Chereads / Blind Date by Jessie J / Chapter 5 - Zorro From Hell

Chapter 5 - Zorro From Hell

TANGGAL 31 Oktober pun tiba, dan untuk pertama kalinya selama tiga tahun terakhir ini aku akan menghadiri pesta Halloween yang diadakan kantorku tanpa ditemani Brandon. Aku merasa agak sedikit canggung datang sendiri karena biasanya aku dan Brandon selalu mengenakan kostum yang akan melengkapi satu sama lain. Dua tahun yang lalu kami memakai kostum sebagai Bonnie dan Clyde, pasangan bandit yang terkenal pada era tahun 30-an. Tahun lalu Brandon mengenakan kostum Popeye dan aku sebagai Olive.

Tahun ini aku terpaksa mengenakan kostum biarawati. Sejujurnya, kostum ini bukan pilihanku. Aku terpaksa mengambilnya karena pilihan lain yang tersisa adalah menjadi seekor kelinci paskah berwarna pink dengan ukuran bokong yang superbesar atau menjadi putri duyung. Aku langsung menolak kostum putri duyung karena udara sudah terlalu dingin bila harus mengenakan BH saja. Selain itu, akut idak berani memamerkan perutku yang agak buncit kepada teman-teman kantor. Mereka bisa langsung pingsan melihatku. Titania Larasati, satu-satunya pegawai yang orang Asia dan sangat konservatif, tiba-tiba muncul dengan hanya mengenakan BH dan selembar kain tipis berwarna hijau yang menutupi pinggul hingga ke mata kaki dengan potongan yang sangat ketat.

Inilah konsekuensi yang harus aku terima jika baru pergi ke toko yang menyewakan kostum pada detik-detik terakhir. Mungkin kalau aku tinggal di New York hal ini tidak akan menimbulkan masalah karena di kota-kota besar biasanya terdapat beberapa toko yang menyewakan kostum untuk Halloween. Aku kan tinggal di salah satu kota terkecil di Amerika Serikat, dan di Winston hanya ada dua toko yang menyewakan kostum untuk Halloween. Satu toko dikhususkan untuk anak-anak berumur dua belas tahun ke bawah, sedangkan satu toko lagi untuk remaja dan orang dewasa. Sejujurnya, aku sudah berniat tidak datang ke pesta Halloween tahun ini, tetapi Halloween adalah salah satu liburan yang aku paling sukai. Sejak aku SMA dan pindah ke Amerika, aku tidak pernah melewatkan kesempatan menanggalkan identitasku dan berpura-pura menjadi orang lain, walaupun hanya untuk beberapa jam.

Bukannya aku ada masalah dengan „diri‟ku. Aku sangat menyukai siapa aku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya saja terkadang aku ingin melarikan diridari segala tekanan yang ada di sekitarku. Sebagai anak paling besar, aku sudah terbiasa mandiri sejak SD. Meskipun aku tahu adikku bisa menjaga dirinya sendiri, aku selalu merasa bertanggung jawab menjaganya. Aku selalu berusaha mendahulukan kepentingannya daripada kepentinganku. Didi terlahir menjadi seorang pemikir. Oleh sebab itu, aku sangat mendukungnya ketika dia berniat mengambil S3, meskipun itu berarti dia tidak akan memiliki penghasilan sendiri selama lima tahun ke depan. Dengan diterimanya Didi di Program S3 Psikologi pada salah satu universitas terbaik di Amerika, maka kecil kemungkinan baginya memiliki waktu untuk mencari suami dan memberikan cucu bagi ibu dan bapakku. Akhirnya, semua tanggung jawab itu jatuh ke aku.

* * *

Didi dan orangtuaku tentunya tidak pernah memintaku memikul semua tanggung jawab itu, tetapi aku tetap merasa itulah tugas seorang kakak. Sepanjang hidupku, aku sudah menata semua rencana hidupku dengan rapi dan penuh perhitungan. Aku bahkan memiliki rencana cadangan jika rencana utama tidak berjalan sesuai yang kuinginkan. Tentu saja semua rencana itu tidak mempersiapkanku untuk menghadapi perselingkuhan orang yang menjadi pusat semua rencana yang menyangkut masa depanku. Setelah aku pikirkan semuanya kembali, aku tidak tahu mengapa aku bisa bertahan hidup dengan Brandon selama hampir tiga tahun. Brandon bahkan tidak pernah mengutarakan keinginannya menikahiku. Memang kata cinta sering diucapkannya, terutama jika dia sedang memohon kepadaku agar mau melepaskan keperawananku untuknya. Namun demikian, tidak sekali pun dia menyinggung tentang pernikahan.

Selama ini aku telah membohongi diriku sendiri dengan mencoba meyakinkan diriku bahwa kata cinta dari Brandon berarti pernikahan dengannya suatu hari nanti. Aku telah menginvestasikan tiga tahun hidupku bersama Brandon. Kalau saja investasi itu bisa diuangkan, mungkin aku sudah menjadi kaya. Aku mematut diriku sekali lagi di depan cermin panjang di kamarku. Ternyata memang ada untungnya berkostum sebagai biarawati karena bentuk tubuhku betul-betul tidak kelihatan sama sekali. Hal itu berarti aku bisa makan sebanyak-banyaknya tanpa harus khawatir perutku akan bertambah buncit. Sambil tersenyum aku pun mematikan lampu kamar dan beranjak menuju mobil.

