HELLO moto... moto... moto... aku terbangun karena mendengar deringan telepon selularku. Aku meraba-raba di atas tempat tidur mencari telepon itu. Tanpa melihat ke layarnya aku langsung menjawab telepon itu.
"Hello," ucapku. Suaraku masih serak.
"Hei... sori membangunkan kamu. Kamu kan minta aku telepon begitu mendarat." Begitu mendengar suara itu kantukku langsung hilang.
"Kamu telat nggak?" tanyaku, terdengar agak khawatir karena dia terlambat setengah jam berangkat dari rumahku.
"Nggak," jawab Reilley, kemudian tertawa. Samar-samar aku mendengar suara perempuan mengumumkan sesuatu melalui speaker. Reilley sudah sampai di New York dengan selamat, pikirku.
"Kamu ngebut, ya?"
"Sedikit." Reilley tertawa terkekeh-kekeh.
Mau tidak mau aku tertawa juga mendengarnya. Ia sudah sangat ceria pada pukul delapan pagi. "Have a safe drive to the city, okay." Aku berusaha terdengar ceria juga.
Kudengar Reilley tertawa. "I will. Ketemu kamu hari Minggu, ya," ucapnya.
Kemudian disusul dengan, "Holy shit."
Aku langsung bangun dari posisi tidurku. "Reilley, ada apa?" tanyaku khawatir. "Dingin banget di sini, gila," jawabnya sambil tertawa, aku pun tertawa. Aku bisa mendengar bunyi klakson dan kesibukan airport JFK. "Ketemu kamu hari Minggu," ucapku.
"Apa kamu bilang?!" teriak Reilley.
"Aku bilang ketemu kamu hari Minggu!" teriakku.
"Ya, sampai bertemu nanti!" jawabnya, juga dengan berteriak. Setelah itu, sambungan itu terputus.
Kuletakkan telepon selular itu di atas tempat tidur dan mengusap mataku, mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa. Tiba-tiba telepon selular itu berbunyi lagi. Kulirik nama yang sedang berkedip-kedip di layar.
"Ada apa, Di?" ucapku pada adikku. "Dia sudah pergi, kan?" sahut Didi.
Dalam hati aku menggeram. Tentu saja Didi mau tahu segala sesuatu tentang apa yang terjadi selepas pukul sembilan malam kemarin ketika aku menutup telepon darinya. "Sudah. Barusan dia telepon, katanya baru saja sampai di JFK," jawabku pasrah.
"Aaa... nnnddd?" Meskipun aku tidak sedang bertatap muka dengannya, aku tahu Didi pasti baru saja memutar bola matanya karena tidak sabaran.
"Kamu kok tumben sih sudah bangun jam segini? Biasanya kamu tidur sampai siang kalau hari Sabtu," gerutuku.
"Aku nggak bisa tidur tadi malam memikirkan Mbak dan Reilley," balas Didi, nadanya seolah-olah informasi itu sudah cukup memberikan penjelasan. "Jadi, bagaimana?" desaknya lagi.
"Aku tidur bersama dia," ucapku. "Maksud aku satu tempat tidur," lanjutku.
Aku menelentangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar yang berwarna biru. "Oh... my... god," teriak Didi.
Lalu aku menceritakan kejadian semalam, di mana Reilley menarikku ke dalam pelukannya ketika masih tidur dan tidak melepaskanku lagi. Aku pun akhirnya tertidur dalam posisi itu dan terbangun beberapa jam kemudian oleh sinar lampu yang berasal dari kamar mandi. Aku menyadari Reilley sudah tidak ada di atas tempat tidur. Aku memutar tubuh dan melihatnya sedang mengenakan pakaian di dalam gelap hanya dengan bantuan sinar lampu kamar mandi, yang pintunya dibiarkan setengah terbuka.
"Pukul berapa sekarang?" tanyaku kepadanya, dengan suara masih mengantuk. Reilley kelihatan terkejut ketika mendengar suaraku, kemudian dia berkata,
"Apakah saya membangunkan kamu?" Nadanya penuh meminta maaf.
"Nggak kok," jawabku, kemudian bangun dari tempat tidur dan menyalakan lampu kamar. Aku harus memicingkan mata dan membiasakan dengan sinar lampu yang tiba-tiba menerangi kamar. Jam beker menunjukkan pukul tiga pagi.
"Kamu telat," teriakku. "Sori, aku lupa menyetel alarmnya," lanjutku mencoba meminta maaf.
Reilley sedang memasukkan lengannya ke dalam sweater berwarna hitam dengan leher berbentuk V. Dia mengenakan kemeja putih dengan garis-garis biru di balik sweater itu. Dia berhenti sesaat dan menatapku.
"Don‟t worry about it," ucapnya. Ia menampilkan senyumnya, yang seakan-akan lebih mematikan karena sekarang kami sedang berada di kamar tidur dengan penerangan lampu agak kekuning-kuningan sehingga membuat suasana jadi terasa agak sedikit sensual.
"Apakah kamu ada rencana hari Minggu malam?" tanyanya, sambil berjalan menuju tempat tidur. Ia duduk di atasnya, dan mengeluarkan sepasang kaus kaki berwarna hitam dari suka celananya.
Aku mencoba berpikir, apakah aku ada rencana pada hari Minggu malam. "Kayaknya nggak ada," jawabku akhirnya.
"Good. Saya berencana akan mengajak kamu dating lagi."
"Oh... well... actualy that would be nice," ucapku terbata-bata. Reilley tersenyum melihat reaksiku.
"Kamu pilih restorannya. Pesawat saya mendarat sekitar pukul empat di Raleigh. Saya akan sampai di sini sekitar pukul enam." Reilley tidak menatapku ketika mengatakan itu semua, perhatiannya fokus pada kegiatannya memakai kaus kaki.
Mengetahui bahwa dia harus menempuh jarak dua jam lagi untuk bertemu denganku, aku merasa tidak tega. "Apakah kamu yakin ingin bertemu saya lagi?"
Sepasang mata birunya langsung menatapku. Dia kemudian bangun dari tempat tidur dan berjalan ke arahku. Meskipun langkahnya perlahan, aku merasa agak sedikit terancam sehingga aku harus mundur selangkah. Melihat langkah mundurku, Reilley berhenti melangkah dan berdiri diam sambil menatapku.
