HARI Minggu sore aku memasuki apartemenku sambil mengucapkan, "Home sweet home," kemudian mengempaskan tubuh ke sofa. Aku sudah tidak memiliki energi lagi untuk melakukan apa pun. Aku berpikir untuk meminta izin sakit besok agar bisa mencerna semua yang terjadi padaku akhir minggu ini. Bibirku terasa agak sedikit bengkak karena habis diciumi dan menciumi Reilley. Mau tidak mau aku tertawa mengingat apa saja yang telah kami lakukan dua puluh empat jam yang lalu.
"Titania O'Reilley," ucapku pelan. "Mrs. O'Reilley," ucapku lagi. Aku harus mengaku bahwa kedua nama itu terdengar cocok untukku.
Kutatap cincin berlian yang sekarang melingkari jari manis tangan kiriku. Aku masih tidak percaya bahwa Reilley telah melamarku. Kucoba mengingat-ingat kejadian tadi malam sambil tersenyum.
Setelah makan siang, akud an Reilley pergi menuju pusat kota Wilmington. Aku harus mengakui kota ini memang menarik. Jalanan utama tidak sebesar di Winston, tetapi ada banyak toko kecil yang berderet di sisi kiri dan kanan jalan, membuatnya kelihatan menarik dan mengundang. Reilley membawaku ke dermaga, dan kami menghabiskan sore itu sambil duduk-duduk dan menikmati suasana yang damai.
"Saya suka di sini," ucapku perlahan.
"I was hoping that you would say that," balas Reilley. Aku sedang menutup mata, jadi tidak bisa melihat ekspresi wajah Reilley.
Reilley lalu meraih tangan kiriku dan mengenakan sesuatu yang dingin pada jari manisku. Kubuka mataku untuk melihat apa yang Reilley sedang lakukan, dan hanya bisa ternganga ketika melihat cincin berlian yang sudah melingkari jariku.
"Kamu nggak usah kasih jawaban sekarang. Saya hanya ingin kamu tahu kalau saya serius dengan kamu, dan I wish to wake up everyday seeing your face beside me. Saya ingin menikahi kamu, punya anak dari kamu, dan hidup bersama-sama kamu seumur hidup saya," ucap Reilley, tanpa melepaskan genggamannya pada tanganku.
Aku masih tidak bisa berkata-kata. Perlahan-lahan kualihkan tatapanku dari cincin itu ke wajah Reilley, yang sedang menatapku sambil tersenyum. Untungnya dermaga itu sudah kosong karena matahari sebentar lagi akan tenggelam. Jadi, tidak ada orang yang bisa menyaksikan lamaran ini. Hal itu justru membuat apa yang sedang terjadi terasa lebih asli dan khidmat.
"Reilley," bisikku. Jantungku berdetak lebih cepat, dan kurasakan seluruh tubuhku tiba-tiba menjadi panas.
"Ssshhh... take all the time that you need to consider it. Saya nggak ingin mendesak kamu. Saya akan ada di sini sampai kamu siap, oke? Saya nggak akan ke mana- mana." Reilley lalu memelukku dan mencium keningku. Aku ingin melebur dalam pelukannya.
Setelah matahari terbenam sepenuhnya, Reilley menuntunku pergi ke salah satu restoran khas Wilmington untuk makan malam. Aku betul-betul tidak bisa berpikir dengan jernih, aku masih shock. Sebisa mungkin aku mencoba bertingkah biasa saja, seakan-akan tidak ada kejadian heboh yang pernah kualami sepanjang hidupku. Tidak setiap hari seorang wanita dilamar laki-laki yang memang diinginkannya. Kata-kata itu membuatku terdiam seketika. Apakah aku betul-betul menginginkan Reilley? Aku tahu, secara fisik aku sangat tertarik dengannya. Aku sangat menyukai segala hal tentang dirinya. Dia memiliki pekerjaan yang bagus dan mapan. Dia sudah punya rumah, dan dia sangat mencintai keluarganya. Keluarganya pun kelihatannya menyukaiku. Dia sangat perhatian kepadaku, dan selalu mempertim- bangkan keadaan serta perasaanku dalam situasi apa pun. Lalu seperti ada petasan yang meledak sangat dekat dengan diriku, aku pun terlonjak dari kursiku. Reilley terlihat khawatir ketika menanyakan, apakah aku tidak apa-apa. Aku meyakinkannya bahwa aku hanya perlu pergi ke toilet sebentar. Meskipun Reilley menatapku dengan curiga, dia tetap membiarkanku pergi.
Di dalam toilet aku baru bisa berpikir, C-I-N-T-A. Lima huruf itu muncul ketika aku mencoba menggambarkan perasaanku yang sebenarnya kepada Reilley. Aku mencintai Reilley. Bagaimana bisa, ya? Aku baru mengenalnya selama enam minggu. Selama ini aku selalu terheran-heran melihat orang-orang yang menyebarkan undangan perkawinan hanya setelah mengenal pasangan mereka selama satu bulan, tetapi kini aku mengerti bagaimana fenomena seperti ini bisa terjadi.
* * *
Sekali lagi kupandangi jariku, yang tiba-tiba terasa lebih berat daripada dua hari yang lalu. Tiba-tiba aku menginginkan pelukan Reilley, yang selalu bisa menenangkanku. Aku tidak habis-habisnya menganalisis permintaan Reilley sejak dia menanyakannya, terutama setelaha ku menyadari bahwa aku mencintainya. Kalau begitu, mengapa seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatiku? Kalau aku menerima lamaran Reilley, jelas-jelas aku bisa membuktikan kepada Brandon bahwa dia salah. Aku telah menemukan laki-laki lain, yang menginginkanku dan ingin menikahiku. Hah!!! Aku tidak tahu mengapa aku memikirkan Brandon pada saat ini. Otakku mulai berputar dengan bunyi klik... klik... klik... dan KLIK. Ya... ampun, itu dia. Brandon. Aku harus bertatap muka dengannya untuk memberitahukan berita ini.
