Chereads / Blind Date by Jessie J / Chapter 6 - Sushi dan Interogasi

Chapter 6 - Sushi dan Interogasi

KEESOKAN paginya, aku terbangun karena terkejut. Aku harus menenangkan diri selama beberapa menit, kemudian duduk di atas tempat tidur. Matahari sudah masuk dari jendela kamar, yang tirainya kubiarkan tidak tertutup tadi malam. Kulirik jam yang ada di telepon selularku. Sembilan lewat lima pagi. Aku baru tidur kurang dari lima jam.

"Weird dream," gerutuku, lalu beranjak berdiri. Aku berjalan menuju kamar mandi tanpa memperhatikan langkahku, dan akhirnya menabrak keranjang pakaian kotor yang terletak di samping pintu. Kata-kata sumpah serapah keluar dari mulutku. Sambil menahan sakit, aku terpaksa meloncat dengan satu kaki memasuki kamar mandi. Kukenakan kacamata minusku, dan duduk di atas toilet memeriksa keadaan jempol kakiku. Bagian yang tadi tertabrak keranjang terlihat sedikit memar, tetapi tidak mengeluarkan darah. Setelah rasa sakit agak reda aku pun berdiri, dan setelah mendorong kacamata ke atas kepala, kubasuh wajah dengan air dingin. Ketika kuangkah wajahku dengan air yang masih menetes, aku langsung berhadapan dengan wajah yang kelihatan stres. Ada lingkaran hitam di bawah mata dan kulitku terlihat kusam.

Kuseka mukaku dengan handuk dan mengenakan kacamata kembali, kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Aku malas masak sehingga hanya mengeluarkan susu dari dalam lemari es dan menarik kotak sereal dari atas lemari es. Kutuangkan sereal itu ke dalam mangkuk, kemudian kusiram dengan susu. Setelah meletakkan susu dan sereal pada tempatnya, aku duduk di meja makan. Aku melipat kaki, lalu memasukkan satu sendok sereal ke dalam mulutku. Pelan-pelan kukunyah sarapanku.

Aku mencoba mengingat kembali mimpiku. Aku sedang berlari sekuat tenaga karena ada seseorang yang sedang mengejarku, tetapi aku tidak bisa melihat wajah orang itu. Kusadari kemudian, di hadapanku ada bukit yang cukup terjal. Aku yakin, aku tidak akan bisa mengalahkan orang yang sedang mengejarku jika aku menaiki bukit itu, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku menoleh ke belakang dan melihat orang yang mengejarku sudah semakin dekat ketika tiba-tiba aku terjatuh karena telah menabrak sebuah dinding, sesuatu yang tidak mungkin karena di bukit tentu tidak ada dinding. Ketika aku melihat penyebab mengapa aku jatuh, aku baru sadar ternyata aku bukan menabrak dinding melainkan seseorang bertubuh tinggi tegap dan dada bidang. Ia sedang menatapku dari balik mata birunya.

Aku berkata, "Reilley, kamu harus bantu aku. Ada yang mengejarku dan aku nggak tahu itu siapa."

Reilley di dalam mimpiku awalnya hanya menatapku bingung, tetapi kemudian dia berkata, "Nggak usah khawatir, aku bisa urus dia."

"Oh... ya, bagaimana caranya?"

Reilley kemudian mengangkat tubuhku, dan memanggulku. Tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan bokongnya, yang mengenakan celana ketat berwarna biru.

"Reilley, kamu mau apa sih?!" teriakku panik.

"Aku harus bawa kamu melewati garis 10-yard untuk touchdown," jawabnya santai, dan mulai berlari menuruni bukit.

Touchdown? Memangnya aku ini bola? Kami bahkan tidak sedang berada di lapangan football.

Tiba-tiba suasana berubah, dan aku ada di lapangan football milik University of Florida, yang dikelilingi oleh lautan orang dengan baju berwarna biru dan oranye, warna khas "The Gators". Kulihat ada beberapa orang dengan kaus football dan celana ketat biru sedang mengejarku, atau lebih tepatnya mengejar Reilley yang sedang memanggulku. Salah seorang di antara mereka adalah Brandon, tetapi dia masih mengenakan kostum Zorro walaupun tanpa topeng. Brandon berteriak, "Mau ke mana, Titania?! Mau lari?! Kamu nggak bisa lari dari aku!"

Aku berteriak kepada Reilley, memintanya berlari lebih cepat dan menjauhkanku dari Brandon. Reilley menjawab teriakanku, "Aku sedang berusaha sekuat tenaga, kamu harus bantu aku!"

"Bagaimana caranya?"

"Aku akan menurunkan kamu, nah kamu harus lari bareng aku, oke?"

"Oke," balasku.

"Aku hitung sampai tiga. Begitu aku bilang tiga kamu harus sudah lari."

"Oke."

"Satu... dua... tiga." Reilley menurunkanku, dan aku berlari sekuat tenaga di sampingnya menuju garis 10-yard. Tangannya menggenggam tanganku. Anehnya, bukan semakin dekat, garis itu terlihat semakin menjauh.

"Reilley, aku nggak bisa lari lagi." Lariku mulai berkurang kecepatannya.

"Kamu harus bisa. Kalau kamu mau berhasil, kamu harus coba," bujuk Reilley. Dia tersenyum kepadaku.

Aku sudah siap melebarkan langkahku ketika tiba-tiba ada yang menarikku.

"Reiiii... lleeeyyy...!" teriakku. Tanganku mencoba menggapainya, tetapi tidak mendapatkan apa pun kecuali udara kosong.

Kemudian aku terbangun.

Sekali lagi aku menggerutu, "Weird dream." Mimpi itu betul-betul tidak masuk akal. Aku bahkan tidak tahu-menahu tentang permainan football atau warna seragam masing-masing universitas. Aku kebetulan saja mengenali seragam University of Florida karena sempat melihat pertandingan mereka di TV melawan University of Alabama beberapa waktu yang lalu. Kalau dipikir-pikir mimpi itu bahkan nggak ada hubungannya dengan kejadian tadi malam. Aneh. Lebih anehnya lagi, dalam mimpiku Brandon dan Reilley berbicara dalam bahasa Indonesia, padahal jelas-jelas mereka tidak paham atau tidak tahu apa-apa tentang bahasa itu. Jangan-jangan aku sudah jadi kurang waras. Aku tahu sumber kegilaanku ini tidak lain dan tidak bukan berasal dari laki-laki bejat bernama Brandon, yang menolak menerima kenyataan aku sudah tidak menginginkannya sama sekali. Entah dia dapat ide dari maa untuk meyakinkan dirinya bahwa aku masih mencintainya. Ingin rasanya aku membunuhnya tadi malam.

