Don't be shy
The night has made you drowsy and the pills have got you high
Beberapa hari setelah dia menolak Ben adalah hari-hari paling membingungkan sepanjang hidup Jana. Ben mengikuti keinginannya untuk menjadi teman dengan bersikap sopan dan ramah, tapi tetap menjaga jarak. Berdasarkan keinginan anak-anak, mereka tidak lagi menghabiskan waktu di rumah Mami atau orangtua Ben sepulang sekolah, lebih memilih langsung pulang ke rumah. Awalnya dia memang merasa agak aneh menemukan Ben di rumahnya setiap kali dia pulang kerja, tapi lambat-laun, dia mulai terbiasa dengan itu.
Untuk memudahkan hidupnya, Ben selalu memastikan anak-anak sudah mengerjakan pe-er sebelum memperbolehkan mereka main, sudah mandi sebelum dia pulang kerja, dan memasakkan makan malam untuk mereka, jadi Jana tidak perlu memusingkan tentang itu. Ben masih mencium pipinya setiap kali bertemu, tapi selalu sekilas saja. Seakan dia melakukannya hanya karena kebiasaan, bukan karena mau. Dia masih menatapnya kalau berbicara dengannya, tapi tatapannya itu kini terlihat kosong, tanpa emosi. Sejujurnya Ben terlihat agak cuek terhadapnya. Dan Jana menemukan dirinya merindukan Ben yang dulu. Ben yang bisa membuat celana dalamnya kebakaran hanya dengan tatapannya, yang akan menciumnya seakan dia bisa mati kalau tidak melakukannya, yang tidak malu-malu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dia tahu tidak seharusnya dia merasa seperti ini, terutama setelah mengatakan kepada Ben bahwa inilah yang dia inginkan. Dia seharusnya merasa lega karena Ben tidak lagi mengganggunya, dengan begitu mereka sama-sama bisa move-on dengan kehidupan mereka.
Tapi bagaimana dia bisa move-on kalau harus bertemu Ben setiap hari? Ben-lah alasan dia belum menikah sampai sekarang. Kenapa selama delapan tahun ini dia menggunakan anak- anaknya sebagai alasan untuk nggak nge-date. Tanpa dia sadari, dia masih mengharapkan Ben. Jadi kenapa ketika Ben mengatakan mencintainya, dia justru lari? Oh God, I'm a mess. Mungkin ada baiknya dia pergi menemui psikolog untuk menangani masalah emosinya yang berantakan ini. Atau, untuk penyelesaian cepat dan tanpa biaya, dia bia menyingkirkan penyebab utama kebingungannya ini. Dia harus menyingkirkan Ben dari hidupnya.
***
Ben tidak tahu kesalahan apa yang dia sudah buat terhadap Jana karena selama beberapa hari ini wanita itu memperlakukannya seperti dia mengidap virus mematikan yang bisa menyebar hanya dengan berbagi udara dengannya. Dia sudah memenuhi keinginannya untuk menjadi teman. Dia sudah mengontrol sikap dank at-katnya kalau ada di sekelilingnya, agar tidak dituduh mencoba menggodanya. Apa lagi yang dia inginkan darinya?
Hari pertama dia melihat Jana menghindar, dia pikir Jana hanya lelah saja, makanya dia langsung naik ke kamar setelah makan malam dan tidak turun-turun lagi sampai waktunya Ben pulang. Ketika dia mencoba mencium pipinya, Jana mengelak dengan mengatakan dia sudah pakai pelembab wajah. Keesokkan harinya ketika Ben baru saja akan menjemput anak-anak dari sekolah, dia menerima SMS dari Jana yang mengatakan hari ini Jana yang akan menjemput anak-anak dan membawa mereka ke kantor bersamanya. Hari selanjutnya Jana berkata Ben sebaiknya membawa Erga dan Raka ke rumah Mama dengan alasan anak- anak kangen dengan Mama dan Jana akan menjemput mereka dari sana. Satu hari sesudah itu Jana meminta Ben mengantarkan anak-anak ke rumah Maminya.