Buru-buru kurogoh telepon selularku dari dalam tas, dan langsung menekan nomor telepon selular Brandon. Aku telah menghapus segala sesuatu yang berhubungan dengannya, termasuk nomor teleponnya. Aku agak terkejut ketika menyadari, ternyata aku masih ingat nomor itu dengan sempurna. Aku berharap dia masih menggunakan nomor yang sama. Kudengar nada sambung. Aku menunggu beberapa saat, kemudian kudengar nama Brandon mengucapkan namaku.
"Hei, Brandon. Apa kabar?"
"Aku baik-baik saja," jawab Brandon, dengan nada bingung. Aku yakin, dalam hati Brandon sedang bertanya-tanya ada apa aku meneleponnya.
"Baguslah kalau begitu. Apakah kamu masih tinggal di Memphis?" "Masih. Ada apa?" Brandon terdengar curiga.
Aku mengakhiri basa-basiku, dan langsung ke topik utama. "Aku hanya ingin tanya, apakah kamu ada rencana berkunjung ke Winston dalam waktu dekat?"
"Nggak sih. Ada apa?" tanyanya, semakin curiga.
Aku mencoba mengontrol emosiku agar suaraku tidak terdengar terlalu gembira. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan ke kamu, dan aku nggak bisa omong lewat telepon," ucapku semanis mungkin.
"Oh, ya?" Tiba-tiba Brandon terdengar bersemangat. "Ya," balasku.
Kudengar suara kertas yang sedang dibolak-balik, seolah-olah Brandon sedang melihat agendanya. "Saya bisa ada di sana hari Sabtu siang, bagaimana?" tanyanya.
"That's perfect." Aku tahu Reilley tidak akan ada di North Carolina pada akhir minggu itu. Jadi, dia tidak akan memergoki pertemuanku dengan Brandon.
"Kamu ingin kita bertemu di mana?"
Aku langsung memberikan nama restoran favorit Brandon di Winston. Aku selalu berpikir itu restoran favorit "kami" ketika aku bersamanya, tetapi kini aku menyadari betapa aku sangat tidak menyukai makanan yang dihidangkan di restoran itu.
"Apakah kamu ingin aku jemput?" Aku hampir saja tertawa ketika mendengar Brandon menanyakan hal ini. Ini baru pertama kalinya dia menawarkan menjemputku. Biasanya kalau ada date denganku, Brandon akan memintaku menemuinya di restoran saja. Hanya pada saat-saat terakhir hubungan kami saja Brandon rela menjemputku, yang kini aku tahu hanya sebagai salah satu cara menutupi rasa bersalahnya kepadaku karena perselingkuhannya.
"Aku bertemu kamu saja di sana langsung. Sekitar pukul 12.00, bagaimana?" Brandon langsung menyetujui jadwal itu. Aku lalu menutup telepon sebelum aku mulai tertawa terbahak-bahak di depannya, dan merusak semua rencanaku.
"Hahaha... biar tahu rasa nih orang," ucapku.
* * *
Aku tidak bisa tidur selama beberapa hari, menunggu hingga hari Sabtu tiba. Semakin hari aku semakin yakin, satu-satunya jawaban yang harus aku berikan kepada Reilley, kalau dia melamar lagi adalah, "Yes". Setiap malam, di mana pun dia berada, dia akan meneleponku hanya untuk menanyakan apa yang aku lakukan hari itu. Dia meminta maaf tidak bisa pergi menemuiku hingga minggu depan karena dia akan berada di San Fransisco. Meskipun aku merindukannya, aku bukan tipe perempuan yang merengek-rengek meminta agar pacarnya cepat pulang. Aku hanya memintanya menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dia tidak menyinggung satu patah kata pun tentang cincin yang sekarang melingkari jariku dan lamarannya. Aku yakin dia sedang berusaha menepati janjinya, dan memberikanku waktu untuk mempertimbangkan ini semua. Aku sangat bersyukur atas toleransi itu.
Satu-satunya orang yang tahu hubunganku dengan Reilley sudah pada tahap yang sangat serius adalah Sandra. Mau tidak mau aku terpaksa memberitahukan alasan meminta MBD membatalkan semua kencan buta yang sudah dijadwalkannya untukku, meskipun aku masih ada sekitar dua minggu lagi sampai kontrakku habis. Sandra mengucapkan selamat kepadaku, dan berharap agar aku mengirimkan undangan pernikahanku secepatnya. Didi memang terdengar curiga ketika mendengar laporanku yang biasa-biasa saja tentang kunjunganku ke Wilmington. Untuk pertama kalinya aku bisa menyembunyikan apa yang sebetulnya terjadi darinya. Aku berjanji, aku akan memberitahunya setelah aku berbicara dengan Brandon, dan juga Reilley.
Untungnya hari Sabtu akhirnya tiba juga. Aku sengaja datang agak terlambat ke restoran untuk membuat Brandon menunggu. Aku kini yang memegang kendali, dan aku berniat menggunakan keadaan ini dengan semaksimal mungkin. Kulihat Brandon sudah duduk di meja tempat kami biasa duduk di restoran ini. Aku menyentuh jari manis tangan kiriku untuk memastikan bahwa cincin Reilley, benda yang menandai diriku sebagai miliknya, masih melingkar di sana. Brandon berdiri dari kursinya ketika melihatku. Aku pun mendekat dan sengaja mencium pipinya. Brandon kelihatan agak terkejut, tetapi dia membalas ciumanku dengan antusias.
