DALAM perjalanan pulang menuju apartemen, Didi tidak habis-habisnya memuji Reilley dan keluarganya.
"Ya... ampun, Mbaaa...k, dia perfect banget buat kamu. Terang saja kamu suka banget kepadanya. He is nice. Aku pikir tipe laki-laki seperti dia sudah punah, ternyata aku salah. Kamu benar, matanya... Oh, my God... lebih biru dari Laut Pasifik. Nggak adil banget deh, kok laki-laki bisa punya mata seseksi dia."
"kok kayaknya kamu lebih excited bertemu dia sih dibandingkan aku?" tanyaku, agak bingung melihat reaksi Didi yang menggebu-gebu.
"Terang saja aku excited. Aku nggak percaya Mbak sudah membuang waktu tiga tahun hidup bersama Brandon, cowok sialan dan nggak tahu diri itu, kalau ternyata ada Reilley di dunia ini. Aku yakin ini kismet."
"Kismet?" tanyaku ragu.
Didi seakan-akan tidak mendengar atau tidak mau menghiraukan keraguanku, dan melanjutkan usahanya meyakinkanku. "Ya, kismet. Jodoh... jodoh... Mbak dengan Reilley tuh jodoh. Mbak lihat deh faktanya. Mbak bertemu dia setelah putus dari Brandon, lalu Mbak sudah bertemu dia berkali-kali setelah itu. Kayaknya memang Tuhan menunjuk dia untuk Mbak."
Aku terpaksa tertawa mendengar penjelasan Didi. "Keluarga dia juga suka dengan Mbak deh. Apalagi si Marcus. Untung saja tuh anak super berondong, kalau nggak, waaa... hhh... dia nggak tahu sudah aku kerjai."
"Yeah, he's cute," balasku, ketika sadar Marcus memang tipe cowok yang Didi suka. Tinggi, besar, gaul, dan atletis.
"Cute? Dia super ganteng, lagi!" teriak Didi. "Well, anyway... setidak-tidaknya Mbak sudah punya nomor teleponnya sekarang. Jadi, Mbak bisa telepon dia."
"Aku nggak punya nomor telepon Marcus," balasku bingung.
"Aduuu... hhh bukan Marcus, Mbaaa...k," Didi terdengar gemas. "Maksudku Reilley. Dia tadi kan telepon Mbak. Jadi, nomor teleponnya pasti tercatat kan di cell
Mbak. Bagaimana kalau Mbak telepon dan ajak dia makan di rumah Tahun Baru nanti?" katanya dalam satu tarikan napas.
Aku harus menahan diri untuk tidak mengakui bahwa aku tidak bisa melakukannya karena nomor telepon Reilley "private". Didi melihat ekspresi wajahku, "What?" tanyanya curiga.
Aku menelan ludah sebelum menjawab, "Nomor telepon Reilley "private", aku nggak bisa telepon dia balik." Aku menunggu ledakan kemarahan Didi sampai di telingaku.
Ternyata yang keluar dari mulut Didi hanya, "Oh... ya nggak apa-apa. Aku lihat Mbak tadi ngobrol dengan dia. pastinya Mbak sempat minta nomor teleponnya dong. Kartu namanya kek... atau apa gitu."
Aku memahami logika berpikir Didi. Pada dasarnya untuk siutasi lain mungkin hipotesisnya bisa berlaku, tetapi tidak untuk kali ini. Melihatku tidak juga menjawab Didi mengerlingkan matanya, "Mbak minta nomor telepon dia, kan?"
Aku menggeleng. "Kartu nama?"
Aku menggeleng sekali lagi.
"Oh maaa... nnnn this sucks," omel Didi, dan sekali lagi aku bisa melihat mengapa banyak orang menyangka adikku ini masih SMA. Sewaktu dia mengatakan kata- kata barusan, dia terdengar seperti Bart Simpson. Aku seakan-akan jadi bisa mendengar lagu yang selalu terlantun pada awal setiap seri The Simpsons di TV. The Simpsooo...ns tut... tut... tut... tut... tut... tut... tut... tut... tut... tut...tutu...tut....
* * *
Bulan Januari pun tiba, dan Didi harus kembali ke Washington D.C. untuk melanjutkan risetnya. Aku kembali sendirian di Winston-Salem. Sandra dan timnya di MBD, yang dulu masih cukup optimis dapat menemukan pasangan ideal untukku dalam waktu kurang dari enam bulan kini mulai terdengar khawatir karena aku belum juga menemukan satu date pun yang "HOT", tetapi seperti biaya Sandra dan timnya tetap pantang menyerah. Kembali aku sudah mulai tenggelam dengan kencan-kencan butaku selanjutnya, yang selalu diakhiri dengan kekecewaan. Sejujurnya, semua date-ku yang tampaknya salah alamat ini mulai membuatku khawatir, apakah semua ini sebanding dengan uang dua ribu dolar yang telah kukeluarkan lima bulan yang lalu? Apakah pada akhir bulan keenam aku akan berakhir dengan tabungan yang sudah berkurang dua ribu dolar, kilometer mobil yang jebol karena semua perjalanan luar kota yang harus aku tempuh, setidak-tidaknya seminggu sekali untuk menemui date-ku, dan masih tanpa prospek suami?
Kalau saja Reilley mau meneleponku, aku tidak akan mengalami kekhawatiran seperti ini. Sepanjang tanggal 25 Desember hingga 3 Januari, aku dan Didi selalu melonjak dari kursi setiap kali mendengar telepon selularku berbunyi. Didi akan menatapku penuh harap, dan kecewa ketika melihatku menggeleng sebagai tanda bahwa telepon itu bukan dari Reilley. Sering kali wajah kecewa adikku itu membuatku tertawa karena seolah-olah justru dia yang menaruh banyak harapan terhadap Reilley. Sejujurnya, aku pun merasakan hal yan gsama. Oleh karena itu, aku juga merasa kecewa karena Reilley belum meneleponku lagi.