Ketika sekali lagi Jana tidak menyetujui rencananya untuk membawa anak-anak langsung ke rumah, dia harus angkat bicara.
"Jan, anak-anak lebih seneng kalo bisa langsung pulang ke rumah. Mereka terlalu capek kalo harus travel ke sana kemari. Lagi pula kalo Mami kamu atau Mama aku mau ketemu anak- anak, mereka bisa ketemu akhir minggu," Ucap Ben pada ponselnya.
"They'll be fine, Ben. Kan Travel-nya nggak setiap hari. Lagi pula ada bagusnya Erga dan Raka hangout sama mbah-mbah mereka juga daripada sama kamu melulu."
Tunggu sebentar, apa Jana sudah menuduhnya memonopoli anak-anak? That's bullshit. Apa dia salah kalau ingin menghabiskan waktu dengan anak-anaknya? Lagi pula dia harus mengejar tujuh tahun waktu hangout yang sudah dirampas darinya. Ben harus mengambil beberapa napas dalam sebelum berkata-kata lagi. Dia menolak bertengkar dengan Jana. "Tapi kamu capek kalo harus jemput mereka setelah pulang kerja," ucapnya setenang mungkin.
"Oh, aku sih nggak pa-pa. seperti yang aku bilang, kan nggak setiap hari."
Nada santai Jana membuat Ben kesal. Dia tahu ada alasan lain kenapa Jana bersikap seperti ini, dan dia mau tahu itu apa.
"Jana, what's going on?" "Nothing is going on."
Jana menjawab pertanyaan ini terlalu cepat, membuat Ben semakin curiga. "Jangan bohong sama aku. Udah beberapa hari ini kamu mengelak dari aku dan jangan kamu pikir aku nggak tahu itu."
Ben mendengar Jana terkesiap sebelum berkata dengan nada melengking, "Siapa bilang aku mengelak?"
"Jadi kenapa kamu nggak pernah mau aku cium lagi?" "Kan aku udah bilang, aku udah pake pelembab…"
"Don't you dare lie to me!!!" geram Ben memotong penjelasan Jana. "Aku nggak bohong!" teriak Jana.
Untuk beberapa menit saluran telepon sunyi. Masing-masing mencoba mengontrol kemarahan mereka. Ketika Ben yakin dia bisa berbicara lagi tanpa meninggikan suara, dia berkata, "Jan, bantu aku untuk ngertiin apa yang kamu mau dari aku. Kamu bilang mau kita jadi teman dan meskipun aku nggak setuju sama sekali dengan ini, aku turutin kemauan kamu. Aku udah memperlakukan kamu sebagai teman."
"Teman nggak perlu cium pipi setiap kali ketemu, Ben."
That's it!!! Perempuan satu ini sudah membuatnya marah. Tidakkah dia tahu betapa tersiksanya dia hanya bisa mencium pipinya padahal yang di inginkannya adalah untuk pelan-pelan menanggalkan setiap pakaian yang dikenakannya sebelum menggodanya dengan sentuhan tangan, bibir, dan lidahnya sampai seluruh tubuhnya menggeletar dan dia memanggil-manggil namanya. Dan baru setelah dia tahu tubuh Jana bisa menerimanya tanpa menyakitinya, dia akan menenggelamkan dirinya di sana dan tidak akan keluar-keluar lagi.
Dia ingin menjadi orang yang bisa melihat wajah Jana ketika dia tertidur nyenyak kapan pun dia mau karena mereka tidur di satu tempat tidur. Dia ingin melakukan hal-hal kecil yang tidak di anggap penting oleh orang-orang, tapi penting baginya, seperti menggosok gigi sama-sama, mandi sama-sama, bahkan memasangkan ritsleting bajunya. Intinya dia ingin melakukan semua hal dengan Jana. Kalau mengejarnya habis-habisan dan membiarkannya sendiri tidak berfungsi, hanya ada satu cara lagi yang dia tahu bisa melelehkan wanita.