"You look good, babe," ucap Brandon. Aku sengaja tidak membetulkan kata yang digunakannya untuk memanggilku. Tatapan Brandon penuh dengan kerinduan yan gtidak mapmu dibendungnya lagi.
"I feel good," jawabku, sambil tersenyum.
Waiter kemudian tiba, dan kami memesan makanan dan minuman masing-masing.
"Pekerjaan kamu bagaimana?" tanyaku.
"Baik-baik saja," jawab Brandon. Lalu, "It's so good to hear your voice again."
Ketika melihat aku hanya tersenyum, Brandon melanjutkan, "Jadi, apa yang perlu kamu bicarakan kepadaku?"
Aku sudah menunggu hingga dia mengajukan pertanyaan ini. Sebelum aku menjawab, waiter sudah kembali dengan minuman pesanan kami. Aku pun minum seteguk sebelum menjawab.
"Kamu masih ingat apa yang kamu katakan kepadaku ketika aku mengembalikan barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku?"
Brandon menatapku bingung, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Kamu berkata... 'Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang akan mau dengan kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan kamu'."
"Aku berkata begitu?" Brandon kelihatan terkejut. "Yes, you did," ucapku tenang.
Aku hampir saja tertawa ketika melihat wajah Brandon, yang kelihatan sangat bersalah. "Kamu nggak usah kelihatan bersalah begitu. Aku nggak akan mengomeli kamu soal itu. Aku sebetulnya mau mengucapkan terima kasih kepada kamu."
Kini Brandon kelihatan terkejut, penasaran, dan bingung.
"Selama sembilan bulan, aku sudah mencoba membuktikan kamu salah. Memang aku memerlukan waktu lebih lama daripada yang aku rencanakan, tetapi nggak apa-apa."
"Maksud kamu?"
"I'm engaged, Brandon," ucapku, smabil mengangkat tangan kiriku dan menunjukkan cincin berlian Reilley.
Mata Brandon hampir saja keluar ketika melihat cincin empat karat itu. "He is a great guy. Dia bukan seorang pengacara, tapi dia ada pekerjaan yang cukup mapan." Melihat Brandon tidak bereaksi, aku melanjutkan, "Yang paling penting adalah dia menyayangi aku, dan dia ingin menghabiskan seluruh hidupnya... dengan aku."
Brandon masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata ketika makanan kami tiba. Aku langsung menyerang salad salmon bakarku. Brandon tidak menyentuh makanannya, dia justru mengerlingkan matanya kepadaku.
"Apakah ini alasannya mengapa kamu ingin bicara kepadaku langsung? Untuk memamerkan pertunangan kamu?" Suara Brandon terdengar sedikit bergetar.
Aku menelan suapanku sebelum menjawab, "Nggak, kan aku sudah katakan. I'm here to thank you." Dalam hati aku sedang bersorak gembira. Aku betul-betul telah membalas penghinaan Brandon terhadapku sembilan bulan yang lalu itu.
"Thank me my ass," omelnya. Beberapa orang sudah mulai melirik ke arah meja kami.
"Brandon, kamu harus tenang. Orang-orang mulai memperhatikan kita," ucapku pelan. Seperti yang sudah aku perkirakan, Brandon meledak.
"Aku nggak peduli orang memperhatikan kita. Apakah kamu sudah tidur dengan dia? Oh... aku yakin kamu sudah hamil beberapa bulan ya, itu sebabnya mengapa dia melamar kamu!" teriak Brandon.
"Brandon...," aku mencoba menenangkannya, tetapi Brandon seolah-olah tidak mendengar dan berlanjut dengan kemarahannya.
"Aku nggak percaya kamu bersedia tidur dengan dia, tetapi nggak dengan aku," ucapnya.
"Aku tidak tidur dengan dia!" teriakku. Aku tidak terima segala tuduhan yang dilayangkan Brandon kepadaku. Kuletakkan garpu yang aku pegang agar tidak melemparkannya kepada Brandon.
Brandon terdiam, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Aku kini yakin, pikirannya sudah tidak stabil. Ada apa juga dia tertawa kalau tidak ada yang lucu?
"Ohhh... that guy is so much smoother than I am. I give him that," ujar Brandon, sambil mencoba mengontrol tawanya.
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Apakah kamu nggak bisa lihat, Titania. Dia hanya ingin ML saja dengan kamu. Itu sebabnya dia melamar kamu. Pakai cincin mahal segala lagi." Brandon menunjuk cincin dari Reilley.
"Dia nggak hanya ingin ML dengan aku," omelku. "Has he said that he loves you?"
"Of course..." Tiba-tiba aku teringat, Reilley tidak pernah mengatakan kata cinta kepadaku. Tentu saja dia mengatakan dia ingin menikahiku dan hidup denganku selama-lamanya, tetapi tidak kata cinta.
Melihatku tiba-tiba terdiam, Brandon berkata, "Dia belum bilang apa-apa tentang itu, kan?" tanya Brandon, dengan penuh kemenangan.
"Dia nggak perlu omong. Aku tahu dia mencintaiku." Aku mencoba terdengar meyakinkan, tetapi aku tahu hatiku mulai bertanya-tanya.
"Kamu yakin?"
Aku hanya mengerlingkan mataku kepada Brandon. "Jangan nikah dengan dia, aku tahu tipe laki-laki seperti dia. Dia cuma salah satu dari banyak laki-laki yang terobsesi dengan perempuan Asia. Mereka hanya ingin mencicipi saja, dan begitu mereka sudah tahu bagaimana rasanya mereka akan meninggalkan kamu tanpa permisi lagi," ucap Brandon pelan.
