Chereads / Dirty Little Secret by. JessieB2 / Chapter 12 - Chapter 12

Chapter 12 - Chapter 12

Cause I've relied on my illusions

To keep me warm at night

But I denied in my capacity to love

I am willing, to give up this fight

Kepala Jana berkecambuk dengan segala sumpah serapah kepada dirinya sendiri, yang selama seminggu ini sudah merasa bersalah terhadap Ben. Dia sudah bertekad memperbaiki kesalahannya yang telah menyembunyikan Erga dan Raka dari Ben dengan memberikan Ben kesempatan untuk betul-betul mengenal anak-anaknya kalau dia mau. Membayangkan ekspresi Raka dan Erga ketika mereka tahu bahwa mereka memiliki seorang ayah yang mau bertemu dengan mereka sempat membuatnya terharu. Meskipun dia merasa sedikit takut bahwa dia tidak lagi jadi orang nomor satu yang paling disayangi oleh anak-anaknya dengan kehadiran Ben, tapi dia rela melakukannya dengan harapan anak-anaknya akan menjadi seperti anak-anak lain yang memiliki ibu dan ayah.

Dia bahkan sudah mempertimbangkan untuk suatu hari menjalin rumah tangga dengan Ben kalau pilihan ini dipersembahkan padanya. Tapi apa yang dia dapatkan? Laki-laki itu bahkan nggak tinggal di benua yang sama dengan mereka!!! Kalau benua yang dia tinggali adalah Australia, yang hanya memakan waktu maksimal delapan jam terbang dari Jakarta, dia mungkin masih bisa memikirkan suatu arrangement di mana Ben akan datang mengunjungi anak-anaknya setiap dua minggu sekali, atau dia yang membawa Erga dan Raka mengunjungi Ben. Tapi Ben tinggal di benua yang paling jauh dari Jakarta. Kutub utara atau selatan saja masih lebih dekat dengan Jakarta daripada Amerika.

Dengan keterangan pekerjaannya, Jana tahu Ben sudah cukup mapan di Chicago, bahkan ada kemungkinan dia sudah punya green card, atau lebih parah lagi kewarganegaraan Amerika. Itu berarti dia di Jakarta hanya untuk liburan, yang mengindikasikan bahwa cepat atau lambat dia akan harus kembali ke Amerika. Lalu apa yang akan terjadi dengan anak- anaknya setelah Ben pergi? Dia tidak meragukan kemampuan Ben untuk membuat anak- anaknya menyayanginya kalau diberikan kesempatan. Sumpah, Ben adalah tipe orang dengan aura dan personality yang mudah disukai siapa saja. Tapi seingatnya, Ben nggak pernah punya teman baik. Dia lebih senang loncat dari satu teman ke teman yang lain.

Sesuatu yang sepertinya tidak pernah dipermasalahkan oleh orang-orang yang mengira diri mereka tanpa Ben, karena Jana tidak pernah bertemu orang yang tidak akan tersenyum lebar kalau bertemu dengannya. Nggak peduli mereka laki-laki atau perempuan.

Tapi anak-anaknya bukanlah teman-teman sementara Ben yang bisa ditinggalkan begitu saja kalau dia sudah menemukan teman baru. Mereka nggak akan bisa mengerti kenapa seorang laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai ayah mereka tiba-tiba menghilang begitu saja.

Kunjungan setiap beberapa bulan atau kapan saja Ben ada waktu tidak akan cukup bagi mereka. Anak-anaknya berhak memiliki ayah full-time yang bisa mereka telepon kalau mereka memerlukannya dan dia akan datang dalam hitungan menit, bukannya dua puluh jam. Mereka berhak memiliki ayah yang menghabiskan setiap hari Sabtu-nya mengajari mereka berenang, dan setiap malamnya menyelimuti mereka. Dan kalau Ben tidak bisa memberikan ini semua, lebih baik nggak usah sama sekali.