"I don't know about you, but I like what we did last night. So I am looking forward to doing that again," ucapnya.
Apakah yang kami lakukan tadi malam? pikirku dalam hati. Seingatku kami hanya mengobrol, lalu aku membuatkan dia makan malam. Setelah itu, dia tidur dengan aku di dalam pelukannya. Mau tidak mau aku langsung mengalihkan perhatian pada tubuhku. Ternyata aku masih memakai piyama, yang aku kenakan tadi malam, dan pakaian dalamku pun masih lengkap. Phewww... itu berarti kami tidak melakukan apa-apa.
Baru kemudian aku menyadari, Reilley telah salah mengartikan pertanyaanku sebagai suatu penolakan. Mau tidak mau aku tertawa. Reilley menatapku bingung, dia kelihatan agak jengkel dengan reaksiku.
"Ada apa kamu tertawa?" tanyanya datar.
"Saya nggak pernah bertemu laki-laki seganteng kamu, yang nggak yakin akan... akan kemampuannya untuk... untuk dazzle perempuan dan menyetujui apa pun yang dia katakan," jawabku, di antara tawaku.
"Kelihatannya ada seorang perempuan yang jaid pengecualian."
Mendengarnya menggerutu karenaku, membuat tawaku yang tadinya sudah cukup reda muncul kembali. "Kamu nih memang lucu," ucapku kemudian.
Reilley menatapku sambil mengernyit. Melihat bahwa dia betul-betul tersinggung dengan reaksiku, aku pun berjalan ke arahnya dan memeluknya. Tubuh Reilley langsung menjadi sedikit kaku karena terkejut.
"Saya bertanya soal itu karena saya pikir kamu mungkin capek setelah penerbangan, tetapi kalau kamu memang ingin bertemu I would definitely love to have you around," ucapku pelan.
Pelan-pelan kurasakan tangan Reilley membalas pelukanku. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tetapi aku merasa Reilley sedang menghirup aromaku sedalam- dalamnya. Aku pun melakukan hal yang sama.
"Boleh nggak saya kasih usul untuk date ini?" Kulonggarkan pelukanku pada tubuh Reilley, dan mengangkat kepalaku untuk menatap wajahnya.
"Boleh."
"Aku usul kita makan di rumah. Saya akan masak sesuatu untuk kamu." "Kamu mau masak?" tanya Reilley, nadanya terdengar ragu.
Mendengar nada tidak percayanya, aku melepaskan pelukanku. "Saya yakinkan masakan saya nggak...." Aku mencoba membela diri, tetapi Reilley sudah memotongku.
"Bukan itu maksud saya," geramnya.
Kutatap wajahnya dengan bingung. Aku harus betul-betul melihat ke atas karena kami berdiri terlalu dekat. "Jadi, apa dong maksud kamu?" tantangku.
"I was thinking that it was the most romantic thing anyone has ever done for me," ucapnya dalam satu tarikan napas.
Aku menatapnya dengan mata melebar. Aku yakin, kalau Didi mendengar kata- kata Reilley mungkin dia akan tidak habis-habisnya tertawa. Menurut Didi, aku orang yang paling tidak romantis di seluruh dunia. Aku juga tidak pernah memikirkan diriku sebagai orang yang romantis. Jadi, pernyataan Reilley sempat membuatku sedikit limbung.
"Saya buatkan kamu sandwich untuk dimakan di jalan," ucapku, sambil melepaskan diri dari pelukan Reilley.
Aku baru saja berjalan satu langkah ketika pergelangan tanganku ditarik oleh Reilley, dan yang aku rasakan selanjutnya adalah sengatan listrik di sekujur tubuhku. Bibir Reilley sudah mencium bibirku, lidahnya bergerak menyapu bagian dalam bibirku. Tampaknya dia tidak peduli bahwa aku baru bangun tidur, aroma mulutku mungkin tidak segar dan penampilanku pun acak-acakan. Aku hanya bisa berpegang pada kedua lengannya dengan sekuat tenaga untuk mencegah agar diriku tidak menggelongsor ke lantai. Aku bereaksi membalas ciuman ganas itu. Merasakan bahwa aku sedang membalas ciumannya dengan antusias. Reilley menyisirkan jari-jarinya pada rambutku. Kemudian tiba-tiba Reilley berhenti menciumku dan menggenggam bagian atas kedua lenganku, lalu mendorongku menjauhinya.
Aku menatapnya bingung sambil mencoba menarik napas. Apakah dia sedang menolakku? Nggak mungkin. Satu hal yang aku kuasai adalah memberikan ciuman yang dahsyat, dan aku yakin aku masih memiliki keahlian itu. Jadi, kenapa dia berkelakuan seperti ini?
Melihat perubahan pada wajahku, Reilley langsung berkata, "Kamu sebaiknya menyiapkan sandwich itu. I need to keep my hands off of you and I can‟t do that if I‟m kissing you." Reilley mengucapkan kata-kata ini dengan cepat sambil menatapku tajam. Suaranya terdengar sedikit serak. Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna maksudnya. Dia tidak menolakku. Dia hanya ingin menjagaku. Memastikan agar tidak ada satu pun dari kami yang melampaui batas.
"Is tuna okay?" tanyaku pelan.
"Tuna's fine," geram Reilley. Dia masih menatapku tajam, dan ada sedikit tatapan bersalah.
Buru-buru aku keluar dari kamar tidur, dan melangkah menuju dapur. Tidak lama kemudian roti sandwich siap. Kudengar bunyi pintu kamar dibuka, dan Reilley berjalan ke luar dengan membawa tas kanvas yang tadi malam dibawanya.
"Kamu mau susu atau orange juice?"
"Orange juice," jawab Reilley, sambil berjalan ke arahku.
Aku mengambil satu botol jus jeruk yang ada di dalam lemari es, dan memberikan botol serta roti itu kepada Reilley.
"Kamu sebaiknya berangkat, sekarang sudah pukul 3.30." Kudorong Reilley menuju pintu keluar. Kuambil botol jus dan roti dari genggamannya ketika dia berlutut mengenakan sepatunya.
