Chereads / Dirty Little Secret by. JessieB2 / Chapter 18 - Chapter 18

Chapter 18 - Chapter 18

I'll be your saint and I'll be your sinner

I'll be an actor or an acrobat

"Oke, kalo kamu nggak mau buka pintunya, can you at least talk to me?" Tanya Ben memohon Jantungnya berdebar-debar, menunggu jawaban Jana. Kalo Jana masih menolak berbicara dengannya, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.

"O-oke. " Ben mendengar Jana mengucapkan kata itu dengan sedikit terbata-bata di antara tanginya, dan dia bisa bernapas lagi.

"Kamu tahu kan aku Cuma bohong waktu bilang aku punya pacar di Chicago? Karena sumpah mati aku nggak punya, Jan."

"Ke-kenapa kamu harus bohong, Ben?" Tanya Jana masih sesenggukan.

Because I'm a dumbass. Dia tidak tahu kenapa dia mengatakan punya dua pacar di Chicago, padahal jelas-jelas tidak ada wanita lain di dalam pikirannya selain Jana. Dia bahkan tidak tahu bagaimana percakapan mereka bisa berakhir ke situ. Satu detik dia sedang memikirkan cara untuk berbicara dengan Jana tentang kemungkinan baginya mengajaknya nge-date.

Detik selanjutnya Jana sudah menanyakan apakah Ben sudah menikah. Dan ketika Jana menanyakan apa dia punya pacar? He just lost it.

"I don't know," ucap Ben akhirnya. Selang beberapa detik dia menambahkan, "Aku Cuma pissed, I guess, karena kamu Tanya-tanya soal itu, padahal kamu tahu persis perasaan…" Kata-katanya terpotong karena tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Jana sudah berdiri di hadapannya. Wajahnya masih sedikit merah habis menangis, dan ada sisa air mata pada bulu matanya. Ben ingin memeluknya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali, tapi menahan diri.

"Aku minta maaf karena udah nanya-nanya tentang status kamu kayak begitu. Itu sama sekali bukan urusan aku. Kamu bisa nge-date atau married dengan siapa aja yang kamu mau. Kita emang punya hubungan karena keberadaan Erga dan Raka, tapi itu nggak berarti aku punya hak apa-apa atas kamu."

What the hell is she doing? Bahkan setelah menangis tersedu-sedu, wanita satu ini masih menolak mengakui perasaannya terhadapnya. Oke, kalo Jana mau main genjat senjata, dia bisa main genjatan senjata.

"Jadi kenapa kamu nangis?" tanyanya Dan Ben menahan senyum kemenangan yang mulai muncul di sudut bibirnya ketika Jana hanya bisa menatapnya dengan mulut ternganga, tidak bisa berkata-kata. "Mau tahu teori aku tentang kenapa kamu nangis?"

Jana tidak bereaksi dan Ben melanjutkan. "Kamu nangis karena jealous waktu denger aku punya pacar. Dan satu-satunya penjelasan kenapa kamu merasa seperti itu adalah karena untuk pertama kalinya kamu sadar kalo kamu masih ada rasa sama aku."

Ben melihat Jana sudah siap lari, membuat kata-kata yang ada di pikirannya meluncur keluar tanpa bisa dikontrol lagi.

"I love you, Jan. always have. Always will. Do you seriously not know that? Gimana bisa kamu pikir aku bisa ngelirik perempuan lain sementara kamu selalu ada di pikiran aku? Aku mau nikahin kamu, Jan. dan itu bukan karena kita udah punya anak dan itu langkah selanjutnya yang patut kita ambil. Aku mau nikahin kamu karena aku mau kamu, karena aku bener-bener cinta sama kamu. Aku tahu kamu mungkin nggak siap mendengar kata-kata ini, tapi kamu perlu tahu perasaan aku ke kamu."

Ben menutup monolognya dan menunggu reaksi Jana yang hanya bisa menatapnya dengan mata melebar. Shock berat. Ben tidak menyalahkannya karena dia pada dasarnya sudah membuka hatinya lebar-lebar, dengan begitu member Jana akses penuh untuk mencabik- cabiknya sampai tidak berbentuk lagi kalau dia mau. Ben hanya berharap Jana tidak akan sesadis itu. Dia melihat Jana mengambil satu langkah mendekatinya, kemudian satu langkah lagi. Dia hanya bisa mengikuti gerakan Jana dengan matanya, tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali. Jana berdiri ragu di hadapannya sebelum tanpa Ben sangka-sangka, menariknya ke dalam pelukannya. Meskipun bingung akan tindakan Jana, Ben membalas pelukan itu sepenuh hati. Setelah beberapa menit yang Ben tahu tidak cukup lama, Jana melepaskannya.

