Chereads / Blind Date by Jessie J / Chapter 12 - Belajar Bahasa Indonesia

Chapter 12 - Belajar Bahasa Indonesia

KUTATAP tubuh tinggi besar, yang masih tertidur di atas sofa. Tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan jas putih dokter dengan rambut ubanan dan langkah sigap sudah memasuki ruangan diikuti suster. Setelah dia cukup dekat, aku bisa membaca nama yang disulam pada jas putihnya. Roland Smith, M.D.

"Ahhh... our sleeping beauty is awake," ucap dokter itu, dengan suara yang menggelegar. Aku sebenarnya ingin sekali menutup telingaku dengan kedua tanganku, tetapi karena tangan kananku sedang digenggam oleh Didi dan tangan kiriku oleh Dokter Smith aku pun hanya bisa meringis saja.

"Is she going to be alright?" tanya Didi khawatir.

"Apakah Anda merasa pusing atau penglihatan agak kabur?" tanya Dokter Smith kepadaku, masih dengan suara yang terlalu keras.

Aku menggeleng. "Hanya capek saja," ucapku pelan.

"Ya. Itu biasa setelah tidur terlalu lama," jelas Dokter Smith. Aku jadi bertanya-tanya, sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. "Badan Anda akan terasa sedikit kaku beberapa hari karena memar di seluruh tubuh Anda, tetapi tidak ada tulang yang patah," lanjut Dokter Smith. Memar? Tubuhku ada memarnya? Bagian mana? Aku mulai bertanya-tanya dalam hati.

"Apa kakak saya sudah diperbolehkan pulang?" tanya Didi lagi.

"Saya rasa akan lebih baik bila dia menginap satu malam lagi, hanya untuk memastikan dia betul-betul baik-baik saja. Kadang-kadang ada efek yang agak terlambat datangnya setelah benturan di kepala, seperti yang dialaminya. Kami hanya ingin memastikan dia tidak mengalami hal-hal seperti itu sebelum kami memperbolehkannya pulang."

Kulihat Didi mengangguk. Aku menyentuh selang nasal canulla yang menempel pada hidung-ku, dan Didi langsung bertanya, "Apakah dia masih perlu oksigen itu?"

"Apakah Anda mengalami masalah pernapasan?" tanya Dokter Smith kepadaku. Aku menggeleng, dan Dokter Smith langsung memerintahkan suster agar mencabut selang oksigen itu secepatnya.

"Shift saya akan habis dalam beberapa menit, tetapi Marge akan mengurus Anda sampai saya kembali besok pagi, oke," ucap Dokter Smith, sambil menunjuk suster yang kini sedang tersenyum kepadaku.

"Don't worry about a thing, dear," Marge mencoba meyakinkanku. Aku mengangguk, dan Dokter Smith berlalu diikuti Marge.

"Aku lupa ingin tanya sesuatu ke Dokter Smith. I'll be right back, okay," ucap Didi, kemudian menghilang keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya.

Ketika ruangan sudah kosong kembali, aku baru menyadari Reilley sedang berdiri di samping sofa sambil menatapku tidak pasti.

"Hi." Aku rasanya ingin menendang diriku setelah mengucapkan kata itu. Ada banyak sekali yang ingin aku katakan kepadanya, tetapi satu-satunya kata yang aku bisa ucapkan hanya 'hi'?

Tiba-tiba Reilley sudah berdiri di samping tempat tidur sambil memegangi tanganku. Aku mencoba membalas dengan meremas tangan Reilley, tetapi otot- ototku masih terlalu kaku.

"I'm sorry," ucapku akhirnya.

"Ssshhh... just rest. We can talk about it later," balas Reilley, kemudian mencium tanganku.

"Stay?" pintaku.

"I'll be here." Reilley lalu mencium keningku, dan aku pun kembali ke alam bawah sadar.

* * *

Ketika aku terbangun lagi, sinar matahari sudah tidak bersinar di luar sana. Kamarku kelihatan agak redup hanya dengan penerangan sebuah lampu tidur, yang terletak di atas meja kecil di samping sofa. Sudah tidak ada selang yag menempel pada hidungku, dan tidak ada jarum yang menusuk pergelangan tanganku. Marge rupanya telah mengangkat semua itu ketika aku masih tidur. Kulihat Reilley sedang tidur sambil duduk dengan mengistirahatkan kepalanya di atas kasur. Kuangkat tanganku perlahan-lahan, dan membelai rambutnya. Satu kali... dua kali... tiga kali... Reilley mulai bergerak di bawah belaianku. Pada belaian keempat, Reilley mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Hey," ucapnya, dengan nada sedikit mengantuk.

