And all I've tried to hide
It's eating me apart
Trace this life out.
Ben harus menghentikan dirinya dari menggeram ketika tubuh Jana tidak lagi kaku di dalam pelukannya dan tangan Jana yang tadinya mau mendorong dadanya sudah naik untuk melingkari lehernya. Kuku-kukunya yang panjang mulai mencakar kulit kepalanya dan kalau saja rambutnya lebih panjang, dia tahu Jana pasti sudah menjambaknya. Ya, dia selalu tahu bahwa Jana likes it rough, dan dia tidak pernah ada masalah sama sekali dengan itu. Detik selanjutnya Jana sudah membalas ciumannya seganas dia menciumnya.
Untuk beberapa menit, itu saja yang mereka lakukan. Mencium satu sama lain. Bibir dan lidah mereka seperti tahu apa yang harus dilakukan tanpa perlu diperintahkan oleh otak mereka, seakan-akan delapan tahun yang memisahkan mereka tidak pernah terjadi. Ketika Jana menggigit bibir bawahnya, Ben harus menarik napas dalam kalau tidak mau mempermalukan diri sendiri dengan pingsan di hadapan Jana. Detak jantungnya sudah nggak keruan dan dia mengalami masalah mengontrol libidonya. Tapi dia harus mengontrolnya.
Perlahan-lahan dia menjauhkan wajahnya sedikit dari wajah Jana untuk menatapnya dan mendapati Jana kelihatan sama-sama out of control seperti dirinya. Pupil matanya lebih besar dari normal dan Jana sedang menatapnya seperti ingin melahapnya. Tanpa bisa menahan diri lagi, dia sudah mengangkat tangannya untuk membelai wajah Jana, dan Jana mendekatkan keningnya hingga bertemu dengan bibirnya. Suatu tindakan yang sangat simple, tapi penuh dengan intiminasi dan pengertian yang membuat Ben ingin membawanya pulang sekarang juga dan meneruskan apa yang mereka sedang lakukan di atas tempat tidur. Di sudut pikirannya Ben sadar bahwa mereka sedang di tempat umum. Siapa saja bisa memergoki mereka dan kemungkinan bisa menyebabkan mereka ditangkap polisi, tapi itu tidak cukup untuk membuatnya berhenti. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti, biarpun api nereka menjilati kakinya sekalipun. Dan dengan ini dia kembali menyerang bibir Jana.
Ketika dia sedang mencoba menarik lidah Jana lebih dalam lagi ke dalam mulutnya, samar- samar dia mendengar suara anak kecil bertanya, "Bunda… Bunda lagi ngapain?"
Jana langsung menarik lidahnya dari dalam mulut Ben dan tubuhnya kaku di dalam pelukannya. Dia kemudian menoleh ke dua anak kecil yang sekarang sedang menatap mereka dengan penuh keingintahuan. "Oh, shit," ucap Jana dan buru-buru mendorong Ben agar menjauhinya.
Namun Ben tidak bereaksi sama sekali. Tatapannya melekat pada dua anak kecil yang berdiri tidak jauh darinya. Dua anak kecil yang sangat mirip satu sama lain sehingga orang yang melihatnya tidak akan punya pikirain lain selain bahwa mereka kembar. Sepasang kembar yang mirip sekali dengan dirinya.
***
Shit, SHIT,SHIIIIIIIIITT!!!
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Jana mengalihkan perhatiannya dari kedua anaknya kepada Ben yang sekarang sedang menatap Erga dan Raka dengan mulut menganga, lalu Joko yang menenteng ransel dan botol minuman Erga dan Raka dan kelihatan bingung dengan kejadian yang ada di hadapannya. Dari ekspresi wajahnya, Jana tahu bahwa Joko sudah melihat semuanya dan sedang berusaha mencernanya.