* * *

Kemarin malam, setelah aku beranjak dari sisi Reilley, aku menarik napas dalam-dalam. Lalu aku berbalik menghadapi Brandon untuk yang kedua kalinya malam itu. Aku harus membuatnya mengerti bahwa aku tidak lagi mencintainya, dan aku ingin dia meninggalkanku supaya aku bisa menjalankan hidupku dengan damai.

Kuhentikan langkahku agak jauh dari Brandon. "Bagaimana keadaan bibir kamu?" tanyaku dari tempatku berdiri. Aku berusaha sebisa mungkin tidak menghampiri Brandon pada saat itu juga untuk mengurus lukanya. Meskipun aku masih peduli padanya, aku tidak mau memberinya sinyal yang salah. Dia sudah bukan lagi pacarku, dia sudah bukan tanggung jawabku lagi.

"Sudah nggak berdarah lagi sih," ucap Brandon. "Aku masih nggak percaya kamu menendang aku."

"Kamu pantas ditendang," balasku, sambil menatapnya serius. Melihat reaksiku, Brandon hanya terdiam.

"Laki-laki itu siapa sih?" tanyanya.

Semula aku ingin berpura-pura tidak memahami siapa yang Brandon maksud, tetapi aku sedang malas main tebak-tebakan malam ini.

"Teman," balasku pendek. Pikiranku kembali kepada laki-laki bermata biru, yang tampaknya telah menjadi lebih dari sekadar teman. Laki-laki itu sudah menjadi malaikat penyelamatku, yang akan muncul tiba-tiba tanpa aku minta bila aku sedang membutuhkannya.

"Well, teman kamu itu harus belajar nggak mencampuri urusan orang lain." Brandon menggerutu sambil menatapku dengan memicingkan matanya.

"I agree," balasku, meskipun dalam hati aku tidak setuju sama sekali. Aku tidak keberatan bertemu dengan Reilley lagi. Kalaupun itu berarti aku harus berada dalam keadaan darurat lagi, aku tetap rela.

Aku memaksa pikiranku kembali kepada Brandon. Aku terdiam sesaat memikirkan apa yang akan aku katakan selanjutnya. "Aku ingin kamu mengerti, aku nggak mau kejadian barusan terulang lagi. Kamu paham, kan?"

Brandon menggeleng. Aku menarik napas putus asa. Keras kepala sekali laki-laki ini. Aku baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba kata-kata meluncur dari mulut Brandon. Aku langsung diam mendengarkannya.

"Aku minta maaf soal kejadian barusan. Percaya atau nggak, rencanaku malam ini sebetulnya hanya ingin bicara dengan kamu dan minta maaf. Begitu aku melihat kamu, rasa kangenku terhadap kamu selama beberapa bulan ini seolah terobati. Hidupku berantakan tanpa kamu."

Mendengar pengakuan Brandon, hatiku sedikit luluh. Setidak-tidaknya kini aku tahu dia lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkannya.

Perlahan-lahan aku berjalan mendekatinya. "Aku ingin kamu tahu, aku sudah memaafkan kamu. Aku bahkan sudah nggak pernah memikirkan kejadian dulu itu lagi."

Untuk pertam akalinya aku menyadari ternyata aku memang sudah memaafkan Brandon atas perbuatannya. Mungkin itu sebabnya mengapa aku sudah bisa melanjutkan hidupku.

"Oh ya? Kamu bersedia memaafkan aku setelah aku menyakiti kamu seperti itu?" Brandon terlihat betul-betul terkejut.

Aku tertawa melihat ekspresinya. Kuhentikan langkahku sekitar satu meter darinya, kemudian mengangguk. "Hanya saja, rasanya aku nggak akan pernah bisa lupa sama sekali kejadian dulu itu. Jarang-jarang kan perempuan bisa memergoki pacarnya sedang making love dengan selingkuhannya, padahal dia bilang sedang lembur."

Suasana hening selama beberapa detik. "Kalau aku memohon, mencium kaki kamu, dan berjanji nggak pernah mengulang perbuatanku lagi, apakah kamu mau menerima aku balik?" tanya Brandon, dengan wajah penuh harap.

"Kamu serius?"

"Superserius," jawab Brandon, dengan penuh keyakinan.

"Nggak," jawabku pendek.

"Mengapa?" Wajah Brandon terlihat kecewa.

Aku menggigit bibir bawahku, senewen. Ini adalah kebiasaanku dan Didi apabila kamu berdua merasa tidak nyaman.

"Kamu tahu kan kita nggak pernah benar-benar cocok satu sama lain." Kumulai penjelasanku. "You‟re too much for me. Kamu memang pintar, sukses, dan ganteng. Semakin kamu sukses, your... needs would increase as well. The needs that I can never fulfill, setidak-tidaknya nggak sekarang."

Brandon tidak berkata-kata, tetapi dari wajahnya kelihatannya dia memahami ketika aku mengatakan kata "needs", yang kumaksudkan adalah "sexual needs".

Kuangkat kepalaku ketika melihat banyak orang lalu-lalang di lobi hotel. Kulirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 24.30. Tampaknya pesta Halloween sudah selesai karena aku melihat beberapa orang berjalan menuju pelataran parkir.

Mengingat aku tidak ingin terlihat bersama Brandon oleh orang kantorku, aku berkata, "Kamu sebaiknya pulang dan minta orang mengurus muka kamu yang babak belur."

Aku lalu berbalik badan dan berjalan menuju mobil. Aku tahu Reilley sudah menghilang. Dalam hati aku menyumpah. Meskipun memang aku berkata bahwa aku bisa mengatasi Brandon sendiri, aku berharap dia tidak mendengarkan kata-kataku dan tetap menungguku.

"Jadi, itu saja jawaban kamu? Kamu akan meninggalkan aku begitu saja?!" teriak Brandon.

