Setelah hari itu, akhirnya Reilley secara tidak resmi tinggal di apartemenku kalau dia sedang berada di North Carolina. Meskipun aku masih tetap berkencan dengan orang lain bila Reilley kebetulan sedang tidak ada bersamaku, Reilley tidak pernah menanyakan hal itu sehingga aku berkesimpulan dia juga melakukan hal yang sama. Aku kadang bertanya-tanya dalam hati, bagaimana dia bisa meluangkan waktunya untuk berkencan dengan orang lain di sela-sela pekerjaannya dan kebersamaannya denganku. Setelah satu bulan menghabiskan waktu dengannya, aku mulai merasakan hubunganku dengannya sudah menjurus ke arah yang lebih serius dibandingkan dengan hanya kencan biasa. Namun demikian, mengingat Reilley tidak mengatakan apa-apa yang bisa mengkonfirmasikan perasaanku, aku pun memutuskan untuk diam.
Pada awal bulan Februari, Reilley membuat kejutan dengan memintaku menghabiskan akhir minggu untuk merayakan hari Valentine dengannya di Wilmington. Dia bahkan rela datang menjemputku Jumat malam, dan mengantarku pulang hari Minggu. Aku tahu, ini tindakan wajar bagi laki-laki yang ingin mengenalku lebih jauh, dan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.
Orangtuaku selalu berkata, kalau kita ingin menilai seseorang tempat terbaik untuk melakukannya adalah dari rumahnya. Mobil atau pakaian tidak bisa dijadikan patokan karena itu hal pertama yang bisa dilihat oleh orang lain, dan kebanyakan orang biasanya akan mengutamakan penampilan luar mereka terlebih dahulu. Aku tidak tahu mengapa Reilley tiba-tiba mengundangku melihat rumahnya. Apakah dia memang sudah betul-betul serius denganku?
Ketika kutanyakan hal ini kepadanya, jawabannya hanya, "Kita sudah dating selama sebulan. Kamu tahu segala sesuatunya tentang saya. Saya menghabiskan hampir setiap malam di apartemen kamu. Kamu sudah bertemu keluarga saya, dan sekarang saya ingin kamu melihat rumah saya."
Kami sedang duduk santai di sofa, di apartemenku pada hari Minggu siang. Reilley sedang memijat kakiku yang terjulur ke atas pangkuannya. Satu hal lagi yang tidak pernah dilakukan Brandon. Biasanya aku yang akan kebagian memijat daripada dipijat.
"Seperti yang kamu bilang, kita kan baru dating selama sebulan." Aku tetap bersikeras menunjukkan keputusannya mengundangku ke Wilmington masih terlalu dini.
"Kita sudah dating 'secara serius' selama sebulan." Reilley mengganti pilihan kata-katanya dengan memberikan penekanan pada kata "serius".
"Apakah kita sebegitu seriusnya?"
"Kalau saya nggak super serius dengan kamu, saya mungkin sudah ML dengan kamu pertama kali saya tidur di tempat tidur kamu."
"WHAAATTTTT?!" teriakku, sambil berusaha duduk tegak. Usaha yang snagat sulit dilakukan karena kedua kakiku masih ada di pangkuan Reilley.
"Sori, saya seharusnya nggak kasih tahu kamu soal itu, tetapi saya nggak tahu bagaimana lagi caranya meyakinkan kamu," ucap Reilley.
"Kamu pernah ML dengan perempuan hanya setelah date pertama?" Kutarik kakiku dari pangkuan Reilley, dan duduk bersila di atas sofa.
Reilley kemudian terlihat serius ketika menjelaskan maksudnya. "Beberapa dari mereka bahkan cukup antusias soal itu. Sori, saya seharusnya nggak menyalahkan mereka."
"You bet your ass you shouldn't," omelku.
"Okay, if it's any comfort to you I haven't done that in a while now."
Melihat ekspresiku yang sedang mengerlingkan mata, Reilley menyumpah, "Shit... that came out wrong." Dia terdiam sejenak sambil menghadapku, keningnya berkerut karena sedang berpikir keras. Aku menunggunya memberikan penjelasan.
"Yang saya ingin katakan, sebenarnya saya jarang dating karena susah untuk meet women dengan jam kerja saya," lanjutnya. "I don‟t believe that," ucapku datar.
"Well, believe it."
"Reilley, have you looked in the mirror lately?" "What does that have anything to do with this?"
"It has everything to do with this. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. Kamu ini 'hot' dengan huruf besar untuk 'H'-nya. Perempuan bakal dating bahkan tidur dengan kamu tanpa perlu kamu minta," jelasku.
"Kalau saya bertemu dengan mereka di bar mungkin," gerutu Reilley pelan, tetapi aku bisa mendengarnya.
"Kamu pernah tidur dengan perempuan yang kamu temui di bar?!" teriakku terkejut.
"Ya, nggaklah." Reilley terdengar betul-betul tersinggung. "Apakah kamu bersedia tidur dengan laki-laki yang kamu temui di bar?"
"Jelas-jelas nggak," balasku, tidak kalah tersinggungnya.
Kulihat Reilley menatapku sambil memicingkan matanya, kemudian dia loncat dari sofa dan menyumpah sekeras-kerasnya. "HOLY SHIT! Kamu masih perawan!"
Aku menatap Reilley bingung, kemudian berkata, "Tentu saja saya masih perawan. Itu nggak ada hubungannya dengan diskusi kita." Aku tidak pernah menyembunyikan status keperawananku kepada siapa pun. Aku bangga menjadi wanita yang akan mengeksplorasi kemampuan seksualnya hanya dengan suaminya kelak.
"Oh... apa kamu ingin saya beri tahukan fakta mengapa itu sangat berhubungan dengan diskusi kita ini?" Tanpa menunggu jawaban dariku, Reilley melanjutkan dengan berapi-api. Kedua tangannya melayang ke mana-mana, dan dia berjalan bolak-balik di hadapanku. "Kita sudah tidur sama-sama selama sebulan. Saya sudah menciumi kamu seperti orang gila, dan kamu juga menciumi saya balik. Satu hal lagi... tanpa sepengetahuan kamu, saya sudah memimpikan kamu naked semenjak pertama kali kita tidur sama-sama."
