Chereads / Blind Date by Jessie J / Chapter 4 - Cold, Warm & Hot

Chapter 4 - Cold, Warm & Hot

AKU betul-betul menikmati kencanku dengan Reggie Morgan. Dengan umurnya yang baru 26 tahun, dia sangat berambisi menjadi psikolog terbaik dan siap membantu setiap orang yang memerlukan bantuannya tanpa memedulikan latar belakang mereka. Dia berencana membuka praktek sendiri dalam waktu lima tahun setelah mendapatkan sertifikasi dan izin yang diperlukannya. Melihat keantusiasan-nya dalam menjalani hidup mengingatkanku akan Brandon ketika dia masih kuliah dan sangat menggebu-gebu ingin bekerja menjadi pengacara yang rela tidak dibayar untuk membela orang-orang yang tertindas. Tentunya mimpi itu langsung punah setelah menerima tawaran pekerjaan dengan bayaran tujuh puluh ribu dolar setahun, meskipun untuk membela orang yang melakukan penindasan. Aku berharap Reggie tidak melakukan hal yang sama.

"So, are you okay with seeing someone who is older than you are?" tanyaku kepadanya, meskipun aku sudah tahu jawabannya karena MBD tidak akan mempertemukan kami kalau Reggie keberatan berhubungan dengan wanita yang lebih tua darinya.

Reggie menggeleng. "You're not that much older than I am," ucapnya santai.

"Apakah kamu siap untuk suatu komitmen yang serius? Kamu masih muda. Apakah kamu nggak mau cari-cari dulu?" kataku lagi. Keingintahuanku telah mengalahkan tata kramaku, tetapi aku tidak peduli. Aku sudah membayar dua ribu dolar kepada MBD. Aku harus menemukan laki-laki yang bisa aku jadikan suami sebelum kontrakku habis. Aku tidak ada waktu untuk main kucing-kucingan.

Reggie tertawa mendengar pertanyaanku. "Well, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa usia 27 masih terlalu muda untuk suatu hubungan yang serius. Apakah kamu sendiri nggak mau lihat-lihat dulu?"

Mau tidak mau aku jadi tertawa melihat logika pernyataannya itu. Kuperhatikan Reggie dengan lebih teliti. Cara dia berbicara tidak seperti laki-laki berumur 27 tahun pada umumnya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti telah dipikirkannya dulu masak-masak sebelum dikatakan. Pembawaannya terlalu tenang, yang membuatku agak sedikit malu karena aku jadi terlihat tidak sabaran duduk berhadapan dengannya. Reggie bahkan berdiri dari duduknya ketika aku permisi pergi ke toilet, hal yang tidak pernah dilakukan laki-laki mana pun kepadaku. Reggie mengingatkanku pada CEO perusahaan tempatku bekerja. Itu mungkin suatu pujian bagi kebanyakan orang, tapi faktanya CEO-ku berumur 60 tahun dan sudah memiliki empat orang cucu.

Malam itu kami akhiri dengan bertukar nomor telepon, tetapi aku yakin meskipun aku cukup menyukai Reggie hubungan kami tidak akan pernah lebih dari hanya sekadar teman. Secara mental dia terlalu tua untukku. Kesimpulannya, Reggie adalah pilihan yang salah untukku.

* * *

Hari Sabtu siang, aku sedang melangkah memasuki restoran untuk menemui Gabriel ketika telepon selularku berbunyi. Ternyata dari Sandra yang ingin memberitahuku bahwa Gabriel akan terlambat tiga puluh menit dari waktu kencan yang sudah dijadwalkan. Informasi ini membuatku sedikit jengkel karena berarti aku harus menunggu Gabriel di restoran. aku tidak tahu dia akan datang dari mana, tetapi aku tidak suka orang yang tidak bisa datang tepat waktu. Reggie yang harus datang dari Charlotte saja bisa sampai tepat waktu kemarin, mengapa Gabriel tidak bisa?

Awalnya aku menolak duduk di meja yang telah dipesan. Aku lebih memilih menunggu date-ku di bangku panjang dekat pintu masuk. Akan tetapi, setelah dua puluh menit dan tempat itu mulai penuh dengan orang-orang yang sedang menunggu meja, aku pun meminta hostess restoran mengantarku ke meja yang telah dipesan MBD. Aku memilih hanya memesan segelas pink lemonade, sambil menunggu Gabriel. Sepuluh menit kemudian aku masih belum juga melihat batang hidungnya. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Orangtua gila mana sih yang memberi nama anak laki-laki mereka dengan nama salah satu malaikat? Aku sudah semakin kesal karena kelihatannya restoran ini salah satu restoran terfavorit di Burlington. Antrean orang yang menunggu meja terlihat cukup panjang. Beberapa orang di sekitarku mulai menatapku penuh tanda tanya. Aku bahkan hampir bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala mereka.

Mengapa dia sendirian, ya? Apakah kamu pikir pacarnya sengaja tidak datang? Mengapa dia belum mulai makan? Dia sudah duduk di situ selama sepuluh menit. Dia cukup cantik, mengapa ada orang yang stood her up?