Aku berputar balik, dan berjalan maju beberapa langkah. "Bukan aku yang meninggalkan kamu, tetapi kamu yang meninggalkan aku. Ingat itu!" teriakku, lalu memutar tubuhku lagi dan berjalan menuju mobil.

"Kamu tahu kan, kamu nggak akan bisa hidup tanpa aku. Aku hanya perlu menunggu sampai kamu mau mengakui itu!" teriak Brandon lagi, masih tidak mau kalah.

Kalimat terakhir yang diucapkan Brandon telah mengubah pendapatku tentangnya, yang selama beberapa menit tadi merasa kasihan kepadanya. Ternyata dia masih juga laki-laki kurang ajar dan tidak tahu diuntung, yang aku tinggalkan lima bulan lalu. Dia tidak berhak menerima simpatiku sama sekali.

"You need to grow up, Brandon," balasku, dan melambaikan tanganku tanpa menatapnya lagi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup, terus akan hidup dan bahkan lebih baik tanpanya.

* * *

Sekali lagi kutatap sarapanku, yang baru setengah termakan. Kulirik jam yang tergantung di dinding dapur. Pukul sepuluh pagi. Kumakan habis sarapanku, kemudian mencuci mangkuk dan sendok. Kusempatkan menelepon orangtuaku. Aku bertanya kapan mereka akan datang berkunjung lagi ke Amerika? Ibuku menjawab bahwa sebaiknya aku saja yang pulang ke Indonesia karena dia sudah

tidak sanggup terbang 27 jam hanya untuk bertemu denganku dan Didi. Aku bahkan sempat mengiming-imingi tiket pesawat Business Class kepadanya, tetapi ibuku tetap bersikeras tidak akan pernah terbang ke Amerika lagi. Kecuali bila situasinya memang darurat.

Kemudian ibuku bertanya, apakah aku sudah bertemu dengan orang baru. Aku tahu yang dimaksud ibuku adalah pacar baru. Aku berusaha menghindar, dan hanya mengatakan aku masih terlalu sibuk untuk melakukan itu. Walaupun begitu, aku berjanji sebisa mungkin meluangkan waktu agar bisa "shopping" calon suami.

"Pokoknya, Ta, jangan lupa. Kerja sih boleh saja, tetapi jangan sampai lupa cari suami, ya," pesan Ibu kepadaku.

"Ya, Bu," jawabku.

Satu jam kemudian aku menutup telepon dengan perasaan lebih lega karena orangtuaku kelihatannya baik-baik saja. Biasanya hari Sabtu aku habiskan pergi ke toko buku dan membaca-baca majalah edisi terbaru, tetapi hari ini aku merasa malas keluar rumah. Kulihat keranjang pakaian kotor yang sudah cukup penuh, tetapi belum berlimpah. Aku pun memutuskan mencuci pakaian. Sembari menunggu hingga cucian kelar, aku mandi. Setelah mandi kutata rapi tempat tidur, kurapikan lemari pakaian, kusedot karpet dengan vacuum cleaner sampai dua kali untuk memastikan karpet sudah superbersih. Bahkan setelah pakaian kering kusetrika semuanya dengan rapi, kemudian memasukkannya ke dalam lemari.

Kulirik lagi jam, yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku lalu beranjak ke dapur untuk membuat makan siang. Setelah selesai makan siang, aku memeriksa telepon selularku untuk memastikan tidak ada text message atau telepon yan gtidak terdengar olehku. Tidak ada pesan ataupun missed call. Selanjutnya, aku menyalakan TV. Kuganti channel beberapa kali, mencari acara yang bisa menyita waktu dan pikiranku untuk beberapa jam. Aku memilih film komedi romantis yang dibintangi Drew Barrymore, yang baru saja mulai. Aku lalu duduk menikmati film itu selama tiga jam. Ketika film itu berakhir, hari sudah gelap. Kunyalakan beberapa lampu di dalam apartemen. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam sore.

"Kok dia belum telepon sih?!" akhirnya aku berteriak frustrasi. Aku agak terkejut dengan teriakanku karena pada saat itu aku baru menyadari alasan mengapa sepanjang hari ini aku merasa resah dan tidak bisa diam. Tanpa aku sadari, aku menunggu telepon dari Reilley. Aku ingin mengetahui, berapa utangku untuk mengganti biaya dry cleaning sweater Armani-nya.

Tolol, tolol, tolol! Aku mengomeli diriku sendiri. Tentu saja dia tidak akan meneleponku hari ini. Dia mungkin belum sempat membawa sweater itu untuk di- dry clean. Oleh sebab itu, dia belum bisa meneleponku untuk memberitahu jumlah tagihannya. Muncul keragu-raguan di hatiku dia tidak akan meneleponku sama sekali, meskipun sweater itu sudah di-dry clean. Hal ini disebabkan karena dua alasan. Pertama, dia tidak menganggap kejadian tadi malam merupakan kesalahanku. Oleh karena itu, aku tidak bertanggung jawab atas sweater itu. Kedua, dia tidak mau berhubungan denganku dan mantan pacarku yang sinting. Rasanya alasan kedua lebih masuk akal.

* * *

Satu bulan pun berlalu, dan Natal akan tiba dua minggu lagi. Aku sudah berkencan dengan delapan laki-laki dalam kurusn waktu itu, dan tidak satu pun dari mereka yang mampu menarik perhatianku. Baru belakangan aku menyadari alasannya, ternyata karena aku membandingkan mereka semua dengan Reilley. Laki-laki yang ini terlalu pendek, yang itu terlalu tinggi. Laki-laki ini matanya memang biru, tetapi tidak sebiru Reilley. Laki-laki itu aromanya mirip dengan Reilley, tetapi tidak betul-betul sama. Laki-laki ini rambutnya cokelat dan mirip dengan Reilley, tetapi rambut Reilley lebih mengilat dan sedikit merah kalau terkena sinar. Laki-laki itu suaranya mirip Reilley, tetapi jelas-jelas wajahnya jauh sekali dari Reilley... dan berlanjutlah semua alasanku untuk menemukan kesalahan pada setiap date-ku. Lebih parahnya lagi, aku selalu menahan napas setiap kali melihat ada Volvo SUV berwarna perak. Aku betul-betul sudah terobsesi oleh Reilley.