Setelah Reilley siap, aku membuka pintu dan menuju mobilnya yang ternyata diparkir bersebelahan dengan mobilku. Aku baru menyadari bahwa aku tidak mengenakan jaket ketika angin dingin menyerangku, dan aku menggigil.
"Titania, you'll freeze to death!" teriak Reilley.
"I'm fine," ucapku, tetapi gigiku sudah bergemeletuk.
Reilley buru-buru membuka pintu mobilnya, melemparkan tas ke bangku belakang dan mengambil roti serta jus dari tanganku sebelum meletakkannya di dashboard. Dia kemudian menghidupkan mesin mobilnya dan menutup pintu.
Reilley memeluk dan menarikku masuk kembali ke apartemen. "Are you okay?" tanyanya khawatir.
Aku mengangguk.
"Thanks untuk... untuk semuanya." Reilley kelihatannya akan mengucapkan kata lain, tetapi dia tidak bisa menemukan kata yang tepat.
"Telepon saya begitu kamu mendarat di New York, ya," pintaku.
Reilley mengangguk. "Jadi kita bertemu hari Minggu?" tanyanya, sambil tersenyum.
Aku mengangguk. Reilley diam sambil menatapku, dia tampaknya sedang mempertimbangkan apakah dia akan menciumku lagi atau tidak. Aku menjijitkan kedua kakiku, dan mencium pipinya. "Bye," ucapku.
Reilley sempat terlihat terkejut oleh ciuman itu. Dia mengangguk, kemudian berjalan menuju mobilnya dengan sedikit limbung. Dalam hati aku tertawa ketika menyadari bahwa tindakan-tindakan kami telah membuat kami berdua satu sama lain menjadi limbung. Kulihat Reilley melambaikan tangannya, kemudian mundur dari tempat parkir dan berlalu. Aku kembali masuk ke dalam apartemen dan mengunci pintu.
* * *
"Jadi, begitulah ceritanya," ucapku pada Didi, yang langsung tidak bisa berkata-kata.
"Mbak... kayaknya Mbak harus buru-buru nikah dengan dia deh sebelum dia diambil orang lain. Dia sweet banget kepada Mbak."
"I know... aku nggak pernah bertemu laki-laki yang model begini. Aku nggak tahu harus bagaimana."
"Ya, juga sih. Menurut aku, you are doing just fine. Kalau ini terjadi padaku, mungkin aku sudah ambil langkah yang salah dan membuat dia kabur." Didi lalu tertawa dengan leluconnya sendiri, yang disusul oleh tawaku.
"Denganku juga belum pasti dia nggak akan kabur. Nanti deh kita lihat. Kalau misalnya dia nggak datang hari Minggu nanti, itu berarti dia kabur," jawabku.
"Nggaklah... aku yakin dia nggak akan kabur. Kalau dia memang berniat kabur, dia nggak bakal susah-susah telepon Mbak begitu sampai di JFK."
Aku harus mengakui logika Didi, dan tersenyum bahagia. "Kira-kira aku harus masak apa ya, Di, untuk dia?" tanyaku.
Kami mengobrol panjang-lebar tentang menu untuk kencanku pada hari Minggu malam dengan Reilley. Dia mengusulkan sebaiknya aku memasak makanan yang mudah tetapi enak, dan tidak membuat kencan ini terkesal terlalu formal.
"So none of those dinner for two kind of shit," kata Didi.
Aku tertawa mendengarnya. "Jadi, casual dinner saja, ya?"
"Yep," jawabnya. "Reilley sudah bisa dikategorikan sebagai HOT, kan?" pancing Didi.
"Definitely," sahutku, kemudian tertawa. Aku lalu terdiam sesaat. Tiba-tiba saja muncul suatu pemikiran di benakku. "Di...," ucapku ragu.
"What?"
"Eh, nggak jadi deh."
"Apaan sih?" Didi terdengar penasaran. "Aku hanya... hanya..."
"Cuma cumi, buruan deh omongnya," omel Didi.
"Aku bingung. Apakah dengan aku dating dengan Reilley, itu berarti aku harus berhenti dating dengan laki-laki lain?"
"What??! Mbak sudah gila??! Mbak sudah bayar dua ribu dolar. Kontrak Mbak masih ada satu bulan lebih kan dengan MBD. Ya, iyalah Mbak harus dating dengan orang lain juga. Jangan mau rugilah!" teriak Didi.
"Maksudku... apa itu nggak terkesan agak... agak kayak... kayak melacurkan diri nggak sih?" Aku tidak bisa menemukan kata lain, yang bisa menggambarkan kelakuan seperti itu.
Tanpa kusangka-sangka Didi malah tertawa.
"Kok kamu malah tertawa sih? Ini urusan serius lho," gerutuku.
Didi berusaha berhenti tertawa, dan berkata, "Aku sudah lama nggak dengar kata 'pelacur', biasanya kita kan hanya pakai kata 'perek'. Aneh saja aku dengarnya."
"Ya, bodo deh, tetapi kamu mengerti kan maksud aku?"
"Ya, pastilah aku mengerti... Menurut aku sih, Mbak tetap saja dating dengan orang lain. Aku yakin Reilley juga nggak berhenti dating kok. Dia kan juga sudah bayar dua ribu dolar seperti Mbak."
"Tapi..." Aku mencoba menjelaskan posisiku kepada Didi. Aku tidak pernah berpacaran dengan dua laki-laki sekaligus, dan aku tidak tahu bagaimana caranya membagi waktu.
"Begini saja, Mbak. Ini kan masih tahap awal. Mbak lihat saja perkembangannya. Siapa tahu setelah Mbak sudah kenal dia lebih jauh ternyata Mbak nggak terlalu suka kepada dia. Seperti perumpamaan, 'Ikan yang sudah ditangkap jangan dibuang lagi ke laut hanya karena mengharapkan ikan yang lebih besar'. Mbak mengerti maksudku, kan?"
"Hah?" Itulah satu-satunya kata yang bisa aku keluarkan dari mulutku ketika mendengar Didi mengucapkan perumpamaan itu.
