Just see the signal when my heart explodes.
Nervous adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Jana hari ini. Untuk menembus kesalahannya yang sudah memberikan informasi tidak benar kepada anak- anaknya tentang keberadaan Ben, Jana memperbolehkan Ben menjemput anak-anak dari sekolah sendiri dan membawa mereka ke rumah orangtuanya, di mana dia akan menjemput mereka setelah pulang kerja. Agar Erga dan Raka nggak kaget atas perubahan ini dan juga untuk mengenalkan Ben dengan rutinitas ini, selama dua hari belakangan dia selalu mengajak Ben kalau menjemput mereka. Setiap beberapa menit matanya kembali melirik jam tangannya. Ben berjanji untuk member kabar begitu dia menjemput Erga dan Raka dan dia tidak bisa tenang sampai menerima kabar itu. Jana hampir meloncat dari kursinya ketika mendengar suara Papi yang menggelegar memanggil namanya.
"Ya, Pak?"
Untuk menjaga etika kerja professional, dia tidak pernah memanggil Papi dengan "Papi" kalau di depan umum. Dia selalu menggunakan "TO" atau "Pak".
"Kecuali ada hal yang lebih penting yang harus kamu lakukan, saya sarankan kamu focus pada meeting ini," ucap Papi.
"Ya, Papi juga tidak pernah memanggil dirinya "Papi" di depan umum, selalu menggunakan kata "saya", meskipun dia sedang berbicara dengan anaknya sendiri.
"Baik, Pak," balas Jana.
Oh, God. Dia berharap Ben nggak terlambat menjemput mereka. Kalau dia sampai terlambat atau nggak nongol, Jana akan membunuhnya. Tapi gimana dia bisa menelepon kalau ponselnya ada di laci meja kerjanya sementara dia sedang ada di ruang rapat? Shit!!! Papi sedang memelototinya, dia sebaiknya kembali focus pada meeting ini kalau nggak mau ditegur lagi.
***
Ben menunggu hingga Erga dan Raka keluar sekolah sambil berdiri di samping mobil Mama. Oji, sopir Mama, duduk di belakang setir, menunggu sambil tetap menyalakan mesin. Dia melihat ada banyak sekali mobil yang antre, berisi ibu-ibu dan sopir. Dua kali dia ikut Jana menjemput, dia selalu duduk di dalam mobil karena Jana datangnya mepet dan hanya akan mengangkut anak-anak terus cabut. Oleh karena itu, dia agak sedikit terkesima melihat antrean ini.
Ada satu ibu-ibu dengan dandanan superheboh yang sedari tadi memperhatikannya dengan penuh keingintahuan, membuatnya sedikit risi. Ada sesuatu tentang penampilan ibu-ibu itu yang mengingatkannya pada karakter di Desperate House Wives. Penekanan pada kata "desperate". Wanita itu menatapnya seakan dia sepotong daging yang mau dilahapnya mentah-mentah. Gggrrr… wanita seperti ini selalu membuatnya bergidik. Dan dia cukup berpengalaman untuk segera menghindar kalau melihat mereka. Dia baru saja membuka pintu mobil, ketika ada orang yang menepuk bahunya. Ketika dia menoleh dan menemukan wanita "Desperate" itu berdiri di hadapannya sambil mengulurkan tangan, dia berusaha untuk tidak menggeram.
"Hai, kenalin saya Asti Jayadiningrat, mamanya Bowin."
Meskipun enggan, Ben tidak ada pilihan selain meraih uluran tangan itu kalau tidak mau dicap tidak sopan. "Ben," ucapnya pendek.
"Mas ini ke sini mau jemput siapa, ya? Rasa-rasanya kita tidak pernah ketemu sebelumnya. Saya tahu semua orangtua dan sopir di sini," ucap si ibu menor sambil menebarkan senyuman lebarnya.
"Oh, ya kita emang belum pernah ketemu. Ini hari pertama saya jemput anak-anak." "Ooohhh… jadi Mas jemput lebih dari satu anak? Istri Mas lagi ke luar kota ya, jadi Mas yang ditugasin jemput?"
Duh! Nih perempuan rese banget sih! Apa dia pikir dia akan mendapat jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan dengan nada sok imut bak dia masih belasan tahun? Yang ada juga malah bikin dia mau kabur. Dan itulah yang akan dia lakukan sekarang.
"Oh nggak, istri saya ada di rumah. Masih kecapekan setelah seks maraton kami tadi malam. Selamat siang," tandas Ben dan buru-buru masuk ke mobil dengan senyum puas ketika melihat kekagetan pada wajah wanita itu.