Jana tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di depan gerbang sekolah anak-anak, tapi tanpa dia sadari dia sudah mendorong persneling dari "D" ke "P", dan menunggu hingga Raka dan Erga muncul. Merasa terlalu resah untuk duduk, Jana turun dari mobil dan ketika matanya terkunci pada Erga dan Raka, dia langsung berlari menyambut dan memeluk mereka seerat- eratnya.

"Bunda, aku nggak bisa napas," protes Raka dengan suara agak terendam.

Jana tertawa dan melonggarkan pelukannya, tapi dia menolak melepaskan mereka. Yang dia inginkan adalah satu menit saja lagi dengan anak-anaknya, di mana nggak ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, lalu lintas padat yang harus dia lalui untuk mengantar mereka ke rumah Mami, dan monster besar dan menakutkan bernama Ben. Beberapa menit kemudian Jana melepaskan pelukannya. Dia menatap anak-anaknya dalam-dalam dan berkata, "Bunda sayaaa…ng sekali sama kalian."

"Aku juga sayang sama Bunda," balas Erga.

"Aku yang paling sayang sama Bunda," timpal Raka nggak mau kalah, yang menerima pelototan dari Erga, membuat Jana tertawa terbahak-bahak.

***

Ketika Jana sampai di rumah Mami, beliau sedang berdiri di halaman depan, mengenakan blus dan celana panjang putih katun dan topi lebar, sibuk menyirami tanamannya. Jana baru saja turun dari mobil dan melambaikan tangannya kepada Mami sambil meneriakkan, "Hai, Mam," ketika sadar bahwa perhatian Mami tidak tertuju padanya.

Dia belum sempat menoleh untuk mencari tahu apa yang menarik perhatian Mami ketika mendengar seseorang berteriak, "Hei, kita belum selesai bicara!"

Terkejut, dia segera menoleh dan menemukan Ben sedang bergegas ke arahnya dengan wajah merah padam. Untuk beberapa detik dia hanya bisa menganga. Otaknya tidak bisa memproses apa yang sedang dilihatnya. Samar-samar dia mendengar pintu mobil dibuka dan ditutup, diikuti suara Erga dan Raka sedang membicarakan sesuatu, meskipun dia tidak tahu tentang apa. Kalau bukan karena Raka yang mengatakan, "Halo, Oom Ben," dia mungkin menyangka bahwa dia sedang berkhayal.

Beberapa pertanyaan yang berkelebatan di dalam kepalanya adalah: bagaimana Ben bisa ada di sini? Bagaimana dia bisa tahu alamat rumah orangtuanya? Apa dia mengikuti dari restoran tadi? Tapi saking kagetnya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya untuk mengemukakan semua pertanyaan ini.

Ben yang kelihatan terkejut oleh sapaan Raka berhenti melangkah dan menatap Raka dengan sesuatu yang mirip seperti kebanggaan, ketakutan, dan kebingungan. Jana menunggu detik ketika Ben akan lari pontang-panting, tapi yang dia dapatkan justru Ben melangkah mendekat dan berjongkok di depan Raka.

"Halo," sapa Ben. "Kamu pasti… Raka."

Dari mana Ben bisa membedakan Erga dan Raka, dia tidak tahu. Memang, ada kemungkinan dia hanya menebak saja dan kebetulan banget. Toh, hanya ada dua nama yang dia bisa pilih dan kemungkinan dia benar adalah lima puluh persen. Tapi, tetep saja, dia sedikit kagum.

Raka yang memang nggak pernah mengenal kata malu-malu langsung membalas dengan antusias.

"Iya, kok Oom tahu?"

"Tahu dong," balas Ben dan mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Raka yang Oh my God menatap Ben seakan laki-laki itu dewa.

Ben membalasnya dengan tertawa sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Erga, yang berdiri ragu di belakang Raka. "Dan kamu pasti Erga. Kembaran Raka," ucapnya.

Dan sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama tujuh tahun Jana membesarkan Erga, kejadian. Erga mendekati Ben dengan langkah pasti. Berhenti sekitar setengah meter darinya untuk mengulurkan tangannya dan mengatakan, "Erlangga Oetomo."