Suatu malam, aku sedang mengganti-ganti channel TV ketika kutemukan acara yang membahas tentang Scott Peterson, suami pembunuh istri yang sedang hamil besar agar bisa menikahi pacarnya. Acara itu membahas tentang beberapa indikasi yang bisa kita kenali pada orang yang selingkuh. Bagi wanita yang mungkin jadi selingkuhan seorang laki-laki tetapi tidak tahu-menahu soal itu, beberapa ciri kebiasaan laki-laki seperti itu bisa dikenali. Pertama, laki-laki itu akan datang dan pergi dengan tiba-tiba. Kedua, hidupnya terkesan misterius dan penuh rahasia. Ketiga, laki-laki itu biasanya yang menghubungi kita, tetapi kita tidak bisa menghubungi dia.
Entah mengapa, pikiranku langsung tertuju kepada Reilley dengan sifat timbul- tenggelamnya. Aku bertemu dengannya secara tiba-tiba di Fresh Market ketika dia menegurku untuk menanyakan bahan salad, padahal pada saat itu ada beberapa orang yang cukup berdekatan denganku yang bisa dia tanya. Seperti disulap dia muncul sebulan kemudian ketika aku mengalami masalah dengan mobilku, dan tanpa diminta dia segera membantuku. Kemudian lagi-lagi seperti dia telah menguntitku, Reilley menolongku di pelataran parkir Embassy Suites. Kalau aku ini selingkuhannya, mengapa dia berani memperkenalkanku kepada keluarganya? jangan-jangan mereka bukan keluarganya betulan? Oh, my God! Apakah Reilley seorang penjahat yang buron dan sedang dikejar polisi?
Jadi, selama beberapa hari aku sama sekali tidak bersemangat melakukan apa- apa. Ada kabut kesedihan dan kekecewaan yang menyelimutiku dengan tebal, membuatku sulit bernapas. Aku harus mengusir semua perasaan itu dan bersiap- siap untuk kencan selanjutnya dengan Francis, seorang computer programmer berusia 32 tahun. Dia berkulit putih dengan tinggi 190 sentimeter. Seingatku dia laki-laki tertinggi yang pernah aku temui sepanjang sejarah kencan butaku ini. Ketika mendengar deskripsi tentang dirinya, aku merasa agak ragu. Sebagai seorang computer programmer tentunya Francis akan kelihatan seperti kutu buku dengan tubuh yang kurus kering kerontang, kulit yang pucat karena kurang terkena sinar matahari, dan berkacamata tebal. Pokoknya, jauhs ekali dari tipe laki-laki yang biasanya aku pacari. Belum lagi karena namanya... Francis, nama yang menurutku sudah ketinggalan zaman. Aku cukup penasaran terhadapnya karena Sandra mengatakan, "I think he‟s the best candidate so far." Mau tidak mau aku harus memberi kesempatan kepada diriku untuk mengenal Francis karena siapa tahu ternyata memang ada kecocokan di antara kami berdua.
Hari ini aku harus mengenakan jaket wol karena suhu di Winston mencapai 32 derajat Fahrenheit, yang berarti 0 derajat Celsius. Aku tidak pernah mengalami cuaca sedingin ini sejak aku meninggalkan Washington D.C. tiga tahun yang lalu. Aku memasuki pelataran parkir restoran tepat pukul 12.45. Hari ini aku hanya bekerja setengah hari karena aku sudah bekerja overtime dari hari Senin sampai Kamis. Francis bersedia menemuiku di Winston, hal yan gaku sangat syukuri karena aku tidak akan berani mengemudikan mobil ke luar kota dengan salju setebal ini. Untuk memastikan bahwa dandananku masih sempurna seperti ketika aku meninggalkan rumah, kusempatkan mematut wajahku di kaca beberapa detik sebelum keluar dari mobil.
Untuk pertama kalinya aku terpaksa mengenakan kacamata minusku ketika keluar rumah karena ada iritasi di mata kananku. Mengikuti saran dokter, aku melepas lensa kontak dan mengenakan kacamataku selama satu minggu sampai iritasi di mataku reda. Setelah selalu mengenakan lensa kontak setiap kali keluar rumah selama empat tahun terakhir ini, aku merasa agak tidak nyaman ketika harus mengenakan kacamataku kembali. Salah satu alasan mengapa aku tidak pernah mengenakan kacamata ketika keluar rumah karena menurut Brandon aku kelihatan seperti dorky, bukan penampilan yang ingin aku perlihatkan sebagai seorang financial analyst yang sukses.
Tadinya aku sempat berencana tidak akan menghiraukan saran dokter dan tetap mengenakan lensa kontak, tetapi mengingat betapa gatalnya mataku ketika harus melepaskan lensa kontak itu beberapa jam kemudian, aku memutuskan membatalkan ide itu. Pilihan lain yang bisa aku pertimbangkan adalah tidak mengenakan lensa kontak dan juga tidak mengenakan kacamata, tetapi semuanya akan terlihat kabur. Aku lebih memilih bisa melihat ekspresi wajah date-ku selama kencan daripada takut kelihatan seperti dorky.
Dengan langkah sedikit canggung aku memasuki restoran dan langsung disambut Maitre d‟ restoran, yang berbicara dalam bahasa Prancis. Buru-buru kuinformasikan siapa diriku kepadanya dalam bahasa Inggris. Untungnya Maitre d‟ itu kelihatan mengerti bahwa aku tidak bisa berbahasa Prancis sehingga dia melanjutkan percakapan dalam bahasa Inggris.
