupang leher Jana. Ya, dia tahu ini nggak cool sama sekali, tapi dia tidak bisa mengusir keinginan untuk menandai Jana sebagai miliknya. Yep, dia betul-betul sudah kehilangan akal sehatnya dan tidak ada satu hal pun yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya.
Jana tidak percaya dia baru saja membiarkan Ben menciumi dan melarikan lidahnya pada lehernya seakan-akan dia punya hak melakukan itu di dapur rumah Mami. DAPUR RUMAH MAMI!!! Dia lebih tidak percaya lagi Ben mencupang lehernya. Oh my God, this man is a pig. "You're a pig," teriaknya sambil mendorong Ben dengan kasar dan mengambil beberapa langkah menjauhinya.
Ben hanya menyeringai seakan dia baru memenangi sesuatu. Kemungkinan kontes gorilla yang mampu memukuli dadanya paling lama. Goooddd!!! Bagaimana dia pernah tertarik pada laki-laki seperti ini? Jana mengangkat tangannya dan menyentuh tempat Ben baru saja mencupangnya beberapa menit yang lalu. Kulitnya terasa agak perih, membuatnya meringis.
Tiba-tiba Ben sudah berdiri di hadapannya. "Did I hurt you?" tanyanya sambil mengangkat kedua tangan, siap memeriksa lehernya.
Sebagai jawaban, sekali lagi Jana mengambil beberapa langkah menjauhinya. Dia betul-betul tidak mau disentuh oleh Ben lagi, tidak setelah apa yang baru saja dilakukannya. Laiki-laki itu selalu bisa menggoreng akal sehatnya dengan sentuhannya. Dan dia memerlukan seluruh akal sehatnya kalau mau berbicara serius dengannya.
Ben menyipitkan mata. Jelas-jelas tidak suka bahwa Jana blak-blakan menolak perhatiannya. "Berhenti menghindar! Aku Cuma mau pastiin leher kamu nggak pa-pa," geram Ben.
"Well, what do you think, Ben? Kamu baru aja nyupang aku!" Jana balik menggeram. Kali ini Ben nyengir dan berkata, "Seingat aku, kamu suka kalo aku cupang, babe."
Menolak mengomentari cara Ben memanggilnya, dia berkata, "Kamu nih mau lihat Raka dan Erga nggak sih setelah hari ini?"
"Of course."
"Kalo gitu berhenti bikin aku marah dan duduk di meja makan. Kita perlu bicara," geram Jana sambil menunjuk ke arah meja makan.
Ben memberikan tatapan kesal padanya. Tatapan itu mirip sekali dengan tatapan yang Erga dan Raka selalu berikan kalau mereka tidak menyukai perintahnya. Jana memberikan satu ekspresi yang paling ditakuti oleh Erga dan Raka, yaitu merapatkan bibirnya hingga menjadi garis lurus dan melontarkan tatapan setajam pisau. Tanpa dia sangka-sangka, ekspresi ini juga berfungsi pada Ben yang pada detik itu melangkah menuju meja makan dan mendudukkan dirinya pada kursi yang tadi dia tempati.
Jana memilih tetap berdiri dan memulai pidatonya. Dia tidak tahu apakah dia sudah mengambil keputusan yang benar dengan melakukan ini. Dia hanya bisa berdoa dan berharap semuanya akan baik-baik saja setelah ini.
"Sebelumnya, aku minta maaf karena udah pergi ninggalin kamu begitu aja di restoran tadi siang. Aku terlalu terbawa emosi sampe nggak… nggak bisa menghargai usaha kamu yang udah nyoba jujur tentang situasi kamu."
Jana melirik Ben yang kelihatan mendengarkan kata-katanya dengan saksama sebelum melanjutkan. "Aku tebak kamu di Jakarta hanya untuk liburan?"
"Not exactly." "Sambil kerja, then?"
Ben sekali lagi menggeleng, membuat Jana bingung. "Oke, jadi kamu di Jakarta ngapain?" "Aku pulang ke Jakarta specifically untuk nyari kamu. Untuk minta maaf tentang situasi delapan tahun lalu, dengan harapan kamu mau maafin aku. Dan mungkin… kita bisa coba kenal satu sama lain lagi. Tapi itu sebelum aku tahu tentang Erga dan Raka."