"Ya... maksudku..." Didi terdengar tersipu-sipu.
"Kayaknya perumpamaan itu hanya berlaku kalau kita sedang mencari laki-laki berduit deh, bukan untuk situasi aku ini," potongku.
"Ya, bodo deh. Pokoknya, Mbak mengerti kan maksudku?" tanya Didi.
Mau tidak mau aku tertawa karena aku baru saja mengucapkan kata-kata yang sama kepada Didi beberapa menit yang lalu.
"Paham... paham," balasku.
"Jadi, kapan Mbak bakal kasih tahu Ibu dan Bapak kalau Mbak membayar dua ribu dolar untuk jasa blind date supaya bisa dapat suami?" tanya Didi, tiba-tiba mengganti topik.
"Nggak bakalan," jawabku ketus. Aku tidak mau orangtuaku tahu bahw aaku menggunakan jasa agen profesional hanya untuk mendapatkan suami. Sudah cukup memalukan adikku tahu tentang ini. Kalau sampai orangtuaku tahu, entah apa yan gakan mereka pikirkan tentang aku? Kemungkinan mereka akan berpikir anaknya sudah setengah gila.
Andaikan saja aku berkata jujur tentang alasan mengapa aku putus dengan Brandon, mungkin mereka akan lebih mengerti. Aku tidak ingin membebankan pikiran mereka dengan kejadian yang menimpaku. Aku meminta Didi bersumpah agar tidak menceritakan kejadian sebenarnya kepada orangtuaku. Aku tahu,
orangtuaku hanya menunggu waktu yang tepat kapan aku akan menjelaskan alasan sebenarnya aku yang tadinya memuji-muji Brandon setengah mati setiap kali mereka menelepon tiba-tiba berhenti menyebutkan namanya sama sekali.
* * *
Hari Sabtu berlalu lebih lambat daripada biasanya. Aku tahu alasan utamanya karena aku sudah tidak sabar menunggu hari Minggu tiba. Sesekali aku menyentuh bibir dengan jari-jariku untuk meyakinkan Reilley memang telah menciumku pagi itu. Aku mencoba mengingat-ingat "rasa" Reilley di mulutku. Aku ingat napasnya berbau Listerine citrus. Selama ini aku tidak pernah begitu terobsesi oleh ciuman pertamaku dengan laki-laki mana pun. Jadi, mengapa sekarang aku terobsesi oleh ciuman Reilley? Hah... itu mungkin karena aku terobsesi oleh Reilley sehingga aku jadi terobsesi oleh segala sesuatu yang berhubungan dengannya. I'm going crazy, omelku kepada diriku sendiri.
Kegilaanku semakin menjadi ketika aku melangkah ke kamar mandi dan menemukan baju tidur Reilley, yang masih ada di atas toilet. Kaus putih, celana piama abu-abu, dan boxer briefs putih bersih. Handuknya tergantung di sebelah handukku, sikat gigi listrik dan pisau cukurnya ada di atas wastafel, dan peralatan mandinya masih ada bersama-sama dengan peralatan mandiku di samping bathtub. Karena terburu-buru kelihatannya Reilley terlupa telah meninggalkan barang-barang ini di kamar mandi. Kuangkat kaus Reilley, dan secara refleks langsung membawanya ke hidungku dan menghirup aromanya. Seperti yang sudah aku perkirakan, aroma Reilley masih menempel di situ. Sebenarnya, seluruh kamar mandi dipenuhi aroma Reilley. Buru-buru kuangkat celana piama dan celana dalamnya dari atas toilet, kemudian menyambar handuknya dan membawanya ke luar kamar mandi serta melemparkannya ke dalam keranjang batu kotor. Semua barang milik Reilley itu harus dicuci secepatnya supaya bisa mencegahku menciuminya setiap saat.
Setelah aku bisa sedikit menenangkan diri, baru aku menelepon Sandra untuk memberikan laporan kencanku dengan Reilley.
"Jadi, bagaimana?" tanya Sandra antusias, tetapi dari nadanya aku bisa mendeteksi adanya rasa waswas.
"It was good," jawabku, seceria mungkin. "Just good?" Sandra terdengar ragu. "Very good, actually," balasku.
"Oh, ya? Jadi, kita sudah menemukan pemenangnya?" teriak Sandra. Aku bisa membayangkan, dia pasti mengempaskan diri di kursi kerjanya dengan wajah lega.
"I wouldn't go that far," ucapku di antara tawaku. "But he is definitely close." "Of course."
"Oh... Sandra, saya perlu kasih usulan tentang restoran," ucapku, kemudian menceritakan pengalaman makanku di restoran Prancis.
Sandra tertawa geli mendengar komentarku, tetapi dia memastikan MBD tidak akan menggunakan restoran itu untuk kencanku berikutnya.
"Omong-omong tentang dating, date Anda selanjutnya hari Jumat. Namanya Suresh. Dia orang Asia, hampir 190 sentimeter, dan pekerjaannya di retail. Anda akan bertemu dengannya di B. Christopher's Steakhouse di Burlington pukul tujuh malam. Would this schedule works for you?" tanya Sandra.
Aku agak tergagap ketika menjawab pertanyaan itu.
"Yes, that would be fine," ucapku akhirnya, dengan nada datar. "Okay, great. Saya akan konfirmasi balik ke Suresh kalau begitu."
Sebelum aku kehilangan keberanianku, aku bertanya, "Hei, Sandra, saya ada pertanyaan."
"Sure. Fire away."
"Apakah klien-klien kamu akan terus dating dengan orang lain, meskipun mereka sudah menemukan orang yang tepat? Atau setidak-tidaknya mendekati orang yang mereka inginkan?"
Sandra terdiam sejenak sebelum menjawab. "Setiap klien saya berbeda-beda. Beberapa dari mereka akan terus dating dengan orang lain, tetapi ada juga yang berhenti sama sekali. Mereka memilih untuk memanfaatkan waktu bersama orang yang tepat, yang sudah mereka temukan."
"Mana yang lebih efektif? Maksud saya, seberapa besar kemungkinannya mereka menikah kalau mereka membuat pilihan tersebut?"