"Oh, great... you're here. Your date is already here," ucapnya antusias. Aku terpaksa melirik jam tanganku untuk memastikan aku tidak terlambat. Jam tanganku menunjukkan pukul 12.55. Mmmhhh... kelihatannya date-ku ini tipe laki-laki yang memilih lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat.
"This way please," ucap Maitre'd itu lagi, dan mengantarkanku melewati beberapa meja yang sudah terisi.
Kami berjalan menuju meja yang terletak di samping jendela, di mana seorang laki-laki berambut cokelat sedang duduk menyandar pada kursi. Tubuhnya yang berkemeja biru terlihat santai. Aku sampai di meja yang sudah dipesan. Maitre'd itu menyapa date-ku, yang duduk membelakangiku dalam bahasa Prancis. Aku agak terkejut ketika mendengar suara date-ku, yang membalas sapaan itu dalam bahasa Prancis yang fasih. Pada detik itu aku merasa bahwa aku sedang berada di Paris daripada di Winston-Salem, North Carolina. Aku merasa sedikit kagum dan mulai penasaran dengan date-ku ini. Aku masih belum bisa melihat wajahnya, tetapi kemudian dia memutar tubuhnya dan berdiri. Seketika aku langsung seperti terkena serangan jantung.
"Hello, Titania," ucapnya, sambil tersenyum. "Reilley?"
Suaraku terdengar ragu.
"Oh... you two know each other?" tanya Maitre'd, yang kini sedang menatap kami berdua dengan mata melebar.
Kemudian kudengar Reilley berkata-kata dalam bahasa Prancis lagi sambil melirik ke arahku dengan jenaka. Maitre d' itu tertawa dan mengangguk, kemudian meninggalkan meja kami dengan penuh senyum.
Reilley kemudian mempersilakanku duduk di kursi yang terletak di hadapannya. Aku hanya menuruti kemauannya karena masih terlalu terkejut menyadari date-ku adalah Reilley. Aku juga agak jengkel karena tahu Reilley dan Maitre'd itu baru saja membicarakan aku, tetapi aku tidak bisa memahaminya karena tidak mengerti bahasa Prancis.
Reilley kembali duduk, dan menatapku sambil tersenyum. "Kamu perlu mengambil napas, muka kamu sudah biru," ucapnya, masih jenaka.
Aku lalu menarik napas, dan merasakan otakku mulai berfungsi kembali dengan bantuan oksigen. Sayangnya, dengan pemikiran yang lebih jernih aku bisa melihat situasi ini apa adanya. "What game are you playing at?" desisku.
Reilley menatapku bingung ketika mendengar pertanyaan dan nada bicaraku. "Game? What game?"
"Apakah kamu sedang punya affair? Apakah saya ini selingkuhan kamu?
Apakah orangtua kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan?"
Wajah Reilley terlihat semakin bingung, tetapi aku sudah tidak bisa menghentikan ketakutanku kalau-kalau Reilley sedang membohongiku. Aku juga tidak bisa menghentikan kemarahanku karena dia tidak pernah meneleponku balik. Terlebih-lebih aku tidak bisa menghentikan kekecewaanku akrena sudah terlanjur menyukainya. Sekali lagi aku terjatuh ke dalam perangkap laki-laki buaya darat seperti Brandon.
"Ibu kamu kelihatannya wanita baik-baik. Dia akan sangat kecewa kepada kamu kalau sampai tahu kejadian ini, atau jangan-jangan dia bukan ibu kamu? Apakah mereka bahkan juga bukan keluarga kamu? Kamu sebaiknya punya alasan dan penjelasan yang masuk akal, kalau tidak... sumpah aku akan telepon polisi." Reilley menatapku dengan mulut ternganga. Aku tidak tahu mengapa aku membawa-bawa polisi dalam argumentasiku. Jelas-jelas kalau polisi datang dan menanyakan tuduhanku terhadap Reilley, paling-paling aku hanya bisa menjawab laki-laki satu ini telah "menggantung" perasaanku selama empat bulan. Aku yakin para polisi itu akan menatapku seakan-akan aku ini pasien yang baru kabur dari rumah sakit jiwa.
Tanpa kusangka-sangka Reilley kemudian tertawa sekencang-kencangnya.
Seluruh tubuhnya bergoyang, dan dia terus tertawa.
Melihatnya tertawa aku sudah siap mengangkat buku menu yang tadi ditinggalkan Maitre'd, dan melemparkannya ke wajah Reilley. Bagaimana mungkin dia menganggap semua pertanyaanku sebagai lelucon yang superlucu dan patut ditertawakan? Aku tidak pernah seserius ini dalam hidupku, dan aku tidak pernah semarah ini kepada laki-lai mana pun dibandingkan kemarahanku kepada Reilley pada saat ini. Bahkan kemarahanku pada Brandon tidak ada apa-apanya dibandingkan ini.
Aku semakin merasa tidak nyaman karena beberapa orang mulai menatapku perasaan. Karena Reilley tidak juga berhenti tertawa, akhirnya aku terpaksa berkata, "Apa sih yang lucu?"
"Kamu," jawab Reilley singkat, kemudian tertawa lagi. Aku menyandarkan tubuh ke kursi dan menunggu. Salah seorang waiter datang dan menanyakan pesanan kami dalam bahasa Prancis, tetapi aku memintanya kembali saja beberapa menit lagi. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk tidak lupa berpesan kepada Sandra agar tidak lagi mengatur kencanku di restoran ini. Aku merasa seperti orang paling tolol karena semua orang berbicara dalam bahasa yang tidak aku pahami.
Tak lama kemudian Reilley mulai bisa mengontrol tawanya dan menatapku, meskipun dia masih tersenyum lebar.