Aku hanya bisa megap-megap seperti ikan maskoki ketika mendengar kata-kata Reilley. "Kamu mau tahu apa yang saya mimpikan pada malam ketika saya menyebut nama kamu?" tanyanya.
Untungnya Reilley sudah berhenti bergerak sehingga aku bisa memfokuskan perhatianku pada wajahnya. Aku mengangguk.
"We were having sex," teriaknya. "Great sex. Mind blowing sex like you wouldn't believe," sambungnya.
Ketika aku masih juga tidak bereaksi, Reilley melanjutkan. "It doesn't help that when I woke up your backside is practically up against my hard dick."
Aku menarik napas terkejut, dan harus menutup mulutku dengan tangan. Aku tahu bahwa wajar sekali bagi laki-laki ketika bangun tidur alat genitalnya memperlihatkan seperti sedang terangsang, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi jika penyebab dari keadaan itu adalah diriku. Perlahan-lahan aku mulai ingat apa yang Reilley katakan pagi itu. Aku langsung merasa kasihan kepadanya, ternyata ia telah "menderita" karenaku.
"Sebetulnya, saya bangun lebih cepat pagi itu. Akhirnya jadi telat karena saya harus mandi lebih lama... dengan air dingin." Reilley lalu duduk di hadapanku, dan menggenggam wajahku di antara kedua telapak tangannya. "Nah, sekarang apakah kamu mengerti mengapa status... keperawanan kamu sangat berhubungan dengan diskusi ini ataupun diskusi lainnya nanti?" Meskipun Reilley mengalami masalah ketika mengatakan kata "keperawanan", suaranya cukup stabil dan halus.
Aku harus menelan ludah, baru kemudian mengangguk. Reilley melepaskan genggamannya pada wajahku, dan menyandarkan tubuhnya pada bantal sofa.
"Apakah ini berarti kamu nggak akan tidur satu tempat tidur dengan saya lagi?" candaku.
"Saya... saya nggak tahu. Apakah kamu keberatan kalau kita tetap tidur bersama-sama?" Reilley menatapku ragu.
Aku mengangguk. "Selama memang itu saja yang kita rencana akan lakukan." "Bukan itu yang saya rencanakan, tetapi itulah yang saya akan lakukan," tegas Reilley.
Sekali lagi aku mengangguk. Reilley lalu mengernyit. Aku tahu dia ingin menanyakan sesuatu kepadaku, tetapi tidak tahu bagaimaan mengungkapkannya.
"What do you want to ask me, Reilley?" tanyaku.
"I don't think I should be asking this. Kayaknya nggak sopan, dan kamu nggak usah merasa perlu...," Reilley mencoba menjelaskan.
"Apa pertanyaannya?" potongku.
"Keputusan kamu tidak ML, sampai kamu menikah. Apakah itu karena budaya? Agama atau...?" Reilley tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya.
Ini bukan yang pertama kalinya aku harus menjelaskan prinsipku. Aku menarik napas panjang sebelum memulai. "Sebetulnya, ada beberapa alasan mengapa saya kuat memegang prinsip itu. Dalam budaya Asia memang tabu ML di luar nikah, tetapi banyak orang masih melakukannya. Dari sudut agama, saya rasa setiap agama menganjurkan supaya hubungan seksual dilakukan setelah pernikahan, dan lebih baik jika tidak dipertontonkan kepada orang ramai." Kukedipkan mata kananku ketika mengatakan hal ini.
"Bagi saya," lanjutku, "pendapat keluarga saya mengenai hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan bisa dibilang agak kolot. Orangtua saya nggak pernah benar-benar membahas tentang itu, tetapi kami memiliki pemahaman yang sama tentang hal tersebut."
Reilley mendengarkan penjelasanku dengan seksama. "Apakah kamu nggak pernah penasaran tentang seks? Maksud saya, seks adalah kebutuhan manusia yang paling dasar," komentarnya.
Aku tertawa. "Saya berbohong kalau berkata saya tidak penasaran tentang itu, tetapi ada banyak cara untuk menjawab rasa penasaran itu."
"Contohnya?"
"Are you seriously asking me this question?"
"Ya. Saya kehilangan keperjakaan saya ketika berumur enam belas tahun dengan seorang cewek bernama Tara. Dia seorang senior dan 'hot' sekali. Kami nggak bisa lepas satu sama lain selama sebulan penuh. Dengan berbagai tawaran hormon dan obat vitalitas yang merajalela, we can't keep our hands off each other for long. Jadi, saya nggak mengerti bagaimana kamu bisa tetap menjadi perawan sampai selama ini."
Mau tidak mau aku tertawa. "Kok hanya sebulan?" tanyaku penasaran.
"Dia lulus dan pindah ke luar kota. Saya nggak pernah bertemu dengannya lagi setelah itu." Reilley tersenyum ketika menjawab pertanyaanku. "Anyway, back to you. Bagaimana kamu... memuaskan rasa penasaran kamu?"
"Kamu pernah tahu buku yang berjudul Kama Sutra?"
"Kamu belajar tentang seks dari Kama Sutra?" Reilley terlihat terkejut, bahkan tidak percaya.
"Oke... mengapa sih setiap kali saya bilang ke laki-laki bahwa saya tahu tentang... tentang... sastra untuk orang dewasa, mereka selalu memandang saya seperti ini? Reaksi Brandon juga sama seperti kamu. Eh, bukannya kamu ada di sana ketika saya bertengkar dengan Brandon? Kami kan membicarakan tentang statusku sebagai perawan, tetpai mengapa kamu kelihatan kaget ketika saya menyinggungnya lagi beberapa menit yang lalu?"
"Saya memang ada di sana, tetapi saya nggak bisa mendengar semuanya. Lagi pula, saya ingin memberikan kamu sedikit privacy. Kamu ingat kan saya seharusnya nggak ada di sana?"
"Oh, benar juga." Penjelasan Reilley memang masuk akal.