Hilang sudah jejak anaknya yang pemalu dan susahnya setengah mampus kalau diminta berkenalan dengan orang baru. Yang ada dihadapannya adalah… Jana bahkan nggak tahu apa yang ada di hadapannya sekarang. Rasa bangga di taburi sedikit kekecewaan karena Ben, tanpa harus berusaha berhasil menarik perhatian Erga, menyelimutinya.

Ben yang tidak kelihatan kaget sama sekali segera meraih tangan Erga. "Ben Barata," ucapnya. Dia kemudian memutar tangan kanan Erga dan mengomentari, "Jam tangan kamu keren. Optimus Prime kan, ya?"

Senyum lebar menghiasi wajah Erga dan dia mengangguk antusias. Satu lagi hal yang Jana tahu disukai anak-anaknya selain berenang adalah Transformers. Mulai dari kartunnya, filmnya, hingga segala tetek-bengek yang berhubungan dengannya. Pada ulang tahun mereka yang ke-6, mereka menolak memakai selimut Barney lagi dan meminta dibelikan selimut bergambar tokoh-tokoh robot Transformers.

"Raka punya Bumblebee," ucap Erga kepada Ben.

Raka langsung mengulurkan lengan kanannya untuk memamerkan jamnya. Dan untuk beberapa menit Ben menginspeksi jam tangan Optimus Prime dan Bumblebee dengan keantusiasan luar biasa.

Don't freak out, don't freak out, don't freak out, Jana mengucapkan mantra ini dalam diam sementara menyaksikan kejadian di hadapannya. Dan dia masih merasa cukup oke, sampai Erga dan Raka menyandarkan tubuh mereka ke Ben dengan kepercayaan penuh bahwa tubuh Ben akan mampu menahan tubuh mereka. Sekilas mata Ben melirik Jana, bukan dengan penuh kemenangan karena dia bisa membuat Raka dan Erga ngobrol dengannya, tapi seperti menanyakan: "Is this okay?"

Tentu aja nggak oke!! Jana tidak mau mengakuinya, tapi dia seriously freaking out. Apa dia oke dengan semua ini? Dengan anak-anaknya yang langsung lengket pada Ben? Bagi orang yang tidak mengenal mereka dan melihat interaksi mereka sekarang, mereka akan berpikir bahwa Ben adalah ayah Erga dan Raka. Dan mereka tidak salah karena connection yang dimiliki Ben dengan Erga dan Raka adalah pertalian yang hanya dimiliki orangtua dengan anak mereka. Pertalian darah yang lebih daripada hanya DNA. Melihat betapa nyamannya Erga dan Raka dengan Ben, dan Ben dengan mereka, membuatnya bertanya-tanya bagaimana dia pernah berpikir untuk memisahkan mereka. Tiga laki-laki terpenting di dalam hidupnya. Ya, dia tahu apa yang baru saja dia pikirkan. Dan betapa pun sulit baginya untuk mengakuinya, tapi tidak bisa dipungkiri lagi, Ben adalah orang penting di dalam hidupnya. Jana mendapati Ben masih menatapnya dan tanpa dia sadari, dia sudah mengangguk dan Ben dengan luwesnya langsung mendudukkan mereka pada kedua pahanya dan melingkari pinggang mereka supaya tidak jatuh. Jana melihat Ben menarik napas sambil menutup matanya selama beberapa detik, seakan mencoba mengingat aroma anak-anaknya, sementara mereka ngomong ngalor-ngidul ngetan-ngulon tentang Transformers. Apa Ben sadar bahwa Erga dan Raka memiliki aroma yang sama dengannya?

Jana meloncat kaget ketika ada tangan menyentuh bahunya dan menemukan Mami sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Oh shit!!! Dia lupa sama sekali bahwa mereka sedang berada di perkarangan rumah Mami.

"Mam," ucap Jana, sambil memutar otak mencoba menjelaskan keadaan ini.