* * *

Pesta Halloween tahun ini seperti biasa diadakan di Embassy Suites, sebuah hotel yang cukup jauh dari rumahku. Ketika aku memasuki lobi hotel, aku langsung merasakan beberapa pasang mata menatapku penasaran. Aku melihat Kathy, rekan kerjaku, memakai kostum Wilma Flinstone. Aku melambaikan tangan dengan semangat sambil berjalan ke arahnya. Kulihat Kathy memicingkan matanya, dia terlihat ragu. Kulihat Kathy memicingkan matanya, dia terlihat ragu. Setelah aku hanya tinggal satu meter darinya, Kathy berteriak, "Titania, is that you? Aww... Lorrd, I almost didn't rrecognize yah!" Dengan logat yang sangat North Carolina, dia memanjangkan pengucapan huruf 'r' dan mengubah 'ou' menjadi 'ah'.

Aku tertawa melihat reaksinya. "Bagaimana penampilanku?" tanyaku.

Kathy menatap wajahku yang tanpa makeup, seluruh tubuhku yang dilapisi jubah hitam, dan kakiku yang ditutupi sepatu bot berwarna hitam.

"Well, yah definitely look different and I‟m suh that people won't know it's yah 'til you tol 'em."

Untungnya Kathy tidak menyinggung soal Brandon. Semua orang di departemenku sudah tahu mengenai berakhirnya hubunganku dengan laki-laki bajingan itu. Mereka sempat terkejut ketika aku memberitahu bahwa aku dan Brandon sudah tidak sama-sama lagi, tetpai aku tidak mengatakan alasannya. Mereka hanya tahu sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami berdua.

"Apakah semua orang sudah sampai?" tanyaku. Tiba-tiba aku mendengar bunyi musik yang cukup keras dari ballroom, yang pintunya terbuka.

"Most of 'em are. There are some that I dont recognize and we're not s'posed to ask until midnight when the party is over and everyone can take off their masks."

Aku hampir lupa dengan peraturan itu. Tentunya selama ini aku tidak pernah ada masalah mengenali siapa pun juga karena kebanyakan mereka mengenakan kostum tanpa menutupi wajah. Tahun ini tampaknya ada trend kostum baru. Banyak wanita dan laki-laki yang seliweran mengenakan topeng. Beberapa dari mereka mengenakan topeng bulu-bulu yang hanya menutupi bagian kening hingga hidung. Beberapa lainnya mengenakan topeng yang menutupi separo wajah ala Phantom of the Opera. Banyak juga yang menutupi seluruh wajah dengan tiruan topeng Hannibal Lecter. Aku hampir bergidik ketika melihat seseorang melewati kami dengan mengenakan topeng karakter antagonis di film Saw.

"Mengapa sih mereka pakai topeng?" tanyaku pada Kathy, yang menggandengku menuju ballroom.

"I ain't got a clue, honey. Jujur saja, mereka bikin aku agak waswas. You better be real careful coz people will act cra-ha-zy if they think that nobody can know who they are when they're doing it."

Aku mengangguk mendengar nasihatnya. Kathy lalu membuka pintu ballroom, dan aku langsung terkesima. Ruangan itu telah disulap menjadi klub malam ala tahun 70-an. Semuanya terlihat retro abis, mulai dari lampu kristal yang memantulkan cahaya ke lantai dansa di tengah ruangan hingga kursi-kursi yang bertebaran mengelilingi ruangan itu. Satu-satunya yang menandakan kita sedang berada pada abad ke-21 adalah musik yang terlantun dengan keras dari beberapa speaker yang tergantung rendah di langit-langit ballroom.

"Aku mau ambil minum, kau mau?" teriak Kathy, meningkahi suara Justin Timberlake.

Aku menggeleng. Kathy lalu menghilang di antara kerumunan orang-orang. Di bawah lampu yang remang-remang pelan-pelan aku berjalan mengelilingi lantai dansa yang sudah cukup penuh. Ada Hillary Clinton yang sedang berdansa dengan P.Diddy, Shakira dengan Harry Potter, laki-laki ubanan dengan kimono tidur berwarna merah sedang berdansa dengan dua orang wanita yang bergaya seperti Playboy Bunnies. Aku kemudian sadar bahwa laki-laki ubanan yang berdansa dengan mereka adalah Hugh Hefner. Bukan raja majalah khusus untuk laki-laki yang asli tentunya, tapi cukup mirip untuk jadi kembarannya. Kemudian kulihat ada yang mengenakan kostum Batman. Aku harus menahan tawaku ketika sadar bahwa orang itu adalah Linnell, bosku. Kostum yang ketat itu tidak bisa menutupi perutnya yang buncit. Dia kelihatan mengalami masalah untuk bernapas dalam kostum itu. Aku merasa kasihan kepadanya. Kuputuskan menghampirinya, tetapi tiba-tiba ada yang menarik lenganku.

"Can I have this dance?" tanya suara itu, yang terdengar berat dan dalam.

Ketika aku berpaling, aku berhadapan dengan Zorro. Aku betul-betul sedang tidak mood berdansa. Kuperhatikan sekelilingku, mencoba mencari Kathy yang bisa menyelamatkanku, tetapi aku tidak melihat Wilma Flinstone di mana pun juga. Aku kembali menghadapi Zorro sambil mempertimbangkan pilihanku.

"Hanya satu dance saja kok. Anggap saja sebagai sumbangan, sister?" Sepasang mata cokelat di balik topeng Zorro itu terlihat sedang menari-nari. Dia memanggilku dengan kata "sister", kata yang digunakan di Amerika untuk para biarawati.