"Mengapa kamu kira aku sedang selingkuh?" tanyanya.
"Karena kamu penuh dengan rahasia," jawabku, tanpa berpikir lagi.
"Aku nggak punya rahasia." Reilley menyatakannya dengan tenang, dan dari matanya kelihatannya dia memang mengatakan yang sebenarnya.
Waiter yang tadi, yang bernama Pierre, kembali lagi untuk menanyakan pesanan kami. Aku buru-buru menunjuk beberapa tulisan berbahasa Prancis yang ada di menu, tanpa tahu apa yang aku tunjuk. Seperti Maitre'd tadi, Reilley juga berbicara dalam bahasa Prancis dengan Pierre. Mereka kelihatannya sedang berdiskusi panjang-lebar mengenami semua makanan yang dihidangkan di restoran ini. Pierre kemudian menanyakan sesuatu kepada Reilley, yang menatapku selama beberapa detik. Reilley kemudian tersenyum kepada Pierre sambil menggeleng. Setelah itu, mereka berdua tertawa.
Aku sudah siap mencekik mereka berdua. Untungnya kemudian Reilley menunjuk salah satu makanan yang ada di buku menu, kemudian tersenyum kepada Pierre lagi. Aku baca makanan itu bernama lunettes d'agneau, entah apa artinya. Pierre mengulangi pesanan kami, kemudian berlalu sambil tersenyum. Mungkin ini hanya imajinasiku saja, tetapi kelihatannya ada sesuatu yang menggelikannya di balik senyuman itu, dan aku yakin akulah penyebab yang membuatnya merasa geli.
"Mengapa sih dia menatap aku seperti begitu? Kamu omong apa dengan dia?" desisku.
Reilley hanya menggeleng sambil tetap tersenyum. "Nothing important," jawabnya pendek.
Mengatahui bahwa aku tidak akan mungkin bisa mengorek informasi apa-apa dari Reilley tentang percakapan mereka, aku pun mengganti topik pembicaraan dan menyerang Reilley dari sisi lain.
"Apakah nama kamu memang Reilley?" Nadaku terdengar curiga.
Reilley terlihat ragu sebelum menjawab, "Yes. Itu bukan nama yang dipakai oleh keluarga atau rekan kerja saya, tetapi nama saya memang Reilley."
Melihat tatapanku yang tidak percaya, Reilley mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan SIM-nya kepadaku, kemudian berkata, "Nama lengkap saya Francis Winslow O‟Reilley, tetapi ketika kuliah teman-teman memanggil saya dengan nama keluarga. Lambat laun „O‟ pada O‟Reilley mulai nggak dipakai lagi, dan akhirnya teman-teman lebih familiar memanggil saya Reilley saja. Nama itu stuck dengan saya."
Aku perhatikan nama dan foto yang ada di SIM Negara Bagian North Carolina itu. Kelihatannya semua cukup valid. Aku mengembalikan SIM itu kepadanya. Aku juga tidak bisa berargumentasi tentang pergantian namanya itu. Aku sempat berpacaran dengan laki-laki bernama Chris Wheeler. Di rumah, tempat dia tinggal bersama delapan temannya, dia dipanggil Will, kependekan dari Wheeler.
"Hanya sebagai informasi, semua orang yang bertemu kamu Christmas kemarin memang keluarga saya. My real mom and dad, my brother and two sisters. Saya yakin my mom... akan kena serangan jantung kalau dia tahu saya sudah mempermainkan perempuan."
"Oh," ucapku. Aku tidak tahu bagaimana harus menyikapi penjelasan Reilley ini.
Untung saja minuman kami tiba. Aku buru-buru menyambar gelas yang berisi pepsi, dan meminumnya sampai habis untuk menenangkan pikiranku. Reilley hanya menatapku sambil mengerutkan keningnya, kemudian dia memanggil Pierre lagi dan memintanya mengisi gelasku yang kosong.
"Jadi, apakah kamu ingin saya panggil Francis?" tanyaku ragu, setelah Pierre sekali lagi berlalu dan gelasku sudah penuh lagi.
"Oh, no... please don't. Call me Reilley, please," ucap Reilley buru-buru. "Oh... ya, sepanjang yang saya tahu, saya nggak pernah menikah. Kecuali kalau ada orang iseng yang memberi saya obat bius, membawa saya ke Las Vegas, menikah di sana, dan mengembalikan saya ke tempat tidur sebelum saya sadar. Jadi, boleh dong kalau saya simpulkan bahwa hubungan yang ingin saya jalin dengan kamu nggak bisa dikategorikan sebagai perselingkuhan," lanjutnya.
"Hubungan macam apa yang kita bicarakan di sini?" tanyaku hati-hati. "Dating, kalau bisa yang serius."
Aku masih tetap menatapnya curiga, lalu aku terpaksa menanyakan pertanyaan terahirku. "Kalau kamu memang serius, mengapa kamu belum memberi nomor teleponmu ke saya?"
"Kamu mau nomor telepon saya?" Reilley kelihatan kaget.
"Ya... iyalah, kalau nggak untuk apa juga saya tanya." Sebenarnya, aku malu juga setelah mengatakan kalimat itu. Aku benar-benar tidak percaya, aku bisa mengatakan hal itu. Secara tidak langsung, aku baru saja memohon kepada Reilley untuk memberikan nomor teleponnya kepadaku. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu sepanjang hidupku. "Forget I said that," lanjutku buru-buru.
Pada saat itu pesanan kami tiba, dan aku menatap pesananku dengan mata melebar. Karena tadi terlalu kesal aku hanya asal tunjuk saja, suatu hal yang sangat aku sesali sekarang. Makanan yang ada di hadapanku tampilannya seperti makanan yang sepatutnya tidak dimakan manusia. Yuck....