Ini tidak mungkin. Reilley tidak seperti yang Brandon gambarkan, tetapi tanpa sadar aku mulai menganalisis tindakan-tindakan Reilley yang memang kelihatan sangat tertarik dengan budaya dan kebiasaanku sebagai orang Asia. Aku tetap mencoba membela Reilley.
"Dari mana kamu tahu tentang itu?"
"Karena aku laki-laki. Percaya kepadaku soal yang satu ini. Memang kamu sudah tahu dia selama berapa lama sih?"
"Beberapa bulan," jawabku.
"Beberapa bulan? Jelas-jelas dia hanya ingin ML saja dengan kamu, that's it." "Shut up, Brandon," ucapku datar.
"Oke... oke... coba aku ganti kalimatnya. Aku sudah kenal kamu selama tiga tahun, dan aku nggak yakin aku ingin dan bisa menikah dengan kamu. Dia baru kenal kamu selama beberapa bulan, dia bakalan kabur sebelum bulan madunya kelar."
"No, he won't," bantahku.
"Mau taruhan?" Mata Brandon terlihat berbinar-binar. "Menurut aku, kamu jangan menikah dengan laki-laki yang baru kamu kenal selama beberapa bulan saja. Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia."
"Aku tahu semua hal yang perlu aku tahu tentang dia," balasku.
"Oh, yeah? Do you know his social security number?" tantangnya, ketika melihatku tersedak Brandon tersenyum lebar.
Shit! teriakku dalam hati. Jangankan nomor jaminan sosial, aku bahkan tidak tahu nama ibu Reilley.
"Apakah dia tinggal di Winston?" Kudengar Brandon bertanya.
"No, he doesn't," jawabku. "We try to meet as often as possible when he‟s around." "Aha... dia sudah merencanakan semuanya dengan baik kelihatannya. Aku yakin dia juga pacaran dengan orang lain selain kamu." "Enak saja kamu ngomong."
"Buka mata kamu, Titania. Dia itu laki-laki. Kalau dia nggak bisa dapat seks dari kamu, dia akan mendapatkannya dari orang lain."
"Not all men are jerks like you, Brandon," geramku. "Are you sure about that?"
Kalau Brandon enanyakan hal itu dua puluh empat jam yang lalu, aku akan langsung menjawab dengan, "Of course I'm sure," tanpa perlu berpikir panjang lagi, tetapi sekarang aku mulai mempertanyakan keyakinanku itu. Aku betul-betul tidak merencanakan hubunganku dengan Reilley dibedah dan dianalisis Brandon. Aku hanya menemuinya untuk mengibarkan bendera kemenanganku di hadapannya, tetapi sekarang aku hanya bisa duduk diam dan menatap Brandon yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana mungkin posisi kami berganti hanya dalam hitungan menit?
"Saya sudah mengatakan apa yang perlu dikatakan, sekarang I'm gonna go," ucapku, sambil mengeluarkan uang dua puluh dolar dari dalam dompetku dan melemparkannya ke atas meja.
"Oh come on, babe. Kamu nggak harus pergi." Brandon menarik pergelangan tanganku.
"I'm not your babe. Sekarang lepaskan tangan aku," desisku. Brandon melepaskanku dan aku pun bergegas ke luar restoran.
* * *
Malam itu aku tidak mengangkat telepon ketika Reilley meneleponku, juga ketika dia meneleponku pada hari-hari berikutnya. Meskipun aku tahu aku tidak seharusnya mendengarkan kata-kata Brandon, entah mengapa aku tidak bisa menghapuskannya dari kepalaku. Kata-katanya terngiang-ngiang di telingaku.
"Apa kamu nggak bisa lihat, Titania. Dia hanya ingin ML saja dengan kamu. Itu sebabnya dia melamar kamu. Pakai cincin mahal segala lagi." Pisau baru saja menyayat hatiku.
"Has he said that he loves you?" Pisau itu sekarang sudah menusuk.
"Dia cuma salah satu dari banyak laki-laki yang terobsesi dengan perempuan Asia. Mereka hanya ingin mencicipi saja, dan begitu mereka sudah tahu bagaimana rasanya mereka akan meninggalkan kamu tanpa permisi lagi." Sebuah kampak sudah melayang.
"Aku sudah kenal kamu selama tiga tahun, dan aku bahkan masih nggak yakin aku ingin menikah dengan kamu. Dia baru kenal kamu selama beberapa bulan, dia bakalan kabur sebelum bulan madunya kelar." Kudengar bunyi gergaji listrik baru saja dinyalakan.
"Buka mata kamu, Titania. Dia itu laki-laki. Kalau dia nggak bisa dapat seks dari kamu, dia akan mendapatkannya dari orang lain." Aku sudah mati karena jantungku berhenti berdetak.
Aku betul-betul sedang berlaku tidak adil terhadap Reilley, dan aku tahu aku harus meluruskan ini semua sebelum semuanya menjadi lebih parah lagi. Reilley berkata dia harus pergi ke New York pada akhir bulan ini. Jadi, aku harus meneleponnya sekarang untuk bertemu dengannya. Aku tahu Reilley akan tiba dari San Fransisco pada hari Kamis. Jadi, pada Rabu malam aku pun meneleponnya.
"Titania, are you okay? Kamu nggak angkat telepon dariku." Meskipun Reilley berbicara dengan tenang, aku bisa mendengar kekhawatiran di balik suaranya.
"I'm fine. Hei, kamu keberatan nggak kalau saya datang ke Wilmington untuk bertemu kamu besok?" Aku mencoba membuat suaraku terdengar gembira.