Aku tidak tahu bagaimana Sandra masih bisa terdengar ceria setiap kali meneleponku untuk menanyakan tentang kencanku dengan laki-laki, yang telah dicarikan MBD untukku. Apakah dia tidak bosan mendengar komentarku, "Ya, dia memang baik, tetapi kayaknya dia bukan laki-laki yang tepat untuk saya"? Mau tidak mau aku harus mengakui kekagumanku terhadap Sandra dan semua staff MBD, yang pantang menyerah mencarikan laki-laki yang tepat untukku. Di dalam hati kecilku aku tahu, laki-laki yang tepat untukku adalah laki-laki bule berbadan tinggi besar, bermata biru, memiliki aroma yang membuatku tergila-gila, dan mobilnya Volvo SUV berwarna perak. Laki-laki yang seakan-akan menghilang dari permukaan bumi sebulan yang lalu.

Selama dua minggu pertama aku masih mengharapkan telepon darinya. Terkadang aku duduk menatap telepon selularku, dan berharap benda itu berdering. Tanpa sadar sering aku bergumam, "Ring... ring... ring... c'mon just ring." Ketika telepon itu tidak berdering juga aku memaki-makinya, "Dasar telepon goblok, bunyi saja nggak bisa."

Untungnya kegilaanku dapat teratasi setelah Didi datang mengunjungiku dengan membawa pacarnya bernama Vincent, yang terlihat seperti seorang kutu buku pada umumnya. Didi biasanya leibh menyukai laki-laki yan gaul untuk mengimbangi gen kutu bukunya itu. Oleh sebab itu, aku sedikit terkejut ketika melihat Vincent. Hanya satu jam bersama Vincent dan Didi, aku langsung tahu perasaan Vincent terhadap adikku lebih dalam dibandingkan perasaan adikku terhadap laki-laki itu. Vincent selalu menatap Didi bagaikan dia berlian paling berharga. Vincent hanya tinggal selama seminggu, kemudian dia kembali ke D.C. Aku pun mulai menginterogasi adikku.

"Kamu dan Vincent serius?" tanyaku, sambil menyiapkan makan malam untuk kami berdua.

Didi, yang sedang menyiapkan salad, menjawab, "Mmmhhh... belum tahu juga sih, memang ada apa?"

"Nggak. Kayaknya dia sudah cinta mati kepada kamu deh." Aku membalik dua daging sapi sirloin seperempat kilo yang ada di atas panggangan.

Adikku berhenti menuangkan bumbu salad ke dalam mangkuk dan menatapku. "Kok Mbak bilang begitu?"

"Dia terus-menerus menatap kamu seperti kamu ini matahari dia." Kuangkat sepotong daging yang sudah setengah matang. Aku tahu Didi tidak pernah mau makan daging yang terlalu well-done.

Didi tertawa mendengar komentarku dan meneruskan membuat salad sambil menyanyikan lirik lagu Nelly Furtado, yang bergema dari speaker stereo.

"Omong-omong, aku sudah lama nggak dengar kabar tentang Reilley. Kamu masih belum bertemu lagi dengan dia?" tanya Didi tiba-tiba.

Aduhhh... mengapa... oh... mengapa arah pembicaraan kami jadi ke situ? Sudah selama dua minggu ini aku cukup berhasil mengusir Reilley dari pikiranku.

"I guess he's fine. Aku belum bertemu dia lagi tuh," ucapku pelan. Aku mengangkat steak dari panggangan, kemudian meletakkannya di atas piring.

Didi sudah duduk di kursi makan dan menungguku. Dengan mulut penuh dia berkata, "Menurut kamu... dia mengapa timbul... tenggelam begitu, ya?" Kata-kata Didi terputus-putus karena dia mencoba berbicara sambil mengunyah.

"Telan dulu daging di mulutmu baru omong, bisa nggak sih?" pintaku, sambil mencoba menahan tawa melihat kelakuannya.

Didi tersenyum, lalu mengunyah daging yang ada di dalam mulutnya. "Steak ini enak lho, Mbak. Makasih, ya," ucapnya, kini dengan lebih sempurna karena daging yang tadi dikunyahnya sudah ditelan.

"Enak, ya? Bagus deh. Aku dapat resep dari Cooking Channel, cara bikin steak yang enak tapi gampang."

Hanya dengan begitu aku bisa mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih aman dan tidak membuat jantungku berdebar-debar.

* * *

Hari Natal pun tiba, berarti aku sudah resmi berumur 28 tahun. Orangtuaku meneleponku pukul enam pagi, mereka memberi ucapan selamat sambil menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" untukku. Ini tradisi yang telah kami lakukan sejak aku SD. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku dan Didi beranjak ke luar rumah. Kami memutuskan merayakan ulang tahunku di salah satu restoran Jepang yang ada di Winston, dan makan sushi sebanyak-banyaknya. Pelayan di restoran ini sudah cukup mengenalku, dan mempersilakan kami duduk di meja favoritku di tengah ruangan.

Restoran terlihat cukup padat dengan orang-orang yang baru pulang dari menghadiri misa pagi di gereja. Kuliaht meja terbesar restoran itu, yang terletak di pinggir ruangan, sudah terisi oleh satu keluarga besar. Sepasang oma dan opa, dengan rambut yang sudah hampir putih semua, tampaknya adalah orangtua mereka. Seorang wanita berambut cokelat gelap sepunggung sedang memasukkan sepotong sushi ke dalam mulut anak kecil, yang duduk di sampingnya. Seorang wanita berambut pendek, yang parasnya hampir sama dengan wanita yan gtadi, duduk di sebelahnya. Di depan mereka ada empat orang lagi duduk membelakangiku. Salah seorang dari mereka berambut pirang, dan selebihnya berambut cokelat gelap. Dari raut wajah dan suara-suara mereka yang berbicara satu sama lain, tampaknya mereka sedang membahas topik tentang American football dan betapa seksinya Paris Hilton.

Tiba-tiba salah seorang laki-laki di antara mereka berdiri, dan aku langsung bertatapan dengan wajah malaikat pelindungku. Aku harus mengedipkan mataku berkali-kali untuk memastikan aku tidak sedang berhalusinasi. Aku benar-benar tidak sedang bermimpi karena wajah itu kini sedang tersenyum lebar ke arahku.