"Jadi, kamu nggak mau nomor telepon saya?" tanya Reilley, sambil dengan luwesnya bergerak menukar piring yang ada di hadapanku dengan piringnya yang jelas-jelas kelihatan lebih bisa membangkitkan selera makanku.
"Eh... eh... kamu mau apa?" tanyaku bingung, dan memegangi piring pesananku yang sudah setengah terangkat.
"Kamu pesan makanan yang salah. Kamu nggak akan bisa menelan makanan ini. Percaya kepada saya," jelas Reilley, sambil menunjuk pesananku dengan gerakan kepalanya karena kedua tangannya sedang memegangi piring. "Now let go!" perintahnya.
Aku melepaskan genggamanku pada piring dan membiarkan Reilley menukarnya dengan piringnya.
"Memang itu apa sih?" tanyaku, setelah Reilley meletakkan makanan pesanannya di hadapanku. Aku menunjuk pada makanan pesananku, yang kini berada di hadapannya.
"Ini tête de veau vinaigrette," jawab Reilley pendek.
Aku menunggu sampai Reilley menjelaskannya dalam bahasa Inggris. Aku mulai menyesal karena tidak pernah belajar bahasa Prancis ketika kuliah.
"Tête de veau‟ artinya kepala anak sapi, tapi bisa juga diterjemahkan otak sapi.
Nah, itulah makanan yang kamu pesan tadi," lanjutnya.
Menu yang kupesan otak anak sapi? Mulutku langsung terbuka, dan aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari wajah Reilley yang sedang tersenyum. Dia kelihatannya cukup terhibur melihat tingkah lakuku.
"Kamu sebaiknya makan lunch kamu sebelum dingin," ucapnya, sambil menunjuk lamb chop yang ada di hadapanku dengan garpu.
Kulihat Reilley memasukkan sesuap makanan di hadapannya ke dalam mulutnya. Dia tidak terlihat ada masalah dengan makanan itu sama sekali. Kupotong dagingku dan memasukkannya ke dalam mulutku. Sejujurnya, ini adalah steak daging kambing terenak yang pernah aku makan.
"Bagaimana makanan kamu?" tanya Reilley.
Aku menelan makanan yang ada di dalam mulutku, dan menjawab, "Enak." Aku terdiam sesaat dan minum pepsi. "Saya nggak tahu ternyata kamu bisa bahasa Prancis."
Reilley mengangkat bahunya. "Saya cukup bisa bahasa Prancis sekadar untuk memahami menu restoran ini sehingga nggak asal tunjuk."
Aku mengangguk. Aku tahu Reilley sedang meledekku. Aku memperhatikan Reilley lebih saksama. Kini aku mulai menyadari, ternyata Reilley bukan berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Kecenderungannya dia bahkan berasal dari keluarga kelas atas. Hal ini bisa dilihat dari cara dia membawa diri, berbicara, berpakaian, makan, bahkan dari cara dia menaburkan lada di atas makanannya. Aku jadi semakin penasaran terhadapnya.
"Kamu belajar bahasa Prancis di mana?" Meskipun aku agak kesal dengannya, aku tetap tertarik dengan laki-laki satu ini.
"Here and there," jawabnya. Ia kemudian mengangkat gelas anggur merahnya, menandakan bahwa dia tidak lagi ingin memperpanjang topik ini.
Aku pun terdiam dan memfokuskan perhatian pada makananku.
"Saya minta maaf karena nggak memberi nomor telepon saya ke kamu. Saya nggak pernah terpikir kamu cukup tertarik kepada saya, dan ingin menelepon saya," tiba-tiba Reilley berkata. Dia terdengar tulus.
Aku menatapnya sambil memicingkan mataku. "You need to do better than that.
That's the lamest excuse for not calling that I have ever heard," balasku datar.
Reilley menatapku, sekali lagi wajahnya terlihat terhibur mendengar jawabanku. Seolah-olah memahami ekspresi wajahku yang aku yakin terlihat marah, dia menatapku tidak percaya. "Kamu pikir saya menghindari kamu?" Pisau yang dipegangnya tergantung di antara piring dan mulutnya.
Aku harus mengontrol ekspresi wajahku agar terlihat tidak peduli, dan menjawab, "Nooo...," ucapku pendek, dan mengalihkan tatapanku pada piring makananku.
"You did!!! Kamu betul-betul berpikir saya menghindar dari kamu." Mendengar nadanya, aku kembali menatapnya. Reilley menggeleng, kemudian menatapku tajam.
Aku hanya mengerlingkan mata, kemudian berkata, "Hanya sebagai informasi saja..." aku sengaja mengulang katka-kata yang tadi diucapkannya untuk membuatnya kesal, "saya coba telepon kamu, tetapi nomornya 'private'. Jadi, nggak bisa tersambung," jelasku, sambil menusukkan garpu dengan gemas ke sepotong daging.
"Kamu telepon saya?" Reilley kelihatan betul-betul terkejut. "Kapan?" Dia memasukkan suapan yang tadi sempat tertunda ke mulutnya.
Aku menelan makananku sebelum menjawab, "Beberapa hari setelah Christmas." Aku tidak tahu mengapa aku mengakui ini semua. Aku bahkan tidak pernah menceritakannya kepada Didi karena takut diomeli atau malahan justru dikomporinya.
Kulihat Reilley sedang bersusah payah menelan makanannya. Setelah itu, dia minum satu teguk, dan berkata, "Kamu... telepon... saya?" Sambil mengusap mulutnya dengan serbet. Nadanya masih tidak percaya.
