SATU bulan setelah semua keluargaku kembali ke Indonesia dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dariku dan Reilley, aku menghabiskan waktuku dengan suamiku di Wilmington. Jauh dari segala hiruk-pikuk yang sudah mengelilingi kami selama beberapa bulan belakangan ini.
Aku dan Reilley sedang menyisiri pantai di depan rumah, yang baru beberapa hari ini menjadi rumahku juga. Aku mengajukan permintaan ke kantor agar ditransfer ke Wilmington setelah menikah karena aku tidak mungkin meminta Reilley menjual rumah ini dan tinggal bersamaku di Winston. Linnell sempat ngamuk setengah mati ketika mendengar permintaanku, tetapi dia mengerti ketika aku jelaskan bahwa dalam budaya Asia tugas seorang istri adalah ikut suami.
Aku langsung merasa nyaman dengan Wilmington. Sekarang aku mengerti daya tarik kota kecil ini. Perlahan-lahan aku juga mulai menyukai rumah Reilley, meskipun aku harus menggunakan stool jika ingin masak atau menggunakan wastafel. Reilley selalu tertawa setiap kali melihatku sedang berdiri di atas stool itu.
Udara bulan Oktober yang mulai agak dingin mengelilingi kami, tetapi aku hampir tidak merasakannya karena senantiasa ada dalam pelukan hangat Reilley. Aku tidak menyangka kisah pencarian suami melalui jasa blind date berakhir dengan tidak terlalu blind date karena aku sudah kenal Reilley sebelumnya.
"How are you adjusting being married to me?" tanya Reilley kepadaku.
"I'm adjusting well enough," ucapku. "Kamu bagaimana? Sudah bosan dengan saya belum?" candaku.
Reilley tertawa dan mengeratkan pelukannya. "Nggak sampai lima puluh tahun ke depan atau mungkin lebih," bisiknya.
"Hanya lima puluh tahun?" tanyaku, sambil mengerlingkan mataku kepadanya. Reilley menatapku dan menjawab, "Ya... karena pada saat itu kamu bakaln sudah hampir delapan puluh tahun, dan kemungkinan besar baumu jadi aneh.
Kayak permen obat batuk dan Counterpain."
"Mengapa kamu pikir saya baunya akan seperti itu?"
"Well... saya nggak tahu juga. Suatu hari saya melihat seorang nenek di grocery store, di satu tangan dia memegang sekantong permen obat batuk dan kotak Counterpain di tangan yang satunya."
"Apakah kamu bertemu dia di sini, di Wilmington?"
Reilley mengangguk. "Mengapa?" tanyanya, ketika melihat ekspresi wajahku. "Saya pernah melihat dia juga sebelumnya. Rambutnya disanggul dan dia pakai cardigan warna biru kalau nggak salah," ucapku. "Ya," balas Reilley antusias.
"Saya bertemu dia beberapa kali, dan saya berpikir mengapa dia selalu sendirian saja." Tiba-tiba aku teringat akan nenek itu, dan aku merasa kasihan kepadanya.
"Mungkin suaminya baru meninggal," ucap Reilley pelan.
"Ya, mungkin. Dia seharusnya menikah lagi supaya nggak sendirian seperti itu, ya nggak?"
"Well, mungkin dia nggak mau menikah lagi. Mungkin dia terlalu cinta kepada suaminya sehingga sulit baginya bisa jatuh cinta dengan orang lain lagi."
Kupertimbangkan komentar Reilley. Sejujurnya, kalau misalnya Reilley tiba-tiba terkena serangan jantung dan meninggal, amiti-amit... amit-amit... jangan sampai deh... tetapi kalau saja hal itu terjadi, aku yakin aku juga tidak akan menikah lagi. Tidak ada orang yang dapat menggantikan posisinya di dalam hatiku pada saat ini dan sampai kapan pun juga.
"Apakah dia punya anak, ya?" gumamku.
"Mungkin ada. But maybe all her kids lived out of state and doesn't have much time to come and see her."
"Oh, that's a terrible thing to do to a parent," geramku.
"Not to burst your bubble, but you are doing it right now to your parents," ucap Reilley pelan, sambil tertawa. Ketika melihatku mengerling, Reilley langsung terdiam.
"Saya nggak menelantarkan orangtua," omelku.