"Apa kamu lebih memilih aku dorong kamu ke dinding dan mencium kamu sampe kamu nggak inget nama kamu sendiri?" Tanya Ben.
Dia mendengar Jana menarik napas terkejut dan melanjutkan, "Atau lebih baik lagi, aku akan mulai dari paha sebelum pelan-pelan naik ke atas. Aku akan menghabiskan berjam-jam pada payudara kamu, dan aku pastikan kamu nggak akan protes."
"Stop it," Jana menggeram. Atau setidak tidaknya itulah yang Ben pikir Jana coba lakukan karena yang dia dengar hanyalah desahan.
"Aku akan menyembah tubuh kamu, Jana, terutama di bagian…"
"Beeennn!!!" meskipun Ben merasa turn-on setengah mati membayangkan dirinya melakukan apa yang baru saja dikatakannya kepada Jana, tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya dari tertawa mendengar nada histeris Jana.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, Jana. All you have to do ask. Kamu tahu kan aku akan selalu available untuk kamu."
"Well, aku mau kamu available untuk nganter Erga dan Raka ke rumah Mami hari ini. Can you do that?"
"Yes."
"Good," tandas Jana dan memutuskan sambungan telepon.
Dan Ben tidak bisa berhenti tertawa terbahak-bahak. Menertawakan kehidupannya yang merana karena cinta ini. Love sucks. Being in love is even suckier. Jadi kenapa orang-orang tetap melakukannya? Karena kita semua suckers.
***
Beberapa hari kemudian Ben memasuki rumah Jana dan mendapati Erga dan Raka sudah menunggunya untuk di antar ke sekolah, tapi lain dari biasanya, wajah mereka sedikit sendu. Lalu dia sadar Jana tidak ada bersama mereka, "Bunda ke mana?" tanyanya.
"Ada di atas, Oom. Lagi sakit," jawab Erga muram.
Ben langsung mengerutkan dahi. Bukan karena dia tidak menyangka Jana bisa sakit dengan jadwalnya yang padat, dia justru heran bagaimana Jana masih sehat-sehat saja tapi juga karena Jana tidak menyinggung ini sama sekali waktu dia mengirimkan SMS tadi malam, mengonfirmasikan jadwal jemputannya. Kemarin, atas permintaan Jana, dia membawa Erga dan Raka ke rumah mami Jana dan meninggalkan mereka di sana untuk menghabiskan waktu dengan mbah mereka. Oleh karena itu dia tidak melihat Jana semenjak kemarin pagi. Dia pikir setelah percakapan mereka tentang menjadi teman, Jana akan merasa cukup nyaman untuk meminta bantuannya kalau memerlukannya. Sepertinya dia marah besar akan aksi menggoda Ben beberapa hari yang lalu, karena meneleponnya untuk mengatakan dia sakit saja, dia tidak sudi.
"Apa Bunda udah ke dokter?"
Erga dan Raka menggeleng. "Bunda bilang Cuma kecapekan dan perlu istirahat aja," jelas Erga, tapi dari wajah khawatirnya Ben tahu sakit Jana lebih serius dari itu.
Ben ragu sesaat. Apa dia sempat lari ke atas untuk ngecek keadaan Jana? Melihat waktu yang sudah sangat mepet akhirnya dia memutuskan untuk mengantar Erga dan Raka dulu kesekolah sebelum kembali untuk melakukan itu. Buru-buru dia menggiring Erga dan Raka ke mobil, lalu mengunci pintu di belakangnya.
***
Kurang dari dua jam kemudian Ben kembali berada di rumah Jana. Rumah yang biasanya terang-benderang dan berudara segar kelihatan gelap dan pengap karena tirai dan jendela masih belum dibuka. Ben buru-buru membukanya, lalu menuju lantai atas, ke kamar Jana. Pintu kamar dalam keadaan setengah tertutup. Sejenak dia mempertimbangkan apakah dia perlu mengetuk pintu atau langsung masuk saja. Akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk dan menunggu sesaat. Ketika tidak mendengar gerakan sama sekali dari dalam kamar, dia mendorong pintu dan memasukinya.