Baru pada saat itu aku sadari, Reilley kelihatan sangat lelah. Ada garis hitam di bawah matanya, dan kerutan-kerutan di keningnya kelihatan lebih dalam daripada yang aku ingat. Dia kelihatan lima tahun lebih tua hanya dalam waktu dua bulan. Reilley meraih tanganku, mendekatkannya pada hidungnya dan menarik napas dalam-dalam sambil menutup matanya.

"God, I miss that smell," bisiknya.

"Kamu kelihatan lelah," ujarku pelan. Reilley membuka matanya ketika mendengar nada khawatirku.

"Sudah dua bulan belakangan ini saya nggak bisa tidur," kata Reilley. Aku hanya menatap Reilley, mencoba tersenyum. "There was this girl. Kami baru dating sebulan ketika saya tahu bahwa saya nggak akan pernah bisa hidup tanpa dia. Jadi, dia saya lamar pada Hari Valentine's, thinking that I may be able to get a yes on such a romantic day." Reilley mengedipkan matanya kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum.

"But she didn't take the proposal so well. She just kept quiet like a deer caught in the headlight. So I had to improvise. I told her to take all the time in the world to think about it, even though I feel like shaking some sense into her right then and there." Reilley melanjutkan ceritanya dengan lebih serius. Aku sebetulnya sudah ingin tertawa, tetapi Reilley langsung mengerlingkan matanya begitu melihat senyumku sehingga aku terpaksa menggigit bibir bawahku.

"Anyway, my patience paid off, because our relationship... blossomed ( Reilley meringis ketika mengatakan kata ini. Aku tahu, kata 'berkembang' terkesan lebih pas diucapkan oleh wanita, bukan laki-laki semaskulin Reilley ) selama seminggu setelah itu, tetapi tiba-tiba nggak ada hujan nggak ada badai dia berhenti menjawab telepon. Waktu itu saya sedang ada di San Fransisco karena ada pekerjaan, so I can't just bolt. Malam sebelum saya seharusnya pulang, dia telepon saya dan memberitahu dia akan datang ke rumah saya, bukan kebalikannya seperti yang saya sudah rencana-kan sebelumnya." Reilley terdengar sangat sedih dan kecewa ketika mengatakan ini semua. Aku mencoba bangun dari posisi tidur, ingin memeluknya dan mengusir semua kesedihan serta kekecewaan itu. Ketika Reilley melihat apa yang aku coba lakukan, dia justru bangun dari kursinya dan duduk di atas tempat tidur agar bisa lebih dekat denganku.

"Saya sudah terbiasa pulang ke rumahnya, sampai-sampai saya hampir menganggap rumahnya sebagai rumah saya daripada rumah saya sendiri. Saya rasa dia juga tahu itu. Oleh karena itu, saya pikir permintaannya agak sedikit aneh, tetapi saya ikut saja. Semakin saya pikirkan tentang itu, saya berkesimpulan mungkin... hanya mungkin... dia berencana menerima lamaran saya. Saya mencoba menyimpan semua kebahagiaan itu di bawah penampilan yang sok cool, tentunya. But when I saw her coming out of her car looking like a very sexy Greek goddess "

Aku mencoba memotong kalimat Reilley, dan menegurnya agar tidak menggangguku dengan menyebutku seksi atau mengibaratkanku seperti Dewi Yunani, tetapi Reilley mengangkat tangannya memintaku memberinya kesempatan agar dapat menyelesaikan ceritanya. Aku pun menutup mulutku kembali.

"As I was saying... she looked like a Greek goddess... and I just lost it. I grabbed her before she had a chance to take a breath and kissed the living hell out of her. She didn't protest either, so I thought it was a good sign." Aku berusaha agar pipiku tidak memerah karena mengingat ciuman Reilley hari itu, yang menurutku adalah ciuman terdahsyat yang pernah aku rasakan sepanjang hidupku.

"Dia bilang dia perlu bicara. Jadi, kami duduk. Dia melemparkan bomnya ke saya. She literally made me from the happiest man alive in one minute to the most miserable in the next. Saya terlalu kaget ketika mendengar kata-katanya. Jadi, saya hanya duduk diam seperti orang idiot. The next thing I knew she was gone." Reilley sedang menundukkan kepalanya, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Reilley," ucapku. Nadaku antara memohon dan mencoba terdengar simpatik. "My life without you was hell. Selama sebulan saya coba menghapus kamu dari pikiran saya, tetapi nggak bisa. Hal-hal kecil yang bikin saya gila, like how you would always sleep on the furthest side of the bed but ended up snuggled up to me anyway, atau cara kamu menggigit bibir bawah kalau kamu lagi gugup. Hell I even missed seeing your hair all mussed up in the morning but still manage to look so hot. Pokoknya..." kulihat Reilley menarik napas, baru kemudian berkata, "I missed you," sambil menatapku. Reilley menyentuh wajahku dengan jari-jarinya.