"Untuk menjawab pertanyaan kamu yang pertama. Saya kaget karena... karena..."
"Karena saya orang Asia dan masih perawan, dan seorang perawan seharusnya buta tentang hal-hal seperti ini. Apakah itu yang akan kamu katakan?" Aku mencoba membendung kejengkelanku. Ternyata bukan hanya Brandon yang berpendapat seperti itu, Reilley juga.
"Di antaranya," ucap Reilley dengan hati-hati.
"Ada alasan lainnya?" Suaraku sudah semakin meninggi.
"Well... you also look so sweet dan pendiam. Saya nggak yakin bila perempuan seperti kamu akan menikmati hal-hal seperti itu."
"Eh, saya kasih tahu ya tentang kami, para perempuan yang 'sweet' dan 'pendiam'," aku sengaja memberikan penekanan pada dua kata sifat itu, "sekali-kali kami juga menikmati sesuatu yang romantis dan sedikit edgy."
"Saya pernah menonton film Kama Sutra, nggak ada yang romantis tentangnya sama sekali. Itu cerita tragedi," komentar Reilley.
"Saya juga pernah menonton film itu, dan menurut saya itu romantis," balasku. "Kalau kamu pikir bahwa film itu romantis, kamu jelas-jelas punya opini tentang romantisme yang agak nggak wajar."
"Oke. Menurut kamu apa yang menjadikan sebuah cerita itu romantis?" tantangku.
"Oh, coba saya pikir... mungkin sebuah cerita yang nggak berakhir dengan KEMATIAN, salah satu karakter utamanya," jawab Reilley, sambil menekankan kata 'KEMATIAN'.
"Jadi, bisa saya simpulkan kamu bukan fansnya Romeo and Juliet, ya?" Kalau sampai Didi tahu aku sedang membela Shakespeare, dia mungkin akan tertawa sampai keluar air mata. Didi tahu, pemahamanku tentang romantisme jauh berbeda dengan norma umum. Ketika aku berkata bahwa Maria dan Kapten Von Trapp adalah pasangan paling romantis yang pernah aku lihat, Didi tidak bisa berhenti tertawa selama berhari-hari.
"Hell, no. Itu cerita paling goblok yang pernah ditulis. Hanya perempuan saja yang akan berpendapat bahwa cerita itu romantis.
"Kamu sadar kan Shakespeare itu laki-laki?" "Saya juga yakin dia gay," balas Reilley.
"Shakespeare bukan gay. Dia laki-laki yang sangat sweet dan tahu cara melelehkan hati wanita," bantahku.
"Dia tahu cara membuat mereka menangis sampai seember," gerutu Reilley. "Oke, kok kita berdebat tentang ini sih?"
Reilley terdiam sejenak, kemudian berkata," I seriously have no idea." Dia kemudian tertawa terbahak-bahak. Mau tidak mau aku pun tertawa setelah menyadari hal ini.
"Kita tadi sedang bicara tentang apa sih? Kok tahu-tahu akhirnya kita diskusi tentang ini?" tanya Reilley, setelah tawanya reda.
Aku mencoba berpikir sejenak, "I have no idea," ucapku akhirnya, yang langsung disambut tawa kami berdua lagi. Aku lalu menyandarkan tubuhku di dadanya. Reilley langsung mengangkat tangannya untuk memeluk bahuku dan mencium keningku.
"Apakah kamu ada alasan tertentu, mengapa kamu nggak mau pergi ke Wilmington?" bisiknya.
Aku menarik napas panjang, dan menggeleng.
"Apakah kamu nggak ingin melihat rumah saya?" bisik Reilley lagi.
Aku sebetulnya sangat ingin melihat rumahnya. Aku hanya khawatir bagaimana menghabiskan waktu dua hari dua malam bersamanya di rumahnya itu.
Sekali lagi aku menggeleng.
"Is it me then?" Suara Reilley terdengar putus asa. Aku bisa merasakan tubuh Reilley menegang menunggu jawabanku.
"It's not you," jawabku, dan aku bisa merasakan Reilley mengembuskan napas lega.
"Saya ingin kamu pergi ke Wilmington dan melihat rumah saya karena saya cinta rumah itu. Ukurannya kecil, putih, dan dekat pantai. Itu satu-satunya tempat di mana saya bisa merasa damai. I just want to share that with you."
Setelah mendengar penjelasan seperti itu tentunya aku tidak mampu menolak undangannya, meskipun aku tetap merasa belum siap. Mengundang laki-laki menginap di rumahku masih tergolong tidak berbahaya karena mereka berada di daerah kekuasaanku, tetapi menginap di rumah laki-laki yang baru aku kenal selama satu bulan membuat perasaanku tidak nyaman. Satu bulan? Baru selama itukah aku mengenal Reilley? Mengapa aku merasa seperti sudah mengenalnya selama bertahun-tahun? Aku mencoba mencari penjelasan atas keraguanku menerima undangan Reilley, tetapi aku tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal.
* * *
Pada hari Sabtu (akhirnya aku mengambil keputusan berangkat hari Sabtu pagi bukan Jumat malam, dengan begitu aku hanya akan menginap satu malam di rumah Reilley), tanggal 14 Februari, pukul sebelas siang aku melangkahkan kaki memasuki sebuah rumah pinggir pantai paling cantik, yang aku pernah lihat sepanjang hidupku. Seperti pada umumnya rumah yang berada di tepi pantai, rumah ini juga merupakan rumah panggung satu lantai dengan teras berpagar yang berlantaikan kayu. Ada ayunan yang bisa diduduki dua orang di satu sisi teras itu, dan dua kursi serta sebuah meja yang terbuat dari kayu bercat putih di sisi lainnya. Udara yang meskipun dingin segar berembus dari pantai. Aku menarik napas dalam-dalam.