"Would you stop saying that? Ya, saya telepon kamu, dan saya merasa seperti orang goblok. Meskipun saya tahu nomor itu nggak akan terhubung, saya tetap mencoba," geramku, sambil mulai memotong daging steak. Aku mencoba sebisa mungkin melonggarkan genggamanku pada garpu dan pisau.
"Kesinikan telepon selular kamu," ucap Reilley tiba-tiba.
Kedua tanganku yang sedang memotong daging terhenti seketika. "Apa? Untuk apa?" Kini giliranku menatapnya terkejut.
"Just give it to me, please."
Kuletakkan pisau dan garpu sepelan mungkin di sisi kiri dan kanan piring, kemudian merogoh telepon selular dari dalam tas, dan meletakkannya ke dalam genggaman tangan Reilley. Dengan ahlinya dia langsung menekan beberapa tombol, lalu mengembalikan telepon selular itu kepadaku.
"Saya sudah memasukkan nomor saya ke memori telepon kamu. Bisa tolong kamu telepon nomor itu, hanya untuk memastikan nomornya benar," pintanya.
Aku mengangguk, dan mulai mencari-cari nama Reilley pada phonebook telepon selularku, tetapi aku tidak bisa menemukannya. Aku coba mencari di deretan huruf "F" untuk "Francis", tetapi juga tidak membuahkan hasil. "Kamu simpan di mana sih?"
"Di deretan huruf 'H'."
Aku menatap Reilley penuh tanda tanya. "Untuk 'Hunny Bunny'," ucapnya, tanpa ekspresi.
Aku menatapnya tidak percaya. Aku pikir dia hanya bercanda, tetapi ternyata di deretan huruf "H" aku memang menemukan nomor untuk "Hunny Bunny". Tidak mau kalah dengan tantangan Reilley, aku pun menelepon nomor itu. Kutempelkan telepon di daun telingaku, dan menunggu. Kudengar nada sambung. Tiba-tiba kudengar lagu Goo Goo Dolls terlantun. Meskipun pelan, tetap terdengar dengan jelas di dalam restoran yang cukup tenang walaupun penuh dengan orang.
Kulihat Reilley merogoh kantong celananya, dan mengeluarkan Blackberry. Dia sempat tersenyum sebelum menekan satu tombol, menempelkan Blackberry itu ke daun telinganya, dan berkata, "Nah, sekarang kamu punya nomor telepon saya."
Aku mendengar suara itu dari speaker telepon selularku, bukan suara Reilley sendiri. Aku menatap Reilley, seolah-olah dia makhluk planet yang superaneh. Sejujurnya, Reilley laki-laki paling "nyentrik" yang pernah aku temui. Aku lalu menutup telepon, begitu juga Reilley. Reilley menatapku, dan aku pun menatapnya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami, tetapi sebuah pengertian terlintas di antara kami berdua. Saat itu juga tubuhku terasa panas, seolah-olah darahku tiba-tiba mendidih. Aku tidak lagi sedang berada di restoran, melainkan di suatu ruangan tanpa nama dan tanpa batas. Ruangan itu diterangi lampu-lampu gemerlap bagaikan di stadion sepak bola sebelum Liverpool bertanding dengan Chelsea. Kudengar riuh rendah suara beribu-ribu orang berteriak-teriak.
Suara Sandra, agen kencan butaku dari MBD, "I'm guessing we found a HOT one for you?"
Kudengar suara ibuku yang berkata "Tita... Reilley cocok sekali untuk kamu. Ibu dan Bapak setuju kalau kamu memilih dia."
Lalu kudengar suara Didi, yang berteriak dengan gemas, "Apa Mbak buta?! Mbak perlu bukti apa lagi?! Go and get him or I swear I'm gonna kick your ass when I see you again!"
Selainkan tiga suara yang aku kenal itu, selebihnya hanya meneriakkan nama Reilley berulang-ulang. "Reilley!!! Reilley!!! Reilley!!!" Bagaikan dia seorang quarterback, yang sedang berdiri sambil membawa bola menuju touchdown.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terdiam, tetapi tiba-tiba kudengar Reilley berkata dengan pelan. "What are you thinking?"
Aku menggeleng. Aku tidak mungkin menceritakan apa yang ada di pikiranku.
Kalau dia sampai tahu, aku yakin dia akan menghilang dalam sekejap mata.
Melihat tatapan mataku yang kosong, Reilley mulai kelihatan khawatir. "Look. You don't have to put my number under 'Hunny Bunny' if you don‟t like it. Kamu ubah saja. Saya hanya bercanda. Bad joke, on my part. Here, kasih ke aku telepon kamu nanti aku ubah nama untuk nomor tadi," ucapnya cepat, nadanya terdengar sedikit kecewa. Ketika melihatku tidak juga bereaksi, kudengar dia menyumpah. Meskipun pelan, aku bisa mendengarnya.
"Apa kamu baru saja menyumpah?" tanyaku, sambil menaikkan daguku sedikit.
Reilley awalnya hanya menatapku, tetapi kemudian dia mengangguk. "Yes," ucapnya, kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menyisiri rambut gelapnya dengan jari-jari tangan kanannya. Aku hampir tertawa melihat ekspresi wajahnya, yang kelihatan sangat bersalah karena telah mengucapkan kata serapah itu.
"Aku sangka kamu nggak pernah menyumpah?" tanyaku, sambil memasukkan telepon selular kembali ke tasku.
Reilley mengembuskan napasnya, sebelum menjawab, "I don't. Cuma suka kelepasan kalau lagi stres." Kemudian Reilley menatapku dengan mata melebar. "Eh, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku nggak pernah menyumpah?"
"Kamu mengomeli Brandon ketika dia menyumpah saat kalian... errr... ketika terakhir kali kamu ketemu dia," akhirnya aku berkata.