"Kabur, Mas?" celetuk Oji dengan aksen jawa-nya yang sangat kental sehingga membuat kata "Kabur" terdengar sebagai "Kabur".
Ben mengerutkan dahi ketika melihat mata Oji berbinar-binar meledeknya. "Iya, nakutin banget sih tuh ibu-ibu."
"Lha wong dari tadi saya liatin dia ngeliatin Masss, aja," "Awas kalo kamu bilang-bilang ke Mama."
"Ya nggak dong, Mas."
Yakin Oji akan menepati janjinya, Ben kembali memfokuskan perhatiannya pada gerbang sekolah. Dia hanya harus menunggu beberapa menit sebelum menemukan Erga dan Raka berhamburan keluar bersama-sama dengan anak-anak lain dan celingukan mencarinya. Dia segera menurunkan kaca jendela dan meneriakkan nama mereka, Erga dan Raka langsung tersenyum lebar dan berlari secepat mungkin menuju mobil. Dia kembali turun dari mobil untuk memeluk dan mencium mereka sebelum menaikkan mereka ke kursi belakang.
Setelah memastikan sabuk pengaman terpasang, dia meminta Oji membawa mereka ke rumah orangtuanya.
"Oom Ben, kata Bunda hari ini kita bakalan ngabisin waktu seharian sama Oom."
Karena tatapan Ben terpaku pada layar ponselnya.mencoba mengirimkan SMS kepada Jana untuk memberitahukan bahwa Raka dan Erga sudah di tangan, dia tidak tahu siapa yang bertanya. Tebakannya adalah Raka, oleh karena itu, setelah dia menekan send, dia memutar tubuhnya dan menatap Raka sebelum menjawab, "Rencananya emang begitu, kamu excited nggak?"
"Oom Ben, yang tadi nanya itu aku, bukan Raka."
Mendengar ini Ben langsung mengalihkan perhatiannya ke Erga, yang sekarang sedang menyeringai. "Wah, sori ya. Oom nggak bisa bedain suara kalian."
"Nggak pa-pa. bunda juga masih suka salah," balas Erga sambil sedikit cekikikan. "Oom Ben."
"Ya, Raka?" Ben mengalihkan perhatiannya kembali kepada anaknya yang satu lagi. "Esaited itu apa, Oom?"
"Esaited?" Tanya Ben bingung.
"Yang tadi Oom bilang," ucap Raka sedikit tidak sabar.
Ben memutar otaknya mencoba mengingat kata-kata yang sudah diucapkannya. Ketika mendapatkannya, dia langsung tertawa terbahak-bahak.
"Kok Oom ngetawain Raka gitu sih?" Raka terdengar betul-betul tersinggung karena sudah ditertawakan.
Ben buru-buru berhenti tertawa dan berkata, "Sori. Oom bilang excited, itu bahasa inggris yang artinya.." dia mencoba mengingat-ingat perwakilan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. "Excited artinya seneng atau… gembira."
Dia mendengar Erga dan Raka mengatakan "Ooo" pada saat bersamaan, membuatnya tertawa lagi. Oh my God, dia nggak sabar untuk memamerkan anak-anaknya pada Mama dan Papa. Dia yakin, seperti juga dirinya, mereka akan langsung jatuh cinta pada mereka. Dia tahu Mama sudah menunggu dengan tidak sabar di rumah. Itu terbukti dari frekuensi beliau mengirimkan SMS untuk menanyakan ETA alias Estimated Time of Arrival alias kapan mereka sampai? Ben sampai-sampai harus mensilent ponselnya. Untungnya Papa mesti menghadiri rapat penting di kantor, jadi beliau tidak aka nada dirumah sampai sore. Dia mensyukuri ini, karena kalau dia harus berurusan dengan dua orangtua emosional sekaligus, dia akan menembak kepalanya.
Sebagai persiapan menyambut cucu-cucunya, Mama sudah menstock rumah dengan jajanan yang bisa membuat orang satu kampung hyper atau bahkan koma karena overdosis gula.
Mulai dari kue, biscuit, permen, sirup, susu cokelat, es krim, pokoknya apa pun yang mungkin di inginkan oleh Erga dan Raka, Mama sudah menyediakannya. Papa juga tidak kalah parahnya, beliau pun menstok rumah dengan mainan dan bacaan. Mulai dari sepeda, skateboard dengan segala aksesoris keamanannya, mobil-mobilan pakai remote, robot- robotan Transformers, bukan saja para Autobots, tapi Decepticons-nya juga, dan berbagai jenis bola yang diciptakan di dunia ini. Sejujurnya, kalau beliau bisa menggali kolam renang di halaman belakangan dalam waktu dua hari, beliau pasti sudah melakukannya.