Great. Just great. Andaikan saja bumi bisa terbuka pada saat itu dan menelannya. Rasa malu karena sudah tertangkap making-out di muka public tidak sebanding dengan rasa malu karena sudah tertangkap basah melakukannya di depan anak-anak dan pegawai Papi. Oh, dear God. Mudah-mudahan Joko tidak akan menceritakan kejadian ini kepada Papi. Oh, lupakan Papi!!! Penjelasan apa yang harus dia berikan kepada anak-anaknya?
"Bunda, itu siapa?" Tanya Erga yang pelan-pelan berjalan ke arahnya. Wajahnya penuh keingintahuan. Raka hanya satu langkah di belakangnya.
Oh, crap, crap, crap. Kalau saja ada tombol rewind yang bisa dia tekan pada saat ini, dia akan kembali ke dua minggu yang lalu dan memutuskan untuk tidak menghadiri acara amal, sumber bencana yang kini sedang dialaminya.
"Bunda?"
Suara Raka membangunkannya dan buru-buru dia mendorong Ben dengan paksa dan melangkah mendekati anak-anaknya untuk memeluk mereka. "Halo, Sayang," ucap Jana sambil mencium kepala Raka dan Erga. Dia lalu berlutut di hadapan mereka dan dalam usaha mengalihkan perhatian mereka dari Ben, dia berkata, "Bisa tolong kalian naik duluan ke atas sama Pak Joko? Bunda masih ada urusan. Sebentar lagi Bunda nyusul."
"Oke, tapi itu siapa, Bunda?" Erga bertanya lagi, kini dengan nada sedikit ngotot.
Tatapan Erga terkunci kepada Ben dan Jana bersumpah bahwa kalau diberikan cukup waktu, Erga akan mengenali ayahnya. Dan kepanikan menyerangnya. "Cuma temen Bunda," ucap Jana cepat dan segera bangun untuk menutupi Ben dari tatapan Erga dengan tubuhnya. "Pacar Bunda, ya?" Tanya Raka.
"Bukan."
"Tapi tadi aku lihat Bunda cium oom itu," Raka berkeras. "Raka Oetomo, berhenti menginterogasi Bunda!" geram Jana.
Bukannya kelihatan takut dengan nada tinggi suaranya, untuk beberapa detik Raka justru kelihatan bingung. Kemudian dia menoleh ke Erga yang hanya mengangkat bahunya.
Sebelum bertanya dengan polos, "Menggasi itu apa, Bunda?"
Dan Jana mendapati dirinya mengalami masalah untuk bertahan kepada rasa kesalnya. Yang dia inginkan adalah tertawa terbahak-bahak karena Erga tidak bisa mengucapkan kata "Menginterogasi". Tentu saja kata itu terlalu panjang dan sulit untuk anak berumur tujuh tahun. Merasakan tawanya akan meledak sebentar lagi kalau dia tetap menatap Raka yang masih menunggu penjelasan darinya dengan sabar, dia mengalihkan perhatiannya ke Joko dan berkata, "Jok, bisa tolong bawa anak-anak ke atas? Sebentar lagi saya nyusul." Untungnya Joko sudah sadar dari kebingungannya dan segera berkata, "Ayo, Mas Raka, Mas Erga, Pak Joko anter ke atas," sambil menggandeng Erga dan Raka dengan sedikit memaksa. "Tapi, Bunda…." Rengek Raka dan Erga pada saat bersamaan.
"Erga, Raka!!! Kalo kalian nggak ikut Pak Joko sekarang, Bunda nggak akan ajak kalian berenang lagi. Ngerti?"
Erga dan Raka langsung memberiakan tampang cemberut dan mengikuti Joko tanpa berkata-kata lagi. Setelah mereka menghilang ke dalam lift, baru Jana berani menatap Ben yang sedang menatap pintu lift yang sudah lama tertutup.
"Ben," panggil Jana.
Sunyi. Tidak ada jawaban. Ben bahkan tidak kelihatan mendengar panggilannya sama sekali. "Ben," sekali lagi Jana mencoba menarik perhatiannya dengan menarik lengan kemejanya. Seperti baru sadar bahwa ada orang di depannya, Ben mengalihkan perhatiannya dari pintu lift kepada Jana. Dan pada saat itulah Jana melihat air mata di pelupuk mata Ben. Dear God, apa yang telah dia lakukan? Dia sudah membuat laki-laki paling maskulin yang pernah ditemuinya menangis.