Beberapa hari yang lalu ketika Mami dan Papi menginterogasinya tentang siapa Ben, dia berkata Ben hanyalah teman lamanya. Kerika Mami bertanya kenapa dia tidak pernah di kenalkan ke keluarga, Jana berkata itu baru pertama kalinya dia bertemu lagi setelah bertahun-tahun ini, yang tentunya membuat Mami bertanya-tanya kenapa kalau dia baru saja bertemu lagi kok dia sudah ciuman dengannya di tempat umum. Jana harus berbohong dengan mengatakan bahwa ciuman Ben hanya kecelakaan. Dia hanya mau mencium pipinya tapi mendarat di bibirnya. Ya, dia tahu alasannya ini banyak bolongnya, tapi Mami sepertinya cukup puas untuk melepaskan topic itu.

Tapi dari ekspresi wajah Mami sekarang, yang jelas-jelas bisa melihat kesamaan wajah Ben dengan Erga dan Raka, Jana tahu bahwa dirty little secret-nya sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Satu-satunya hal yang dia syukuri adalah bahwa Mami tidak berteriak- teriak memarahinya seperti orang gila, atau lebih parah lagi mencekik Ben dengan slang kebun.

***

Ben tidak tahu berapa lama dia sudah berjongkok dengan anak-anaknya di pangkuannya. Yang dia tahu adalah bahwa kakinya sudah mati rasa, tapi dia menolak bangun dan kehilangan kehangatan mereka. Dan dia bukan membicarakan tentang suhu tubuh. Rasa sayang yang dia rasakan untuk mereka minggu lalu tidak ada bandingannya dengan apa yang dia rasakan sekarang. Bahkan jauh melewati rasa sayangnya terhadap Eva, Erik, Mama, Papa, dan Jana. Dia menyayangi Erga dan Raka lebih daripada apa pun juga di muka bumi ini. Rasa proktektif yang tidak tergambarkan meremas hatinya. Dia bersumpah akan melindungi dan menjauhkan mereka dari segala hal buruk di dunia ini.

Dia tersadar kembali dari segala rasa haru yang sedang menyergapnya ketika mendengar Jana menyebut namanya. Perlahan-lahan dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk memfokuskannya pada wajah Jana yang sekarang sedang tersenyum padanya. Inilah pertama kalinya Ben melihatnya tersenyum dan efeknya hampir membuatnya jatuh terduduk.

"Aku harus balik ke kantor," kata Jana.

Oke… dia tidak tahu maksud Jana dengan kata-kata ini. Melihat kebingungannya, Jana menambahkan, "Aku harus ninggalin Erga dan Raka sama Mami."

Pada saat itulah dia melihat wanita setengah baya yang berdiri di sebelah Jana, yang kini sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Is this… no way. Ini ibunya Jana? Tidak salah lagi, ini ibunya Jana. Dia kelihatan seperti Jana versi lima puluh tahun dan orang Jepang. Dan Ben jatuh terduduk membawa Erga dan Raka bersamanya. Ben berusaha bangun untuk memeriksa apakah anak-anaknya sudah cedera karena keteledorannya, tapi yang ada mereka malah tertawa-tawa dan bergantian menindihnya seperti WWF SmackDown. Samar-samar dia mendengar suara Jana meminta Erga dan Raka untuk berhenti, yang tidak dihiraukan sama sekali oleh mereka.

Lima menit kemudian dan dia masih mendapati dirinya ditindihi anak-anaknya, dia sadar bahwa kemeja dua ratus dolarnya kemungkinan sudah kotor kena tanah dan rumput dan nggak akan bisa dipakai lagi setelah ini. Tapi dia having too much fun untuk memedulikan hal sepele seperti itu. Kemeja dia bisa beli lagi, tapi main dengan anak-anaknya seperti ini kemungkinan tidak akan pernah terjadi lagi. Dia membalas serangan Erga dan Raka dengan memiting mereka, membuat mereka guling-guling nggak karuan di atas rumput, mencoba menghindari serangannya. Anak-anaknya memang berukuran besar untuk anak seumuran mereka, tapi tidak sebanding dengan dirinya. Dengan mudahnya dia menarik mereka ke dalam pelukannya dan terus memiting mereka.

"Stop… stop …. Hihihi…," teriak Erga.

"Ampun… ampun… ARRRGGHHH!!! Nggak lagi… nggak lagi," teriak Raka.