Papa juga memaksanya naik ke loteng untuk menurunkan koleksi buku bacaannya waktu kecil. Dia bahkan tidak tahu orangtuanya masih menyimpannya ketika dia melihat koleksi Noddy, Detektif cilik, dan komik-komik DC dan Marvel miliknya. Selain itu dia juga melihat koleksi Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu-nya yang sayangnya sudah menguning di makan waktu. Melihat semua buku ini, dia sadar betapa kutu bukunya dia waktu kecil. Dia hanya berharap bisa membagi semua ini dengan anak-anaknya, toh mereka sudah membagi hobi berenang mereka, mungkin mereka bisa membagi hobi membaca juga. Apa mereka sudah dikenalkan pada seri Harry Potter oleh Jana? Hmm, dia harus menanyakan hal ini kepada mereka.
***
Ben mengembuskan napas lega karena bisa mendapatkan anak-anaknya kembali setelah dua jam Mama memonopoli mereka dengan tidak memperbolehkan mereka meninggalkan sisinya. Mama juga tidak henti-hentinya menyungguhkan semua jajanan yang dia miliki sampai Erga dan Raka mendekatinya ketika Mama sedang menerima telepon, dan berbisik, "Oom Ben, kami laper."
"Umm, oke. Kamu mau kue lagi?" Raka dan Erga menggelengkan kepala mereka kuat-kuat. "Es krim, kalo gitu?" sekali lagi mereka menggeleng.
"Roti pake susu?" Tanya Ben dengan nada sedikit ragu sambil memutar otak mencari makanan apa lagi yang bisa dia tawarkan.
Lagi-lagi mereka menggeleng, "Oke, kalian mau makan apa kalo gitu?" "Nasi," jawab Erga "Pake sup terong," sambung Raka.
"Nasi sama sup terong?" Tanya Ben tidak percaya.
Sejak kapan anak-anak suka terong? Waktu dia kecil, sayuran yang paling dia benci adalah terong. Kalau dipikir-pikir lagi, waktu kecil dia benci semua sayuran. Lalu dia ingat Jana suka sekali makan terong, entah dibakar atau digoreng dia tahu nasi akan selalu tersedia di dapur, tapi dia nggak yakin tentang terong dan segala tetek-bengek yang dibutuhkan untuk membuat sup. Sejujurnya, dia sama sekali nggak tahu bumbu-bumbu apa saja yang akan dia perlukan. Selama ini kalau mau makan sup, dia selalu membeli versi kalengan dari supermarket, dan yang dia perlu lakukan adalah mencampurnya dengan air dan memasukkannya ke dalam microwave sampai mendidih.
Dia melirik Mama yang masih di telepon. Dan lain dengan kebanyakan orang, Mama nggak punya pembantu rumah tangga yang bisa di mintai tolong. "Oke, kalo gitu kita cek apa ada terong di dapur," ucapnya pasrah dan berjalan menuju dapur, diikuti Erga dan Raka.
Dia membuka lemari es dan mengucapkan syukur ketika menemukan terong ungu yang masih baru dan segar. Dia juga mengeluarkan kol, daun bawang, dan seledri dari dalam lemari es. Dan sambil menunggu hingga Mama selesai dengan teleponnya, dia menugaskan Erga dan Raka mencuci semua sayuran itu.
Sesaat anak-anaknya kelihatan bingung dan dia bertanya, "Ada masalah?" "Gimana cara cucinya, Oom?" "Oh, begini." Dan Ben menunjukkan cara mencuci sayuran sebaik yang dia tahu. Dia tahu kalau Mama melihat caranya, beliau pasti sudah mengomelinya. Diam-diam dia bersyukur Mama tidak ada di dapur bersama mereka.
"Oom Ben."
"Ya, Erga?"
"Mbah yang itu bundanya Oom Ben, ya?" "Iya. Emangnya kenapa?"
"Nggak kenapa-napa. Dia baik sama aku dan Raka. Aku suka sama dia."
Mau nggak mau Ben tersenyum atas kepolosan pernyataan ini. "Apa itu berarti kamu main ke sini lagi besok-besok?"
Raka dan Erga mengangguk pada saat bersamaan dengan senyum lebar. Ben mengeluarkan baskom dari dalam lemari untuk menampung sayuran yang sudah dicuci.