"By April, I can't even think straight anymore. I just want to hear your voice so bad that I would pick my phone up, dial your number and hang-up before it starts ringing, several times a day. I could‟ve showed up at your door one day and demand you to take me back, but I know that... that's not what you want. You're the kind of person who when you said you can't marry someone, you must have meant it or you wouldn't be saying it. I want to respect your decision, so I left you alone. Even though it was killing me, but I left you alone."

Mendengar semua penjelasannya aku tahu Reilley mengenalku luar-dalam, mungkin lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. Selama dua bulan aku mengharap Reilley menghubungiku, tetapi di dalam hati kecilku aku tahu yang aku inginkan adalah agar Reilley menghormati keputusanku untuk tidak menikahinya.

"Then that day. I was supposed to be flying out to Nice to join my family like I always do every year, but at the last minute I bailed. I have no idea why, but I just felt... wrong, like I'm missing something. So instead of checking-in I just sat there at the departure area for two hours." Reilley tertawa sedih ketika mengatakan ini.

"Kemudian, saya lihat kamu. Awalnya saya nggak yakin dan berpikir saya berhalusinasi, tetapi saya ikuti kamu sampai keluar dari gedung terminal, dan hanya untuk memastikan saya panggil nama kamu. Kamu tetap jalan saja. Jadi, saya pikir saya pasti sudah salah orang. Saya panggil nama kamu again and again, lalu tiba-tiba kamu berhenti dan menoleh." Reilley menggeleng, seolah-olah dia sedang mencoba mengusir bayang-bayang yang menghantui pikirannya.

"Kamu kelihatan seperti baru melihat hantu. Muka kamu pucat... shock kayaknya. Saya nggak tahu mengapa kamu ada di situ, tetapi dalam hati saya berharap kamu datang mencari saya. Anyway, you didn't look too happy to see me. Jadi, saya tahu kamu datang bukan untuk saya. Tahu-tahu kamu tertawa, dan saya jadi yakin kamu memang datang mencari saya. Lalu..."

Reilley tersedak, dia seakan-akan sedang bersusah payah menahan emosinya. Kugenggam jari-jarinya, kudekatkan pada hidungku, dan kuambil napas dalam-dalam. Aromanya jauh lebih wangi daripada yang aku ingat.

"The moment that car came at you, saya nggak bisa lihat apa-apa selain ketakutan saya sendiri. Ketakutan kehilangan kamu lagi. I would've tried to pull you out of the way, tetapi saya terlalu jauh dan mobil itu menabrak kamu sehingga kamu jatuh ke aspal. I swear I thought you were dead. I went to pull the driver out of his car, he was about 80, a crazy old grandpa who is senile enough that he probably didn't know that he was speeding, and I wanted to hit him, But then someone screamed that you were alive and I just... I just..."

Kutarik Reilley ke dalam pelukanku. Aku tidak peduli posisi tubuh Reilley menjadi kurang nyaman. "I'm so sorry, Reilley," ucapku pelan. "Saya coba menghubungi telepon selular kamu hari itu selama berjam-jam, tetapi saya selalu mendengar nada voicemail."

Reilley melepaskan pelukannya, dan menatapku. "Kamu telepon saya?" tanyanya, dengan suara tidak percaya.

Aku mengangguk. "Saya bahkan mengirim text untuk memberitahu saya perlu bicara dengan kamu secepatnya, tetapi kamu nggak pernah telepon saya balik."

Reilley menundukkan kepalanya, kemudian dia tiba-tiba tertawa sekencang- kencangnya sambil menggeleng-geleng. Aku hanya bisa menatapnya bingung, tetapi lama-kelamaan aku tersenyum karena menyadari betapa aku merindukan suara tawa itu.

"Kamu kok tertawa?" tanyaku, sambil tersenyum.

"Hahaha... Saya nggak bawa telepon selular hari itu. Ketinggalan di rumah, itu sebabnya kamu mendengar nada voicemail melulu. Hahaha... I can't believe it. Pada hari ketika kamu memutuskan bicara dengan saya adalah hari di mana saya nggak bawa telepon."

"Kamu lupa membawa telepon?" tanyaku bingung. Reilley tidak pernah lupa membawa telepon selularnya. Dia pernah berkata, benda itu adalah hal kedua terpenting baginya setelah diriku.

"Saya tahu, pasti menurutmu aneh, kan? Saya nggak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Saya bahkan nggak menyadari hal itu sampai saya ingin menelepon 911 untuk menolong kamu."

Aku mengangguk. Tanpa kusangka-sangka Reilley kemudian menatapku tajam. "Mengapa kamu nggak menunggu saya sebelum bertemu Brandon? Semua ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak pergi menemui dia." "Dari mana kamu tahu soal itu?"

"Adik kamu cerita semuanya kepada saya. Did you hoenstly believe that I was going to leave you and that I didn't love you?"