Mau tidak mau aku jadi tersenyum. Ada sesuatu yang terlihat familiar pada dirinya, tetapi aku tidak merasa pasti. Aku lalu membiarkan diriku dituntunnya ke lantai dansa. Sebuah lagu rap melantun dengan keras. Aku mencoba mengikuti ketukan lagu itu. Aku merasa agak risi dengan kostum panjangku yang tidak memberikanku keleluasaan bergerak. Berbeda denganku, Zorro seakan-akan tidak memiliki masalah sama sekali untuk bergerak mengikuti tempo lagu. Dia bahkan menggunakan pedangnya ketika sedang menari. Beberapa orang yang sedang berdansa di sekeliling kami sampai tersenyum melihat tingkah lakunya.

Mula-mula aku masih mengkhawatirkan reputasiku di depan orang-orang kantorku bila nge-dance dengan gaya yang terlalu heboh. Setelah sadar bahwa tidak akan ada yang bisa mengenaliku maka aku mulai menanggalkan "Titania Larasati yang penuh dengan rencana masa depan" menjadi "Titania Larasati yang tidak peduli apa yang akan terjadi besok". Kulenggokkan pinggulku dengan lebih percaya diri, kumainkan mataku untuk menggoda Zorro, bahkan membasahi bibirku agak terlihat lebih seksi. Zorro melahap semuanya dengan tatapannya, dan mendekatkan dirinya kepadaku. Setelah beberapa lagu bertempo cepat, musik mulai berganti dengan lagu-lagu bertempo lambat. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdansa dengan Zorro, tetpai tiba-tiba aku merasa haus.

Aku lalu memberi isyarat kepada Zorro bahwa aku akan pergi mengambil minum. Seperti yang sudah kusangka, dia mengikutiku ke bar yang terlihat agak sepi. Penerangan di situ bahkan lebih minim dibandingkan di lantai dansa. Aku melirik jam tanganku, yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Gila!!! Aku sudah berdansa dengan laki-laki tidak dikenal ini selama satu jam lebih. Aku hanya memesan sebotol corona kepada bartender, dan duduk di salah satu kursi bar yang tinggi. Zorro kemudian duduk di sebelahku sambil menggenggam botol budweiser. Suara musik di bar ternyata tidak sekeras di lantai dansa.

"Kamu datang sendiri?" tanya Zorro.

Aku memikirkan pertanyaan itu sejenak. Aku tidak mengenal laki-laki ini. Jangan-jangan dia seorang pembunuh berantai. Aku memilih jalan aman, dan menjawab, "Nggak, saya datang bersama teman."

"Pacar?"

Aku menggeleng. "Kamu sendiri?" tanyaku.

"Sendiri saja," jawabnya.

Kami lalu terdiam sesaat sambil menikmati minuman masing-masing. "Kostum kamu seru juga," ucap Zorro lagi, sambil menunjuk kostumku.

"Kamu juga," balasku, sambil menunjuk pedangnya yang terbuat dari besi.

"Mengapa jadi biarawati?" tanya Zorro, sambil menatapku dalam.

Aku mengangkat bahu. "Hanya ini yang tersisa."

Zorro lalu menghadapku, kemudian mendekatkan kepalanya dan membisikkan sesuatu kepadaku. Otomatis aku pasti mendekatinya. "Untung saja kamu bukan biarawati betulan, soalnya saya memikirkan hal-hal yang saya ingin lakukan ke kamu yang nggak seharusnya saya pikirkan," bisiknya. Ia menarik kepalanya sambil tersenyum. Sekali lagi suara hatiku berkata ada sesuatu yang familiar tentang dirinya, tetapi aku menepiskan kata hatiku itu.

Aku tahu, seharusnya aku berdiri pada saat itu juga dan meninggalkan laki-laki tidak tahu tata krama itu. "Hal-hal seperti apa?" Sebelum aku bisa mengontrol lidahku, kata-kata itu sudah keluar dari mulutku. Setelah beberapa bulan ini dating dengan beberapa laki-laki, aku mulai mendapatkan kembali keahlianku flirting dengan mereka yang sempat hilang.

Kulihat mata Zorro melebar di balik topengnya. "Come with me and I‟ll show you," ucapnya, dengan suara serak.

Aku memutar kursiku dan menghadapnya sambil tertawa cemas. "I'm not gonna come with you sampai saya tahu kamu siapa," balasku.

"Oh, kamu tahu siapa saya." Zorro terlihat menikmati permainan ini.

"Oh, ya?" Hal ini menjelaskan mengapa beberapa hal mengenainya sangat familiar bagiku. Kupicingkan mataku curiga. "Look. Saya nggak mau play games malam ini. Jadi, bagaimana kalau kamu lepas topengmu supaya saya bisa melihat wajah kamu," ucapku cepat.

Bartender yang terlihat sedang mencuci gelas menatapku. Dari matanya dia seperti menanyakan, apakah aku memerlukan pertolongannya. Aku menggeleng sedikit, menandakan aku masih bisa mengatasi keadaan. Bartender itu lalu kembali mencuci gelas-gelas, tetapi dia terlihat mendengarkan percakapanku dengan Zorro lebih saksama.

"Selalu perlu mengontrol semuanya." Suara Zorro seperti membelai wajahku. Kemudian Zorro turun dari kursinya dan berdiri di hadapanku. Lututku bersentuhan dengan pinggulnya. Tanpa kusangka-sangka kemudian dia menyentuh kedua pahaku. Ia memaksaku membuka kedua kaki, kemudian memposisikan dirinya di antaranya. Dia lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Coba kamu ingat- ingat lagi," ucapnya, kemudian sebelum aku bisa melakukan apa-apa dia sudah mencium bibirku.