"Tentu saja nggak, tetapi apakah itu nggak terlalu jauh untuk kamu? Saya bisa pergi ke rumah kamu langsung dari Raleigh."
Aku hampir saja menangis mendengar Reilley mengatakan ini. Seperti biasa, dia selalu penuh perhatian. Dia jelas-jelas tidak mau aku harus menempuh jarak empat setengah jam, yang berarti sembilan jam bolak-balik hanya untuk menemuinya.
"No no... it's okay. Saya ingin sekalian melihat Wilmington lagi, "jawabku. "Well, okay," ucap Reilley ragu.
"Pukul beratap kamu sampai di rumah?" "Sekitar pukul empat," jawab Reilley.
"Okay then. I will see you at four tomorrow," ucapku, lalu menutup telepon itu.
Aku terpaksa meminta izin pulang lebih cepat dari kantor besok.
* * *
Keesokan harinya, ketika aku baru saja melangkah ke luar mobil Reilley bergegas menuju ke arahku. Tanpa mempedulikan reaksiku, dia langsung memelukku dan mencium bibirku.
"I'm sorry. I don't mean to kiss you like that, but I've been missing you for the past week," ucap Reilley, setelah dia melepaskan bibirku.
Aku hanya mengangguk.
"Kamu sudah makan?" tanyanya, sambil menarikku masuk ke dalam rumahnya.
"Sudah," jawabku pendek. "Kamu?" tanyaku. "Sudah, saya makan burger tadi di jalan." Sekali lagi aku hanya mengangguk.
"Reilley... we need to talk," ucapku, akhirnya memberanikan diri mengatakan apa yang perlu aku katakan.
"So talk," balas Reilley cuek. "Can we sit somewhere?" tanyaku.
Mendengar nada seriusku, Reilley langsung menarikku ke arah meja makan. Dia baru melepaskan tangan kiriku ketika duduk.
Aku menarik napas dalam sebelum berkata, "Sori... ya, saya nggak angkat telepon dari kamu selama seminggu ini," ucapku.
"Ya, saya agak khawatir jangan-jangan telepon kamu rusak atau ada apa begitu," balas Reilley.
"Telepon saya nggak rusak. Saya hanya perlu waktu untuk berpikir." "Berpikir? Tentang kita?" tanya Reilley hati-hati.
Aku mengangguk. Seperti bisa menebak kata-kataku selanjutnya, Reilley langsung nyerocos, "Look. Saya kan sudah berkata, kamu nggak usah khawatir soal itu. Kamu lupakan saja omongan saya if that would make you feel any better. Saya nggak..."
Reilley terdiam ketika melihatku mengangkat tangan. Aku lalu mengeluarkan kotak cincin yang terbuat dari beludru warna hitam dari dalam tasku.
"Saya ke sini untuk mengembalikan ini ke kamu." Kudorong kotak beludru itu ke hadapan Reilley. "I can't marry you, Reilley." Aku tidak berani menatapnya.
Ketika selang beberapa detik dan Reilley masih belum mengatakan apa-apa, aku terpaksa mengangkat wajahku. Apa yang kulihat pada wajah Reilley langsung membuat jantungku berhenti berdetak. Dia sedang menatapku dari balik bulu matanya. Ada kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaan di tatapannya itu.
"I see," ucap Reilley pendek.
Aku lalu mengangguk. "I'm sorry that you have wasted so much of your time and energy on me." Kutarik tasku dari pangkuanku, dan berdiri. Reilley hanya mengangkat kepalanya dan menatapku, tetapi dia tidak berdiri.
"Saya akan kirimkan barang-barang kamu. Bye, Reilley," ucapku, dan tanpa menunggu jawaban aku langsung bergegas ke luar ruangan itu menuju mobil.
Lima belas menit kemudian, aku sudah berada di I-40 menuju Winston dengan air mata yang sudah membasahi seluruh wajahku. Dadaku rasanya mau meledak. Mengetahui bahwa aku sebaiknya tidak berada di belakang setir dengan keadaan seperti ini, aku pun menghentikan mobilku di bahu jalan dan menangis sepuasnya. Aku baru menyadari kemudian, salju sedang turun dengan cukup lebat. Aku melihat ke sekelilingku, dan permukaan jalan raya itu sudah putih semua. Dari gelagatnya kelihatannya North Carolina akan tertutup oleh salju tebal sebelum tengah malam, dan aku harus sudah berada di rumah sebelum hal itu terjadi. Buru- buru kuhidupkan mesin mobil, dan dengan ban berdecit aku kembali ke jalan raya. Dalam kondisi seperti itulah aku meninggalkan Wilmington, Reilley, dan hatiku di sana.
* * *
Bulan Maret pun tiba, dan untuk pertama kalinya kota Winston-Salem betul-betul mati total. Dengan salju setebal hampir 80 sentimeter, orang-orang Winston disarankan hanya keluar rumah kalau memang betul-betul perlu saja. Untungnya aku telah membeli makanan sebanyak-banyaknya sehingga aku tidak perlu keluar rumah sama sekali. Aku bisa mendengar bunyi angin yang bertiup dengan kencang di luar. Ketika aku mengintip ke luar melalui jendela, aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali putih. Kantorku sempat ditutup selama dua hari, hal yang sangat aku syukuri karena aku yakin mobilku tidak akan mampu menembus salju setinggi itu. Menurut Didi, keadaan di Washington, D.C. bahkan lebih parah. Dia tidak bisa keluar rumah sama sekali selama dua hari karena salju telah mengubur mobilnya hingga atap. Reilley sama sekali tidak mencoba menghubungiku.