"Kalo ayah Oom Ben ada di mana?" "Ayah Oom Ben masih di kantor." "Pulang nya jam berapa?" Ben melirik jam tangannya sebelum menjawab, "Sebentar lagi juga pulang. Apa kamu mau ketemu ayah Oom Ben?"
"Apa ayah Oom Ben sebaik bunda Oom?"
Ben berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan ini. "Tergantung. Tapi biasanya sih begitu," ucapnya akhirnya.
"Oom Ben?"
"Ya, Raka?"
"Gimana sih rasanya punya ayah?"
Wow, Raka baru saja menghantamnya dengan barbell seberat lima puluh kilo. Rasa bersalah meremas hatinya. Dengan saksama dia memperhatikan ekspresi wajah Raka, takut akan melihat kesedihan pada wajah kecilnya. Tapi yang dia temukan hanyalah keingintahuan. Ben memformulasikan jawabannya sebaik mungkin. Pertanyaan ini mungkin terdengar mudah, tapi untuk memberikan jawaban yang bisa dimengerti oleh anak berumur tujuh tahun, bukanlah mudah.
"Um… kamu tahu gimana Optimus Prime selalu bisa ngebuat kita ngerasa aman? Bahwa kalo dia ada, kita tahu nggak akan ada apa pun yang bisa nyakitin kita?"
Raka mengangguk.
"Ya itulah yang Oom rasa tentang ayah Oom. Dia Optimus Prime-nya Oom Ben."
Raka menunduk dan menggumamkan, "Kalo aku punya ayah, aku juga mau kayak Optimus Prime. Sayang ayah Raka dan Erga udah di surga."
Ugh!!! Dia betul-betul akan membunuh Jana atas kebohongannya. Dia ingin berlutut di hadapan anak-anaknya untuk mengatakan bahwa dialah ayah mereka dan dia memang Optimus Prime. Heck, dia adalah Omega Prime yang tidak akan membiarkan apa pun terjadi kepada mereka. Dia menyesali keputusannya beberapa hari yang lalu untuk membiarkan Jana menunda memberitahukan anak-anak tentang identitasnya hingga waktu yang dinilai tepat oleh nya. Karena lebih dari apa pun juga, dia ingin mendengar Erga dan Raka memanggilnya "Ayah", bukan "Oom Ben", sekarang.
"Oom Ben istrinya mana?"
Ben hanya bisa berkedip mendengar pergantian topik ini.
"Um… Oom nggak punya istri," ucapnya sambil menurunkan panic dari gantungannya di atas kompor.
"Oom ada pacar?"
Ben berusaha untuk tidak tertawa ketika menjawab, "Nggak. Nggak ada pacar juga." Raka kelihatan mengerutkan dahi lalu berkata, "Bunda juga nggak punya pacar." "Atau suami," tambah Erga.
Oke… Ben tidak tahu ke mana anak-anaknya akan membawa percakapan ini sampai Raka berkata, "Menurut Oom, bunda cantik nggak?"
Dan kali ini Ben tertawa. Bless them, mereka sedang mencoba menjodohkannya dengan Jana.
"Menurut Oom, Bunda kalian cantik sekali," ucap Ben di antara tawanya.
Pujian ini membuat wajah Erga dan Raka langsung berseri-seri. "Oom mau nggak jadi pacarnya Bunda?"
Say what???!!! Dari mana datangnya pertanyaan ini? Yang lebih penting lagi, bagaimana dia menjawab pertanyaan ini? Suatu pertanyaan yang penuh dengan ranjau. Kalau dia menjawab mau memacari Jana, dan Raka dan Erga melaporkannya kepada Jana, dia yakin Jana akan lari sebelum dia bisa berkedip. Sedangkan kalau dia mengatakan "Nggak", kemungkinan akan menyinggung hati Jana. Sesuatu yang tidak mau dia lakukan sama sekali, terutama karena kepalanya meneriakkan agar dia mengatakan "Iya".
"Errr… Oom sih mau-mau aja. Masalahnya adalah, apa Bunda kalian mau pacaran sama Oom?"
Raka kelihatan berpikir sejenak, sebelum berkata dengan antusias, "Aku bakal Tanya Bunda…"
"No, no, no! jangan Tanya Bunda," potong Ben cepat.
Erga dan Raka langsung menatapnya heran. Ben menelan ludah dan berkata dengan lebih tenang, "Maksud Oom… lebih baik kalo… kalo kalian nggak bilang-bilang ke Bunda tentang omongan kita hari ini, oke?"
"Emangnya kenapa, Oom?"
"Karena.. karena ini.. rahasia penting. Rahasia penting yang Cuma boleh diketahui sama kita bertiga… laki-laki. Perempuan nggak boleh tahu, termasuk Bunda. Oke?"