Ben mengasihani mereka yang sudah minta ampun dan melepaskan pitingannya. Dia baru saja akan menarik napas panjang ketika ditabrak dengan ganas oleh dua tubuh kecil yang meneriakkan, "Seraaa…ng!!!" dan membuatnya jatuh telentang di rumput. Lain dari sebelumnya, di mana mereka akan menindihnya seperti pyramid, kini mereka menggabungkan serangan untuk balik memitingnya. Alhasil selama semenit ke depan mereka sibuk saling memiting sampai dia merasakan semburan air cukup kencang yang diarahkan pada wajahnya, membuatnya berteriak, "Aaaaggghhh!!!"

Dan sepertinya bukan dia saja yang terkena semburan air itu karena dia mendengar Erga dan Raka berteriak, "Ujaaan, ujaaan," pada saat bersamaan.

Ben mencoba bangun dari posisinya agar bisa menarik Erga dan Raka untuk berteduh. Dia bingung sesaat ketika melihat langit masih cerah, tidak ada setitik hujan pun. Baru pada saat itu dia melihat ibu Jana memegang slang dengan moncong menghadap mereka, siap menyemprot lagi bila perlu. Ben tahu dia seharusnya takut melihat wanita itu bertolak pinggang dan melemparkan tatapan siap membunuhnya, tapi yang ada dia malah mulai cekikikan. Dan cekikikannya ini membuat Erga dan Raka cekikikan juga. Cekikikan Ben berubah menjadi tawa lepas ketika dia mendengar Raka bertanya, "Ayo, Mbah Uti, semprot lagi."

"Iya, Mbah. Lebih kenceng ya," timpal Erga.

Ya Tuhan. Kalau ada orang pernah meragukan bahwa Erga dan Raka adalah anak-anaknya, mereka tidak akan meragukannya setelah ini. Anak-anaknya adalah dia seratus persen, berikut dengan keiblisannya jua. God, he loves them to death. Di antara tawanya, dia melirik Jana yang sekarang terkekeh sambil memegangi perutnya. Hal ini membawa kehangatan tersendiri pada hatinya. Setidak-tidaknya dia tahu Jana masih memiliki sense of humor seperti dulu. Mata mereka bertemu dan sebuah pengertian muncul. Apa pun yang telah atau akan terjadi diantara mereka berdua, pada detik ini, dia, Erga, Raka, dan Jana adalah satu kesatuan.

***

Tiba-tiba gugup oleh tatapan Ben yang penuh arti itu, Jana berhenti teratwa dan mengalihkan perhatiannya ke anak-anaknya. "Raka, Erga, ayo masuk. Seragam kalian kotor penuh tanah dan perlu dicuci. Kalian juga perlu mandi, ada tanah di rambut kalian," perintah Jana.

"Tapi, Bunda…," rengek Raka. "Nggak pake tapi-tapi," potong Jana.

Raka dan Erga langsung bangun dari posisi mereka yang sudah menggunakan tubuh Ben sebagai bantal. " Oom Ben gimana?" Tanya Erga.

"Oom Ben gimana, apa?"

"Oom Ben bajunya kotor. Rambutnya juga. Apa Oom Ben harus mandi juga?"

"Ya, Oom Ben juga harus mandi." Jawaban ini membuat Ben menaikkan alisnya penuh pertanyaan dan Jana menambahkan, "Di rumahnya sendiri."

Dan laki-laki itu berani-beraninya memampangkan wajah cemberut, membuatnya ingin ketawa. Damn him!

"Apa Oom Ben nggak bisa mandi di sini?" timbrung Raka. Ketika pertanyaannya ini tidak menerima jawaban, Raka mengalihkan tatapannya ke Mami dan bertanya dengan nada memohon, "Mbah, Oom Ben bisa kan mandi di sini?"

Menyadari bahwa Mami kemungkinan akan mengatakan "Iya", Jana langsung memotong. "Raka, Bunda yakin Oom Ben lebih suka mandi di rumahnya sendiri. Udah, ayo say googbye sama Oom Ben dan masuk ke dalam rumah. Bunda masih harus balik ke kantor."