Ketika aku melangkah masuk ke dalam rumah itu aku melihat ruang TV ada di sebelah kanan, dengan sofa putih yang kelihatan sangat nyaman diduduki. TV plasma berukuran super-besar menempel pada dinding, di bawahnya ada DVD-CD player berteknologi tinggi. Di sebelah kiri ada meja makan untuk enam orang, yang terbuat dari kayu bercat putih dan ditutupi taplak yang terbuat dari karung goni berwarna putih pudar dengan garis-garis biru. Di sebelah ruang makan itu ada dapur terkomplet yang aku pernah lihat. Ada microwave/oven, kompor dengan empat tungku yang dilengkapi dengan panggangan, dua bak cuci piring, sebuah pencuci piring otomatis, dan lemari es dua pintu. Segala sesuatunya dalam rumah itu berwarna putih dan biru tua.
Reilley mengajakku melihat kamar tidur utama, yang memiliki tempat tidur terbuat dari kayu antik berwarna cokelat tua dengan empat buah tiang di setiap sudutnya. Satu sisi kamar itu terbuat dari kaca dengan sebuah pintu geser menuju ke teras terbuka, yang memiliki tangga untuk turun langsung ke pantai. Aku melongokkan kepalaku ke dalam kamar mandi, ada dua wastafel dan bathtub yang cukup untuk empat orang. Ada juga shower superbesar melengkapi satu sisi kamar mandi itu.
Reilley meletakkan tasku di atas sebuah meja, di sebelahnya aku melihat pintu menuju sebuah lemari walk-in. Aku baru menyadari bahwa semua lantai rumah tersebut terbuat dari ubin tanah liat, tetapi kamar tidur ini terbuat dari lantai kayu. Aku lalu berjalan menuju pintu kaca.
"This is beautiful," ucapku, sambil mendorong pintu geser itu ke kiri dan melangkah ke luar ke teras.
Kuletakkan tanganku di atas pagar teras dan menarik napas dalam.
"I'm glad you like it." Reilley langsung melingkarkan lengan kirinya pada pinggangku.
"Kamu sudah berapa lama punya rumah ini?" Mataku menyapu pantai yang kelihatan sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan-jalan karena udara masih terlalu dingin untuk berenang.
"Saya membelinya dua tahun lalu dari sepasang kakek-nenek yang memutuskan pindah ke Florida karena mereka nggak tahan lagi cuaca yang dingin."
"Sepi dan damai sekali di sini. Apa selalu seperti ini?"
"Biasanya ramai kalau musim panas waktu liburan sekolah dan cuacanya tidak terlalu dingin, tetapi biasanya ya memang seperti ini sepanjang tahun."
Kusandarkan kepalaku pada dada Reilley, dan menutup mataku. Kurasakan Reilley mengeratkan pelukannya, dan meletakkan dagunya di atas kepalaku.
"Kamu sedang berpikir apa?" tanyanya.
"Aku sedang berpikir, sekarang aku tahu mengapa orang punya rumah pantai.
Tempat ini cocok untuk bersantai dan melarikan diri dari kesibukan." "Kedengarannya puitis sekali."
Aku tertawa. "Mungkin udara pantai sudah mengacaukan otakku." Reilley pun tertawa mendengar balasanku. Kami lalu terdiam, dan menikmati keheningan ditemani bunyi deburan ombak yang teratur serta teriakan burung camar yang tinggi melayang.
Tiba-tiba aku teringat lagu Burung Camar, yang didendangkan Vina Panduwinata. Aku mencoba mengingat liriknya.
Burung camar, tinggi melayang Bersahutan di balik awan
Aku tidak bisa ingat lagi kata-katanya selain dua baris itu. Tiba-tiba Reilley bertanya, "Kamu sedang nyanyi apa?"
"Aku nyanyi?" Aku membuka mataku kembali. Aku tidak menyadari kalau aku sudah mengeluarkan suara ketika menyanyikan lirik lagu itu.
"You were humming. Lagu apa?"
"Lagu lama penyanyi Indonesia. Lagunya tentang burung camar," jelasku. "Saya nggak pernah dengar kamu omong dalam bahasa Indonesia sebelumnya.
Bisa kamu nyanyikan lagu itu untuk saya?"
"Kamu sudah pernah dengar saya berbicara dalam bahasa Indonesia kalau saya mengobrol dengan adik saya di telepon. Saya nggak bisa menyanyikan lagu itu untuk kamu, saya nggak ingat liriknya," balasku.
"Saya nggak pernah bisa menangkap kata-katanya kalau kamu sedang mengobrol dengan adik kamu. Kamu omongnya terlalu cepat, dan kadang-kadang dicampur dengan bahasa Inggris. Saya selalu berpikir, bagaimana kamu bisa gonta- ganti bahasa segampang itu," ucap Reilley.
"Well, saya juga nggak mengerti kalau kamu sudah mulai omong dalam bahasa Prancis. Jadi, kita impas," ujarku, mengganggu Reilley. Aku tahu Reilley ingin sekali belajar bahasa Indonesia agar dia bisa memahami percakapanku dengan Didi, tetapi aku selalu menolak mengajarinya karena aku tidak mau dia tahu bahwa biasanya topik utama pembicaraanku dengan Didi adalah dirinya.
"Suatu hari nanti saya akan telepon adik kamu dan minta dia mengajari saya lewat telepon," gerutu Reilley.
"Kamu sudah lapar belum?" tanyaku, sengaja mengganti topik.
Reilley mengembuskan napasnya sebelum menjawab, "Starving," sambil menundukkan kepalanya, dan mulai menciumi leherku. Setelah mengenal Reilley selama enam minggu ini, aku tahu dia agak sedikit terobsesi dengan leherku. Menurut dia, leherku bagian dari tubuhku yang paling seksi, selain bibirku tentunya.
Saat itulah kulihat seseorang melambaikan tangannya kepada Reilley, kemudian bergegas mendekati kami. Ada sesuatu yang familiar dengan wajah orang itu. Aku tahu, aku pernah bertemu dengannya sebelum ini. Di mana, ya? Aku langsung menyikut Reilley agar menghentikan apa yang sedang dilakukannya. Aku tidak akan pernah terbiasa dengan kebiasaan orang-orang Barat untuk mempertontonkan hubungan cinta mereka kepada semua orang.
"Someone's coming," bisikku.