Seminggu kemudian, Didi memberitahuku dia tidak bisa mengunjungiku untuk liburan musim semi. Meskipun akhirnya badai salju sudah berlalu, dia tidak berani membawa mobil dari Washington, D.C. menuju Winston sendirian dengan keadaan jalan yang belum betul-betul normal. Di satu sisi aku merasa sangat kecewa dengan berita ini karena aku sangat mengharapkan kedatangannya untuk menghiburku, tetapi di sisi lain aku sangat berterima kasih kepada Tuhan atas kejadian ini karena aku belum siap menghadapi serangan pertanyaan yang pasti akan datang darinya. Didi masih belum tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Reilley. Aku selalu menghindar setiap kali dia menanyakan tentang itu.
Suatu hari, tanpa ada hujan atau badai, aku teringat satu bait lagu Burung Camar yang didendangkan Vina Panduwinata.
Tiba-tiba kusadari lagu burung camar tadi Hanya kisah sedih nada duka, hati yang terluka, Tiada teman, berbagi derita, Bahkan untuk berbagi cerita.
Tanpa kusadari aku sudah menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadaku yang tiba-tiba terasa sakit sekali.
Bulan Maret berganti ke bulan April, dan April ke Mei. Aku mulai merasa seperti zombie. Orang-orang di kantorku pun mulai mengomentari wajahku yang kelihatan lelah dan tidak pernah lagi tersenyum. Tidak seperti waktu bulan Januari, di mana aku tidak habis-habisnya tersenyum kepada semua orang. Linnell, bosku, mengumpamakan wajahku yang sekarang seperti bumi yang tidak lagi terkena sinar matahari, semuanya gelap. Aku tertawa sedih ketika mendengar ini karena sejujurnya aku memang merasa seperti telah kehilangan matahariku. Sebagai seorang profesional, aku tidak pernah membiarkan kehidupan pribadiku memengaruhi pekerjaanku sehingga Linnell tidak memiliki alasan menegurku. Aku mulai menyesali keputusanku tentang Reilley. Beberapa kali aku mencoba menekan nomor teleponnya yang masih terdaftar di deretan nama "Hunny Bunny" di phonebook telepon selularku, tetapi pada detik terakhir aku menekan CANCEL sebelum panggilan itu tersambung.
Lebih parahnya lagi, akibat keputusan tergoblok yang pernah aku ambil sepanjang hidupku pada bulan Februari itu, kini Brandon mengira dia memiliki hak mengganggu hidupku lagi. Akhirnya, baru dengan ancaman aku akan melaporkannya ke polisi kalau dia tidak juga berhenti menggangguku, Brandon menghentikan aksi terornya.
Tanggal 4 Mei pukul setengah enam pagi, aku menelepon Didi untuk mengucapkan selamat ulang tahunnya yang ke-27. "Mbak, Reilley bagaimana kabarnya?" tanya Didi, setelah kami membahas segala sesuatu yang perlu dibahas, tetapi tetap menghindari topik ini.
Aku terdiam seribu bahasa. Sudah dua bulan lebih aku tidak bertemu dengan Reilley. Lebih dari apa pun juga, aku merindukan suaranya yang selalu penuh dengan kehangatan. Selama satu bulan pertama setelah aku memutuskan hubungan dengannya, aku tetap membiarkan peralatan mandinya berada di dalam kamar mandi, bersebelahan dengan peralatan mandiku. Kubiarkan handuk Reilley tergantung tanpa disentuh. Beberapa bajunya masih tersimpan di lemari. Bahkan botol cologne-nya yang masih setengah penuh kubiarkan berada di atas meja dandanku. Aku tidak mampu menyingkirkan benda-benda itu. Benda-benda yang mengingatkanku bahwa Reilley benar-benar pernah hadir di dalam hidupku.
Memasuki bulan kedua aku mencoba memberanikan diri, dan mulai menyingkirkan benda-benda itu. Baru saja aku mengangkat botol shampoo-nya, aku
langsung tidak bisa bernapas. Aku harus duduk di atas toilet dan memegangi dadaku, berusaha tetap menjaga utuh hatiku yang sudah retak ini. Aku tahu, aku sebaiknya memenuhi janjiku untuk mengirimkan benda-benda itu kembali kepada Reilley, tetapi aku masih juga belum sanggup melakukannya.
"I don't want to talk about it," ucapku, menjawab pertanyaan Didi.
"Mbak ada apa sih dengan dia? Kok tiba-tiba saja Mbak berhenti bicara tentang dia, padahal aku dengar Mbak excited banget ketika baru balik dari Wilmington?" Nada Didi terdengar agak menuduh.
"Aku nggak ingin membicarakan tentang dia, oke." Nadaku terdengar tajam. "Dia berbuat apa denganmu sih, Mbak? Dia nggak macam-macam, kan?" Kini Didi terdengar agak waswas. "Kamu kok omong begitu?"
"Habis... Mbak nggak mau menjelaskan ke aku duduk permasalahnnya. Jadi, ya aku hanya bisa menebak, kan?"
"Di, just let it go, okay," pintaku. Kudengar Didi terdiam. "You're not gonna let it go, are you?"
"No. Mbak, kamu sudah diam saja selama dua bulan lebih tentang ini. Mbak sudah jarang tertawa lagi. Setiap kali aku telepon, Mbak selalu kedengaran capek. Mbak selalu menghindar setiap kali aku bertanya soal Reilley. Setidak-tidaknya, ketika Mbak putus dengan Brandon, Mbak masih bisa marah-marah, tetapi ini... Mbak hanya diam saja. Aku tahu Mbak sudah putus dengan Reilley, dan aku yakin Mbak yang memutus dia. Yang aku nggak tahu, 'mengapa' Mbak memutus dia?"