"Thank you." Ucap Jana sebelum meninggalkannya terbengong-bengong di dalam kamar tidurnya.

Yang terlintas di kepalanya adalah "That's it?" dia sudah menumpahkan isi hatinya seperti itu dan Jana hanya mengatakan "Thank you?" this is bullshit!!! Dia memang tidak mengharapkan Jana berteriak gembira dan membalas kata cintanya, tapi setidak-tidak nya Jana bisa memberikan reaksi lebih positif daripada dua kata itu.

***

Tiga hari kemudian, Jana masih mencoba memproses apa yang terjadi. Thank you? THANK YOU? Itu saja yang bisa dia ucapkan ketika Ben mengatakan mencintainya dan ingin menikahinya? Gimana mungkin dia punya gelar S1 kalau sebodoh ini? Tidak bisakah dia mengatakan, "Aku juga cinta mati sama kamu, Ben" atau "Ya, aku mau nikah sama kamu, Ben." Kenapa dia masih stuck di masa lalu, masih tidak bisa melupakan kesalahan Ben bertahun-tahun lalu? Bukankah sudah tiba saatnya melupakan itu semua dan membuka lembaran baru dengan Ben yang selama beberapa minggu ini sudah mencoba menembus kesalahannya?

Kalau saja dia berani memberi Ben kesempatan, dia mungkin sudah dalam proses merencanakan pernikahan dengan laki-laki yang dicintainya, tapi yang ada, dia kini duduk di meja kantornya, memikirkan betapa berantakan love-life-nya. Tapi betapa pun dia ingin member Ben kesempatan kedua, dia tahu dia tidak bisa membiarkan Ben masuk lagi ke dalam hatinya. Karena apa jaminannya bahwa Ben tidak akan mengalami episode freak-out- nya dan meninggalkannya lagi? Dia tidak yakin bisa survive kalau itu terjadi. Ini bukan lagi hanya masalah cinta dan perasaan, ini self-preservation.

Bunyi intercom membuyarkan pikirannya. "Bu Jana, ada Erga di telepon line dua."

Mendengar ini Jana langsung waswas. Anak-anak tidak pernah meneleponnya di kantor. Jana langsung mengangkat telepon dan menekan tombol untuk menyambungkan panggilan, Jeda sedetik dia mendengar suara Erga. "Bunda?"

"Erga, apa kamu nggak pa-pa?" "Aku nggak pa-pa, Bunda." "Raka?"

"Raka juga nggak pa-pa."

Jana mengembuskan napas lega. "Jadi kenapa kamu telepon Bunda, Sayang?" "Bunda, hari ini boleh nggak aku sama Erga nggak ke rumah Mbah?"

"Apa kamu mau ke rumah Oom Ben?"

"Nggak, Bunda. Aku sama Erga mau langsung pulang ke rumah aja. Oom Ben bilang dia bisa nemenin kami sampe Bunda pulang. Boleh, Bunda?"

Jana ingin berteriak "NGGAK BOLEEEHHH!!!" sudah cukup parah Ben berada di rumahnya beberapa hari yang lalu dan masuk ke kamar tidurnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Ben kalau ditinggalkan sendiri tanpa pengawasannya. Tapi ketidaksetujuannya pada ide ini bukan hanya karena itu. Semenjak dia ngibrit setelah Ben menumpahkan isi hatinya beberapa hari yang lalu, dia berusaha sebisa mungkin menghindarinya. Dan meskipun Ben memang tidak pernah menyinggung kejadian itu sama sekali, dia tahu dari tatapannya bahwa Ben jelas-jelas sudah tersinggung dan sakit hati karena reaksi dinginnya. Selama ini dia memang bisa menghindari Ben dengan selalu memastikan ada orang lain bersama mereka, entah itu Mami dan Papi atau Mama dan Papa Ben, tapi dia tidak akan bisa melakukan itu kalau dia menyetujui rencana Raka, yang memberi Ben kesempatan untuk memojokkannya kalau dia mau setelah anak-anak pergi tidur.

"Jadi boleh nggak, Bunda?"