"So?" Bibir Reilley masih menempel pada leherku. "So you need to stop. Ini nggak sopan," jelasku.
"Kata siapa?"
"Kata siapa," geramku.
"Kalau saya berhenti, would you allow me to explore your neck further later?" Aku tidak percaya kami sedang bernegosiasi tentang ini. "Fine."
Reilley pun mengangkat bibirnya dari leherku, dan mengalihkan perhatiannya kepada laki-laki yang sedang berjalan mendekati.
"Hey, man, I don't know you're back," ucap laki-laki itu, sambil menaiki tangga. "Just for the weekend. Jack, this is Titania." Reilley memperkenalkan diriku kepada temannya itu.
"Hello, I'm Jack," ujar laki-laki itu, sambil mengulurkan tangannya. "Titania," balasku, dan menjabat tangan Jack yang kelihatan seperti panda.
PANDA!!! "Oh, my God." Tanpa aku sadari, aku sudah mengucapkan kata-kata itu.
Khawatir bahwa genggaman tangannya terlalu keras, Jack langsung melepaskan tanganku. "Titania, ada apa?" tanya Reilley khawatir.
Aku tidak menghiraukan Reilley, dan mengajukan pertanyaanku kepada Jack. "Apakah kamu pernah menonjok orang di restoran di Winston sekitar sembilan bulan yang lalu?"
Kulihat Jack memicingkan matanya sebelum menjawab, "Ya, pernah. Itu tonjokan yang paling pantas saya berikan sepanjang hidup saya."
Kulihat Reilley menatapku bingung. Kemudian tiba-tiba dia berkata, "Nggak mungkin... kamu "
"Feisty little lady," ucap Reilley dan Jack bersamaan, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Kini giliranku yang menatap mereka berdua dengan bingung. Mengapa mereka tertawa?
"Bagaimana bisa sih saya nggak mengenali kamu sebelumnya." Reilley mengatakan hal ini dengan wajah terkesima sambil menggeleng.
"Rambutnya lebih pendek sekarang," ucap Jack.
"Dia pakai kacamata hitam hari itu," lanjut Reilley. "Dia juga kelihatan lebih kecil hari itu," sambung Reilley.
"Dia nggak pakai sepatu hak waktu itu," balas Jack.
"Oke, kalain berdua sedang membicarakan apa sih?" tanyaku, mulai sedikit jengkel karena mereka jelas-jelas sedang membicarakan diriku, seakan-akan aku tidak berada di situ. Reilley menatapku sambil tersenyum.
"She still feisty I give you that," ucap Jack lagi. "Yep," balas Reilley.
"Apakah laki-laki itu masih mengganggu kamu lagi setelah hari itu?" tanya Jack kepadaku.
"Sayangnya, ya," balasku pendek karena masih terlalu kesal untuk mengatakan apa-apa lagi.
"She kicked him in the balls the second time," sambar Reilley.
"Oh, ya?" Jack terdengar kagum sambil menatapku. "Baguslah. Dia pantas menerimanya," lanjutnya.
"Apa maksud kamu ketika berkata kamu tidak mengenali saya sebelumnya?" tanyaku kepada Reilley.
"Aku laki-laki yang menanyakan, apakah kamu baik-baik saja," jawab Reilley enteng.
"WHAAATTTT?"
"Hei, aku musti pulang nih. Istriku menunggu untuk makan siang sama-sama. I'll see you both of you around," ucap Jack, sambil menepuk bahu Reilley. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tetapi kelihatannya dia mengedipkan mata kanannya kepada Reilley.
"Nice to meet you... again," ujar Jack kepadaku, kemudian menuruni tangga dan berjalan menuju arah kanan.
Begitu Jack hilang dari pandangan, aku langsung menarik Reilley masuk ke dalam rumah.
"Kamu laki-laki yang pakai topi baseball?" teriakku. Ternyata ketika Reilley mengatakan, "It was my pleasure," setelah membantuku mengganti ban mobilku memoriku langsung bisa mengingat kembali kata-kata yang diucapkan Jack, "It was our pleasure," setelah membantuku mengatasi Brandon hari itu. Tidak disangka- sangka ternyata aku sebetulnya telah bertemu dengan Reilley sembilan bulan yang lalu.
"Topi baseball? Saya nggak ingat kalau saya pakai topi hari itu," balas Reilley sambil nyengir.
"Saya ingat," omelku. "Saya ingat Jack karena dia mengingatkan saya pada seekor panda. Berkaitan dengan kamu, karena saya nggak bisa lihat wajah kamu, maka saya hanya ingat kamu pakai topi baseball Wake Forest," lanjutku.
"Menurut kamu, Jack mirip panda?" Reilley kelihatan sangat terhibur dengan arah percakapan ini.
"Ya, matanya dalam dan dia agak... tunggu sebentar, are you trying to distract me?"
"Is it working?" Reilley menarikku ke dalam pelukannya. Punggungku bersandar pada dadanya.
"Nggak!!! Saya perlu... ahhh...." Reilley sudah menenggelamkan wajahnya di leherku, dan aku tidak bisa berpikir lagi.
"Kamu perlu apa?" Tangan kanannya sudah menyentuh payudaraku.
"Saya... ahhh...." Reilley sedang mengelus payudaraku. Tanganku kemudian naik dan menarik kepala Reillely lebih membungkuk. Kusandarkan kepalaku pada bahunya dan kudekatkan bibir Reilley pada bibirku.
Reilley menggeram, dan memutar tubuhku sehingga dadaku menempel pada dadanya. Aku tidak tahu bagaimana kami sampai di kamar, tahu-tahu aku sudah ada di atas tempat tidur dan tubuh Reilley sedang menekan seluruh tubuhku di atas kasur.
"Titania," ucapnya pelan, dan perlahan-lahan tangannya masuk ke balik sweater- ku. Salah satu dari kami biasanya langsung berhenti sampai di situ saja, tetapi tidak hari ini. Tangan Reilley terus naik melewati perutku, sementara lidahnya sedang mengeksplorasi mulutku. Otakku berteriak aku harus berhenti, tetapi bukan menghentikan Reilley aku justru menarik kepala Reilley ke arahku agar aku bisa menciumnya lebih dalam. Tangan Reilley meraba punggungku, dan melepaskan kait BH-ku.