Ciuman itu terasa panas dan mendesak hingga aku tidak bisa bernapas. Otakku tidak bisa bekerja, yang bisa kulakukan hanya berpegang erat ke dirinya dan menikmati saat-saat ini. Sudah hampir enam bulan berlalu, dan hal ini membuatku sedikit haus akan sentuhan laki-laki pada bibir, mulut, dan lidahku. Tiba-tiba bibirnya meninggalkan mulutku dan beralih menyusuri dagu hingga telingaku. Aku hanya bisa mendesah dan mengizinkannya melakukan itu.

"I like the way you kiss," bisiknya. Aku hanya bisa menarik napas karena embusan napasnya tengah menggelitik wajahku. "Kayaknya saya satu-satunya laki-laki untuk kamu," lanjutnya, dengan bisikan yang semakin menggoda. Samar-samar kudengar suara Mariah Carey menyanyikan lirik lagu "We Belong Together". Pada saat itu juga aku tersadar oleh bunyi "KLIK" yang sangat keras. Buru-buru kuletakkan kedua telapak tanganku di dadanya dan mendorongnya dengan sekuat tenaga. Zorro harus mundur beberapa langkah untuk menjaga keseimbangannya dan menabrak meja bar.

Tanpa memedulikan bartender yang sedang berjalan ke arahku, aku beranjak turun dari kursi. Kutatap mata Zorro dalam-dalam, kemudian menarik topeng hitam yang menutupi wajahnya dengan tangan kananku. Ketika aku bisa melihat seluruh wajahnya, yang aku bisa lakukan hanya berdiri diam menatap wajah itu. Wajah Brandon yang sedang menatapku dengan penuh kemenangan.

"Hey, babe," ucapnya, seperti orang tidak bersalah.

Aku langsung merasa mual. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung berbalik badan menuju pintu keluar ballroom. Aku bahkan tidak menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Brandon mengikutiku atau tidak. Aku mencoba menyeka bibirku dengan tangan. Sebetulnya, aku ingin pergi ke kamar mandi dan mencuci mulutku dengan Listerine sebanyak sepuluh kali, kemudian mnyikat gigiku sepuluh kali juga.

Bagaimana mungkin aku tidak mengenalinya? Aku pacaran dengannya selama tiga tahun. Aku seharusnya tahu bentuk wajahnya, badannya, suaranya, dan cara dia menciumku. Pokoknya, aku seharusnya mengenali dia. Aku bahkan seharusnya mengenali keahliannya menarik perhatian wanita mana pun hanya dengan kedipan matanya. Aku pun pernah jatuh cinta kepadanya karena itu. Bagaimana mungkin aku jatuh pada perangkap yang sama untuk yang kedua kalinya? Ternyata usahaku menghapuskan Brandon dari pikiranku cukup sukses karena aku betul-betul tidak bisa mengenalinya lagi. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan kata-kata itu maka mungkin aku tidak akan pernah tahu hingga waktunya membuka topeng sekitar... aku melirik jam... setengah jam lagi. Sialan... sialan... sialan, geramku dalam hati.

Aku meninggalkan bunyi musik, yang kini membuatku pusing, di belakangku dan menuju pelataran parkir. Kukeluarkan kunci mobil dari saku kostum biarawatiku. Baru pada saat itu aku mendengar bunyi langkah di belakangku. Aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa itu adalah Brandon. Aku tahu cara dia berjalan, yang selalu terkesan seperti sedang berbaris dengan menghantamkan kakinya kuat-kuat pada lantai.

"Go away, Brandon!" teriakku, tanpa menoleh dan mempercepat langkahku.

"Hey, tunggu! Aku perlu bicara dengan kamu." Kudengar langkah Brandon juga semakin cepat.

Mendengar kata-kata itu aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadapnya. "Aku nggak mau bicara dengan kamu, oke. Aku bahkan nggak mau lihat muka kamu lagi. Bukankah aku sudah jelaskan semua terakhir kali aku bicara dengan kamu?" Aku mengatakan semua itu sambil bertolak pinggang.

"Kamu nggak kelihatan keberatan melihat mukaku ketika kamu mencium aku beberapa menit yang lalu."

"Itu karena aku nggak tahu kalau itu kamu," geramku. "Bagaimana kamu bisa masuk ke party ini sih? Ini kan private party."

"Aku hanya bilang ke orang-orang yang menjaga pintu bahwa aku date kamu malam ini, dan mereka izinkan aku masuk."

Aku menarik napas dalam-dalam. Brandon mungkin seorang buaya darat, tapi dia buaya darat yang cerdas. Dulu aku sangat menghargai betapa pintar dan kreatifnya Brandon, tetapi tidak sekarang.

"Bagaimana kamu... Ah, masa bodoh deh," ucapku, lalu kembali berjalan ke mobil. Aku sebenarnya ingin menanyakan, dari mana dia tahu aku ada di pesta ini? Rasanya aku tahu jawabannya. Perusahaanku selalu menyewa ballroom di hotel ini setiap tahunnya untuk mengadakan pesta Halloween atau pesta apa pun juga. Brandon cukup mengenalku dan tahu aku tidak akan mungkin melewatkan perayaan Halloween.

"Titania, tunggu! Aku betul-betul perlu bicara dengan kamu!" teriak Brandon.