"Saya nggak bilang kamu beigtu. Hey look, saya juga melakukan hal yang sama dengan orangtua saya, oke. Setidak-tidaknya kamu masih bisa dimaafkan karena kamu tinggal beribu-ribu mil jauhnya dari mereka. Bagaimana saya? Saya hanya tinggal empat jam perjalanan bermobil dari mereka, tetapi saya jarang bertemu mereka," jelas Reilley.
Aku menimbang-nimbang kata-kata Reilley ini. "Ya, kita betul-betul perlu lebih sering bertemu orangtua kamu. Maybe we can invite them to stay over or something. Kita bisa jemput mereka dari Winston dan mengantar mereka pulang nantinya. Bagaimana menurut kamu?"
"That sounds like a good idea," ucap Reilley. "Kita juga bisa melakukan hal yang sama untuk orangtua kamu. Mungkin kita bisa ke Jakarta kalau liburan. Bagaimana?"
"Kamu ingin pergi ke Jakarta?" tanyaku bingung.
"Ya.... Saya ingin melihat negara tempat kamu grew up. Lihat rumah kamu, teman-teman kamu, sekolah kamu, bahkan kebun yang pernah kamu ceritakan ke saya."
"Kamu ingin pergi ke Jakarta?" tanyaku sekali lagi.
"Okay, is it just me or do I get the feeling that you don't want me to go to Jakarta?" Reilley terdengar sedikit jengkel.
"Fine. We can go to Jakarta. Akan tetapi, saya peringatkan Jakarta itu nggak seperti kota-kota lain yang pernah kamu kunjungi."
Reilley mengangkat bahunya. "Nggak mungkinlah lebih parah dari Tokyo." "Ooohhh... kalau kamu pikir Tokyo parah, saya nggak tahu deh apa yang kamu akan katakan tentang Jakarta."
"It can't be that bad if the people are as nice as you," balas Reilley, sambil tersenyum. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum kepada suamiku ini. "Saya akan coba bicara dengannya kalau saya bertemu dia lagi. Siapa tahu mungkin kita bisa jadi teman," lanjutku. "Siapa?"
"Ratu Elizabeth." Ketika kulihat Reilley tidak juga memahami nadaku yang sarkasme, aku berkata dengan jengkel, "Nenek-nenek permen obat batuk itu, of course."
Tanpa kusangka-sangka Reilley menatap langit, dan tertawa terbahak-bahak. Aku sudah berhenti melangkah, dan menatapnya sambil menjejak-jejakkan kakiku ke atas pasir dengan tidak sabaran menunggu hingga dia menjelaskan alasan atas reaksinya itu.
Tiba-tiba Reilley mengangkat tubuhku dan memutarku sambil berteriak, "I love this woman!"
Beberapa orang yang sedang berjalan langsung berhenti dan menonton kelakuan gila Reilley.
"Reilley, turunkan saya!" perintahku.
Reilley berhenti memutarku. "Apakah saya pernah bilang ke kamu bahwa kamu perempuan paling baik, paling pintar, dan paling seksi yang pernah saya temui?" tanya Reilley.
"All the time," balasku datar, meskipun hatiku cukup berbunga-bunga. Reilley memang tidak pernah lupa mengingatkanku tentang betapa baik, pintar, dan seksinya aku. Tidak peduli berapa kali dia sudah mengatakannya, jantungku masih tetap akan berhenti sesaat setiap kali mendengarnya.
Reilley sengaja tidak memedulikan nadaku dan berbisik, "Katakan kamu cinta kepada saya juga, baru kamu saya turunkan."
"I love you," bisikku.
"Apa?" Reilley mendekatkan telinganya pada bibirku. "I said I love you," geramku.
"Saya nggak bisa dengar, kamu perlu bicara lebih keras." "I love you, goddamn it! Now put me down!" teriakku.
"She loves me too!" teriak Reilley, dan mulai memutarku lagi sambil tertawa dengan keras. Aku mendengar orang-orang di sekitar kami juga mulai tertawa. Mau tidak mau aku pun tertawa.
Kupeluk tubuh Reilley seerat-eratnya. Aku betul-betul mencintai dan dicintai oleh laki-laki gila, yang sekarang sedang memutar-mutar tubuhku sambil meneriakkan kepada seluruh Wilmington bahwa dia mencintaiku, dan aku tidak bisa berhenti tersenyum serta tertawa karenanya.
. . . Tamat . . .