Langkahnya terhenti ketika dia menemukan Jana terbaring menyampingnya, setengah ditutupi selimut. Dan meskipun dia kelihatan tertidur karena matanya tertutup, tapi Ben bisa melihat ada kerutan pada keningnya, seakan dia sedang berpikir wajahnya yang biasanya cerah kelihatan pucat dan ada beberapa helai rambut yang lembap oleh keringat menempel pada pelipisnya. Dia kelihatan begitu kecil dan lemah terbaring sakit seperti ini. His Jana, yang selalu bersinar terang bagai matahari, kininterlihat redup tidak bermaya. Ben melarikan matanya pada beberapa botol, obat di atas nakas di samping tempat tidur dan gelas dan botol minuman yang sudah kosong. Seperti dugaannya, Jana ternyata lebih sakit daripada yang dia mau akui.
"Jan?" panggil Ben.
Tidak ada jawaban. Perlahan-lahan Ben melangkah mendekati tempat tidur dan menyentuh bahu Jana. Dia bisa merasakan suhu tubuh Jana yang panas, bahkan melalui selimut. Jana jelas-jelas demam cukup tinggi. Jesus, kenapa dia tidak meneleponnya dan memintanya membawanya ke dokter??!!!!
"Jan," panggilnya lagi.
Kali ini Jana bereaksi dengan perlahan-lahan membuka matanya yang sedikit tidak focus karena panas tubuhnya terlalu tinggi. Ketika dia mengenali Ben, matanya langsung melebar. "Ben?"
"Hey, abby," ucap Ben "What are you doing here?" Tanya Jana "Erga bilang kamu sakit," jelasnya.
Jana menggeram. "You shouldn't be here. Aku nggak mau kamu ngeliat aku kayak begini. You should go, Ben."
Yeah like that ever gonna happen. Perempuan ini sudah gila kalau berpikir dia akan meninggalkannya. Wanita yang dicintainya dengan sepenuh hatinya meskipun dia sepertinya tidak merasakan hal yang sama. Tergeletak sakit seperti ini tanpa melakukan apa- apa.
"Not happening, Babe. Aku nggak akan ke mana-mana sampe aku pastiin kamu baik-baik aja, terserah kamu mau atau nggak. Now, just shut it, okay?"
Jana menutup matanya dan mengerang. Otomatis Ben langsung duduk di atas tempat tidur untuk mengusap punggungnya. "Bilang ke aku sakitnya di mana."
Jana menelan ludah berkali-kali sebelum menjawab, "Perut sakit. Kepala sakit. Badan panas."
"Mau ke dokter?"
Jana membuka mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu, sebelum menutupnya kembali, seakan usaha untuk berkata-kata telah menguras semua energinya. Akhirnya dia hanya menggerakkan kepalanya sedikit sebagai tanda "Tidak".
Ben betul-betul ingin mendesak agar Jana pergi ke dokter, tapi dia nggak tega berdebat dengannya sekarang. Dia melirik botol-botol obat di atas nakas. Ada Aspirin, obat untuk sakit maag, dan obat penurun demam. Oke, biarlah kalau Jana memang ingin berobat sendiri sekarang ini , tapi kalau dalam beberapa jam lagi dia masih tidak membaik, Ben akan membawanya ke rumah sakit. Untuk sementara waktu yang dia perlu lakukan adalah mengambil makanan untuk Jana supaya dia bisa minum obatnya.
"I'll be right back, okay?"
Reaksi Jana hanyalah satu anggukan kecil.
***
Sejam kemudian Ben kembali ke kamar Jana dengan bubur, segelas teh hangat manis, dan segelas air putih. Dia membutuhkan beberapa menit untuk mencari segala sesuatu di dapur Jana dan harus menelepon Eva untuk menanyakan bagaimana caranya membuat bubur.
Tapi dasar Eva yang seumur hidupnya nggak pernah bisa masak kecuali bikin oatmeal cookies, justru meminta pembantunya untuk memberikan instruksi itu kepadanya. Dia hanya berharap bubur ini sesuai dengan perut Jana.