"Bukannya kamu seharusnya ada di Tennessee?" tanyaku, sambil terus berjalan menuju mobil.

"Aku kembali untuk berkunjung," jawabnya. Kemudian dia melanjutkan, "Tunggu sebentar... bagaimana kamu bisa tahu kalau aku seharsunya ada di Tennessee?" tanyanya, dengan nada sedikit bingung.

"Steve yang memberitahu aku," balasku. Di antara beberapa hal lainnya, ucapku dalam hati.

"Have you been checking up on me?"

Kata-kata itu membuatku sekali lagi berhenti melangkah dan menatapnya. "Brandon, di planet mana sih kamu hidup selama beberapa bulan ini? Mengapa juga aku harus checking up on you?"

"Karena kamu masih cinta kepadaku, tetapi kamu nggak mau mengakui," jawab Brandon, penuh kepastian.

Saat itu juga emosiku bergejolak. Kutatap Brandon sedalam-dalamnya, tidak percaya bahwa dia baru saja mengatakan kalimat itu.

"Apakah kamu lupa minum obat hari ini?" tanyaku akhirnya.

"Obat? Untuk apa?"

"Untuk gejala delusional kamu."

Brandon mengerutkan dahinya sebelum membalasku, "Aku nggak delusional. Aku tahu kamu masih cinta kepadaku, seperti aku cinta kepada kamu. Jadi, bagaimana kalau kita lupakan saja yang sudah terjadi dan mulai lagi dari awal?"

"Hah... apa kamu pikir aku bisa lupa begitu saja setelah melihat kamu ML dengan asisten kamu di kantor?"

"I‟m happy to let you know that she is out of my life. Dia nggak berarti apa-apa untuk aku, begitu juga yang lainnya. Aku cintanya hanya kepada kamu," jawab Brandon.

"Itu nggak membuat semuanya baik-baik saja, oke? Aku nggak mau lagi mendengarkan semua kebohongan yang keluar dari mulut kamu. Ever. I‟m done with you."

Aku lalu berjalan menuju mobil dengan langkah lebih cepat. Kudengar Brandon memanggil-manggil namaku, tetapi aku tidak menghiraukannya. Tiba-tiba kurasakan pergelangan tanganku ditarik dengan kasar dan tubuhku diputar menghadap Brandon.

"Kamu bisa nggak sih stop sebentar dan dengarkan aku?" geramnya, sambil mencengkeram kedua lengan atasku.

"Aku nggak mau stop atau dengarkan atau melakukan apa pun untuk kamu, Brandon. Sekarang lepaskan!" Kucoba melepaskan diri dari cengkeramannya, tetapi Brandon tetap tidak melepaskanku.

"Lepaskan... Brandon... lepas... atau sumpah aku akan..."

"Hey... let her go." Tiba-tiba kudengar suara laki-laki berteriak dari belakangku.

Terkejut oleh teriakan itu, Brandon melepaskan cengkeraman tangan kirinya, tetapi tangan kanannya masih mencengkeram lenganku. Aku pun menoleh dan langsung mengenali laki-laki berbadan besar yang sedang berjalan ke arahku. Seperti terakhir kali aku melihatnya, dia hanya mengenakan sweater turtleneck di atas celana jeans dan tanpa jaket.

"Reilley!" teriakku.

Reilley memicingkan matanya sesaat untuk mengenali wajahku sebelum berkata, "Titania?" dengan nada terkejut. Tatapannya kemudian tertuju pada kostum biarawati yang kukenakan, dan aku bersumpah... aku melihatnya tersenyum.

"And I'm Brandon, now run along, pretty boy." Cara Brandon mengatakan kata "pretty boy" dengan penuh kebencian membuat tubuhku menjadi dingin. Tidak ada laki-laki mana pun di atas usia tiga puluh tahun, yang akan tinggal diam bila dipanggil "pretty boy". Aku yakin sebentar lagi kepalan tinju akan mulai melayang. Aku akan berada di antara laki-laki yang melayangkan kepalan tinju dengan targetnya.

Kualihkan perhatianku dari wajah Brandon ke Reilley dengan perasaan waswas. Akan tetapi, yang kulihat justru membuatku bingung. Bukannya terlihat marah, Reilley justru terlihat terhibur dengan kata-kata Brandon.

"Now that‟s a thought. I never think of myself as being pretty. Attractive, maybe, but definitely not pretty," ucap Reilley santai.

Meskipun hatiku sedang galau, aku harus mengakui bahwa kata "pretty" sama sekali tidak bisa menggambarkan dirinya. Dia lebih terlihat seperti patung Adonis Yunani. Seksi dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Ini bukan urusan kamu. Ini antara saya dengan pacar saya. Jadi, kalau kamu nggak keberatan..."

"Mantan pacar!" teriakku ganas. Mau tidak mau aku harus meluruskan khayalan Brandon, yang seolah-olah mengelabui pikirannya. "Nggak ada apa-apa di antara kita, Brandon, sudah tidak lagi." Kutarik lenganku dari cengkeram Brandon, dan dia melepaskanku.

Reilley terlihat melipat kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. "Well, kelihatannya kamu yang harus pergi, pretty boy."