Aku meringis mendengar pertanyaan Reilley. Tampaknya Didi sudah menceritakan segala sesuatunya kepada Reilley. Tiba-tiba Reilley meremas lengan atasku dengan kedua tangannya, dan berkata dengan tajam, "Promise me that you would never ever think like that ever again."

Aku hanya bisa menatap Reilley dengan mulut ternganga. "Promise me," ucap Reilley lagi.

"I promise," balasku lemah. Mendengar kepastian itu, Reilley baru melepaskan pegangannya pada lenganku. Kemudian kuberanikan diri untuk mengatakan kata-kata yang aku sudah ingin katakan kepadanya. Aku tidak peduli apakah dia merasakan hal yang sama. Dia harus tahu bagaimana perasaanku kepadanya.

"I love you," ucapku perlahan-lahan.

Reilley kelihatan terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi kemudian dia membalas, "Your love for me is nothing compares to how much I love you."

"I know, but I think I can keep up," candaku.

"That would be impossible because I love you so... so... so much. So much so that I'm willing to meet with that psycho ex-boyfriend of yours to tell him that if he ever bother you again with that trash talk of his, I will swing my fist at his face again. Kali ini saya nggak akan berhenti sampai dia mati." Reilley terdengar cukup geram ketika mengucapkan kata-kata ini.

"Oh... please don't do that," pintaku, sambil tertawa. "You don't want me to kill him?" tanya Reilley bingung.

"Oh... You have no idea how much I want you to kill him, tetapi bagaimana kalau kamu kirim orang lain saja untuk melakukannya. Saya hanya nggak mau kamu menyentuh bagian mana pun dari diri orang nggak bermutu itu," balasku.

"Well... wel... look at you going all Sicilian on me." "Sicilian?"

"Ya. Kamu nggak ada belas kasihan." "Saya nggak ada belas kasihan?"

"Oh... yeah, which makes you look so much hotter."

"Oke, kamu harus berhenti menggunakan kata hot dan seksi untuk menggambarkan saya deh."

"Mengapa?"

"Kata-kata itu bikin saya merasa nggak nyaman," protesku.

"Bagaimana kalau saya katakan, kamu juga wanita paling pintar yang pernah saya temui?"

"You think so?" tanyaku agak terkejut. "Mengapa kamu kelihatan kaget?"

"Well, I have never been the smart one in the family. So I don't know whether I should believe you or not."

"Well, believe it. It's not your fault that your sister is freakishly smart." "Hey...!" teriakku, meskipun dengan nada bercanda.

Reilley tertawa melihat reaksiku. "Hei, omong-omong, dari mana kamu tahu saya akan ada di RDU hari itu?" lanjutnya.

RDU adalah kode airport Raleigh. "Saya telepon kantor kamu dan asisten kamu, Michael, memberitahu saya," jelasku.

"Oh," kata Reilley.

"Omong-omong, kamu nggak pernah cerita ke saya kalau kamu punya asisten." "Dia masih baru. Saya naik jabatan jadi head programmer bulan April kemarin. Itulah sebabnya saya dapat asisten." "Kamu naik jabatan?"

Reilley mengangguk. "Hal itu berarti waktu travel saya bisa dikurangi, dan saya bisa relaks sedikit."

"That would be a nice change. Mungkin kamu akan bisa menghabiskan lebih banyak waktu kamu di Wilmington," usulku.

Reilley sedang menatapku, dia kelihatan agak ragu. Aku tahu ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Jadi, aku hanya diam menunggu. Kemudian, Reilley menarik napas dan meraih kedua tanganku. "Saya tahu ini mungkin bukan saat yang tepat, but I don't think I can stand the suspense any longer," ucapnya perlahan-lahan.

"What are you talking about?" tanyaku hati-hati.

Reilley mengeratkan genggamannya dan menatapku, lalu berkata, "Kalau saya melamar kamu sekarang, apakah kamu akan menjawab ya? Atau kamu masih perlu waktu untuk berpikir lagi?"

"Saya nggak perlu waktu untuk berpikir lagi," jawabku, sambil tersenyum. "Is that a yes?" Reilley mulai tersenyum.

"Menurut kamu?" balasku, sambil nyengir. Reilley langsung menarikku ke dalam pelukannya, kemudian mulai menciumi wajahku. Reilley mencium bibirku sedalam-dalamnya, dan tidak melepaskannya selama beberapa menit.

Aku harus memohon kepadanya agar berhenti, dan memberiku kesempatan bernapas lagi.

"Thank you," bisik Reilley.