Dia meletakkan nampan di atas nakas sebelum membangunkan Jana. "Jan, kamu bisa bangun? Kamu harus makan supaya bisa minum obat. Ini aku udah bikinin bubur," ucap Ben pelan.
Jana membuka matanya dan langsung meringis ketika mencoba menarik tubuhnya untuk duduk. Melihat ini Ben langsung membantunya dengan menumpukkan bantal di belakangnya. Dia lalu duduk di samping Jana dan sedikit-sedikit mulai menyuapi bubur untuknya. Dia tidak pernah menyangka bisa menjadi seorang suster, tapi dia mendapati dirinya semakin menyukai peran ini setiap kali Jana membuka mulut untuk menerima suapannya. Sesuatu yang mirip dengan rasa bangga karena Jana bisa mempercayainya untuk mengurusnya meremas hatinya. Setelah enam suapan, Jana menggelengkan kepala.
Dia meminta Jana meminum teh hangat manis sampai habis sebelum memberinya obat demam.
"Thank you," ucap Jana.
Ben tersenyum dan berkata, "Anytime, babe."
Setelah memastikan Jana terbaring dengan nyaman, Ben meninggalkannya untuk membawa peralatan makan kotor kembali ke dapur. Melihat keadaan dapur yang sudah mirip kapal pecah setelah aksi memasaknya, dia memutuskan membersihkannya.
***
Puas dengan dapur yang sudah mengilat kembali Ben melirik jam tangannya. Melihat bahwa hampir dua jam sudah berlalu, dia memutuskan untuk memeriksa Jana lagi. Dia menemukan Jana sedang duduk di atas tempat tidur dengan kaki menyentuh lantai, seakan sedang mencoba bangun.
"Jan, kamu mau ke mana?"
"Aku perlu ke toilet. Tapi nggak bisa bangun," ucapnya. "Mau aku bantu?"
Wajah Jana sedikit memerah sebelum dia mengangguk. Ben menunduk dan meminta Jana melingkarkan lengannya pada lehernya sebelum menggendongnya. Jana sedikit mengerang sebelum mengistirahatkan kepalanya pada bahu Ben. Dia bisa merasakan suhu tubuh Jana mulai menurun.
Ben mendudukkan Jana di atas toilet sebelum bertanya, "Kamu bisa sendiri apa perlu bantuan aku?"
"Bisa sendiri." Ucap Jana.
"Oke. Aku tunggu di luar. Call me when you're done, I'll take you back to bed."
Ben lalu meninggalkan Jana sendiri. Melihat tempat tidur Jana yang berantakan, dia langsung bergegas membereskannya. Dia baru setengah jalan ketika mendengar bunyi keran yang disusul bunyi shower yang di hidupkan. What the.. panik, Ben langsung menerobos pintu kamar mandi tanpa mengetuknya terlebih dahulu dan menemukan Jana sedang duduk naked dan menggigil di bawah pancuran air. Tidak ada uap sama sekali dari pancuran itu, yang berarti itu air dingin.
"Jana, what are you doing?" teriak Ben yang langsung mematikan shower.
Ben bertanya-tanya apakah Jana sudah "High" karena kebanyakan minum obat, membuatnya melakukan hal gila seperti ini. Apa orang bisa "High" hanya dengan dua tablet obat demam? I don't know, memangnya kamu pikir aku dokter apa? Ben mengomeli dirinya sendiri. Geez, jangankan jadi dokter, mata pelajaran kimia saja membuatnya muntah darah. "Ja-jangan dimatiin. A-aku mau mandi," ucap Jana dengan gigi bergemertak.
Ben tidak menghiraukannya dan melihat sekelilingnya, mencari handuk untuk menutupi tubuh Jana. Bukan karena dia malu melihat Jana naked, tapi karena dia tidak mau Jana kedinginan. Ketika menemukan handuk di atas toilet dia langsung menyambarnya dan buru- buru membungkus tubuh Jana yang masih gemetaran.