"I need to touch you," bisik Reilley. Aku hanya mendesah. Tanpa ada kain sehelai pun di antara telapak tangannya dan kulitku, aku bisa merasakan efek penuh sentuhan kulitnya yang agak kasar pada kulitku. Sentuhan itu membuatku sulit bernapas. Tidak ada laki-laki mana pun yang pernah aku perbolehkan menyentuhku seperti ini, bahkan Brandon pun tidak.
"Oh, my God," ucapku, dan menarik sweater Reilley. Aku mulai mengeksplorasi punggungnya di balik sweater itu. Aku bisa merasakan otot-otot yang menegang beberapa detik, kemudian relaks dan menerima sentuhanku. Punggung Reilley terasa halus di bawah telapak tanganku. Kemudian aku menarik tanganku dan pindah ke dada Reilley. Lalu pada satu detik aku bisa merasakan tangan Reilley sedang mencoba membuka kancing celana jeans-ku, dan pada detik selanjutnya Reilley sudah menghilang dari hadapanku. Meninggalkanku dengan napas yang memburu, dan otak yang terlalu beku untuk memikirkan apa yang sedang terjadi.
Perlahan-lahan aku bangun dari posisi tidurku, dan melihat Reilley sedang berdiri dengan napas terengah-engah sekitar lima meter dariku. Dia sedang menatapku sambil mengerutkan dahinya.
"Sori, saya seharusnya berhenti," ucapku pelan.
"Nggak, saya yang seharusnya berhenti," balas Reilley pendek. Ekspresi di wajahnya terlihat antara marah, bingung, dan penasaran.
Aku ingin menghapus ekspresi itu dari wajahnya dengan pelukanku. Aku lalu melangkah turun dari tempat tidur, dan berjalan ke arahnya. Akan tetapi, ketika aku berjalan satu langkah mendekatinya, Reilley mundur selangkah juga. Aku tahu mungkin Reilley hanya sedang mencoba mengontrol emosinya. Oleh karena itu, dia tidak bisa terlalu dekat denganku pada saat ini, tetapi tindakannya tetap membuat perutku tiba-tiba mual. Dia membuatku merasa seolah-olah ini semua salahku, akulah penyebab mengapa dia begini.
"I'll just get out of your way then," ucapku, lalu berjalan menuju kamar mandi. Reilley tidak mencoba menarikku ke pelukannya, dan menjelaskan ini semua bukan salahku seperti yang aku harapkan. Dia membiarkanku melangkah pergi.
Kukunci pintu kamar mandi, duduk di atas toilet, dan menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku. Aku sudah siap menangis. Bagaimana mungkin hari yang dimulai dengan sangat menjanjikan menjadi seperti ini? Kami bahkan belum berada di rumah ini selama stau jam, dan kami sudah melalui situasi yang tidak mengenakkan. Selama enam minggu bersamanya, inilah pertama kalinya kami bertengkar. Ini bahkan tidak bisa dikategorikan sebagai suatu pertengkaran karena tidak ada satu pun dari kami yang berteriak-teriak. Kalau begitu, mengapa ini justru membuat hatiku menjadi semakin gelisah?
Aku lalu menyadari, ternyata Reilley telah menanggalkan kait BH-ku dan kancing celana jeans-ku. Buru-buru kupasang kembali kait dan kancing itu, dan berdiri mencuci mukaku di wastafel. Karena wastafel itu lebih tinggi daripada wastafel yang ada di apartemenku, aku terpaksa berjinjit agar bisa membungkukkan tubuhku di atasnya ketika mencuci muka tanpa membasahi bajuku. Setelah mengusap wajahku dengan handuk, aku lalu merapikan wajahku di depan cermin.
Sudah biasa bagi orang yang sedang pacaran bertengkar, kucoba meyakinkan diriku. Kutegakkan bahuku, dan melangkah ke luar kamar mandi. Kulihat Reilley sudah menghilang dari kamar tidur. Aku pun berjalan ke luar kamar, dan melihat Reilley sedang berdiri di dapur. Perlahan-lahan aku mendekatinya. Reilley kelihatan serius sambil menatap karton telur yang ada di hadapannya, seakan-akan dia tidak mendengar langkahku.
"Kamu nggak bisa menggodok telur dengan mata kamu, Reilley," komentarku, seceria mungkin.
Kulihat Reilley tersentak karena kaget. Aku berpura-pura tidak melihat reaksinya itu, dan mengambil karton telur dari hadapannya.
"Kita bisa bikin omelet," ucapku, masih dengan nada ceria.
"Sure," balas Reilley. Dia kelihatan terkejut mendengar nadaku yang ceria. "Apakah ada makanan lain yang bisa dimakan dengan telur?" Kupaksa mataku menatapnya.
"Kayaknya... saya nggak tahu juga... Sudah lama saya nggak ada di rumah," ucapnya tergagap. Reilley lalu berjalan menuju lemari es.
"Apa yang kamu punya di dalam sana?" tanyaku.
"Mentega, keju, tomat, susu, tunggu... lupakan susunya, soalnya sudah kadaluarsa beberapa hari yang lalu. Itu saja," jawab Reilley, sambil melemparkan botol susu yang masih setengah penuh ke dalam tempat sampah.
Aku mulai menurunkan wajan dari gantungannya di atas kompor. Sekali lagi aku harus berjinjit untuk mencapainya. Kompor itu juga lebih tinggi daripada kompor normal.
"Kasih ke saya semua itu," ucapku, dan mulai membuka-buka lemari mencari mangkuk besar yang bisa digunakan untuk mengocok telur. Kutemukan mangkuk yang tepat pada lemari di atas tempat cuci piring. Reilley mengeluarkan mentega, keju, dan beberapa buah tomat dari lemari es. Ia meletakkannya semua itu di sebelah kompor.
"Kompor kamu kok tinggi sekali, ya?" tanyaku, sambil mulai memecahkan beberapa buah telur ke dalam mangkuk.