Pada saat itulah aku menyadari Reilley benar-benar mencintaiku. Aku tidak tahu mengapa Reilley bisa tergila-gila kepadaku, tetapi aku tidak akan menanyakan hal itu. Ibuku selalu berkata, lebih baik digila-gilai daripada menggila-gilai orang yang kita cintai. Aku hanya berharap Reilley akan tetap mencintaiku sampai aku tua dan keriput karena aku tahu aku akan masih mencintainya hingga aku mati.

Saat itulah aku dapat mengerti arti mimpiku ketika Reilley memintaku lari bersamanya menuju garis 10-yard pada saat aku dikejar Brandon. Aku sadar sekarang, garis 10-yard itu menggambarkan kebahagiaanku dengan Reilley. Itu sebabnya mengapa aku harus mencapai garis itu dengan berlari bersama-sama Reilley, bukan dipanggul olehnya karena akulah yang harus melepaskan diriku dari Brandon. Apa pun yang dilakukan Reilley, kalau Brandon masih memiliki pengaruh begitu besar terhadap diriku, maka hubunganku dengannya akan mati di jalan. Aku akan memastikan hal itu tidak terjadi lagi.

"You really need to get some sleep. You look terrible," ucapku, sambil sekali lagi menyentuh wajahnya.

"Apa saya kelihatan sejelek itu?" tanya Reilley, sambil membelai wajahku.

Aku tersenyum. "As bad as you might look, which is not as bad as other people. You can still pull-off a photo shoot or two," candaku.

"Well, menurut saya kamu kelihatan fantastic untuk orang yang tidur selama empat hari berturut-turut," balas Reilley.

"Empat hari? Saya sudah tidak sadarkan diri selama empat hari?" teriakku terkejut.

Reilley mengangkat bahunya, "Kepala kamu terbentur cukup keras." "Saya ada di mana sih?" tanyaku, sambil melihat ke sekelilingku.

"Kamu masih ada di Raleigh, tetpai saya bisa bawa kamu pulang begitu Dokter Smith bilang oke."

Aku mengangguk. "Saya minta maaf karena kamu nggak bisa berlibur bersama keluarga kamu."

Reilley mengibaskan tangannya, "Don't worry about it. This is the best vacation tha tI have since I was ten."

"Kamu lebih memilih menunggui orang sakit, dan tidur di sofa yang terlalu kecil untuk kamu di dalam kamar yang berbau alkohol daripada ada di Nice?" tanyaku ragu.

"Ah... kamu lupa poin yang paling penting." "Apa itu?"

"That I get to spend all of those time being close to you."

Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk membalas Reilley. Aku hanya bisa menatapnya sambil tersenyum tersipu-sipu. Kemudian pintu kamar terbuka, dan Didi masuk dengan membawa beberapa kantong plastik. Aku langsung bisa mencium bau burger. Tiba-tiba aku merasa lapar.

"Sudah bangun, ya?" ucap Didi. Ia kemudian meletakkan semua bawannya di atas sofa, lalu berjalan ke arahku dan mencium pipiku.

"Bawa apa, Di?" tanyaku.

Didi langsung berjalan setengah berlari menuju sofa, "Aku beli chicken teriyaki dari Subway, cheeseburger, Big Mac, sop krim, dan tacos dari Taco Bell. Untuk minumnya aku beli pepsi, mountain dew, dan ice lemon tea," jawabnya.

"Aduh, semua kamu borong?" candaku.

"Habis aku pikir Mbak pasti kelaparan. Mbak sudah nggak makan empat hari. Lagi pula, cowok Mbak ini kalau makan nggak kira-kira. Untungnya aku masih kebagian makanan begitu dia selesai makan." Sambil bicara Didi mengeluarkan semua isi plastik itu, dan meletakkannya di atas meja makan untuk pasien. Dia kemudian mendorong meja itu ke hadapanku.

"Hey, Ry," ucap Didi kepada Reilley, yang kini sedang menatap adikku dengan tatapan jenaka. Aku menatap Reilley bingung. Sejak kapan adikku memanggil Reilley dengan Ry? Reilley menggeleng kepadaku, menandakan dia akan menjelaskan semuanya nanti.

"Oh... ya, Mbak ingin kumur dulu? Mbak belum sikat gigi selama empat hari lho," ucap Didi cuek. Aku langsung menutup mulutku karena malu. Reilley kan baru saja menciumiku. Bagaimana dia bisa melakukannya, dan tidak jatuh pingsan.

Melihat reaksiku Didi hanya tertawa, sedangkan Reilley menatapku bingung karena dia tidak memahami apa yang sedang kami bicarakan. "Kumur saja dulu deh," jawabku. "Mungkin pakai Listerine," tambahku. Didi tersenyum, kemudian mengisi gelas dengan air dan membawa gelas itu kepadaku. Ia juga membawakan aku satu botol Listerine citrus berukuran kecil dan satu baskom.