"Dua-duanya cukup efektif." Sandra terdengar ragu. Aku tahu mungkin dalam peraturan perusahaannya, MBD menetapkan para agen blind date tidak boleh memberikan pendapat yang akan menyebabkan klien mereka menjadi bias dalam situasi apa pun. Hal ini juga mungkin untuk mencegah adanya tuntutan hukum, yang dilayangkan oleh klien yang frustrasi karena tidak berhasil mendapatkan pasangan yang ideal karena mengikuti nasihat agen mereka.
"Mana yang lebih efektif?" aku mengulang pertanyaanku. Aku tahu, aku sedang berlaku tidak adil dengan memojokkan Sandra seperti itu. Akan tetapi, aku betul- betul memerlukan masukan dari orang lain selain adikku.
Kudengar Sandra menarik napas sebelum berkata, "Anda betul-betul ingin mendengar opini saya?"
"Ya."
"Saya rasa, begitu Anda yakin dialah orang yang tepat untuk Anda, sebaiknya Anda berhenti mencari. Manfaatkanlah waktu Anda untuk membuat hubungan dengan orang tersebut berjalan mulus."
"Bagaimana kita bisa tahu kita sudah menemukan orang yang tepat?" tanyaku ragu.
"Oh, percaya kepada saya, Anda akan tahu nanti jawabannya," balas Sandra.
Aku menutup mataku, dan memohon kepada Tuhan agar perasaanku tentang Reilley tidak meleset. Sekarang yang harus aku lakukan adalah memastikan, apakah Reilley memang laki-laki yang terbaik untukku.
* * *
Hari Minggu pun tiba, aku sudah keluar rumah sebelum pukul sembilan pagi untuk membeli semua keperluan makan malam. Sepanjang hari aku tidak bisa berhenti tersenyum, dan jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Beberapa kali aku harus menenangkan diri agar tidak terkena serangan jantung. Apakah bisa orang meninggal akibat serangan jantung karena kebahagiaan yang meluap-luap? Aku kurang tahu soal itu, dan aku tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa 24 jam terakhir ini merupakan waktu paling membahagiakan dalam hidupku selama delapan bulan ini.
Begitu tiba di rumah aku segera membumbui daging sapi yang telah aku beli, kemudian memasukkannya ke dalam lemari es. Setelah itu, aku mempersiapkan segala sesuatu yang aku perlukan untuk membuat tiramisu. Pukul dua siang semuanya sudah siap. Kutinggalkan tiramisu di dalam lemari es agar sudah dingin ketika disajikan. Aku lalu membereskan apartemen agar kelihatan lebih rapi, termasuk mengganti seprai tempat tidur. Aku lalu membawa seprai dan beberapa pakaian kotor, sekaligus juga baju dan handuk Reilley, untuk dicuci dan dikeringkan.
Ketika aku baru saja melangkah masuk ke apartemen lagi sambil membawa keranjang berisi pakaian dan seprai yang sudah kering, kudengar telepon selularku berbunyi. Buru-buru kuletakkan keranjang cucian di lantai, dan lari ke meja makan untuk menjawab panggilan itu. Kulihat yang menelepon adalah 'Hunny Bunny'. Aku tersenyum kepada diriku sendiri karena lupa menukar nama itu dari phonebook.
"Reilley?" Meskipun aku tahu itu adalah Reilley, entah mengapa aku merasa aku harus memastikannya.
"Yeah, it's me. Saya baru mendarat di Raleigh. I'm heading to Winston right now.
I'll see you at six," ucap Reilley. "Do you want me to bring anything?" "Nothing. Just you," jawabku.
Aku baru menyadari implikasi kata-kataku ketika kudengar Reilley berkata, "I like how that sounds." Sebelum aku bisa menjelaskan maksudku, Reilley berkata, "See you in a bit," kemudian menutup telepon itu.
"Okay. Drive safe," balasku, yang disambut oleh nada tut... tut... tut.
"Damn it," gerutuku. Aku harus betul-betul memperhatikan kata-kata yang keluar dari mulutku kalau aku sedang berbicara dengan Reilley. Aku tidak mau dia mengira aku sudah menyukai dia, meskipun memang seperti itu kenyataannya. Aku tidak mau dia tahu tentang perasaanku. Tidak sekarang. Mungkin nanti, setelah aku tahu seberapa sukanya dia kepadaku.
Aku lihat jam baru menunjukkan pukul 16.15, aku buru-buru mandi. Setelah mandi aku kenakan jeans dan sweater dengan leher V, yang terbuat dari katun berwarna krem. Rambutku kutarik ke belakang dengan bandana agar tidak menggangguku malam ini. Setelah semuanya aku yakin sempurna bagiku, barulah kukenakan kacamata. Sekarang aku sudah lebih percaya diri mengenakan kacamata ini karena kata-kata Reilley dua malam yang lalu. Aku menggeleng karena percaya dengan kata-kata itu, yang kemungkinan besar hanyalah gombal.
Aku sedang mengeluarkan daging steak dari dalam lemari es ketika kudengar pintu apartemen diketuk. Buru-buru kubuka pintu itu, dan harus menahan napas ketika melihat Reilley berdiri di luar dengan senyumnya yang lebar. Dia memeluk satu botol coca-cola satu setengah liter. Aku mengambil botol itu darinya, dan mempersilakannya masuk. Aku menarik napas dalam-dalam dan menikmati wangi cologne, yang masuk ke dalam hidungku. Reilley langsung membuka sepatunya ketika memasuki apartemen.
"Mudah-mudahan kamu lapar, soalnya saya bikin steak," ujarku, sembari berjalan kembali menuju dapur. Kuletakkan botol Coca-Cola di atas meja makan.
* * *
"Saya kelaparan," balas Reilley, dan mengikutiku menuju dapur. Dia sudah melepaskan jaketnya dan kini hanya mengenakan kaus putih lengan panjang yang dilapisi dengan kaus tim American Football The New York Giants.
"Kamu ingin steak-mu dipanggang matang atau setengah matang?" tanyaku, sambil melemparkan sepotong daging besar ke atas panggangan.
"Well-done, please," jawabnya. "Kamu perlu bantuan?"