"Oh. Saya bahkan nggak ingat," balas Reilley. Dia kelihatannya bisa menerima penjelasanku, walaupun wajahnya masih kelihatan bingung.
"Bisa dimengerti, soalnya kalian terlalu sibuk memukul satu sama lain ketimbang memperhatikan hal lainnya." Mau tidak mau aku tersenyum mengingat kejadian malam itu. Tiba-tiba aku teringat topik pembicaraan kami sebelum Reilley mengalihkannya.
"Memang saya bikin kamu stres, ya?" tanyaku, sembari mulai mengangkat pisau dan garpu lagi dari meja, berniat meneruskan makan siangku.
Reilley terlihat menarik napas. "Nggak. Bukan kamu. Saya yang bikin diri saya sendiri stres," jawabnya.
"Lho kok begitu?" Perlahan-lahan kupotong steak di piringku.
Reilley mengerlingkan matanya kepadaku. Seketika aku sadar, bulu mata Reilley lebih lentik daripada bulu mataku. Digabung dengan mata birunya, wajahnya tampak benar-benar sempurna. Aku masih menatap Reilley, menunggu hingga dia menjelaskan alasan mengapa dia stres.
"Saya nggak pernah coba mendekati perempuan seperti kamu sebelumnya. Jadi, saya nggak tahu apa yang harus saya kerjakan."
"Perempuan seperti saya? Memang saya seperti apa?" tanyaku bingung.
"Tipe perempuan yang sangat serius, sangat sukses, dan sangat mandiri," jawab Reilley jujur.
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tahu bahwa seperti itulah image orang tentang diriku.
"Satu hal lagi, kamu orang Asia," tambah Reilley.
Aku tidak tahu, apakah aku harus tersinggung atau tidak ketika Reilley menyebut rasku. Sejujurnya, isu ras bukanlah hal yang baru untukku. Banyak temanku di bangku kuliah, yang mengatakan bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang patut ditakuti karena mereka selalu ada di mana-mana. Selain itu, ada juga yang memandang orang Asia sebagai spesies yang sangat menarik karena terlihat berbeda dengan mereka. Pendapat ini tentunya biasanya diutarakan oleh orang- orang non-Asia. Menurutku, Asia atau non-Asia tidak ada bedanya. Bukan ras yang menentukan siapa kita, tetapi cara kita membawa dirilah yang menentukan siapa kita.
Akhirnya, aku memutuskan memberi Reilley kesempatan menjelaskan pendapatnya. "Apakah ada yang salah karena saya orang Asia?" tanyaku, dengan hati-hati.
"Salah seorang teman saya mengatakan orang Asia sangat berbeda dengan kami, orang Barat. Kebanyakan dari kalian selalu kelihatan serius... bahkan sedikit bikin orang jadi segan. Kalian jarang berhubungan dengan orang di luar lingkaran kalian sendiri."
Aku mengangguk, dan menunggu, karena tampaknya Reilley belum selesai dengan penjelasannya. Mungkin karena melihat wajahku yang tidak kelihatan tersinggung, Reilley melanjutkan, "Teman saya yang lain mengingatkan saya harus sangat berhati-hati dengan orang Asia karena budaya kalian lebih halus daripada
budaya kami. Jadi, itu sebabnya mengapa saya nggak pernah memberi kamu nomor telepon saya. Saya nggak mau kelihatan memaksa."
Reilley kemudian terdiam, dan menatapku penuh harap. Aku pun terdiam mencoba mencerna penjelasannya, yang terdengar cukup masuk akal. Dalam hati aku menyumpahi acara TV, yang aku tonton beberapa hari yang lalu. Gara-gara acara itu aku jadi berspekulasi bahwa Reilley adalah kembaran Scott Peterson, si "Penjagal Istri". Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah kepada Reilley karena telah berprasangka buruk terhadapnya.
"Apakah saat ini kamu segan terhadap saya?" tanyaku, sepelan mungkin. "Nggak... nggak juga. Nggak saat ini karena kamu kelihatan terlalu bingung dan menggemaskan. Beberapa kali saya bertemu kamu, jujur saja saya agak segan terhadap kamu."
"Apa?" Aku tidak percaya Reilley mengatakan aku menggemaskan. Tidak pernah ada orang yang menggunakan kata itu untuk melihatku. Lebih-lebih lagi, aku tidak percaya ternyata aku telah membuat laki-laki berbadan tinggi besar ini segan terhadapku.
"Kamu kelihatannya siap menguliti saya hidup-hidup ketika saya tanya tentang lettuce ke kamu," Reilley menjelaskan.
Aku mencoba mengingat-ingat ekspresi wajahku ketika pertama kali bertemu Reilley. Aku hanya berhasil mengingat bahwa aku tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik karena tatapanku terpaku pada mata birunya. Mata biru yang sekarang sedang menatapku dengan agak khawatir. Akhirnya, aku memutuskan mendorong piringku yang masih setengah penuh ke tengah meja. Pikiranku terlalu penuh untuk mencerna makanan. Reilley juga sudah berhenti makan, dan menyingkirkan piringnya ke tepi meja.
"Kamu nggak menghabiskan lunch kamu?" tanya Reilley, sambil menunjuk piringku.
"Saya nggak bisa makan sekarang. Ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin saya tanyakan ke kamu," balasku.
"Contohnya?"
"Kamu sudah berapa lama jadi klien MBD?" tanyaku. "Sejak 1 Januari," jawab Reilley.
"Kamu baru join tahun ini?!" aku terpekik.
Reilley mengangguk. Dia kelihatan siap menanyakan sesuatu, tetapi aku potong, "Apakah kamu tahu, sayalah date kamu sebelum kamu bertemu saya?"