Aku langsung melakukan aktivitas higienis-ku dengan wajah agak memerah karena malu. Setelah aku selesai dengan itu semua, Reilley mengangkat baskom dan menumpahkan isinya ke wastafel. Dia bahkan menyempatkan diri mencuci baskom itu sebelum kembali duduk di hadapanku.

"Jadi, Mbak ingin yang mana?" tanya Didi. Aku memfokuskan perhatianku pada semua makanan yang ada di hadapanku. "Memang aku boleh ya makan makanan seperti ini?" tanyaku ragu.

"Boleh kok, kata Marge nggak apa-apa." Tanpa menunggu persetujuanku, Didi langsung memasukkan sedotan pada masing-masing tutup ketiga gelas plastik yang ada di hadapanku.

Aku lalu memilih membuka tutup mangkuk plastik yang berisi sop krim. Didi menyerahkan sendok plastik untukku, kemudian meletakkan napkin pada dadaku.

"Scoot over, dude, I also want to sit on the bed!" perintah Didi kepada Reilley. Aku agak terkejut ketika Reilley mengikuti perintah itu dan bergeser sedikit.

"So, have you told her?" tanya Didi, sambil mengambil cheeseburger dan mulai membuka pembungkus kertasnya.

"Yeah, I told her," balas Reilley, yang sedang melahap Big Mac. "Dia bilang apa?"

"Dia bilang dia cinta saya." Wajah Reilley kelihatan memerah ketika mengatakan ini.

"Oh, ya?" Didi langsung menatapku dengan mata berbinar-binar, sambil mengunyah. Aku hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan adikku ini. Kumasukkan suapan pertama sop krim itu, dan harus menutup mukaku. Ini adalah sop krim terenak yang pernah aku rasakan. Tanpa menunggu lagi, aku langsung menghabiskan sop itu. Didi dan Reilley menatapku sambil tertawa.

"Masih lapar?" tanya Reilley kepadaku.

Aku mengangguk sambil membuka bungkus taco, dan mulai memakannya.

Kami semua lalu makan dalam diam.

"Saya melamar dia... lagi," lanjut Reilley, Didi langsung terbatuk-batuk. Aku buru-buru menyodorkan salah satu gelas yang ada di hadapanku kepadanya. Didi minum sambil mengerlingkan matanya kepada Reilley.

"Dude, what part of the word 'wait a day or two' do you not understand?" omel Didi pada Reilley, setelah dia sudah dapat mengontrol batuknya.

"It doesn't matter, dia bilang ya," balas Reilley bangga.

"You said yes?" teriak Didi, dan langsung meremas pahaku. Didi baru melepaskannya ketika melihatku meringis. "Sori, sori... lupa... lupa," ucapnya meminta maaf. Rupanya salah satu bagian yang memar adalah pahaku. "Jadi, kapan menikahnya?" tanya Didi antusias.

"Di, aku baru dilamar hari ini. Kita perlu ada acara perkenalan, lalu lamaran, dan baru nikah. Lagi pula, Reilley perlu bertemu Ibu dan Bapak dulu Omong-omong, kamu nggak bilang ke mereka kan kalau aku masuk rumah sakit?" tanyaku khawatir.

"Tadinya aku sudah akan telepon mereka, tetapi kata dokter Mbak nggak kritis. Jadi, aku nggak jadi telepon. Honestly, kalau Mbak waktu itu kritis, Ibu dan Bapak pasti sudah di sini," jelas Didi.

Aku langsung mengembuskan napas lega. Aku betul-betul tidak ingin membuat orangtuaku panik. Tiba-tiba kudengar Reilley terkikik, aku dan Didi langsung menatapnya bingung.

"I'm sorry, but I found your conversation quite fascinating. Kalian tadi bicara tentang apa sih?" tanya Reilley, di antara tawanya.

"Nothing important," balasku.

"Saya sudah meminta beberapa kali ke adik kamu untuk mengajari saya bahasa Indonesia, tetapi dia menolak," ucap Reilley, sambil menunjuk Didi.

Didi hanya melirikkan matanya kepadaku sambil tersenyum. Didi yang sudah memakain habis cheeseburger tiba-tiba turun dari tempat tidur, dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dia kembali beberapa menit kemudian membawa agendanya. Dia duduk kembali di atas tempat tidur, dan menuliskan sesuatu di dalam agendanya. Setelah itu, ia merobek kertas itu dan menunjukkannya kepada Reilley.

"Bisa kamu baca itu keras-keras?" pinta Didi.

Reilley meletakkan Big Mac di atas meja, dan meraih kertas itu. "Apa ini?" tanyanya bingung.

"Kamu bilang mau belajar bahasa Indonesia. Nah, ini pelajaran pertama kamu," balas didi, dengan sedikit memaksa.