"Titania!" teriak Reilley. Dia betul-betul terlihat gembira bertemu denganku.

"Reilley," balasku, masih dengan suara agak tersedak.

Dia kemudian maju beberapa langkah dengan penuh semangat, sebelum berhenti persis di depanku dan kelihatan ragu. Aku baru sadar percakapan seru yang tadi terdengar di meja mereka kini sunyi. Delapan pasang mata dengan berbagai warna, tetapi kebanyakan biru, sedang menatapku penuh rasa ingin tahu. Have you eaten?" tanyanya akhirnya, setelah beberapa detik hanya menatapku sambil mengerutkan kening.

"Just about," jawabku. Kulihat Didi berdiri di sampingku dengan tatapan penuh arti.

"Why don't you join us?" Reilley terdengar antusias. Kulihat Reilley mengangguk kepada Didi.

Sebelum aku bisa menolak, kulihat tiga laki-laki yang tadi duduk bersamanya melambaikan tangan kepada waiter untuk meminta ekstra kursi. Hanya dalam hitungan detik, meja mereka semakin padat dengan dua kursi tambahan. Tampaknya aku tidak memiliki pilihan, selain menerima tawaran itu.

Aku duduk bersebelahan dengan Reilley, sedangkan Didi duduk di sebelahku. Dua laki-laki, yang tadi duduk di kursi yang sekarang kami duduki, sudah menyingkir ke kedua ujung meja. Aku dan Didi lalu memesan makanan dan minuman kami. Kini sembilan pasang mata menatapku dan Didi, tetapi aku sadar bahwa fokus tatapan mereka adalah aku. Situasi ini sangat membuatku tidak nyaman, apalagi aku menyadari aku duduk terlalu dekat dengan Reilley sehingga bahu kami hampir bersentuhan.

Bagaimana mungkin aku bisa menerima tawaran duduk dan makan siang dengan orang-orang tidak aku kenal ini? Oh, ya... aku lupa... aku tergila-gila kepada laki-laki yang duduk di sebelahku, yang kini tampaknya sedang mengirimkan aliran listrik kepadaku setiap beberapa detik.

Zzzzzzttt... zzzzttttttt.... zzzzttttt....

"Hi, I'm Marcus," ucap laki-laki yang duduk di ujung meja sebelah kiriku dengan tiba-tiba, kemudian membungkuk dan mengulurkan tangannya menyalamiku. Ketika dia melakukan itu, kudengar beberapa orang berteriak pada saat yang bersamaan.

"Watch it, you're tipping the soy sauce bottle."

"She's taken you idiot."

"And look how smoooooth that boy is, it's a wonder why he has no girlfriend."

Aku yang baru setengah berdiri terdiam kaget, dan memutuskan duduk kembali di kursi serta menarik lagi tanganku yang sudah setengah terjulur ke arah Marcus.

"Hei, kami dikenalkan dong. Apakah kamu terlalu malu mengakui kami semua sebagai keluarga kamu?" Wanita yang tadi sedang menyuapi anaknya berkata sambil melemparkan senyumnya kepadaku.

Reilley memberikan tatapan gemas kepadanya sebelum menjawab, "Titania, ini keluarga saya. Mom and dad," ucapnya, sambil menunjuk kepada sepasang manula yang sedang tersenyum ramah kepadaku. "My younger sister, Christine," ia menunjuk wanita berambut pendek, yang mengangguk. "And her boyfriend, Matt," sambil menunjuk kepada laki-laki berambut pirang yang duduk di sebelah Didi. "My older sister Mary, her husband Alex, and my nephew Joseph."

Reilley menarik napas, kemudian melanjutkan, "Ini adik laki-laki saya, si pembuat onar, Marcus."

"Hey," teriak Marcus tersinggung, diikuti gelak tawa smua orang yang duduk di meja itu.

"Nice to meet you all. Saya Titania dan ini adik saya Adriana, ucapku memperkenalkan diri. Aku tidak menatap Didi ketika sedang memperkenalkan diri karena dari sudut mataku aku bisa melihat wajahnya tampak sangat terhibur. Rasanya aku harus mempersiapkan diri diinterogasi Didi setibanya di apartemen nanti. Ini tentu saja bukan prospek yang aku tunggu-tunggu.

Ketika makanan kami tiba, aku menyempatkan diri memperhatikan sekelilingku. Kulihat wajah semua anggota keluarga Reilley jauh di atas rata-rata, bahkan bisa dibilang wajah Reilley paling biasa saja dibandingkan mereka semua. Untungnya mereka sedang sibuk dengan percakapan atau makanan masing-masing sehingga memberikanku waktu beberapa menit untuk bernapas.

"Bagaimana kabarmu? Maksudku sejak terakhir kali aku bertemu kamu," tanya Reilley pelan.

"Saya baik-baik saja," jawabku pendek, sambil memasukkan sebagian california roll ke dalam mulutku.

"Apakah Brandon masih suka mengganggu kamu setelah malam itu?" lanjut Reilley, masih dengan suara pelan.

Mau tidak mau aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ternyata dia masih betul-betul ingat kepadaku.

"Nggak, dia sudah nggak pernah mengganggu saya lagi," jawabku.

"Baguslah. Aku agak khawatir soal itu," lanjutnya, kemudian kembali pada makan siangnya, meninggalkanku dengan mulut agak menganga dan hati berbunga-bunga. Dia mengkhawatirkanku? Aku ada di pikirannya?

"Any more flat tires?" tanya Reilley lagi, setelah beberapa detik.

"Nggak." Aku mencoba menyembunyikan ekspresi wajahku yang bisa memperlihatkan bahwa aku merasa ge-er dengan perhatiannya.

"Hidung kamu bagaimana?" lanjutku.

Reilley menyentuh hidungnya sedikit, dan berkata, "Baik-baik saja," sambil kemudian tersenyum lebar.

"Kamu kenal kakak saya di mana?" tanya Marcus tiba-tiba, yang diikuti dengan teriakan, "Oowww, that hurts dude!" Kulihat Reilley sedang menghujamkan tatapan tajam ke arah Marcus, yang sedang meringis kesakitan.