Mau tidak mau aku jadi tersenyum mendengar Reilley melempar balik kata-kata Brandon, dan dia terlihat terkejut. Beberapa detik berlalu, dan aku berpikir Brandon akan melangkah pergi dan meninggalkanku seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu ketika dia berhadapan dengan dua laki-laki yang rela membelaku. Tiba-tiba, bagaikan seekor banteng yang melihat kain merah, Brandon menyerang Reilley. Gayanya pun sudah seperti banteng, ia sedikit membungkuk untuk menyerang bagian tengah tubuh Reilley. Selanjutnya, mereka bergumul di aspal pelataran parkir. Aku mendengar bunyi kepalan tinju mengenai sesuatu yang keras, yang diikuti dengan teriakan, "Shit, my eye... my eye!"

Aku tidak tahu siapa yang berteriak, tetapi melihat posisi Reilley yang berada di atas Brandon, aku menduga yang berteriak Brandon.

"Guys... guys... stop it!" teriakku panik. "Bisa nggak sih kita omong ini semua layaknya orang dewasa?" Mereka seakan-akan tidak mendengarku, bahkan kedua laki-laki itu terus terlibat perkelahian. Andai saja aku punya peluit, yang bisa aku gunakan untuk menarik perhatian mereka? Tampaknya meskipun aku meniup benda itu sampai mukaku biru, mereka tetap tidak akan berhenti berkelahi hingga salah satu dari mereka terkapar dan babak belur. Aku mendengar bunyi cling... cling... cling... yang kemudian aku sadari berasal dari pedang Zorro Brandon. Mau tidak mau aku jadi tersenyum. Seingatku dari semua film Zorro yang pernah aku tonton, aku tidak pernah melihat jagoan berjubah hitam dengan gaya misterius itu berhadapan dengan musuhnya tanpa menggunakan pedangnya.

"Let me blacken that other eye for you." Kudengar Reilley berkata sebelum dia melayangkan kepalan tinjunya ke arah Brandon, diikuti dengan bunyi "crack" yang cukup keras. Kemudian kudengar Brandon berteriak, "Oowww... that hurts you asshole."

Kulihat Reilley menarik tali yang mengikat jubah Zorro Brandon ke arahnya, dan dia menatap Brandon dengan tajam sebelum menggeram, "Who are you calling an asshole?"

"You. You senseless son of a bitch."

"Apa ibu kamu nggak pernah mengajarkan agar tidak mengucapkan kata sumpah serapah?"

Kudengar suara geraman, tiba-tiba Brandon sudah mendorong tubuh Reilley dan posisi mereka pun berbalik. Kini Brandon berada di atas Reilley.

"Get off me you sissy." Suara Reilley terdengar seperti guntur yang pecah di langit menjelang hujan.

"Jangan pernah menghina ibu saya," teriak Brandon ganas, sambil menggenggam kepala Reilley di antara kedua telapak tangannya.

Aku melihat ke sekelilingku, mencari seseorang yang mungkin bisa membantuku menghentikan perkelahian ini, tetapi aku tidak melihat siapa-siapa. Pelataran parkir itu kosong melompong, tampaknya semua orang masih ada di dalam ballroom dan menikmati pesta Halloween tanpa menyadari apa yang sedang terjadi di luar. Menyadari bahwa aku tidak akan bisa menghentikan pergumulan itu sendirian, aku memutuskan mundur beberapa langkah dan menyandarkan bahu pada satu sisi Ford Explorer yang diparkir tidak jauh dari tempat Brandon dan Reilley sedang membuktikan kelaki-lakian mereka, dan menunggu. Aku bukan orang yang menyenangi kekerasan sehingga aku harus menutup mataku ketika kulihat kepala Reilley bersentuhan dengan aspal dengan bunyi yang cukup keras, tetapi kelihatannya kepala Reilley cukup kuat karena entakan itu tidak memengaruhinya.

Kudengar dia berteriak, "Damn... you fight like a girl!"

"No I don't," balas Brandon tersinggung, ia menghantam wajah Reilley dengan kepalan tinjunya, kemudian berusaha berdiri. Aku ragu, tetapi kelihatannya kepalan tinju itu mengenai Reilley tepat di hidungnya.

Kudengar Reilley terbatuk-batuk dan mencoba berdiri juga. Melihat darah segar menetes keluar dari hidungnya membuatku panik.

"Reilley, kamu berdarah!" teriakku, dan berjalan mendekatinya.

"Jangan dekat-dekat, Titania. Kami belum selesai." Seolah-olah tidak mendengarku, Reilley membalas pukulan Brandon sambil mengangkat tangannya untuk mengingatkanku agar tidak mendekat. Dia tidak memandangku ketika melakukannya. Tatapannya tetap kepada Brandon.

Kemudian Brandon berbalik badan dan menatapku. Aku bisa melihat wajahnya lebih parah daripada Reilley. Mata kanannya sudah mulai tertutup karena bengkak. Bibir bawahnya pecah dan darah kering menempel di situ.

"Brandon." Suaraku terdengar tercekik.

"Aku nggak apa-apa," geramnya kepadaku. Ia kemudian memutar tubuhnya menghadap Reilley, dan berkata, "Ayo! Pukul aku sekali lagi, dan aku akan membuat kamu lebih babak belur!"

"Oke, stop ini semua sekarang! Both of you!" teriakku. "Brandon, berdiri saja kamu sudah nggak bisa, bagaimana kamu akan memukul Reilley?"

"Just shut up, woman!" balas Brandon, tanpa menatapku.

Aku terdiam sesaat sebelum kata-kata Brandon betul-betul bisa aku cerna. "Apa kamu bilang?" Aku masih tidak percaya dengan pendengaranku. Dia baru saja melontarkan kata "shut up" kepadaku.