Reilley tersenyum simpul, dan berkata, "Feeling saya mengatakan itu kamu.
Deskripsi yang diutarakan MBD kepada saya cocok sekali dengan kamu."
Aku mengangkat alis kananku, dan Reilley melanjutkan penjelasannya. "MBD memberitahu date saya bernama Titania, ras Asia, financial analyst, sedikit lebih tinggi dari 160 sentimeter, umur 27, I mean 28 years old... Omong-omong, mengapa kamu nggak bilang ketika bertemu saya kalau Christmas itu hari ulang tahun kamu?"
"Nggak sempat. Tunggu sebentar, kamu tahu itu dari mana?" tanyaku curiga. Setahuku informasi yang biasanya diberikan MBD kepadaku tentang date-ku hanyalah informasi mendasar seperti nama (tanpa nama akhir), umur (tanpa tanggal lahir), penampilan fisik (misalnya, ketinggian), pekerjaan (bukan di mana tempat bekerja), dan ras. Bagaimana mungkin dia bisa tahu tanggal lahirku?
"Agen saya di MBD keterlepasan. Tentu saja dia nggak sengaja, mereka terlalu profesional untuk blak-blakan memberitahu ke saya." Reilley mencoba membela agen kencan butanya, yang membuatku bertanya-tanya. Jangan-jangan dia ada hubungan istimewa dengan orang itu, di luar hubungan antara agen dan klien. Tiba- tiba muncul perasaan cemburu di benakku. Buru-buru kumarahi diriku sendiri, dan mencoba membuang jauh-jauh perasaan yang tidak masuk akal itu.
Aku tidak tahu, ternyata aku sudah terdiam lebih lama daripada yang Reilley harapkan. Aku baru bisa kembali fokus ketika kudengar Reilley menggerutu. "Kamu harusnya memberitahu saya kalau hari itu adalah hari ultah kamu," ucapnya.
"Memang mengapa?" tanyaku bingung.
"Karena saya ingin mengenal kamu lebih jauh." Cara Reilley mengatakannya seakan-akan itu adalah penjelasan yang paling masuk akal.
Aku menarik napas putus asa. Masih ada sejuta pertanyaan di dalam kepalaku, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Setiap kali aku akan menanyakan sesuatu, Reilley akan membuatku bingung dan tidak bisa bernapas oleh jawaban- jawabannya.
"Saya... saya nggak... maksud saya...," ucapku terbata-bata.
"God. Saya nggak percaya ternyata mereka benar." Kudengar Reilley menggumam.
"Mereka siapa?" tanyaku pelan.
"My brother and sisters. Mereka berkata, saya akan screw this one up really bad.
Mereka berkata, saya sebaiknya melupakan saja semua ini."
"Date ini?" Aku mencoba bersusah payah mengikuti jalan pikiran Reilley, yang seakan-akan meloncat-loncat.
"Oh, screw this whole blind date shit," geram Reilley.
Aku sempat terkejut dengan sumpah serapah itu. Kelihatannya sekarang dia sudah betul-betul stres, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasi keadaan ini. Sebelum aku menyadari apa yang telah aku lakukan, tanganku sudah melambai untuk menarik perhatian Pierre.
Reilley yang melihatku melambai menatapku bingung. "Apa yang kamu lakukan?"
"Saya ingin minta bill," jawabku singkat.
"You're leaving?" tanyanya, semakin bingung.
"No. We are," balasku. Reilley masih tetap menatapku bingung, tetapi kemudian dia mengangguk. Aku berharap aku tidak salah menilai Reilley. Dia tipe pria baik- baik, yang tidak akan menginterpretasikan kata-kataku sebagai suatu undangan untuk melakukan hal yang tidak-tidak.
"How is everything?" tanya Pierre, yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja kami. Seperti memahami bahwa aku tidak mengerti bahasa Prancis, Pierre menggunakan bahasa Inggris. Dia kelihatan bingung melihat kedua piring kami yang masih setengah penuh.
Aku tersenyum ramah kepadanya. "It was delicious. Bisa kami minta bill-nya?" pintaku, sebelum Pierre berkata-kata lagi.
Pierre kemudian berlalu. Reilley tetap menatapku bingung, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Pierre kembali beberapa menit kemudian dengan membawa dua tagihan. Seperti juga restoran-restoran lainnya yang telah direkomendasi MBD, restoran Prancis ini juga tahu bahwa kami harus membayar tagihan kami masing- masing.
Kulihat Reilley mengeluarkan tiga lembar uang 50 dolar, dan berkata, "Ini untuk bill kami berdua. Keep the change," ucapnya, lalu ia berdiri.
Aku hanya menatapnya penuh tanda tanya, tetapi dia tidak menghiraukanku. Buru-buru kuangkat tasku dan melangkah ke luar restoran. Reilley berada tepat di belakangku.
Aku baru berhenti berjalan ketika kami sudah berada di luar restoran. "Kamu tahu Crowne Park apartment, di daerah Country Club?"
"Yes," jawab Reilley ragu.
"Good. Saya tinggal di situ. Kamu bisa bertemu saya di sana, atau kamu bisa mengikuti mobil saya." Nadaku terdengar sedikit memerintah, tetapi aku tidak peduli. Aku harus mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku.
"Saya bertemu kamu di sana saja. Nomor apartemennya berapa?"
Kuberikan nomor apartemenku. Reilley tidak mencatatnya, dan dia tidak memintaku untuk mengulangnya. Aku kemudian melangkah menuju mobilku. Kulihat Reilley ragu sesaat, tetapi kemudian dia pun berjalan menuju Volvo SUV berwarna perak yang diparkir cukup jauh dari mobilku.