Kata-kata Ben membuat Jana berhenti mondar-mandir untuk menatapnya. Holy cow, is he really serious? Apa dia betul-betul datang ke Jakarta hanya untuknya? No way. Dia tidak tahu apa yang harus dia rasakan mendengar kata-kata ini. Akhirnya dia hanya berdiam diri. "Erga dan Raka are great kids, Jan. happy kids. Dan aku bisa lihat mereka betul-betul adore kamu dan kamu adore mereka. Aku selalu tahu kamu akan jadi Ibu yang baik, dan aku benar. Thank you… karena udah ngebesarin dan ngejagain mereka dengan baik. Aku minta maaf karena nggak bisa bantu selama ini. Aku ingin sekali mengubah itu dengan membagi tanggung jawab dengan kamu, kalo kamu setuju. Semua keputusan ada di tangan kamu." Kata-kata Ben barusan membuatnya tiba-tiba pusing dan tidak bisa menarik cukup oksigen ke dalam paru-parunya. Whoa, dia perlu duduk.
***
Setengah detik saja dia terlambat, Ben yakin kepala Jana sudah akan membentur lantai. Dan dia akan memiliki masalah menjelaskan kepada Mami Jana kenapa ada benjol di kepala anaknya, atau lebih parah lagi, kenapa anaknya dibawa pergi naik ambulans. Dia langsung menggendong Jana dan mendudukannya di atas sofa.
"Breathe, Jan, breathe… there you go… oke, sekali lagi. Tarik napas dalam. Lepasin. Good girl."
Ketika dia melihat mata Jana sudah kembali focus, dia berlari ke meja makan untuk mengambil teh manis yang tadi di tinggalkan Jana. Buru-buru dia meminta Jana meminumnya sampai habis. Setelah wajah Jana yang tadinya pucat sudah kembali berwarna lagi, dia bertanya, "Better?"
Jana mengangguk. "Kamu mau the lagi? Aku bisa bikini kalo kamu mau."
Jana menggeleng dan Ben mengambil cangkir kosong dari genggaman Jana dan meletakannya di atas meja.
"Sori, aku nggak bermaksud…"
"Kepan kamu harus kembali ke Amerika?" Jana memotong kata-katanya.
"Aku baru perpanjang cutiku sampe bulan depan. Aku bilang ke bosku ada urusan keluarga yang harus diselesaikan."
"Jadi kamu Cuma ada waktu sebulan?" Tanya Jana dengan nada skeptic.
Ben mencoba untuk tidak meringis ketika mengatakan, "Iya." Melihat keraguan di mata Jana membuat Ben panic, dan tanpa berpikir dia sudah berkata, "Aku berharap bisa menggunakan waktu ini untuk mengenal Erga dan Raka lebih jauh. Dan kamu bisa menggunakan waktu ini untuk mutusin apa kamu mau aku permanen di dalam kehidupan mereka."
"Dan kalo aku mutusin satu bulan nggak cukup bagi kamu untuk mengenal Erga dan Raka, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan resign dari kerjaanku di Chicago dan balik ke Indonesia."
Ben kaget sendiri dengan kata-katanya itu. Apa dia betul-betul akan melakukan ini? Ini sama sekali nggak ada di dalam agendanya ketika dia merencanakan pembicaraannya dengan Jana seminggu belakangan ini.
"You would do that?" Tanya Jana, sama terkejutnya dengan Ben.
Ben tidak ada waktu untuk berpikir. Kalau dia memang serius mau menjadi ayah bagi Erga dan Raka dan berkesempatan memperbaiki hubungannya dengan Jana, dia harus melakukan ini sekarang. Dia sudah mementingkan diri sendiri delapan tahun lalu, dia tidak akan melakukannya lagi. Dengan satu tarik napas, Ben melakukan sesuatu yang dia tidak pernah lakukan sebelumnya: terjun ke dalam air yang dia tidak tahu kedalamannya.
"Absolutely. Erga dan Raka bukan Cuma anak-anak kamu, mereka juga anak-anakku. Kerjaan akan selalu bisa dicari di Jakarta, tapi aku nggak mau lagi ketinggalan kesempatan menjadi bagian kehidupan Erga dan Raka.