Erga dan Raka menatapnya seolah-olah dia setengah gila dan dia tidak menyalahkan mereka. Dia memang kedengaran gila, bahkan untuk telinganya sendiri. Untuk mengalihkan perhatian mereka, Ben berkata, "Oke, kayaknya sayurannya udah bersih. Ayo kita mulai potong."
Dan tanpa menunggu lagi, Ben langsung mengambil talenan dari rak cuci piring dan mengeluarkan pisau dari dalam laci, siap memotong sayuran itu.
***
Tepat pukul 17.00, Jana langsung kabur dari kantornya, tidak menghiraukan teriakan Papi yang memanggilnya. Dia harus menjemput Erga dan Raka sekarang juga. Sesuai permintaannya, Ben sudah memberikan update tentang apa yang anak-anak lakukan setiap jamnya, tapi itu tetap tidak membawa ketenangan untuknya. Oh God, dia tidak percaya bahwa dia sudah memperbolehkan Ben menjaga anak-anak semenjak tadi siang. Parahnya lagi, dia bahkan memperbolehkannya mengenalkan mereka kepada orangtua Ben. Orangtua yang dia bahkan tidak pernah temui sebelumnya. Bagaimana kalau mereka ternyata jenis orangtua yang senang memukul kalau anak-anak bandel? Mengingat betapa bandelnya anak-anaknya, Jana bergidik membayangkan bokong merah yang Erga dan Raka akan miliki setelah ini. Shit!!! Dia seharusnya bertemu orangtua Ben lebih dulu sebelum hari ini untuk memastikan mereka "Ramah anak". Dia memang merencanakannya di dalam kepalanya, tapi keburu mundur sebelum bisa melakukannya. Entah kenapa, prospek bertemu orangtua Ben membuatnya panas-dingin. Dia takut mereka tidak akan menyetujuinya. Takut mereka akan menghakiminya sebagai perempuan egois yang sudah menyembunyikan cucu-cucu mereka hanya karena dia membenci Ben bertahun-tahun yang lalu. Ketakutan ini hampir membuatnya menelepon Ben untuk mengatur lokasi penjemputan lain. Get a grip woman!!! Jana mengomeli dirinya sendiri. Dia nggak bisa menghindari bertemu orangtua Ben selamanya. Cepat atau lambat dia akan harus bertemu mereka. Jadi kenapa nggak hari ini? Toh, Erga dan Raka akan ada di sana, jadi kalau terjadi apa-apa, dia bisa menggunakan mereka sebagai tameng. Oh, God, dia rasanya mau muntah.
***
Senja baru turun ketika Jana dipersilahkan masuk oleh seorang anak muda yang membukakan gerbang rumah orangtua Ben. Perlahan-lahan Jana turun dari mobil dan dengan langkah sedikit tidak pasti dia menuju pintu depan. Rumah orangtua Ben kelihatan biasa-biasa saja, seperti layaknya rumah yang dibangun era tahun 60-an. Berbeda dengan rumah orangtuanya yang serbamodern dan eksklusif, tapi terkesan dingin, rumah ini kelihatan hangat dan mengundang. Jana baru saja akan menekan bel ketika pintu rumah terbuka dan seorang laki-laki tua yang mirip sekali dengan Ben kalau dia berumur enam puluh tahunan dan sedang mengisap pipa, berdiri di hadapannya.
"Kamu pasti Jana," ucap Oscar Barata yang terkenal itu dengan suara serak-serak basah. "Be-betul, Oom," jawab Jana sedikit tergagap.
Telapak tangannya sudah basah dan dia merasakan tetesan keringat mengalir di punggungnya padahal hari sudah menjelang malam dan udara sudah mendingin. Pak Oscar hanya menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki sambil terus mengisap pipanya, tanpa menawarkan tangannya untuk di salami, jadi Jana hanya bisa berdiri diam, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Ya, jangan berdiri di situ aja. Ayo, masuk. Ben ada di dalam sama anak-anak," geram Pak Oscar tidak sabaran.
Buru-buru Jana melangkah masuk, dan melihat Erga dan Raka dengan wajah segar habis mandi, duduk manis di meja makan. Ben duduk diantara mereka di kepala meja. Mereka terlalu focus mengerjakan apa pun yang mereka kerjakan, sehingga tidak ada dari mereka yang mendengarnya masuk. Baru setelah beberapa menit Jana sadar bahwa anak-anaknya sedang mengerjakan pe-er… di bawah pengawasan Ben.
HOLY SHITTT!!!