"Kamu bisa nggak memanaskan jagung manis tanpa menyebabkan apartemen kebakaran?" candaku.
Reilley tertawa sebelum menjawab, "Bisa."
Dia membuka kaleng jagung manis dan menuangkan isinya ke dalam panci kecil, kemudian menyalakan kompor.
"That smells good, by the way," ucapnya, sambil menunjuk daging yang ada di atas panggangan.
Aku hanya tersenyum. "Jagungnya perlu kamu aduk. Ada spatula kayu di dalam laci, kamu bisa pakai itu."
Reilley mengikuti saranku. Memasak bersama Reilley di dapur membuat pikiranku kembali terobsesi oleh keseksian tubuhnya.
"Training-nya bagaimana?" tanyaku, untuk mengalihkan pikiranku. "Brutal. Mereka ingin saya kembali ke sana akhir bulan ini."
"Mengapa brutal?" Kulihat jagung manis di panci sudah mendidih. "Kayaknya jagungnya sudah siap. Bisa tolong jaga steak-nya sebentar, saya akan mengangkat jagungnya?" pintaku.
"Sure. Saya harus apa?" Reilley terlihat agak kikuk.
"Just make sure that it doesn't burn completely black. Kamu mau steak yang lezat kan, bukan steak gosong," balasku, sambil mengangkat panci rberisi jagung dan menuangkan seluruh isinya ke dalam saringan yang sudah aku siapkan di dalam bak cuci piring.
"Jadi, mengapa training-nya brutal?" Aku mengulang pertanyaanku, yang belum sempat terjawab.
"Oh... bos-bos besar di perusahaan ingin meng-upgrade sistem mereka, tetapi para pegawai kelihatannya nggak setuju. Mereka bersikeras sistem yang sekarang digunakan cukup memadai untuk melakukan pekerjaan mereka. But that is the point. This new system is trying to make it can do better than just being 'quite sufficient', it has the ability to be 'efficient' as well," jelas Reilley.
"Apakah para pegawainya sudah tua?"
Reilley terdiam sejenak, seolah-olah dia sedang mencoba mengingat-ingat orang-orang yang ada di training-nya. "Nggak, kebanyakan dari mereka masih sekitar 30-an. Mengapa?"
"Well, itu agak aneh. Biasanya generasi yang lebih tualah yang nggak suka perubahan karena mereka memerlukan waktu lebih lama untuk mempelajari dan memahami informasi baru," komentarku, sambil memindahkan jagung manis ke dalam mangkuk.
"Ya... nih, saya juga nggak tahu ada apa dengan orang-orang itu. Anyway, saya akan mengadakan beberapa follow-up untuk memastikan sistem yang baru betul- betul bekerja," balas Reilley.
Aku lalu berbalik badan, menghadap kembali ke kompor. "Mungkin mereka hanya perlu untuk menyesuaikan diri. Saya yakin lambat-laun mereka akan menyukai sistem yang baru itu," ucapku, sambil tersenyum untuk memberikan dukungan kepada Reilley.
Reilley juga ikut tersenyum. "Steak-nya bagaimana?" tanyaku.
"It's doing great. Belum ada yang teriak dia kegosongan," balas Reilley, sambil nyengir.
Kami kemudian tertawa terbahak-bahak. Tidak lama kemudian, aku mengangkat daging steak itu dan meletakkannya di atas piring. Setelah itu, kuletakkan daging steak dengan ukuran yang lebih kecil di atas panggangan untukku sendiri.
"Ini punya kamu." Kuberikan piring berisi daging sapi potongan besar kepada Reilley, dan mengangkat mangkuk berisi jagung serta meletakkannya di atas meja makan.
"Wow, this looks sooo... goooooo...d," puji Reilley, sambil menghirup aroma daging panggang itu.
Ini sudah kedua kalinya. Reilley mengomentari steak buatanku, aku jadi merasa agak risi. Brandon jelas-jelas tidak pernah memuji makanan buatanku. "Kamu mulai saja duluan. Steak saya masih perlu beberapa menit lagi. Saya nggak mau tamu saya kelaparan."
"Naahhh... I can handle it. Saya tunggu kamu saja. Boleh saya ambil es dari freezer?"
"Go ahead," ucapku, lalu membalik daging di atas panggangan. Aku mengeluarkan dua gelas tinggi dari dalam lemari, dan meletakkannya di sebelah kulkas agar Reilley bisa mengisinya dengan es batu.
Setelah memenuhi kedua gelas itu dengan es batu, Reilley membawanya ke meja makan dan menuangkan coca-cola ke dalamnya. Kuangkat steak dan meletakkannya di atas piring, lalu berjalan menuju meja makan.
"Let's eat!" ajakku, dan mengangkat garpu-pisauku.
Setengah jam kemudian piring Reilley sudah bersih, dan mangkuk berisi jagung manis pun sudah ludes olehnya.
"This is the best steak I have ever eaten my whole life," ucap Reilley.
Aku tertawa, kemudian berjalan menuju lemari es untuk mengeluarkan tiramisu.
"Itu apa?" tanya Reilley ingin tahu, sambil perlahan-lahan berjalan ke arahku. "Tiramisu," jawabku.
"No... waaa...yyy. Kamu bisa bikin tiramisu?"
Aku mengangguk, dan mulai memotong tiramisu. "Kamu suka tiramisu?"
"Are you kidding me? Itu kue favorit saya," balas Reilley. Dia kemudian menatap tiramisu, seolah-olah kue itu pemberian Tuhan yang paling sempurna.
"Errr... apa kamu mau makan langsung dari pyrex-nya?" Kalau bukan karena ada tamu, aku dan Didi biasanya memang makan tiramisu buatanku langsung dari tempatnya.
"Oh, really? Can I?" Kalau Reilley berumur lima tahun, aku yakin dia sudah meloncat-loncat kegirangan. Mengingat usianya yang tidak lagi anak-anak, kini reaksi kegembiraannya dia ekspresikan dengan menatapku dan matanya berbinar- binar.
"C'mon," ucapku, sambil membawa pyrex itu menuju meja makan. "Oh, bisa tolong ambilkan sendok?"