"Apakah terlalu tinggi untuk kamu?" Reilley terdengar khawatir.
"Sedikit. Ini kan rumah kamu. Mungkin kamu merasa seperti raksasa di rumah saya."
Tanpa kusangka-sangka, Reilley lalu mengeluarkan sebuah stool setinggi 30 sentimeter dari lemari yang tersembunyi di sudut dapur.
"Apakah ini bisa membantu?"
"Yes," ucapku, lalu mengambil stool itu dari genggamannya. Aku meletakkannya di atas lantai, dan naik ke atasnya. Aku langsung merasa lebih nyaman karena sekarang kompor itu berada satu level dengan perutku.
"Apa lagi yang kamu perlukan?" tanya Reilley.
"Saya perlu pemarut keju, pisau, dan talenan," balasku. Dalam sekejap mata ketiga benda itu sudah ada di sampingku.
"Ada yang bisa saya bantu?" Seperti biasa Reilley selalu mencoba membantuku memasak.
"Kamu bisa memarut kejunya ke dalam mangkuk telur, sementara saya memotong tomat."
Reilley langsung memarut keju cheddar itu, dan aku pun mulai memotong tomat.
Kami bekerja dalam diam.
"Apakah ini cukup?" tanya Reilley, setelah beberapa menit.
Aku melirik dan mengangguk. "Oke, biar saya yang kerjakan itu. Bisa tolong ambil piring dan susun tomat ini di atasnya?"
"Sure." Reilley lalu berjalan menuju salah satu lemari, dan mengeluarkan dua buah piring. Dia juga mengeluarkan dua buah garpu dari dalam laci.
Sekali lagi kuaduk telur bercampur keju, kemudian menaburkan garam dan merica di atasnya. Kupotong sebongkah mentega dan memasukkannya ke dalam wajam, lalu memanaskan wajan itu. Perlahan-lahan aku mulai menuangkan telur ke atas wajan itu. Aroma keju dan telur langsung menyelimuti dapur.
"That smells good," ucap Reilley. Mau tidak mau aku langsung tertawa. Reilley ikut tertawa bersamaku, dan cair sudah bongkahan es yang membatasi kami.
Aku membalik omelet itu untuk memastikan semua bagiannya telah matang dengan sempurna. Seperti juga diriku, Reilley kurang suka makan makanan yang setengah matang. Kami selalu makan makanan yang benar-benar matang atau well- done. Aku lalu memotong telur itu menjadi dua bagian. Seperti biasa, bagian Reilley kubuat lebih besar daripada bagianku. Aku tidak tahu di mana dia menyimpan semua makanan itu karena meskipun makannya banyak, dia tidak pernah kelihatan gendut. Sedangkan aku, hanya makan sedikit saja langsung harus sit-up lima puluh kali kalau tidak mau perutku semakin buncit. Dunia ini memang tidak adil.
Reilley lalu mengangkat kedua piring itu ke meja makan.
"Why don't you sit down. Saya ambilkan kamu minuman," ucapnya, sambil menatapku tajam ketika aku mencoba protes.
Aku duduk di kursi makan. Reilley meletakkan piring di hadapanku dengan satu garpu dan satu serbet berwarna biru. Dia melakukan hal yang sama dengan piring dan peralatan makan untuknya, kemudian berjalan menuju lemari es.
"Oke, kita ada heineken, absolute vodka, dan jus apel. Kamu mau yang mana?!" teriaknya.
"Jus saja. Jangan pakai es," jawabku.
Tiga puluh detik kemudian Reilley menggenggam botol jus apel di tangan kanannya, dan satu gelas tinggi di tangan kirinya. Dia mengantongi satu botol heineken di kantong celana jeans-nya.
"Thank you," ucapku, ketika Reilley menuangkan jus apel untukku.
"No... thank you," balas Reilley, sambil duduk di kursi makan dan membuka botol birnya.
"Hari ini rencananya kita ingin melakukan apa?" tanyaku dan memasukkan satu suap telur ke dalam mulutku.
"Mmmhhh... I‟m thinking that we should drive to town and look around. They used to shoot."
"Dawson's Creek di Wilmington. Ya, saya tahu," potongku.
"Ya. Saya rasa semua orang tahu tentang itu, ya." Reilley terdengar kecewa. "Sebetulnya, saya nggak tahu sama sekali tentang itu sampai adik saya kasih tahu ke saya."
"Apakah kamu pernah menonton seri itu?" Reilley terdengar sedikit bersemangat.
"Nggak sama sekali. Saya masih sibuk nonton Beverly Hills 90210 saat itu," jelasku.
Reilley tertawa, "Oh, saya ingat seri itu. Saya selalu berpendapat Brenda „hot‟." Aku pun tertawa. "You like slutty girls huh?" candaku.
"Brenda wasn't slutty. Nah, kalau Kelly berbeda. Dia merebut Dylan dari Brenda."
"Kamu masih ingat itu?" Aku tidak menyangka laki-laki seperti Reilley suka menonton serial TV semacam itu.
Reilley tersenyum tersipu-sipu. "Kadang-kadang otak saya suka menyimpan informasi yang nggak mutu."
"Informasi nggak mutu lain seperti apa lagi yang ada di otak kamu?" tanyaku penasaran.
"Kamu betul-betul mau dengar?" tanya Reilley bingung.
"Ya. Siapa tahu informasi itu bisa berguna suatu hari nanti," jelasku.
Reilley terlihat serius sebelum mengatakan, "Kamu tahu lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Black Balloon?"
"Saya tahu beberapa lagu Goo Goo Dolls, tetapi saya nggak tahu judulnya. Mungkin saya bisa mengenali lagunya kalau kamu nyanyikan untuk saya," jawabku.
"Seperti ini lho... Baby's black balloon makes her fly. I almost fell into that hole in your life." Reilley hanya perlu menyanyikan dua baris, dan aku bisa langsung mengenali lagu itu.
"Oh, yang itu judulnya Black Balloon?" tanyaku kepadanya.