"Bagaimana kalau kita biarkan mereka makan dulu sebelum kamu interogasi." Ibu Reilley menolongku. Aku memandangnya dengan tatapan penuh terima kasih.

"Bagaimana pihak rumah sakit memperlakukan kamu?!" teriak Alex dari ujung meja kepada Marcus.

"Seperti sampah, that's all I could say," balas Marcus. "Saya kasih tahu saja, ya. Kalau kamu memutuskan untuk kuliah, jangan pernah mau masuk kedokteran," lanjutnya. Ia menatap Didi, yang mengerlingkan matanya kepadaku dengan bingung.

Aku harus menahan tawa. Didi memang berwajah dan bergaya masih seperti anak SMA. Dengan mukanya yang bulat dan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, aku tidak bisa menyalahkan orang yang menyangka dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-16.

Tahun keempat," balas Didi sopan. Kulihat ibu Reilley menggeleng-geleng melihat kelakuan anaknya, yang seakan-akan tidak menghiraukan kata-katanya untuk membiarkan kami makan dulu sebelum bertanya-tanya.

"A senior. Kamu sekolah di mana?" kata Marcus, semakin antusias.

"George Washington."

Kulihat Marcus mengerutkan keningnya. "Itu bukan di Winston, ya? Aku nggak pernah mendengar ada George Washington High School di sini."

"It's in Washington D.C." Aku bisa merasakan Didi mulai terhibur dengan main tebak-tebakan ini.

"D.C.?!" teriak Marcus terkejut.

"Dia sudah kuliah, blo'on. George Washington University, paham?" Kudengar Christine mengomentari dengan nada sarkasme. "Aku nggak tahu deh bagaimana kamu bisa diterima kuliah kedokteran kalau kamu se-blo'on ini," lanjutnya.

Marcus mengerlingkan matanya kepada Christine, yang membalas dengan kerlingan matanya juga.

"Jadi, kamu bakal lulus tahun depan dong?" Kudengar suara Mary.

"Mungkin belum. Saya masih mengerjakan disertasi saya. Mudah-mudahan saya akan lulus secepatnya." Didi menjawab pertanyaan itu dengan penuh senyum. Aku tahu, dia selalu menganggap kejadian di mana seseorang menyangka dia masih mengambil S1 dan bukannya S3 sebagai hiburan yang tidak akan pernah dia lewatkan.

Kulihat orang-orang yang ada di sekelilingku tampak bingung, kemudian ekspresi wajah mereka berganti dengan kekaguman setelah mereka betul-betul memahami maksud Didi.

"You're doing your PhD in what area, dear?" Ibu Reilley bertanya, sambil memandang Didi dengan tatapan keibuan.

Aku tersenyum bangga melihat Didi mencoba menjelaskan kepada Reilley dan keluarganya tentang bidang yang ditekuninya. Tidak lama kemudian, Didi sudah terlibat dalam pembahasan yang panjang lebar mengenai teori-teori psikologi dengan Christine, yang ternyata sedang mengambil S2 Jurusan Psikologi. Aku sama sekali tidak paham apa yang mereka bicarakan.

"Makanan kamu bagaimana?" tanya Reilley, dengan suara pelan sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Good," jawabku, sambil memasukkan unagi terakhir ke dalam mulutku. Setelah menelan dan meminum teh hijau seteguk, aku memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang sudah berputar-putar di kepalaku selama satu jam terakhir. "Berapa utang saya kepada kamu untuk biaya dry cleaning?"

Sebenarnya, yang ingin aku tanyakan adalah "Kenapa kamu belum telepon aku?"

Reilley menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatapku bingung.

"Untuk sweater kamu," lanjutku. Reilley masih menatapku bingung. Aku terpaksa menambahkan, "Sweater kamu yang supermahal, yang kena darah itu lho?"

"Oh... sweater itu. I told you not to worry about it. Kalau nggak salah, sweater itu sudah aku kirim ke Goodwill. Aku bahkan nggak ingat."

"Kamu kasih sweater Armani ke Goodwill?" Nadaku meninggi karena terkejut. Untung saja Marcus sedang ke toilet sehingga dia tidak mendengar ucapanku. Orang tolol mana yang akan menyumbangkan sweater Armani-nya ke organisasi yang menerima sumbangan pakaian. Walaupun sweater itu sudah terkena darah, tetap saja itu sweater Armani.

"Sweater itu sudah tua. Lagi pula, bahannya bikin aku gatal. Hari itu aku pakai karena aku kehabisan pakaian."

"Oh," ucapku ragu.

"Itu sweater cadangan yang aku simpan di mobil, buat jaga-jaga saja kalau aku perlu," jelas Reilley lagi.

Aku mengangguk menerima penjelasannya itu, meskipun aku tetap bingung bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki sweater Armani dan tidak mengenakannya sesering mungkin.

"Omong-omong, mau dengar nggak apa yang terjadi padaku waktu aku pergi kunjungan ke rumah sakit jiwa?" Kudengar suara Christine. Kualihkan perhatianku kepada adik perempuan Reilley itu.

"Were you about to commit yourself?" Alex bertanya dengan nada jenaka, yan gdiikuti suara tawa kami semua. Setahuku orang yang akan "commit", atau memasukkan dirinya ke rumah sakit jiwa, hanyalah orang-orang yang betul-betul merasa kesehatan mental mereka tidak stabil.

"Mau dengar atau nggak nih?" omel Christine.

"Mau... mau...," ucap Reilley. Aku menoleh dan menatap Reilley, yang sedang tersenyum kepadaku.

"Jadi kan dengar ceritaku? Oke, aku mulai, ya. Profesor Duncan adalah orang paling gila yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Dia mengajak kami bertemu salah satu pasiennya, namanya Jim. Ia agak kurang waras karena percaya dirinya sudah meninggal." Christine memulai ceritanya.

Kulihat Didi dan Mary saling tatap, kemudian tersenyum. Kelihatannya aku tidak perlu khawatir keluarga Reilley tidak akan cocok dengan keluargaku. Oke, Titania, stop. Aku mencoba mengontrol imajinasiku yang mengawang-awang dan kembali memfokuskan pikiranku pada suara Christine.