Aku sudah duduk di meja makan ketika Reilley memberikan sendok kepadaku, kemudian dia duduk di hadapanku. "Dig in," ujarku.
Reilley langsung menenggelamkan sendoknya ke dalam tiramisu, dan memasukkan sesendok besar ke dalam mulutnya.
"Kue ini rasanya lebih enak daripada seks," desahnya.
Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya, yang terlihat sangat puas dan bahagia. Mirip wajah laki-laki yang baru mendapatkan seks terbaik yang pernah dialaminya. Aku tidak tahu bagaimana mungkin aku bisa menggambarkan hal seperti itu, mengingat aku masih perawan. Dalam imajinasiku, seseorang yang bahagia ekspresi wajahnya pastilah tidak jauh berbeda dengan Reilley saat ini.
Mengingat jejak Reilley, aku pun menenggelamkan sendokku dan memasukkan satu sendok besar ke dalam mulutku. Jujur saja, ini memang tiramisu terenak yang aku pernah buat. Mungkin karena aku membuatnya dengan penuh rasa cinta. Cinta? Pernyataan itu hampir saja membuatku tersedak. Dari mana aku bisa mendapatkan ide itu? Aku baru saja mengenal Reilley. Ini baru kencan kedua kami. Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan seorang laki-laki pada kencan kedua.
Jari Reilley, yang kini sedang menyentuh sudut bibirku, membangunkanku dari lamunan. "You got cream right here," ucap Reilley. Ia mengusap sudut bibirku dengan ibu jarinya, kemudian memasukkan ibu jari itu ke dalam mulutnya.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. Apa yang baru saja dia lakukan merupakan hal paling romantis dan seksi yang pernah dilakukan laki-laki terhadapku. Reilley, yang menyadair bahwa aku belum berkata- kata selama beberapa menit, menegurku, "Titania, kamu nggak apa-apa?"
"Yes," ucapku, nada suaraku agak meninggi. "I'm glad you like my tiramisu," lanjutku.
"Hell... Saya suka masakan kamu, apartemen kamu, senyum kamu, the way that glasses somehow makes you look more sexy, which is impossible because you are the sexiest woman I have ever met, I even love how you smell. Saya suka semuanya tentang kamu," jawab Reilley. Kemudian seolah-olah baru menyadari apa yang dia telah katakan, dengan susah payah dia berkata lagi, "Maksud saya... saya hanya..."
Aku mungkin akan mencoba membantunya agar tidak merasa seperti anak kecil yang baru saja tertangkap basah mengambil mangga tetangga, kalau aku sendiri tidak sedang mencoba mencerna apa yang baru diungkapkannya kepadaku.
"Sori," ucap Reilley akhirnya, sambil meraih tanganku. "Aku nggak bermaksud membuat kamu takut."
"Nggak... nggak... nggak apa-apa. Saya hanya agak... kaget. Itu saja." "Yakin?" Reilley terdengar ragu.
Aku mengangguk.
Reilley tersenyum, dan mulai menyantap tiramisu lagi. Kami makan dalam diam. Aku tidak tahu harus berkata apa, sedangkan aku yakin Reilley tidak berani berkata-kata lagi karena takut akan mengucapkan kata-kata yang salah. Mencoba membuat suasana jadi lebih santai, aku berkata, "Apakah kamu berencana menginap di sini atau kamu akan pulang ke Wilmington?"
Kulihat Reilley menelan ludah sebelum menjawab, "Itu tergantung kamu." "Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Apakah kamu akan mengambil semua selimutnya?" Wajah Reilley terlihat serius sampai kedua alisnya terangkat.
"Did I do that?" tanyaku, sambil tertawa.
"You sure did," balas Reilley dengan jenaka. Dia kelihatannya juga sedang berusaha mencairkan es, yang tiba-tiba muncul di antara kami berdua.
"Saya janji nggak akan mengambil semua selimutnya," ucapku, sambil tersenyum.
"kalau begitu, saya akan menginap di sini malam ini."
Aku mengangguk, dalam hati bersyukur aku sudah menyempatkan diri mengganti seprai. Kami lalu menumpahkan perhatian kembali kepada tiramisu.
"Reilley," ujarku tiba-tiba, tanpa menatap Reilley.
"Ya?" Aku bisa merasakan bahwa Reilley sedang menatapku, tetapi aku menolak membalas tatapan itu dan memfokuskan perhatian pada sendokku.
Aku merasa agak canggung menanyakan pertanyaan yang sempat membuatku penasaran, tetapi kuberanikan diri. "Errr... saya hanya penasaran. Kamu mimpi apa sih dua malam yang lalu ketika kamu tidur di sini?" Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan ini, tetapi aku memang penasaran. Mimpi apakah yang menyebabkan Reilley menyebutkan namaku dua kali di dalam tidurnya?
Ketika Reilley tidak menjawab juga, kutatap wajahnya. "Pipi kamu mengapa jadi merah begitu?" tanyaku.
"Nggak ah," balas Reilley, nadanya terdengar sedikit tajam. "Sekarang malam semakin merah." Aku tidak mau kalah.
"Kacamata kamu membuat kamu melihat yang nggak-nggak," omel Reilley. "Kamu memimpikan saya, ya?" Aku tidak memberi Reilley kesempatan menghindar dariku.
"Lho, kok omong begitu?"
"Kamu menyebut nama saya." Reilley menggeram. Ketika Reilley tidak juga mengatakan apa-apa, kutambahkan, "Dua kali."
Reilley menutup mulutnya rapat-rapat. Dari gerakan mulutnya aku tahu dia sedang menggigit-gigit bagian dalam bibirnya. Dia kelihatan sangat bersalah.
"Kamu menarik saya ke pelukan kamu dan nggak melepaskan lagi," lanjutku. "I did that?" Reilley berteriak terkejut sambil menatapku.
"Ya. Saya coba melepaskan diri beberapa kali, tetapi kamu kelihatannya capek sekali dan saya nggak ingin membangunkan kamu... well, akhirnya saya jadi ketiduran setelah beberapa menit... di atas tempat tidur... di dalam pelukan kamu."
Reilley menatapku dengan mata terbelalak. Melihat reaksinya, aku curiga dia sudah salah paham. "Saya harap kamu nggak berpikir saya sengaja dekat-dekat dengan kamu," ucapku tegas.