"Ben, aku minta maaf. Aku…"
"They're mine." Ucap Ben pelan, memotong kata-kata Jana. Jana mengangguk. "Aku nggak pernah…"
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Ben sudah melangkah pergi, meninggalkannya lemas dan diselimuti perasaan bersalah.
Ben tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di rumah, tapi dia menemukan dirinya sudah duduk di atas tempat tidurnya. Wajahnya basah oleh air mata yang dia coba tahan sepanjang perjalanan dan tangannya gemetaran nggak karuan. Dia membaringkan tubuhnya seperti bayi di dalam rahim ibu dan menangis sejadi-jadinya. Dia tidak percaya bahwa dia punya anak laki, bukan satu, tapi dua. Ketika matanya jatuh pada mereka sejam yang lalu, dia menyangka sudah salah lihat, bahwa itu hanya imajinasinya saja. Tapi kemudian dia sadar memang melihat dua anak laki dengan wajah yang sama persis dengan dirinya hingga membuatnya bertanya-tanya apa seseorang sudah membuat klon dirinya tanpa seizinnya.
Segala sesuatu tentang mereka mengingatkannya pada dirinya, bahkan aura kebandelan yang terpancar dari setiap pori mereka. Satu-satunya sumbangan gen Jana pada mereka hanyalah hidung yang kecil dan bulat. Dia tidak lagi perlu membayangkan wajah anaknya, karena untuk pertama kalinya dalam delapan tahun ini, anaknya bukan hanya bayangan masa lalu yang menghantuinya, tapi kenyataan yang menamparnya persis di muka. Son of a bitch. Bagaimana Jana bisa setega ini padanya? Bagaimana dia bisa berbohong tentang sesuatu sebesar dan sepenting ini? Dia tahu bahwa dia memang seorang asshole delapan tahun yang lalu, tapi apakah dia berhak diperlakukan seperti ini?
Dan bagaimana dengan anak-anaknya? Mereka juga berhak mendapatkan kasih saying dan perhatian seorang ayah. Bukannya dia mempertanyakan kemampuan Jana sebagai orangtua, karena semenjak dia pertama kali bertemu dengannya, dia tahu Jana memiliki potensi menjadi ibu yang baik. Dan dari sedikit interaksi yang dia lihat antara Jana dan anak- anaknya tadi, perkiraannya benar. Tapi tetap saja, akan lebih baik bagi seorang anak untuk memiliki kasih sayang dari ibu dan ayah.
Mereka sudah berumur tujuh tahun. Dia tidak percaya bahwa dia sudah kehilangan kesempatan untuk memandikan anak-anaknya, mengganti popok mereka, membacakan cerita sebelum tidur, mengajari mereka cara membaca dan berhitung, mengeloni mereka kalau mereka takut tidur sendiri, menuntun mereka naik sepeda untuk pertama kali, nonton finding nemo sama-sama dan tertawa-tawa melihat kelucuan Dori, dan banyak lagi hal yang biasanya di lakukan seorang ayah dengan anak mereka ketika mereka balita. Ini semua adalah kesempatan yang tidak akan pernah dia dapatkan lagi.
Tapi lebih dari itu semua, dia tidak percaya bahwa dia sudah hidup leha-leha sebagaiman layaknya laki-laki single dengan pekerjaan mapan dan tanpa tanggung jawab lain selain dirinya, sementara Jana harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak, sendiri. Bayangan Jana sebagai ibu tunggal yang hanya bisa memberikan kehidupan pas-pasan kepada anak-anaknya sementara dia hidup mewah, mengahantuinya. Kenyataan bahwa Jana berasal dari keluarga kaya dan kemungkinan mendapatkan support financial dari keluarganya, tidak membuatnya merasa lebih baik. Dia bertanya-tanya, pengorbanan apa yang harus Jana lakukan untuk mendapatkan support itu? Seingatnya dari cerita Jana, Papinya tidak pernah memberikan sesuatu tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih besar dari bayaran.