Desakan Raka membuatnya sadar bahwa dia masih menunggu jawaban darinya. Dia tahu bahwa dengan Erga dan Raka sudah ada di rumah waktu dia pulang, maka itu akan menghemat waktunya, dengan begitu untuk pertama kalinya selama tiga bulan ini dia mungkin bisa sampai di rumah sebelum malam tiba. Dan anak-anak tidak akan terlalu lelah karena mereka tidak harus travel dari sekolah ke rumah Ben, kemudian dari rumah Ben ke rumahnya.

"Oke," ucap Jana akhirnya. "Tapi bilang sama Oom Ben, kalian harus mampir ke kantor Bunda untuk ngambil kunci rumah, oke?"

***

Ketika Jana sampai di rumah sore itu, dia menemukan rumahnya yang biasanya sepi kelihatan hidup. Suara tawa Erga dan Raka serta aroma makanan yang membuatnya ngiler menyambutnya ketika dia membuka pintu.

"Hellooo? Ada orang di rumah?"

Sedetik kemudian Raka muncul dari arah dapur sambil berlari dan berteriak, "Bundaaa!!" Jana langsung berlutut untuk menyambut pelukan Raka. Setelah dia memberikan ciuman beberapa kali pada pipinya, Jana melepaskannya untuk memeluk dan mencium Erga yang sudah mendekatinya dengan langkah lebih tenang daripada Raka beberapa menit yang lalu. "Gimana hari kalian?"

"Seru, Bunda," ucap Raka, yang nonstop menceritakan petualangan mereka dengan "Oom Ben" hari ini.

Jana tidak tahu bagaimana Raka bisa begitu antusias di ajak pergi ke supermarket oleh Ben, karena biasanya anak-anak paling rewel kalau diajak pergi ke sana olehnya. Mungkin itu karena dia tidak memperbolehkan mereka membeli setiap jajanan yang mereka mau, yang untuk anak berumur tujuh tahun berarti isi seluruh supermarket.

"Ayo, Bunda ke dapur sekarang. Oom Ben lagi bikini… apa makanan yang Oom Ben lagi bikin, Erga?" Tanya Raka.

"Oh Melet," jawab Erga.

Ketika Jana sadar beberapa detik kemudian bahwa yang dimaksud Erga adalah omelette, alias telur dadar, dia tertawa terbahak-bahak. Membuat wajah Erga memerah.

"Aduh, sori, Sayang. Bun-bunda bukan nge-ngetawain kamu. Hihihi… sumpah!!! Tapi kamu lucu banget," ucap Jana di antara tawanya.

Pada saat itu Ben keluar dari dapur sambil membawa dua piring makan dengan serbet putih disampirkan di bahu, membuatnya kelihatan menggemaskan setengah mati. Kemudian Ben menebarkan senyum sumringahnya dan Jana tidak ingat alasan kenapa dia menghindarinya selama beberapa hari ini. Ben betul-betul kelihatan nyaman menjadi bapak rumah tangga sejati yang menyambut sang istri pulang kerja.

Wow, I can get used to this, ucap Jana dalam hati. Say What???!!! Itu pikiran gila datang dari mana coba? Slow down, Jana. Jangan mikirin yang nggak-nggak Cuma gara-gara kamu ngeliat Ben dengan serbet di bahu. Stay cool.

"Hey you," ucap Ben dan meletakkan piring di atas meja sebelum mendekatinya dan memberikan ciuman pada pipinya. "How's your day?" tanyanya Aww crap!!! Gimana dia bisa tetap "cool" kalau Ben bertingkah laku seperti dia betul-betul peduli dengan harinya?

"It's good," balas Jana dengan suara seperti tikus kejepit. "You okay?" Tanya Ben dan menatapnya heran.

"Ya, good," jawab Jana cepat sambil pura-pura tersenyum.

Melihat Ben mengangkat alisnya tidak percaya, Jana buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Aku denger kamu bikin omelette?"

"Yep. Aku juga bikin nasi goring. Mudah-mudahan kamu laper karena aku bikin banyak benget."

Sejujurnya Jana lebih memilih makan pasir daripada makan masakan Ben karena seingatnya Ben sama sekali nggak bisa masak. Dia memiliki kecenderungan memasukkan apa saja ke dalam masakanya, pas atau nggak. Tapi melihat keantusiasan pada wajah Ben, dia nggak tega.

"Laper banget," ucapnya dengan harapan dia nggak akan keracunan makanan setelah ini.