"Ada beberapa suster yang mencoba menjelaskan kepada Jim bahwa dia masih hidup. Kalau dia sudah meninggal maka mereka nggak akan bisa melihat atau menyentuhnya. Nah, Prof. Duncan berkata ke kami untuk mengobservasi selama dia menangani masalah ini. He went up to Jim, took one of Jim's arm, and then slash it with a scalpel. Gila nggak tuh?" Suara Christine semakin meninggi karena antusias. Aku pun melipat kedua tanganku di atas meja, tertarik dengan cerita itu dan menunggu Christine melanjutkan ceritanya.

Tiba-tiba kudengar suara Marcus, yang baru kembali dari toilet. "Sedang bicarakan apa sih?" Dia kemudian duduk kembali di kursinya.

"Aku sedang cerita tentang kunjunganku ke RSJ," jawab Christine, tidak sabaran.

"Oh... itu cerita gila. You guys would love it," ucap Marcus, sambil tertawa. "Marcus... you mind? Aku lagi cerita nih." Christine kelihatannya sudah siap ngambek.

Marcus mengangkat tangannya tanda menyerah. Kulihat semua orang di meja itu, kecuali aku dan Didi, saling pandang dengan senyuman yang tertahan dan tatapan penuh pengertian. Rupanya hal yang cukup biasa bagi Christine dan Marcus bertengkar, dan Marcus-lah yang biasanya akan mengalah.

Setelah yakin Marcus tidak akan mengeluarkan kata-kata yang akan mengganggunya, Christine melanjutkan ceritanya.

"Jim memperhatikan lengannya yang sudah berdarah. Nggak banyak memang. Perhatiannya kemudian beralih ke Prof. Duncan, lalu ke para suster sebelum akhirnya ke kami, para mahasiswa yan gsedang memandangi dia dengan mulut ternganga tentunya. Bukannya menyadari dia masih hidup, Jim malahan mulai berteriak-teriak 'Orang mati bisa berdarah, orang mati bisa berdarah' sambil lari-lari keliling ruangan." Christine mengakhiri ceritanya sambil tertawa keras, dan kami pun ikut tertawa bersamanya.

"Ada yang mau dessert nggak?" Kudengar suara Alex bertanya, setelah suara tawa reda.

Aku sudah terlalu kenyang sehingga menolak tawarannya, begitu juga semua orang yang duduk di meja itu. Alex kemudian berdiri dan menuju toilet.

"So where are you from, dear?" tanya ibu Reilley kepadaku. Kulihat ayahnya juga sedang menatapku ingin tahu.

"Saya dari Indonesia," jawabku sopan. Aku sedang menunggu mereka melanjutkan pertanyaannya dengan, "Itu di mana ya?" Aku sudah terbiasa dengan orang-orang Amerika yang tidak mengetahui letak Indonesia di peta dunia, suatu fakta yang sangat aku sayangkan. Kemudian aku cukup terkejut ketika ayah Reilley berkata, "Oh, apakah Aceh sudah pulih dari tsunami?"

Aku harus mengontrol ekspresi wajahku agar tidak terlihat terlalu terkejut sebelum menjawab, "Pemerintah Indonesia sedang berusaha sebaik mungkin melakukan pemulihan di sana-sini, tetapi masih ada banyak hal yang harus dikerjakan."

Kedua orangtua Reilley mengangguk penuh pengertian. "Kamu tinggal di mana di Indonesia, apakah dekat dengan Aceh?" tanya Reilley kepadaku. Kini Marcus pun terlihat tertarik dengan percakapan kami.

"Saya tinggal di Jakarta, dan untungnya itu cukup jauh dari Aceh," jelasku. Hingga hari ini aku sangat bersyukur bahwa aku tinggal di Jakarta, bukan di Aceh. Aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya hidupku kalau saja aku kehilangan orang-orang yang aku cintai hanya dalam sekejap mata seperti yang terjadi pada banyak orang di Aceh pada akhir tahun 2004.

"I'm glad to hear it. Apakah orangtua kamu ada di sini atau mereka masih di Jakarta?" tanya ibu Reilley lagi. Ini mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi aku merasa ia sedang menginterogasiku untuk melihat apakah aku calon istri yang sesuai untuk anaknya. Calon istri? Hah!!! Pacaran saja belum.

"Mereka masih di Jakarta," jawabku, sambil tersenyum. "Seberapa sering kamu pulang ke Jakarta?"

"Sekali setiap empat sampai lima tahun."

"Lima tahun sekali?" teriak ibu Reilley. "Orangtua kamu pasti kangen dan ingin sekali bertemu kamu, ya. I know I would."

"Not all parents are as whiny as you are, Mom," Marcus berkata, yang diikuti dengan bunyi "whack" dan kata, "Owww... Mooom," ketika tangan ibunya bersentuhan keras dengan belakang kepalanya.

"Honestly, I should have stopped with your brother if I‟ve known that you and your twin sister will be so out of control," omel ibu Reilley.

Pada saat itu barulah aku sadar bahwa Christine dan Marcus ternyata anak kembar. Aku seharusnya sudah bisa menebak sebelumnya karena mereka memang terlihat sangat mirip dan sepantar, dan cara mereka berinteraksi terlihat lebih dekat daripada kakak-beradik pada umumnya. Mereka kelihatan lebih bisa memahami satu sama lain tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Sekali lagi aku tersenyum melihat semua interaksi dalam keluarga Reilley, mereka terlihat seperti satu keluarga yang utuh dan bahagia, seperti keluargaku.

Dari sudut mataku kulihat Alex baru kembali dari toilet, kemudian aku melihat Mary berdiri sambil menggendong Joseph yang sudah tertidur. "We're heading out. Kami mau menghindari traffic ke Atlanta," ucap Mary.

"Mary nggak tinggal di Winston?" tanyaku kepada Reilley.

"Nggak ada dari kami yang tinggal di sini. Hanya orangtua saya saja," jawab Reilley.

Sebetulnya, aku ingin menanyakan di mana Reilley tinggal ketika Marcus menepuk bahu Reilley. "Nice seeing you again, Big Man, but we gotta split. Aku ada shift pagi besok."

Di sudut lain kulihat Christine sedang memeluk dan mencium kedua orangtuanya.

"Promise me you'll call more often, you don't see your family enough," ucap ibu Reilley, sambil memegang wajah Christine di antara kedua telapak tangannya.