Dia selalu bangga memiliki pacar seperti Jana, tapi rasa bangga itu sekarang bercampur dengan rasa salut dan hormat. Rasa bersalah karena dia sudah lalai akan tugasnya untuk melindungi Jana dan anak-anaknya, menyelimutinya. Holy shit!!! Tadi pagi dia bangun hanya sebagai laki-laki single yang tanggung jawab terbesarnya adalah memastikan proyek konsultasinya berjalan lancer, dan sore ini, dia adalah seorang ayah dari dua anak laki berumur tujuh tahun. HOLY MOTHER OF GOD, AKU SEORANG AYAH!!! Apa dia bahkan bisa menjadi seorang ayah yang baik untuk anak-anaknya? Dia tahu Erik selalu senang hangout dengannya, tapi Erik baru berumur empat tahun.dan selalu bisa disogok es krim kalau menangis. Dia yakin tidak bisa melakukan hal yang sama kepada sepasang anak berumur tujuh tahun.
Erga dan Raka, itulah nama mereka. Nama yang terdengar kuat untuk anak laki. Apa Jana memilih nama itu sendiri atau mendapatkan input dari Mami dan Papinya? Dan nama belakang mereka adalah Oetomo. Well, setidak-tidaknya dari yang dia dengar, nama belakang Raka adalah Oetomo, maka kemungkinan besar Erga juga memiliki nama belakang yang sama. Ben mengerti kenapa Jana tidak memberikan nama Barata kepada Erga dan Raka, tapi tetap saja, dia merasa sedikit dicurangi karena anak-anaknya, darah dagingnya, tidak memiliki identitas yang mengasosiasikan dirinya dengan mereka. Yang bisa menunjukkan bahwa mereka adalah miliknya dan dia milik mereka.
Raka Barata dan Erga Barata. Mmhhh… nama itu kedengaran lebih cocok untuk mereka daripada Raka dan Erga Oetomo. Seperti apakah mereka? Apa mereka punya banyak teman? Apa hobi mereka, makanan favorit mereka? Apa mereka akur? Apa mereka pernah bertanya-tanya tentang ayah mereka? Dan kalau memang mereka bertanya, apa yang Jana sudah katakana kepada mereka? Andaikan dia bisa menanyakan semua ini… sayang dia terlalu shock untuk melakukan apa-apa selain menatap mereka dengan mulut ternganga siang tadi.
Dari semua pertanyaan yang kini berputar-putar di kepalanya, ada satu yang paling penting, tapi dia takut menanyakan karena tahu itu akan menghancurkannya kalau jawabannya adalah "Tidak", yaitu: aoa anak-anaknya mau bertemu dengannya? Bagaimana kalau mereka tidak tertarik sama sekali untuk mengenalnya? Bahwa mereka puas hanya hidup dengan Jana. Bahwa mereka tidak membutuhkannya. Oh, itu akan membunuhnya. Tapi pertanyaan paling besar yang harus dia tanyakan adalah: apakah Jana akan memperbolehkannya mengenal mereka? Kemarahan yang dia rasakan karena Jana sudah menyembunyikan Raka dan Erga darinya kembali lagi. FUCK WHAT SHE WANTS!!! Terserah Jana mau atau tidak, siap atau tidak, dia akan mengenal anak-anaknya.
Perlahan-lahan dia bangun dari tempat tidur dan berjalan sedikit kuyu menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya. Dia sudah membuat kesalahan delapan tahun yang lalu dengan tidak meminta bantuan ketika membutuhkannya, dia tidak akan membuat kesalahan yang sama. Setelah lebih segar dia mencari ponselnya dan menekan nomor ponsel Eva.
"Hey," ucap Eva.