***

Tiga jam kemudian Jana menemukan dirinya selonjoran di sofa dengan perut nyaris meledak. Dia tidak pernah merasa sekenyang ini. Itu mungkin karena dia tidak pernah makan sebanyak ini. Ketakutannya akan rasa makanan Ben tidak terbukti karena dia tidak pernah merasakan nasi goring dan omelette seenak itu sepanjang hidupnya. Dan dia tidak mengatakan ini hanya karena lapar, atau karena Ben yang memasaknya, tapi karena masakan itu betul-betul enak. Dia tidak tahu bagaimana Ben bisa membuat makanan yang begitu membosankan seperti nasi goreng dan telur dadar menjadi special, tapi dia tahu dia tidak akan keberatan kalau harus memakan menu itu setiap hari.

Dia menoleh ketika mendengar langkah mendekat. "Mereka udah tidur?" tanyanya. Selesai makan malam, Ben memintanya untuk relaks dan memerintahkan Erga dan Raka mencuci piring. Sebagai hadiah atas kerja keras mereka, Ben naik ke atas untuk membacakan beberapa bab terakhir buku Harry Potter sebelum mereka tidur.

"Yeah," jawab Ben sambil tersenyum puas dan mengambil tempat duduk di sebelah Jana di sofa.

Kenyamanan yang mereka miliki selama beberapa jam ini perlahan-lahan menghilang, membawa kembali ketegangan hubungan mereka, membuat Jana resah. Dia tahu dia tidak bisa membiarkan keadaan ini berlarut-larut dan bahwa Ben berhak menerima kata maaf dan penjelasan atas tindakannya yang kekanak-kanakan selama beberapa hari ini. Dan tidak ada waktu yang lebih baik untuk melakukannya daripada sekarang.

Jana menarik napas dalam-dalam dan berkata, "I'm sorry."

Tatapan Ben yang tadinya terfokus pada TV langsung beralih padanya. Ekspresinya tidak terbaca. Jana memutar tubuhnya untuk betul-betul mengahadap Ben dan Ben melakukan hal yang sama.

"Aku minta maaf karena udah bertingkah laku… bitchy selama beberapa hari ini. Kamu sama sekali nggak berhak diperlakukan seperti itu. Terutama setelah kamu bilang…" Jana sedikit tersedak, tidak bisa mengulangi kata-kata yang Ben ucapkan padanya. "Apa yang kamu bilang. Aku minta maaf karena nggak bisa ngucapin kata-kata itu balik, Ben. Sejujurnya, aku nggak tahu apa aku pernah bisa mengucapkannya lagi ke kamu," ucap Jana akhirnya.

Untuk mencintai Ben dalam hati dan mengucapkannya adalah dua hal berbeda. Jana melihat mata Ben melebar, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, jadi dia melanjutkan.

"Nggak peduli berapa kali aku coba untuk ngelupain kejadian delapan tahun lalu, aku nggak bisa. Hatiku masih sakit sampe sekarang. Dan aku tahu aku seharusnya nggak ngerasa seperti ini, terutama karena selama beberapa minggu ini kamu awesome banget dengan Raka dan Erga. Kamu udah nyoba sedaya upaya untuk nunjukin kalo kamu beda, dan aku hargai itu, more than anything. Aku Cuma mau kamu tahu aku nggak akan pernah menghalangi kamu kalo kamu ma u terus berhubungan dengan Erga dan Raka, tapi aku rasa hubungan kita nggak akan pernah bisa lebih daripada teman."

Ben memutar tubuhnya kembali menghadap TV sebelum mengistirahatkan kedua sikunya di atas lutut, lalu menunduk. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa menit, wajah dan postur tubuhnya kelihatan seperti orang yang sudah kalah berantem, meninggalkannya babak-belur luar-dalam. Jana betul-betul nggak tega melihatnya seperti ini. Andaikan dia bisa menarik kata-katanya kembali, tapi dia tahu kalau dia melakukan itu maka dia sudah bersikap tidak adil terhadap dirinya dan juga Ben. Dia tidak mau membuat Ben mengharapkan sesuatu darinya yang tidak bisa dia berikan.

Ketika Jana berkedip, Ben sudah memutar tubuhnya menghadapnya kembali dan Jana menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Kamu nggak perlu minta maaf. Aku ngerti kenapa kamu ngerasa seperti itu. Makasih karena udah jujur sama aku. Makasih juga karena udah ngebolehin aku jadi bagian hidup Raka dan Erga. Aku terima tawaran kamu untuk jadi teman," ucap Ben dengan nada tenang. Dan Jana merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting di dalam hidupnya, tapi tidak tahu apa. Dia masih memikirkan tentang ini ketika Ben bangun dari sofa untuk pamit. "Aku lebih baik pulang. Udah malem, nggak enak sama tetangga kamu."