"Oh. oke," jawab Reilley, yang kemudian memicingkan matanya. Aku menatap Didi penuh tanda tanya, tetapi Didi malah justru mengedipkan matanya kepadaku. Kucoba mengintip apa yang ditulis Didi di selembar kertas itu, tetapi Didi menahanku. Meskipun penasaran, aku terus memakan taco dan menunggu.

"Ekyu... shinta... kemyu. Benar nggak saya mengucapkannya?"

"Mengerti nggak, Mbak?" tanya Didi kepadaku. Aku menggeleng.

"Coba sekali lagi, Ry. Pandang Titania ketika kamu mengucapkan itu," pinta Didi. Reilley lalu menatapku, dan mengulangi kata-kata itu.

Memahami apa yang Reilley baru katakan, mau tidak mau aku tertawa terbahak-bahak.

"Saya tadi berkata apa sih?" tanya Reilley penasaran.

"'Aku cinta kamu,' basically means I love you in Indonesian," jelasku.

"Oh," ucap Reilley, dan mengulangi tiga kata itu dengan pengucapan yang lebih sempurna.

"Aku juga cinta kepada kamu," balasku, sambil menatap Reilley.

"Oke, itu kedengaran beda. Kalau yang itu maksudnya apa?" tanya Reilley, ingin tahu.

"I just said that I love you too," jawabku.

"Oh, really?" Reilley kedengaran sangat tertarik. "Teach me more Indonesian words," pintanya.

"Apa yang kamu mau tahu?" tanyaku.

"Ini orang pasti benar-benar cinta kepadamu, Mbak, sampai mau belajar bahasa kita. Aku kayaknya nggak pernah deh lihat orang sebegitu relanya belajar bahasa Indonesia. Kita saja suka malas belajar bahasa kita sendiri," komentar Didi.

"Kayaknya dia memang suka segala sesuatu tentang budaya Asia deh," balasku. "Oke, kalian baru omong apa tentang saya?" tanya Reilley.

"Nothing," balasku dan Didi bersamaan, lalu kami pun tertawa terbahak-bahak.

Aku baru berhenti tertawa ketika kulihat Reilley sedang memicingkan matanya curiga.

* * *

Empat bulan kemudian.

"Kamu sudah siap?" tanyaku kepada Reilley. "Yeah, I think so," jawab Reilley.

"Jangan panik oke, you'll be fine. Kamu kan sudah sering mengobrol dengan mereka melalui telepon. Ini nggak beda dari itu kok." Aku mencoba sebisa mungkin menenangkan Reilley.

"Oke," balas Reilley, sambil sekali lagi merapikan kaus yang dikenakannya.

Kami sedang berdiri di lokasi kedatangan Airport Raleigh, menunggu sampai orangtuaku menginjakkan kaki mereka untuk pertama kalinya di North Carolina. Tidak lama kemudian kulihat bapak dan ibuku berjalan bersama-sama. Bapakku mendorong trolley, yang berisi dua kopor besar. Mereka kelihatan lebih tua dari terakhir kali aku melihat mereka.

"They're here," bisikku kepada Reilley.

Reilley yang sudah berkali-kali melihat foto orangtuaku langsung bisa mengenali mereka. Lagi pula, mereka adalah satu-satunya orang Asia yang keluar dari pesawatan yang baru saja mendarat dari Detroit, Michigan.

Aku langsung berlari memeluk mereka. Bapak memelukku selama lima menit tanpa mau melepaskanku. Ibu hanya mengangkat bahunya dan menunggu gilirannya dengan sabar. Setelah Bapak melepaskanku, Ibu kemudian memelukku.

"Bagaimana, Ta? Baik-baik saja?" tanyanya.

"Baik, Bu," jawabku. "Penerbangannya bagaimana?" tanyaku.

Ibu melepaskan pelukannya, lalu berkata, "Ya, enak sekali. Kalau pergi ke Amerika seperti ini lagi sih Ibu mau. Nggak capek." Ibuku kemudian tertawa. Aku harus berterima kasih kepada calon suamiku, yang memaksa membayari tiket pesawat Business Class orangtuaku. Aku ingat betul argumentasi di antara kami dua bulan yang lalu, yang jelas-jelas akhirnya dimenangi oleh Reilley.

"Reilley, kamu nggak perlu membayari tiket mereka. Saya bisa bayar sendiri," ucapku.

"Saya memang ingin membayari," balas Reilley. "Mereka orangtua saya. Tanggung jawab saya."

"Sebentar lagi mereka juga akan jadi orangtua saya, dan saya hanya mau memastikan mereka mendapatkan akomodasi yang terbaik."

"They will be fine with Coach tickets, kamu nggak usah menghabiskan uang kamu untuk beli tiket Business Class," jelasku. Meskipun aku tahu Business Class memang lebih baik daripada kelas ekonomi, aku tidak mau Reilley harus membayar 7000 dolar hanya untuk dua tiket pesawat Jakarta – Raleigh bolak-balik.