Reilley mengangguk. "Apa kamu tahu maksud lagu itu?" sambungnya. "Tentang seorang cewek, kan?" tanyaku ragu. Kulihat Reilley menggeleng.
"Kalau begitu, tentang apa dong?" lanjutku.
"Lagu itu tentang bagaimana rasanya saat menggunakan narkoba," jawab Reilley.
"No, it's not," bantahku. "Kamu pasti mengarang deh." Mana mungkin ada orang menulis lagu hits, yang mengakui mereka pernah menggunakan obat-obatan terlarang? Kemudian aku ingat, ada band dari Afrika Selatan yang menulis lagu tentang bagaimana rasanya kalau sedang ML.
Reilley mengangkat bahunya. "John Rzeznik yang bilang sendiri kok."
"John who?"
"Rzeznik," ulang Reilley. "Dia lead singer Goo Goo Dolls," lanjut Reilley ketika melihat muka bingungnya.
"Oh, the hot dude," ucapku.
"Menurut kamu John Rzeznik 'hot'?" Kini giliran Reilley yang terlihat bingung. "Superhot. Dia itu... mmmhhh.... Nggak tahu deh... misterius mungkin. Dia seolah-olah tahu sesuatu yang kita nggak tahu. Saya suka sekali bibirnya." Aku sengaja mengucapkan ini untuk melihat reaksi Reilley, yang sekarang sedang menatapku seakan-akan aku baru saja mengatkaan bahwa Gollum, karakter antagonis di film The Lord of the Rings, kelihatan cute.
"Bibirnya?" Reilley meletakkan garpu di atas meja.
"Ya, bibirnya. Kayaknya enak dicium, dan rambutnya..." Aku mencoba menahan tawaku.
"Rambutnya?" Mata Reilley sudah membelalak.
"Kamu nggak akan mengerti betapa 'hot'-nya dia karena kamu laki-laki," balasku cuek.
"You're right. I don't. Saya bisa mengerti kalau misalnya kamu bilang... mmmmhhh... siapa tuh orang Inggris yang main di film bareng Kiera Knightley?" Reilley mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjuknya, mencoba mengingat-ingat.
"Film Kiera Knightley kan ada banyak. Kamu harus lebih spesifik," ucapku. "It was a medieval movie," lanjut Reilley.
"King Arthur?" tebakku.
"Ya, itu dia!" teriak Reilley antusias. "Kamu ingat siapa pemeran utama laki- lakinya?"
"Clive Owen," jawabku.
"Ya, benar banget," Reilley mengkonfirmasi jawabanku. "Nah, kalau kamu bilang dia 'hot', saya bisa mengerti."
"Menurut saya, Clive Owen memang hot, tetapi berbeda tipenya dari penyanyi Goo Goo Dolls," jelasku.
"Ada tipe yang beda-beda?"
"Tentu saja ada. Kami para wanita kan sebetulnya nggak terlalu berbeda dengan laki-laki." Aku menggunakan kata-kata yang sering diutarakan oleh profesorku di kelas Women's Studies. Profesor itu mungkin akan tertawa terbahak-bahak bila mengetahui aku telah mengutip kata-katanya. Pada tahun pertama di universitas, kami semua diwajibkan mengambil kelas yang berhubungan dengan unsur-unsur kemanusiaan. Entah bagaimana aku berakhir di kelas itu. Setelah dua minggu aku harus mengajukan permintaan pertukaran kelas karena pikiranku tidak sejalan dengan profesor itu. Menurut aku, laki-laki dan perempuan adalah dua spesies yang sangat berbeda, yang tidak seharusnya berbagi planet.
Kulihat Reilley masih menungguku menyelesaikan argumentasiku. "Oke, pertimbangkanlah seperti ini. Apakah menurut kamu Jennifer Lopez hot?" tanyaku kepada Reilley.
"Duuuh... do you need to ask?" balas Reilley sarkasme.
Tanpa menghiraukan nada Reilley, aku melanjutkan, "Oke... sekarang apakah menurut kamu Catherine Zeta-Jones hot?"
"Catherine Zeta-Jones yang mana, ya?" tanyanya.
"Istri Michael Douglas. Dia main di Zorro," ucapku, tidak sabaran. "Oh, dia. Ya, dia 'hot'," kata Reilley.
"Nah, bagaimana kamu bisa menjelaskan itu? Dua wanita yang nggak ada mirip-miripnya sama sekali."
"Tentu saja mereka nggak mirip. Jennifer Lopez is more feisty kind of hot whereas that Zorro lady is more sophisticated hot," jelas Reilley.
"Kedua-duanya hot, kan?" desakku.
Dari wajahnya aku dapat melihat, Reilley mulai memahami argumentasiku. "Mengerti kan maksud saya?" ucapku, penuh kemenangan.
Reilley mengangkat garpu sambil menggerutu. Seperti juga laki-laki pada umumnya, Reilley menolak mengakui kekalahannya. Aku mengangkat garpu sambil mencobao menahan senyum.
"Telur saya sudah dingin deh," omelnya, sambil menatapku. "And why are you looking at me like that for?"
"I wasn't looking at you like anything," balasku, dan memasukkan sesuap telur ke mulutku untuk mencegah diriku agar tidak terbahak-bahak.
Kulihat Reilley menyapu bersih piringnya, meskipun sambil menggerutu. Aku belum pernah melihat Reilley ngambek, dan ternyata dia betul-betu lucu kalau itu sampai kejadian.
"Jadi, apa lagi yang ada di Wilmington selain tempat di mana dulu film Dawson‟s Creek shooting?" Aku mencoba mencari topik baru agar Reilley tidak terlihat terlalu jengkel lagi. Ternyata aku berhasil karena wajahnya langsung ceria dalam hitungan detik.
"Well, it has it's charms. Semu aorang sangat bersahabat, dan sebetulnya mereka kenal satu sama lain. I would take you around town once you finish your lunch," ujar Reilley, sambil tersenyum dan mengangkat piring gelasnya menuju dapur.
"Saya sudah selesai," ucapku, setelah memasukkan potongan terakhir telurku dan mengangkat piring gelas menuju dapur juga.