Hanya mendengar suara Eva membuatnya ingin menangis lagi. Oh God, sejak kapan dia jadi seperti banci begini? Dia tidak bisa ingat kapan terakhir kali dia menangis sebanyak ini, mungkin waktu nonton adegan akhir film platoon ketika dia masih SD. This is fucking crazy. Dia menarik napas dalam dan bisa berkata, "Ev…" sebelum emosi mengambil alih dan dia tersedak.
Ben mendengar Eva memanggil namanya tiga kali, setiap kali terdengar semakin khawatir, tapi dia tetap tidak bisa membalas. "Ben, tell me what's wrong. Apa sesuatu terjadi pada Mama? Pada Papa? ANSWER ME, DAMN IT. YOU'RE SCARING ME!!!" Eva mulai histeris.
Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mengucapkannya, tapi dia mendengar dirinya berbisik, "Aku punya anak, Ev."
"Apaaa???!!!" teriak Eva.
Ben menarik napas dan mengulang kata-katanya. "Aku punya anak. Jana nggak pernah ngegugurin kandungannya delapan tahun lalu."
Dan untuk beberapa detik tidak ada balasan apa-apa dari Eva. Ketika Ben berpikir bahwa sambungan teleponnya secara tidak sengaja sudah terputus, dia mendengar Eva berteriak sekeras-kerasnya, "HOLY MARY MOTHER OF JESUS. I'M COMING OVER." Sebelum sambungan betul-betul terputus.
***
Ketika Eva melabrak masuk ke dalam kamarnya sejam kemudian, Ben sudah jauh lebih tenang. Dia menuliskan sebuah daftar tentang apa saja yang harus dilakukannya untuk menghadapi situasi ini. Yang paling teratas pada daftar ini adalah: Call George. George West adalah bosnya di Chicago. Hanya membutuhkan semenit untuk menyadari bahwa dia tidak bisa kembli ke Amerika sekarang. Sulit baginya untuk membayangkan dirinya kembali ke rutinitasnya yang dulu di Chicago seakan kejadian paling penting di dalam hidupnya tidak sedang terjadi. Dia tahu George akan mengamuk begitu mendengar dia mau memperpanjang cutinya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan di tengah-tengah pelaksanaan proyek konsultasi besar yang sedang mereka tangani sekarang, tanpa penjelasan masuk akal. Oleh karena itu, hal ini menjadi prioritasnya. Keputusannya sudah bulat, bahwa kalau sampai dipecat karena ini, dia harus menerima keputusan itu dengan tangan terbuka.
Hal kedua: Tell Mama dan Papi. Ini satu hal yang membuatnya lebih panas-dingin daripada prospek kehilangan pekerjaan. Tidak peduli dia berumur tiga puluh tahun, tapi seperti anak yang sudah berbuat salah pada umumnya, dia takut menghadapi orangtua. Dia yakin Mama dan Papa akan senang tujuh turunan begitu tahu tentang keberadaan Erga dan Raka. Tuhan tahu dia sudah kenyang diteror oleh mereka untuk memberikan cucu. Tapi itu bukan berarti mereka akan senang mendengar dia sudah menghamili seorang cewek delapan tahun yang lalu dan tidak menikahinya. Disinilah bantuan Eva akan sangat diperlukannya.
Hal ketiga: Call Jana. Untuk yang terakhir ini dia harus melakukannya dengan sangat berhati- hati karena tidak mau membuat Jana defensive dan justru tidak memperbolehkannya bertemu dengan Raka dan Erga. Menurut sedikit riset yang dilakukannya melalui Google, hukum Indonesia mengatakan karena dia tidak pernah menikahi Jana, dia tidak punya hak apa-apa atas anaknya. Stupid law!!! Hanya karena seorang laki-laki tidak mengandung anak mereka selama Sembilan bulan, bukan berarti mereka memiliki lebih sedikit hak atau kasih sayang kepada anak mereka daripada sang ibu.