"Titania, ini penerbangan tiga puluh jam. Mereka sudah enam puluh tahun, dan ini ungkapan rasa syukur saya karena mereka mengizinkan kamu menikah dengan saya tanpa pernah bertemu saya sebelumnya. I want to do this for them, so deal with it." "Apa maksud kamu dengan 'mereka nggak pernah bertemu kamu sebelumnya'? Mereka sudah pernah melihat..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena Reilley sudah memotong.

"Foto saya. Ya, saya tahu. You told me so many times. Mereka kan nggak pernah bertemu saya langsung. Besides it's not my money we're spending, but our money."

"Kita masih belum menikah. Jadi, secara hukum itu masih uang kamu," bantahku.

"Coba saya tanya ini ke kamu. Apa kamu akan membiarkan orangtua saya travel dari Raleigh ke Jakarta tanpa akomodasi yang terbaik kalau kamu memang mampu membayarnya?"

"Tentu saja saya akan memastikan mereka mendapatkan akomodasi yang terbaik, yang bisa saya pikirkan."

Reilley menatapku dengan senyum penuh kemenangan. "Aggghhh... fine you can pay for thos damn tickets," geramku.

"Hello, Bapak, nice to finally meet you. I'm Francis." Kudengar suara Reilley di belakangku, dan ucapannya itu membuatku tersadar dari lamunan. Ketika aku berputar, aku melihat dia sedang berjabat tangan dengan Bapak, yang kini kelihatan superkecil dan sangat Asia berdiri di sampingnya. Aku agak terkejut karena dia

menggunakan nama Francis, yang terdengar sangat formal, ketika berkenalan dengan orangtuaku.

"Ya, sama-sama," balas Bapak.

Aku hampir saja tersedak, mencoba menahan tawaku ketika melihat Reilley sedang mengerlingkan matanya kepadaku penuh dengan tanda tanya. Aku dan Didi tidak mengajarkan apa arti kata "sama-sama" kepada Reilley.

"Reilley, ini ibu saya," ucapku.

Reilley langsung berjalan ke arah Ibu dan menjabat tangannya. "Hello, Ibu Apa kabar?" ucapnya dengan fasih.

Ibuku langsung membalas dengan menggunakan bahasa Indonesia, "Wahhh, sudah bisa bahasa Indonesia, ya?"

Sekali lagi Reilley menatapku bingung. "Ibu saya kaget karena kamu bisa bicara bahasa Indonesia dengan fasih," jelasku.

"Oh... Terima kasih. Still learning," ucap Reilley.

Ibu dan Bapak tertawa mendengar kata-kata Reilley. Kami lalu berjalan menuju pelataran parkir. Reilley langsung mengambil alih tugas mendorong trolley, dan mengajak bicara Bapak sehingga aku bisa berbicara lebih leluasa dengan Ibu.

"Persiapannya sudah selesai, Ta?" tanya Ibu.

"Sudah, pokoknya Ibu dan Bapak nggak usah khawatir. Keluarga Reilley banyak membantu. Didi juga, selama summer kemarin. Dia harusnya datang besok pagi dari D.C.," jelasku.

"Reilley kelihatannya baik," komentar Ibu, sambil memperhatikan punggung Reilley.

"Dia cinta kepadaku," ucapku, sambil tersenyum.

Ibuku mengangguk, kemudian tertawa terbahak-bahak disusul olehku. Bapak dan Reilley menolehkan kepala mereka, ingin mengetahui apa yang membuat kami tertawa.

"We're just talking about the wedding!" teriakku kepada Reilley, yang kemudian tersenyum dan kembali bercakap-cakap dengan Bapak.

* * *

Seminggu kemudian, aku pun resmi menjadi Mrs. O'Reilley. Tentu saja aku menangis dan harus di makeup lagi sebelum resepsi, yang diadakan di sebuah taman terbuka di daerah Winston. Selain orangtuaku dan adikku, beberapa bude, pakde, om, tante, dan sepupuku ikut datang dari Jakarta menghadiri pernikahan kami. Ternyata keluarga Reilley juga tidak kalah besarnya dengan keluargaku. Walaupun rencananya kami hanya ingin mengadakan pesta kecil dengan hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat saja, akhirnya tamu kami tetap meledak hingga mencapai dua ratus orang. Upacara pernikahan kami tetap terasa resmi dan sakral karena kami dikelilingi oleh orang-orang yang kami cintai dan mencintai kami.

Aku harus membiasakan diri setiap kali mendengar Reilley memperkenalkanku. "This is my wife, Titania," itulah kata-kata yang diucapkannya dengan bangga. Aku harus menahan diri agar tidak loncat ke pelukannya, dan menciuminya sampai dia minta ampun.