"Baby, suhu tubuh kamu masih terlalu panas untuk mandi. Gimana kalo dilap aja?"
"Pa-panasku udah turun. Badan leng-lengket. Ng-nggak bisa tidur. Please, Ben."
Ben ragu sesaat. Apa aman bagi Jana untuk mandi? Gimana kalau tiba-tiba dia kejang karena itu. Tapi semakin dia berdebat dengan dirinya seperti ini, semakin lama Jana duduk di lantai shower yang dingin.
"Oke, kamu bisa mandi, tapi pake air hangat ya?"
Jana hanya mengangguk. Ben mengangkat tubuh Jana dan mendudukkannya di atas toilet sementara dia mengatur suhu air shower. Setelah puas bahwa dia mendapatkan suhu air yang pas, dia membantu Jana menanggalkan handuk yang menyelimutinya dan mendudukkannya di bawah pancuran air. Otomatis bajunya langsung basah karena ini, tapi Ben tidak peduli. Ben menurunkan botol sampo dan sabun dari tempatnya dan meletakkannya di lantai dekat Jana.
Melihat Jana hanya diam saja, Ben berkata, "Apa kamu perlu bantuan?"
Sesuatu yang mirip kepanikan dan keraguan terlintas sekejap di mata Jana, sebelum dia mengangguk. Ben langsung berlutut di hadapan Jana dan mulai mencuci rambutnya, setelah itu baru tubuhnya. Jana tidak protes sama sekali selama Ben melakukan ini semua. Ketika dia menyabuni tubuh Jana, terlintas di pikirannya bahwa dia sudah melakukan sexual harassment kepada Jana dengan melihatnya naked dan menyentuhnya ketika Jana terlalu lemah untuk mengatakan "Tidak". Mungkin sebaiknya dia menghentikan apa yang dia lakukan sekarang dan menelepon mami Jana untuk memintanya menggantikannya. Tapi dia tahu betapa bodohnya ide ini. Mencoba membuat dirinya merasa lebih baik, Ben berkata dalam hati, "Jana membutuhkan pertolongannya dan dia sedang memberikannya, itu saja." Lima menit kemudian Jana sudah bersih dan Ben menghanduki seluruh tubuhnya hingga kering. Dia lalu meminta Jana menunggu sebentar supaya dia bisa mengambilkan pakaian untuknya. Ben membuka pintu lemari Jana dan mengambil kaus dan celana dalam pertama yang ditemukannya sebelum kembali ke kamar mandi dan memberikan pakaian itu kepada Jana. Dia melihat Jana sedang menunduk sambil menutup mata. Dia kelihatan siap jungkir- balik dari tempat duduknya di atas toilet. Sadar Jana kemungkinan terlalu lemah untuk memakai pakaian sendiri, Ben membantunya.
Setelah Jana berpakaian, Ben bertanya, "You feel better?"
Jana hanya mengangguk. Ben baru saja akan meninggalkannya ketika dia melihat air mata keluar dari sudut mata Jana.
"Baby, why are you crying?"
"Aku nggak tahu kenapa kamu baik banget sama aku. Aku udah nyebelin banget sama kamu beberapa hari ini, tapi kamu malah di sini ngurusin aku sakit. Kenapa kamu masih di sini, Ben?"
Ben berlutut di hadapan Jana yang menatapnya dengan tatapan sedih dan tidak percaya. Dia membelai rambut Jana yang masih agak basah, menarik satu untaian ke belakang telinganya.
"Karena kamu sakit dan perlu bantuan aku," ucap Ben akhirnya dan buru-buru bangun sebelum dia melakukan sesuatu yang bodoh dengan mengatakan apa yang sebetulnya ada di kepalanya.
Ben meninggalkan Jana untuk menyelesaikan membereskan tempat tidur. Setelah tempat tidurnya rapi kembali, Ben kembali ke kamar mandi untuk menggendong Jana ke tempat tidur. Jana hanya sempat menggumamkan kata terima kasihnya sebelum tewas kembali.