"Kamu tahu dari mana aku putus dengan Reilley?"
"Mbak, aku ini calon doktor jurusan psikologi. Segoblok apakah Mbak pikir aku ini kalau sampai nggak bisa mengenali gelagat orang yang sedang patah hati?"
Aku terdiam mendengar pernyataan Didi. Aku pikir aku sudah berhasil membohongi adikku, tetapi ternyata dia hanya berdiam diri dan menelan semua alasanku karena dia sedang menunggu hingga aku siap menceritakan kejadian sebenarnya. Mendengarku terdiam, Didi bertanya lagi, "You wanna talk to me about it?"
Hanya dengan kata-kata itu, meluncurlah tetesan air mata pertama dari sudut mataku.
"Dia berencana mau memutus aku. Jadi, sebelum dia bisa memutus aku, aku lebih dulu memutus dia," ucapku perlahan-lahan.
"Oke... dari mana Mbak tahu dia bakal memutus Mbak?" Aku tahu Didi mendengar suaraku yang tersedak mencoba menahan tangis, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Dari semua gelagatnya yang selalu manis dan perhatian kepadaku," jawabku. "Mbak, kayaknya Mbak harus menjelaskan ke aku deh. Mengapa laki-laki yang perhatian kepada Mbak, dan selalu baik kepada Mbak mengindikasikan mereka akan memutus hubungan?"
"Brandon selingkuh setelah lebih perhatian dan lebih manis terhadapku!" teriakku.
"What in the hell... Mbak kok bisa-bisanya membandingkan Reilley dengan laki- laki super sinting kayak Brandon sih?" Didi berteriak marah.
"Karena itu benar, Di. Brandon berkata kepadaku bahwa Reilley nggak akan menikahiku setelah dia memuaskan rasa penasarannya tentang aku."
"That is the most ass backward thing I have ever heard," geram Didi. "Wait a minute, Mbak bilang Brandon berkata ke Mbak.... Sejak kapan Mbak omong dengan dia lagi?"
Kuseka air mataku dengan tisu, kemudian menceritakan semuanya kepada Didi. Mulai dari lamaran Reilley, pertemuanku dengan Brandon, hingga hari aku pergi menemui Reilley di Wilmington dan mengembalikan cincin itu. Didi tidak berkata- kata selama beberapa menit, dan aku jadi khawatir saluran teleponku tiba-tiba terputus.
"Di, kamu masih di situ, kan?" tanyaku.
"Masih. Sorry, aku hanya sedang terkesima dengan kakakku yang pintar ini. mengapa kok dia selalu jadi goblok bila dekat-dekat dengan mantan pacar brengseknya itu."
"Aku nggak goblok," omelku. Aku tidak akan tinggal diam kalau ada orang yang mengatakan aku goblok. Tidak ada orang yang boleh menggunakan kata itu untuk menggambarkan diriku, kecuali diriku sendiri.
"Oh, ya? Jadi, mengapa Mbak memutus Reilley?" tantang Didi. Aku langsung terdiam.
"Mbak sudah bicara dengan dia sejak dari Wilmington?" tanya Didi. Dengan susah payah dia mencoba menggunakan nada sehalus mungkin denganku.
"Belum. Dia nggak telepon aku juga."
"Ya, iyalah dia nggak telepon, Mbak. Laki-laki mana juga yang bakal menelepon begitu lamarannya ditolak?"
Sekali lagi aku hanya terdiam. "Mbak cinta kan dengan Reilley?"
"Ya. Aku sebetulnya ingin bilang perasaanku ke dia, tetapi dia nggak pernah mengatakan cinta kepadaku. Jadi, ya sudah."
"Sejak kapan sih Mbak jadi begini sentimentilnya hanya gara-gara satu kata itu? Bukannya selama ini Mbak bilang ke aku kalau kata cinta itu sudah terlalu dibesar-besarkan? Lagi pula juga, dia sudah melamar Mbak. Apakah itu belum cukup bukti bahwa dia cinta kepada Mbak."
"I don't know. I serously don't know, okay!" teriakku frustrasi. "Oke... oke...," balas Didi, agak terkejut mendengar teriakanku. "Aku harus bagaimana, Di?"
"Kalau Mbak memang terobsesi banget mendengar kata cinta dari dia, aku sarankan Mbak tanya dia. Telepon dia sekarang juga dan tanya," perintah Didi.
"Kalau misalnya dia nggak mau bicara dengan aku, bagaimana?"
"Ya... kan masih ada e-mail, text message, surat, kirim kurir, samper dia di rumahnya kek, di kantornya kek. Pokoknya, terserah deh," balas Didi tidak sabaran. Aku memikirkan saran Didi beberapa detik, kemudian loncat dari tempat tidur. "Di, sudah dulu ya," ucapku, dan tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung memutuskan sambungan itu.
Dengan tangan gemetaran aku menekan nomor telepon Reilley. Aku berjalan bolak-balik di samping tempat tidur, menunggu hingga ada nada sambung. Setelah lima deringan aku mendengar suara Reilley.
"You have reached Francis O'Reilley's cell number. I'm sorry that I'm unable to pick up your call right now. Please leave a message and I will get back to you as soon as I can."
"Damn it!" teriakku. Kulirik jam yang ada di telepon selularku. Sudah pukul setengah tujuh. Aku harus mandi dan berangkat kerja.