"Aku bertemu Marcus setiap hari," balas Christine cuek.

"Dia saudara kembar kamu, itu nggak bisa dihitung." Kudengar ibu Reilley mengomentari.

Marcus dan Christine tertawa terkekeh-kekeh. Didi menarik tanganku dan menanyakan tentang tagihan makanan kami.

Aku mencoba menarik perhatian salah seorang pelayan untuk menanyakan bon makanan kami. Reilley, yang melihatku sedang melambaikan tangan, kemudian bertanya, "Kamu perlu sesuatu?"

"Saya ingin minta tagihan makanan saya," balasku, sambil tetap melambaikan tangan kepada pelayan.

Reilley menarik tanganku turun, dan tidak melepaskan genggamannya. "Kamu nggak usah khawatir soal itu. Alex sudah membayar semuanya," ucapnya.

"Alex?" tanyaku terkejut.

Reilley mengangguk. "Kalau begitu, sebaiknya aku tanya ke dia berapa utang saya," ucapku, dan siap beranjak menuju Alex, yang sedang mengangkat Joseph dari pelukan istrinya. Reilley menarik tanganku yang masih digenggamnya.

"Don't worry about it." Reilley menatapku tajam. "Kamu yakin?" tanyaku ragu.

Tiba-tiba Reilley mengalihkan perhatiannya kepada seseorang di belakangku. "Hei, Alex, Titania tanya ke aku apakah kamu keberatan membayari makan siangnya?"

Aku rasanya ingin mencekik Reilley pada saat itu juga. Mengapa dia harus menanyakan secara langsung begitu kepada Alex sehingga membuatku terkesan terlalu perhitungan dengan uang? Aku memang sangat berhati-hati dengan uangku, tetapi aku tidak mau orang lain tahu tentang itu. Untungnya Alex hanya tertawa, dan Mary menjawab, "Makan siang kami yang traktir."

Kemudian dia melangkah ke arahku dan memelukku sambil berkata, "Merry Christmas. It was very nice to meet you."

Aku tidak punya pilihan selain mengucapkan terima kasih, membalas pelukannya dan mengatakan hal yang sama. Mary kemudian berputar untuk memeluk dan mencium semua anggota keluarganya, termasuk Didi, kemudian melangkah ke luar restoran diikuti oleh Alex dan Joseph. Alex melambaikan tangannya sebelum menghilang dari pandanganku.

Sebelum aku bisa pulih dari reaksi Mary terhadapku, Christine sudah memelukku diikuti Marcus. Matt, pacar Christine, hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum tersipu-sipu. Aku baru ingat, sepanjang makan siang tadi aku tidak mendengarnya berbicara sama sekali. Mereka berlalu untuk menempuh jarak dua setengah jam dengan mobil ke Chapel Hill. Aku pun berpamitan dengan Reilley dan kedua orangtuanya. Meskipun ayah Reilley hanya menyalami tanganku, ibu Reilley memelukku dengan hangat dan antusias. Kami berjalan ke luar restoran bersama-sama dan berpisah di depan pintu.

Didi berjalan tanpa suara di sampingku, tetapi aku tahu dia tidak sabar menunggu sampai kami ada di dalam mobil dan membahas semua kejadian siang ini. Aku dan Didi masuk ke dalam mobil sebelum kuhidupkan mesin dan menyalakan pemanas. Dari kaca spion kulihat Reilley berjalan menuju Mercedes berwarna hitam, diikuti oleh ayahnya yang sedang menggandeng ibunya. Melihat pasangan tua yang masih mesra itu aku teringat ibu dan bapakku, yang juga selalu bergandengan tangan ke mana pun mereka pergi. Akhirnya, mereka masuk ke dalam mobil. Aku masih tetap menunggu karena mesin mobilku masih terlalu dingin. Didi menekan tombol radio mobil untuk mencari siaran yang melantunkan lagu selain lagu-lagu Natal.

Tiba-tiba telepon selularku berbunyi, Kulirik layar untuk mengetahui siapa yang meneleponku, tetapi di layar hanya tampil tulisan "private". Sambil mengerutkan kening kujawab telepon itu. Kulihat Didi buru-buru mengecilkan volume radio, dan menatapku penuh tanda tanya karena melihat wajahku yang bingung.

"Hello," ucapku ragu.

"Hei, apakah kamu berencana tidak segera meninggalkan tempat parkir itu?" Kudengar suara Reilley dari ujung telepon.

Aku sempat tersedak sebelum berkata, "Reilley?" Kini Didi menatapku dengan mata terbelalak.

"Yes," jawab Reilley, kemudian ia tertawa. "So are you planning to move soon?" lanjutnya.

"Memang ada apa?" Aku masih tidak bisa menebak alasan mengapa dia meneleponku dan menanyakan hal itu.

"My mom nggak membolehkan saya pergi sampai dia lihat kamu dan adik kamu sudah dalam perjalanan pulang dengan aman." Suara Reilley terdengar sedang mencoba menahan tawa. Kemudian kudengar bunyi sesuatu dan suara perempuan yang agak teredam, seperti ada tangan yang menutupi speaker telepon Reilley. Kudengar suara Reilley lagi, "My Mom said to tell you that it was very nice meeting you and your sister and that she hopes to see you again." Kini nada Reilley terdengar sedikit terpaksa.

Aku berusaha tidak menelaah setiap perkataan yang diucapkan Reilley kepadaku, dan berkata, "Please tell your Mom that we said thank you. It was nice meeting her and your dad as well."

"Mereka bisa dengar, teleponnya on speaker. Kamu lebih baik bergerak sekarang, soalnya ada mobil yang menunggu tempat parkir kamu," lanjut Reilley.

Aku melirik ke kaca spion untuk mengkonfirmasi apa yang Reilley baru katakan. Kulihat ada sebuah Mustang warna hitam sedang menunggu. "Oke, bye," ucapku. Aku buru-buru menutup telepon selularku, kemudian memberikannya kepada Didi. Ia memasukkan telepon itu ke dalam tasku.

Buru-buru kualihkan persneling mobil dari "P" ke "R", dan mundur dari tempat parkir. Kubunyikan klakson satu kali sebelum meluncur ke Jalan Bethesda menuju arah Country Club, jalan di mana apartemenku berada.