Jana hanya bia mengangguk dan mengikuti Ben ke pintu.

"Omong-omong, gimana menurut kamu tentang arrangement ini?" Tanya Ben "Arrangement apa?"

"Aku bawa pulang anak-anak langsung ke sini daripada ke rumah aku atau mami kamu?" "Um… It's good."

Ben tersenyum. "Apa kamu oke kalo kita selingi kunjungan ke rumah mami kamu atau mama aku dengan arrangement ini, then?"

"Oke."

Ben kelihatan terkejut dengan jawabannya. "Oke?" tanyanya untuk mengonfirmasi. "Oke."

"Oke, kalo gitu," balas Ben sambil tersenyum puas. "Besok pagi mungkin kamu bisa kasih pinjam kunci rumah supaya aku bisa bikin duplikatnya? Jadi aku nggak usah bergantung sama kamu untuk masuk rumah, gimana?"

"Er… oke," ucap Jana, memahami logika Ben "Excellent."

Dan sebelum Jana bisa mengatakan apa-apa lagi, Ben sudah mencium pipinya dan masuk ke dalam mobil. Detik selanjutnya dia sudah menghilang dari hadapannya, meninggalkan Jana bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi?

***

Teman? TEMAN?! Teman, nenek moyang lo gundul! Setelah beberapa hari Ben masih tidak percaya bahwa Jana sudah mengatakan dia hanya menginginkan mereka jadi teman. Dia lebih tidak percaya lagi bahwa bukannya mengamuk dan memaksa Jana mengakui perasaannya daripada kebohongan yang keluar dari mulutnya, dia justru menerima tawaran ini dengan tangan terbuka. Dasar idiot! Dia nggak akan pernah bisa hanya berteman dengan Jana. Nggak dulu, apalagi sekarang. Dia terlalu mencintainya untuk melepaskannya begitu saja. Pepatah yang mengatakan "If you love someone, you gotta let them go" jelas-jelas di ucapkan oleh seorang banci yang tidak pernah merasakan jatuh cinta.

Ben tahu Jana masih paranoid dia akan menyakitinya, sesuatu yang tidak bisa dia salahkan mengingat apa yang sudah dilakukannya. Tapi tidak bisakah dia melihat bahwa Ben tidak akan mengulangi kesalahan itu? Bahwa dia lebih baik mati daripada menyakitinya lagi? Ya, Jana memang memperbolehkannya berhubungan dengan Raka dan Erga, sesuatu yang dia inginkan lebih dari apa pun, tapi itu tidak cukup. Dia juga menginginkan Jana di dalam kehidupannya. Dan ini bukan hanya karena Jana adalah wanita paling cantik, seksi dengan bentuk tubuh yang membuatnya ngiler, tapi juga karena mereka berdua memiliki daya tarik luar biasa satu sama lain dan itu bukan tentang daya tarik seksual saja, yang dia harus akui mereka miliki dengan empat kartu As.

Jana memang keras kepala dan teguh akan pendiriannya, membuat Ben sering ingin mencekiknya, tapi begitu juga dirinya, dan dia yakin Jana membayangkan memancung kepala Ben lebih dari sekali semenjak mereka bertemu. Tapi inilah yang membuatnya semakin menginginkan Jana. Dia tidak mau pendamping hidup yang hanya akan menuruti semua keinginannya tanpa memberikan input, yang tujuan hidupnya adalah memompa egonya sebagai seorang laki-laki. Dia bisa mati bosan dengan kehidupan seperti ini. Tapi Jana? Seperti yang dia ketahui beberapa minggu ini, tidak akan segan-segan mengemukakan pendapatnya dan memaki-makinya kalau dia mencoba menginjak-injak haknya. Hidupnya tidak akan pernah membosankan dengan Jana.

Dia tidak pernah berada dalam posisi ini dan tidak tahu harus bagaimana. Hanya ada dua reaksi perempuan padanya, mengejar-ngejar kayak stalker, atau membencinya setengah mati karena dia nggak bisa commit. Dia tidak pernah hanya "Berteman" dengan kaum wanita. Tapi sepertinya dia tidak ada pilihan. Kalau pertemanan yang Jana inginkan darinya, pertemananlah yang akan dia berikan padanya. Dia akan menjadi teman yang sangat baik, bertanggung jawab, dan bisa dipercaya hingga Jana tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Ben lagi.