Satu setengah jam kemudian, aku sudah tiba di kantor tanpa menyadari bagaimana aku bisa sampai di sana. Aku sudah mencoba menghubungi nomor Reilley sebanyak empat kali, dan setiap kali voicemail-nya yang menjawab. Apakah mungkin Reilley sedang berada di luar Amerika, dan tidak membawa teleponnya sehingga semua panggilan akan langsung masuk ke voicemail? Aku menimbang- nimbang untuk menelepon kantor Reilley di Raleigh. Selama mengenal Reilley, aku tidak pernah mengganggu orang di kantornya. Aku akhirnya memutuskan untuk memberinya waktu, mungkin dia memang sedang sibuk dan tidak bisa mengangkat telepon. Kutarik napas dalam, dan menumpukan perhatianku pada pekerjaanku.
Pukul sembilan aku mencoba menghubungi nomor telepon selular Reilley lagi, tetapi kembali hanya voicemail-nya yang menjawab. Pukul sepuluh telepon selularku bergetar. Jantungku langsung berhenti berdetak selama beberapa detik, kemudian kuberanikan diri melirik ke layar dan menggeram.
"Di, aku sedang coba menghubungi dia, tapi belum terhubung. Nanti begitu aku bisa terhubung dengan Reilley, aku langsung kasih tahu kamu, ya," ucapku, sebelum Didi bisa mengatakan apa-apa.
"Oke," balas Didi, sambil cekikikan dan menutup telepon. Pikiranku sudah terlalu galau untuk menanyakan mengapa dia cekikikan.
Aku menimbang-nimbang telepon selularku dengan tangan kanan, lalu tanpa aku sadari aku mulai menuliskan pesan untuk Reilley.
Reilley, I really need to talk to you. Would you call me as soon as you read this message. Titania.
Aku lalu mengirimkan pesan itu dan mencoba mengontrol napasku, yang tiba- tiba memburu. Pukul 12.00, aku masih belum juga mendapat kabar apa-apa dari Reilley. Aduh, ini orang ke mana sih? Setidak-tidaknya, dia kan bisa telepon aku balik atau kirim text message kalau memang dia nggak mau omong denganku, omelku dalam hati. Pukul satu siang, aku baru kembali dari makan siang ketika aku akhirnya memutuskan menelepon kantor Reilley. Aku sudah tidak mampu menunggu lagi. Kukeluarkan kartu nama Reilley dari dalam agendaku.
Kutekan nomor itu perlahan-lahan untuk memastikan aku tidak salah tekan atau salah lihat, lalu kuletakkan telepon di telinga. Tidak lama kemudian aku mendengar nada sambung, dan seorang wanita yang menyebut dirinya sebagai Wanda menyambutku dengan ramah.
"Can I please be connected to Francis O'Reilley," ucpaku, kemudian menahan napas.
"Mr. O'Reilley's is not in today, but I can connect you to his assistant. Would that be okay?" balas Wanda.
Asisten? Reilley tidak pernah berkata kepadaku dia punya asisten. Tampaknya jabatan Reilley di perusahaan ini jauh lebih tinggi daripada apa yang telah diungkapkannya kepadaku.
"Yes, that would be fine," jawabku.
"Hold, please." Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara laki-laki di ujung saluran telepon.
"Yes, I'm supposed to be connected to Mr. Francis O'Reilley's assistant?"
"Yes. I am Mr. O'Reilley's assistant. I'm Michael, how can I help you?" Michael terdengar ramah.
"Ya. Bisa kasih tahu bagaimana saya dapat menghubunginya? Saya sudah mencoba menghubungi telepon selularnya sejak pagi, tetapi tidak pernah diangkat.
"Wah, saya nggak tahu bagaimana itu bisa terjadi, teleponnya biasanya tetap hidup sampai dia naik ke pesawat."
"Is he going somewhere?"
"Well, he's technically on his vacation, Ma'am, but he always leaves his cell on just incase we need to reach him."
Aku mengembuskan napas kesal. Tampaknya aku harus menunda bertemu dengan Reilley hingga dia kembali dari cutinya. "Apakah Anda tahu kapan dia akan kembali?"
"Pesawatnya berangkat dari Raleigh pukul 16.00 hari ini. Dia baru akan kembali sekitar bulan Juli."
"Bulan Juli?!" teriakku terkejut.
"Ya, Mr. O'Reilley selalu mengambil cuti delapan minggu untuk pergi ke Nice setiap tahun, Ma'am."
"Did you say Nice?" Aku langsung teringat, Reilley pernah mengatakan dia dan keluarganya selalu pergi ke Nice setiap musim panas. Sekarang kan masih awal bulan Mei. Musim panas baru akan dimulai pada bulan Juni.
"Yes, Ma'am," jawab Michael. Aku langsung melirik jam tanganku, yang kini telah menunjukkan pukul setengah dua. Aku langsung panik.
"Dia mengambil penerbangan apa?"
"Dia akan terbang ke JFK dengan Delta, lalu melanjutkan penerbangannya dengan Air France ke Paris lalu Nice."
"Apa nomor penerbangannya?"
Kudengar suara keyboard yang sedang ditekan, kemudian Michael memberikan nomor penerbangan itu. Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih sebelum menutup telepon. Tanpa mematikan komputer, aku langsung pergi menemui bosku dan meminta izin keluar karena ada keadaan darurat. Melihat wajah panikku, Linnell tidak bertanya-tanya lagi dan langsung membolehkanku pergi.
Aku berlari sekuat tenaga menuruni tangga menuju lantai dasar, lalu aku berlari lagi menuju mobil. Kuhidupkan mesin, dan tanpa menunggu lagi aku langsung tancap gas. Aku hanya ada waktu dua jam lebih sedikit untuk mengejar penerbangan itu. Aku sudah kehabisan waktu.
"Tunggu, Reilley, tunggu... please tunggu sampai aku datang!" ucapku pelan.