"Aku bilang diam!" Seperti tidak memahami kesalahannya, Brandon mengulangi kata-kata itu sambil menatapku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku tiba-tiba jadi kalap dan langsung berjalan bergegas mendekatinya dengan mengepalkan kedua telapak tanganku dan berteriak, "You worthless son of a bitch, how dare you to tell me to shut up!" Aku kemudian melayangkan kepalan tinjuku pada wajah Brandon, yang terlihat terkejut dengan reaksiku.

"Titania, kamu ada apa sih?" teriaknya, sambil mencoba menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Aku tidak menghiraukannya, dan tetap melayangkan kepalan tinjuku. Setelah beberapa detik dan menyadari kepalan tinjuku tidak bisa melukainya, aku memikirkan cara lain untuk betul-betul menyakiti fisik Brandon. Dengan menggunakan kaki kananku kutendang Brandon di selangkangannya sekuat tenaga. Ujung sepatu botku yang agak runcing tepat mengenai sasaran. Kudengar Brandon berteriak kesakitan, dan dia mundur beberapa langkah sambil membungkuk.

"That should teach you not to tell any woman to shut up. Ever!" ancamku, dengan sedikit terengah-engah. Aku merasakan kemarahan yang tadi ada di dalam diriku menghilang perlahan-lahan. Sekarang aku mengerti mengapa laki-laki lebih memilih bertengkar secara fisik daripada verbal karena ternyata cara itu memang lebih efektif untuk melampiaskan kemarahan.

Aku baru sadar ternyata Reilley masih ada di situ ketika kudengar suara orang cekikikan. Kualihkan perhatianku kepada Reilley, yang sedang membungkukkan tubuhnya. Aku pikir dia sedang kesakitan, tetapi kemudian aku melihat bahunya bergerak naik-turun dengan suara tawa yang tertahan. Kemudian dia meluruskan tubuhnya dan tertawa keras.

"Oh, itu nggak ada duanya," ucap Reilley, di antara tawanya.

Aku menunggu beberapa saat sambil mengetukkan kakiku ke aspal. "Senang bisa menghibur kamu," kataku datar, kemudian berjalan ke arahnya. "Sini aku urus hidung kamu."

Seperti baru sadar ada darah yang sedang menetes dari hidungnya dan menodai sweater-nya Reilley berteriak, "Awww... crap!"

Mau tidak mau aku tertawa melihatnya. "Aku ada P3K di dalam mobil. Keep your head back, itu akan mencegah darah terus keluar dari hidung," ucapku, sambil menuntunnya menuju mobilku yang diparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Kuminta Reilley duduk di atas kap mesin mobil. Kuberikan selembar tisu kepadanya, yang bisa digunakannya untuk menghentikan darah yang mengalir ke luar. Sementara itu, kulepaskan kostum biarawati dan melemparkannya ke kursi belakang mobil. Bulu roma di punggungku langsung berdiri, bereaksi pada pergantian suhu tubuhku, tetapi aku tidak menghiraukannya.

Kuambil kotak P3K dan menghampiri Reilley. "Patah nggak?" tanyaku, sambil mengaduk-aduk kotak itu mencari kapas.

Dia menekan tulang hidungnya sepelan mungkin. "Kayaknya sih nggak." Suara Reilley terdengar bindeng.

"Oke, lepaskan tangan kamu biar saya bisa lihat," ucapku. Reilley kemudian membiarkanku mengangkat tisu, yang kini berwarna merah karena darah. Darah yang tadi mengalir kini sudah berhenti. Aku menarik napas lega.

"Tahan napas kamu!" perintahku, dan segera membersihkan bekas-bekas darah yang masih tersisa di atas bibir dan dagunya dengan kapas yang sudah dibasahi alkohol. Selama melakukan itu semua aku mencuri-curi mencium aroma Reilley dalam-dalam. Aromanya menghantui pikiranku sehingga membuatku mencarinya di setiap date-ku selama tiga minggu terakhir ini. Ketika aku membersihkan bagian luar bibirnya, aku menyadari bibir itu mungkin adalah bibir terseksi yang aku pernah lihat. Apakah yang Reilley akan lakukan bila tiba-tiba aku menciumnya? pikirku. Aku menggigit bibir bawahku untuk mencegah diriku melakukan tindakan yang ada di pikiranku.

Reilley tidak mengatakan apa-apa selama jari-jariku bersentuhan dengan kulitnya. Dia hanya menatapku dengan mata birunya itu. Kalau saja dia mengetahui fantasiku tentangnya, dia mungkin akan lari pontang-panting sambil berteriak, "She‟s crazyyyyyy...!" Sekali lagi kugigit bibir bawahku, tetapi kali ini untuk mencegahku agar tidak tertawa karena imajinasiku.

Setelah wajahnya bersih kembali, aku memberikan beberapa lembar tissuekepadanya untuk digunakan bila ada darah yang keluar lagi. Sambil membereskan kotak P3K, aku mempertimbangkan bagaimana aku harus meminta maaf kepadanya atas kejadian malam ini. Reilley menatapku, bibirnya tertarik lurus seperti sedang berusaha menahan senyum, tetapi tidak berhasil.

"Apakah kamu menginap di hotel ini?" Pertanyaan yang bodoh sebetulnya, tetapi setelah selama lima menit aku mencoba mencari topik pembicaraan di dalam kepalaku tanpa membuahkan hasil, aku tidak punya pilihan lain.

Reilley menatapku seperti aku makhluk dari planet lain karena mengeluarkan pertanyaan itu, tetapi dia tetap menjawab, "Ya," ucapnya datar.