"Nggak. Tentu saja nggak, meskipun ketika saya bangun saya memang bertanya-tanya bagaimana bisa kamu kok ada di pelukan saya."
"Well, sekarang kamu sudah tahu." Aku terdiam, kemudian mengulang pertanyaanku. "So were you?"
"Were I what?"
"Kamu mimpi saya, ya?" balasku, tidak sabaran.
Semula Reilley seolah-olah tidak akan mengatakan apa-apa, tetapi akhirnya satu kata keluar dari mulutnya. "Yes."
"Oh, ya? What were you dreaming about?" Aku jadi semakin penasaran, mengapa dia harus malu mengakui dia bermimpi tentangku.
"Banyak hal," balasnya datar. "Contohnya?" desakku.
"Kita bisa nggak, nggak membahas tentang ini lagi?" gerutunya.
Aku masih menunggu beberapa saat sebelum akhirnya menyerah. Tampaknya Reilley betul-betul tidak akan menceritakan mimpinya kepadaku.
"Pukul berapa kamu harus sampai di kantor besok?" tanyaku, mengganti topik. "Pukul berapa kamu harus berangkat kerja?" Reilley terlihat mengembuskan napas lega dengan pergantian topik ini.
"Setengah delapan."
"Saya berangkat bersama-sama kamu."
Aku mengangguk, kemudian meletakkan sendok di atas meja karena perutku rasanya sudah siap meledak.
"Apakah kamu mau tiramisu lagi?" tanya Reilley.
"Nggak. Perut saya sudah nggak bisa mencerna apa-apa lagi."
Aku tertawa ketika Reilley tersenyum senang, dan menyapu bersih tiramisu. Setelah semuanya ludes, ia mengangkat piring dan gelas kotor serta pyrex ke bak cuci piring.
"Kamu tinggalkan saja semuanya di situ. Besok pagi akan saya cuci," ucapku. "Biar saya saja. Kamu sudah masak, saya yang cuci." Reilley kemudian mulai mencuci semua peralatan makan itu satu per satu.
Dia kelihatan sedikit aneh berada di dapurku yang kecil itu. Sekali lagi aku bisa melihat perbedaan antara Brandon dan Reilley yang sangat kontras. Brandon tidak pernah membantuku sama sekali di dapur. Dia bahkan tidak pernah menawarkan bantuannya. Brandon tipe laki-laki yang berpendapat dapur merupakan area yang hanya boleh dimasuki wanita. Brandon juga selalu serius, bahkan hampir tidak pernah tersenyum. Aku mencoba mengingat-ingat terakhir kali kami bercanda, dana ku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Sedangkan Reilley, dia bersiul-siul sambil mencuci piring. Dia kelihatan ceria, jenaka, dan tanpa beban. Kami pun baru saja bercanda beberapa menit yang lalu.
"Ada lagi yang perlu dicuci?" Kudengar suara Reilley bertanya, dan aku harus berpijak kembali ke bumi.
"Nggak ada." Aku lalu beranjak menuju ruang TV, dan mengempaskan diriku ke atas sofa.
Reilley menyusul, dan duduk di sebelahku. "Kamu kelihatan capek," komentarku.
"I'm okay, tetapi rasanya aku perlu andi, kalau kamu nggak keberatan."
"Tentu saja nggak. Anggap saja rumah sendiri," ucapku. Reilley menatapku sambil tersenyum.
"You gonna regret saying that," ucapnya. "Saying what?" tanyaku bingung.
"Inviting me to make myself at home in your apartment," balas Reilley pendek.
Aku terpaksa tertawa melihat reaksi Reilley. "Saya grew up di Indonesia, Reilley.
Kami diajarkan untuk sopan kepada tamu," jelasku.
"Jadi, kamu akan ngomong seperti itu kepada semua orang?" Reilley terlihat bingung.
"Kira-kira begitulah."
Reilley menatapku, seolah-olah aku orang paling aneh yang dia pernah temui. "Kamu pasti berpikir saya sudah gila, ya?" tanyaku.
"Well... nggak gila, hanya sedikit beda," jelas Reilley.
"Kalau kamu pikir saya berbeda, tunggu sampai kamu bertemu orangtua saya. Mereka jauh lebih parah. Semua tamu yang datang ke rumah saya nggak pernah pulang dengan tangan kosong. Ibu saya selalu membawakan mereka makanan atau hasil kebun kami."
"Hasil kebun seperti apa?" Kini Reilley terlihat sedikit penasaran.
"Seringnya sih pisang atau jambu batu. Kadang-kadang kalau lagi musim mereka akan kasih nangka atau kelapa."
"Orangtua kamu punya buah-buahan itu di kebun mereka?" Sekarang Reilley sudah betul-betul penasaran.
"Ya. Bapak saya memang punya bakat menanam. Dia bisa menanam apa saja yang dia mau."
"WOW. That‟s... well... he sounds like a really cool dad." "He is," ujarku.
"Would love to meet the guy someday," balas Reilley, yang kemudian menguap. "Kita lihat saja nanti. Kalau kamu sudah dating dengan saya cukup lama, mungkin kamu bisa ketemu bapak saya," candaku, kemudian berdiri dan menarik Reilley. "Ayo, kamu perlu istirahat."
Reilley berjalan bersamaku menuju kamar tidur. "Ya, itu mungkin ide yang bagus. Dating dengan anaknya hanya untuk bertemu bapaknya. He would luuuvvv that idea," balasnya dengan jenaka.
Aku tertawa. Kulepaskan genggaman tangan Reilley ketika kami masuk ke kamar tidur. "Ini baju dan handuk kamu. Sudah saya cuci. Peralatan mandi kamu masih ada di kamar mandi where you left them."
"Oh, makasih, ya.... Sori karena sudah meninggalkan barang-barang saya di mana-mana. Saya agak terburu-buru waktu itu sampai lupa."
"Nggak apa-apa. Kamu sebaiknya mandi, sudah hampir pukul sepuluh. Saya perlu tidur sebentar lagi," ucapku, dan melangkah ke luar kamar tidur.