Kesadaran ini membuatnya terdiam sesaat. Bagaimana dia bisa menyayangi manusia yang baru saja ditemuinya kurang dari sepuluh menit, dia tidak tahu. Tapi itulah kenyataannya. Dia menyayangi dan mencinta Erga dana Raka dengan seluruh hati dan Jiwanya. Oleh karena itu, dia harus menghubungi seorang pengacara untuk memastikan perkara hak asuh, tapi untuk sementara waktu sepertinya dia harus baik-baik dengan Jana kalau mau berkesempatan melihat anak-anaknya lagi.
"Ben, I am so sorry," ucap Eva dan langsung menyelubunginya di dalam pelukannya. "Makasih ya udah dateng," kata Ben sambil menerima pelukan itu dengan pasrah.
"No problem. I'm glad you called me." Eva mencium keningnya dan melepaskannya untuk duduk di sebelahnya sebelum bertanya, "Dari mana kamu tahu kalo kamu punya anak?" "Dua anak."
"Excuse me?" Tanya Eva bingung. "Anakku kembar."
"Bercanda kamu?" Eva kelihatan tidak percaya. Ben menggelengkan kepalanya untuk menjawab keraguan ini yang disambut dengan, "Oh Jesus," oleh Eva. "Tapi gimana… aku nggak… maksudku… keluarga kita nggak ada turunan kembar sama sekali. Apa kamu yakin itu anak kamu?" Tanya Eva sedikit terbata-bata.
"Ev, mereka kelihatan kayak kembaran aku waktu umur segitu." "Apa mereka sepreman kamu?"
"Salah satunya, yang namanya Raka, kelihatan jauh lebih preman daripada aku. Tinggi, besar, gempal dan siap berantem sama siapa aja."
"Jadi nama anak kamu Raka?" Ben mengangguk. "Dan Erga."
"Wow."
"I know," desah Ben.
Eva terdiam sesaat, seakan memikirkan sesuatu sebelum berkata- kata lagi. "Kebayang nggak sih? Ada tiga kamu di muka bumi ini. As if, satu kamu belum cukup untuk membuat semua orang pusing, tuhan harus bikin dua lagi."
Tidak merasa tersinggung dengan kata-kata Eva, Ben justru merasa depressed. Ya Tuhan, mudah-mudahan anak-anaknya tidak mewarisi tingkah lakunya yang sering dibilang "anak iblis" waktu kecil saking bandel dan susah diaturnya. Sejujurnya, dia mengasihani Jana kalau sampai mereka seiblis dirinya.
"Apa ada apa-apa yang bisa aku bantu?"
"Aku perlu kamu untuk nemenin aku waktu aku break the news ke Mama dan Papa." "Jadi mereka belum tahu tentang ini?"
Ben menunduk dan menggeleng. "Aku nggak tahu gimana ngomongnya, Ev." "It's alright. I'll help you, okay?"
***
Sudah tiga hari semenjak Jana terakhir melihat Ben dan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Telepon dan e-mailnya tetap tidak bersuara, padahal dia sudah membatalkan blok pada nomor telepon Ben dan spam pada e-mail Ben. Beberapa kali dia mencoba menelepon Ben tapi mundur pada detik terakhir. Dia juga mencoba mengirimkan e-mail, tapi e-mailnya stuck pada kata "Ben". Ya Tuhan, dia bisa mati oleh rasa bersalah kalau Ben tidak segera menghubunginya.
Dia beruntung Joko tidak mengatakan apa-apa kepada Papi, tapi seharusnya dia tahu ada dua orang lagi yang menyaksikan kejadian ketika hormonnya mengalahkan akal sehatnya. Sejujurnya, kalau ada yang bertanya bagaimana dia berakhir mencium Ben, dia tidak bisa menjelaskannya. Satu detik dia sedang mencoba meneriakkan "Fuck you" kepada Ben atas kata-katanya yang jelas-jelas memojokkan itu, detik selanjutnya mereka sudah ciuman seolah-olah alien telah menyerang bumi dan inilah saat terakhir yang mereka bisa habiskan bersama-sama sebelum mereka punah. Betul-betul memalukan.