"Untuk kerja?" tanyaku lagi.

"Social visit. I‟m leaving tomorrow morning," jelas Reilley. Jadi, Reilley memang tidak tinggal di Winston rupanya. Inilah sebabnya aku jarang melihatnya. Di mana kira-kira dia bermukim? pikirku dalam hati. Kami masih terdiam dalam keheningan yang mulai membuatku canggung.

"Kamu marah ya kepada saya?" tanyanya akhirnya.

Aku menatap Reilley bingung. "Mengapa saya harus marah kepada kamu?"

"Karena sudah membuat pacar kamu babak belur," jawabnya.

"Dia bukan pacar saya."

"Mengapa kamu pikir saya marah kepada kamu?" tanyaku kemudian.

"Karena kamu hanya diam saja selama beberapa menit ini."

Aku terdiam sesaat untuk mencerna kata-katanya. Aku tersenyum atas kesalahpahaman ini. "Saya nggak marah kepada kamu. Nggak sama sekali. Brandon laki-laki bajingan dan sudah sepantasnya dia babak belur. Sori karena dia sudah menunjuk hidung kamu."

Reilley mengangkat bahunya, kemudian berkata, "Bukan yang pertama kali, dan mengapa juga kamu minta maaf untuk dia?"

Wah... aku juga tidak tahu mengapa aku melakukannya. Aduh laki-laki ini membuatku bingung. Terutama karena aku sadar, aku sedang berdiri terimpit di antara kedua pahanya yang terlihat kokoh di balik jeans berwarna gelap.

"Bagaimana bisa sih kamu date dengan laki-laki bajingan seperti dia?" tanya Reilley, mengeluarkanku dari rasa ketidaknyamanan.

Aku ada dua jawaban untuk pertanyaan itu. Pertama, ketika aku bertemu dengan Brandon aku masih muda. Brandon terlihat seperti laki-laki sempurna bagiku pada saat itu. Kedua, aku cinta mati kepadanya hampir pada pandangan pertama. Aku ini perempuan tolol, yang sudah terlalu percaya dengan segala kata-kata manis yang keluar dari mulut Brandon. Aku seharusnya tahu, sebagai seorang pengacara, mengeluarkan kata-kata puitis adalah keahliannya dan sudah menjadi bagian dari dirinya.

Bukannya menjawab pertanyaan Reilley, aku malahan lebih memilih menutup kotak P3K dan mengembalikannya ke dalam mobil. Melihatku tidak menjawab pertanyaannya, Reilley lalu turun dari atas kap mobilku.

"Saya sebaiknya mengecek Brandon," ucapku. Meskipun aku sangat membenci Brandon karena telah membohongiku dan tidak peduli bila dia kehilangan testicle nya karena tendanganku, aku toh sudah menghabiskan tiga tahun hidupku bersamanya. Aku bahkan sempat merasa bahagia bersamanya. Melihatnya lagi malam ini membuatku teringat, aku dulu pernah mencintainya. Oleh karena itu, aku tidak bisa tidak memedulikannya sama sekali.

Reilley mengangguk. "Apakah kamu perlu bantuan saya?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Nggak, saya bisa mengatasi dia. Terima kasih sudah menawarkan bantuan."

Aku baru akan melangkah pergi ketika tatapanku tertuju pada sweater biru tua, yang membungkus tubuhnya dengan sempurna itu. Kini sweater itu telah dinodai oleh empat titik berwarna gelap. Aku lalu mengambil dompetku dari dalam mobil dan mengeluarkan kartu namaku. Di belakang kartu nama itu kutuliskan nomor telepon selularku.

"Sori soal sweater kamu. Bisa tolong kirimkan tagihan dry cleaning-nya ke saya?" Kuserahkan kartu namaku kepada Reilley, yang menatap kartu namaku kemudian wajahku. Dia terlihat bingung.

"Don‟t worry about it," ucapnya. sambil menggerakkan tangannya di depan wajahku. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat logo sweater itu.

"Holy shit!" teriakku.

Reilley langsung mundur selangkah karena kaget. "What‟s wrong?" tanyanya khawatir.

"Sweater kamu Armani!" jawabku masih berteriak.

"Yeah, so what?" Reilley masih terlihat bingung. Ia menatap sweater yang dikenakannya, kemudian mengalihkan tatapannya kepadaku.

"It‟s expensive like hell that‟s what!" teriakku putus asa.

"Ini cuma sweater." Kini Reilley terdengar tidak peduli sambil menatap sweater yang dikenakannya itu lagi.

"Nooo... harganya seperempat gaji saya. Sudah begitu, kena darah pula."

Reilley menatapku, kemudian menoleh ke kiri dan tatapannya terfokus pada sesuatu. Aku menolehkan kepalaku, dan melihat Brandon sedang memperhatikan kami sambil mengerutkan keningnya. Tampaknya dia sudah pulih dari tendanganku.

"Dia lebih memerlukan perhatian kamu daripada sweater saya. Kamu sebaiknya cek dia, sebelum dia mulai satu lagi sesi adu jotos dengan saya," ucap Reilley.

"Tapi..." ucapku ingin protes.

Reilley sudah memutar tubuhku dan mendorong aku berjalan menuju Brandon. Kutolehkan kepalaku kepada Reilley, ia melambaikan tangannya dan menunjuk ke arah Brandon lagi.

"Bye," ucapku pelan, dan berjalan menuju Brandon yang masih mengenakan kostum Zorro.

"Zorro from hell," gerutuku.