Jana mengucapkan syukur ketika Raka tidak berdebat lagi dengannya. Tapi sedetik kemudian ketika dia melihat Raka memutar tubuhnya untuk memeluk Ben, lebih tepatnya kaki kanan Ben, satu-satunya tempat yang bisa dicapai Raka ketika Ben sudah berdiri tegak, Jana ingin menendang dirinya sendiri.

"Bye, Oom Ben," ucap Raka.

Ben menunduk untuk mengangkat Raka dan memeluknya erat, seolah tidak akan mau melepaskannya lagi. Beberapa menit kemudian, menyadari dia kemungkinan meremukkan tulang rusuk Raka, dia melonggarkan pelukannya. "Bye, buddy," ucapnya pelan dan mencium pipi Raka dengan bunyi "Ceplok".

"Kapan-kapan ke sini lagi ya, Oom. Kita bisa main tindih-tindihan lagi." "Oke," ucap Ben sambil tersenyum lebar dan menurunkan Raka.

Seakan tahu Erga sedikit lebih sensitive daripada kembarannya, Ben tidak langsung memeluknya, meskipun dari matanya Jana bisa melihat itulah yang ingin dia lakukan. Ben memilih menunggu sinyal dari Erga yang perlahan-lahan berjalan ke arahnya.

"Bye, Erga," ucap Ben pelan.

"Bye, Oom," balas Erga dengan wajah serius.

Dan tanpa memberikan pelukan atau ciuman kepada Ben, Erga berlalu memasuki rumah. Raka kelihatan ragu sesaat, sebelum mengikutinya. Jana betul-betul ingin menangis melihat wajah penih kehilangan yang dipaparkan Ben sekarang. Dia baru saja akan berkata-kata ketika didahului oleh Mami.

"Jadi kamu ayahnya Erga dan Raka?"

Jana langsung menggigit bibirnya. Uh oh. Dia tidak tahu bagaimana percakapan antara Mami dan Ben ini akan berakhir. Pada detik itu Jana betul-betul mengasihani Ben. Mana berlepotan lumpur, dipelototin seperti seorang pemerkosa pula. Oleh sebab itu dia cukup terkejut ketika Ben justru melangkah pasti mendekati Mami dan mengulurkan tangannya. "Ya, Tante. Saya Ben… Ben Barata."

Whoa.. Ben ternyata jauh lebih bernyali daripada yang yang dia pikir. Sejujurnya, kalau dia jadi Ben, dia mungkin sudah ngibrit.

Mami menyipitkan mata, seakan mencoba menilai Ben, sebelum berkata, "Apa kamu punya hubungan dengan Oscar Barata?"

Oh, crap!!! Jana tahu betapa Ben tidak suka kalau orang menilainya hanya karena nama papanya. Itu sebabnya dia suka kuliah di Amerika, di mana tidak ada orang yang mengenal atau peduli dengan itu dan memperlakukannya biasa-biasa saja. As if orang yang mengenal Ben memperlakukannya seperti itu. Entah kapan Ben sadar bahwa yang membuat orang menempel padanya adalah karena dia, bukan papanya.

Jana melihat Ben meringis dan dia berpikir Ben akan menolak menjawab pertanyaan itu ketika mendengarnya menjawab, "Itu papa saya,"

Mata mami langsung melebar bak piringan hitam, membuat Jana takut beliau sedang mengalami serangan jantung. Setitik pengenalan muncul pada matanya, disusul sesuatu yang mirip… kebanggaan? What the hell? Ketika Jana melihat Mami tersenyum, kebingungannya berubah menjadi waswas. Dan ketika detik selanjutnya Mami berjalan mendekati Ben dan memeluknya, menempelkan blus putih bersihnya dengan kemeja Ben yang super kotor, jantung Jana sudah hampir meloncat keluar.

"Welcome to the family, son," ucap Mami dan segala sumpah serapah terlintas di kepala Jana, sesuatu yang dia sadari semakin sering dia lakukan semenjak Ben muncul lagi di dalam kehidupannya.