Aku sudah siap menelepon MBD agar membatalkan kencanku ketika kulihat hostess restoran yang tadi mempersilakanku duduk berjalan ke arahku diikuti laki-laki superganteng yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Dia bahkan lebih ganteng daripada laki-laki bermata biru yang baru-baru ini aku temui. Wajah laki-laki yang sekarang ada di hadapanku lebih cocok berada di karpet merah pada acara Academy Awards bersama-sama dengan Tom Cruise atau Brad Pitt dibandingkan di restoran di Burlington, North Carolina, bersama-sama dengan orang-orang yang wajahnya lebih pantas menjadi tukang kebun dua bintang Hollywood itu.

Apakah ini date-ku? Tidak mungkin. Buat apa laki-laki seganteng ini memerlukan jasa blind date untuk menemukan pasangan? Aku yakin perempuan mana pun akan rela mendampinginya tanpa ada insentif apa pun juga. Kulihat mata beberapa wanita yang duduk di meja-meja di hadapanku mengikuti laki-laki itu. Beberapa dari mereka bahkan mulai menelanjangi laki-laki itu dengan matanya. Mau tidak mau aku terpaksa tersenyum dan mengalihkan perhatianku pada telepon selularku lagi.

Aku tidak mengalihkan perhatianku dari telepon selular ketika kurasakan ada angin yang berembus di hadapanku, efek samping ketika seseorang tiba-tiba berhenti di hadapanku. Tatapanku kemudian tertuju pada sepasang sepatu laki-laki, dan aku mendengar seseorang berkata, "This is your table. Have a nice lunch."

Saat itu juga kuangkat kepalaku, dan bertatapan langsung dengan laki-laki ganteng tadi.

"I'm sorry that you have to wait for me. But my flight from Boston was delayed. I drove as fast as I could from Raleigh. Did MBD called to let you know that I will be late?"

Laki-laki itu mengatakan semua itu, sambil menarik kursi yang ada di hadapanku dan duduk. Kemudian dia mulai membuka-buka buku menu. Aku hanya mengikuti gerakannya dengan mataku. Aku bisu seribu bahasa. Benar saja, laki-laki ganteng ini Gabriel. Date-ku siang ini. Semua kejengkelanku hilang bagaikan ditelan bumi, yang timbul malah justru rasa malu karena telah merasa jengkel terhadap laki-laki seganteng ini. Aku menarik kembali perkataanku yang telah menyumpahi seorang ibu, yang menamakan anaknya dengan nama salah satu malaikat. Jelas-jelas nama itu justru membuat laki-laki terlihat lebih seksi, terutama laki-laki ini. Aku berjanji akan memberi nama anak laki-lakiku Gabriel Jr. kalau sampai aku menikah dengannya, dan berharap agar anakku akan seganteng ayahnya.

Beberapa orang yang tadi menatapku penuh tanda tanya sekarang mengerlingkan mata mereka penuh kekaguman. Hah... tidak usah mereka, aku bahkan kagum dengan diriku sendiri karena bisa mendapatkan date seganteng ini.

"Oh... di mana sopan santun saya. Saya Gabriel," ucapnya, sambil mengulurkan tangannya.

Entah bagaimana aku bisa menggerakkan tanganku, yang jelas kemudian tahu-tahu tanganku sudah menjabat tangan Gabriel diikuti dengan suaraku yang terdengar menyebutkan namaku.

"Apakah kamu sudah siap pesan makanan? I'm starving. Let‟s see what‟s good in here."

Seketika aku tersadar dari keterpanaanku, dan berkata, "Shrimp ravioli dengan white sauce kelihatannya enak." Meskipun suaraku agak bergetar, masih terdengar cukup keras dan meyakinkan.

"Kamu ingin pesan apa?" Gabriel menatapku.

"Shrimp ravioli dengan white sauce," jawabku. Otakku telah bekerja kembali dan bisa mengatakan kalimat itu dengan jenaka.

Gabriel tertawa mendengarku. "Saya sebaiknya pesan pizza, soalnya pasta nggak akan cukup untuk saya," balasnya, juga dengan jenaka.

"Itu tergantung ukuran perut kamu. Tadi ketika saya menunggu kamu, saya lihat beberapa pesanan pasta yang sedang dihidangkan, dan ukurannya cukup besar," ucapku, sambil tangan kananku menunjuk pada beberapa meja di sekelilingku.

Gabriel menoleh ke kiri dan ke kanan. Ketika dia berpaling lagi kepadaku, dia menyeringai, "Well, piring-piring itu memang besar."

Selang beberapa detik dia berkata lagi, "Saya tetap lebih memilih pizza. Pasta is such a girly food."

"Girly?" tanyaku, sambil mengernyit. "How can food be girly?"

"Kamu nggak bisa kelihatan berantakan kalau makan pasta. Ini sebabnya mengapa pasta dikategorikan sebagai girly food."

"Apakah kalau makan pizza bisa berantakan?"

"Ya, dan kamu bisa makan dengan tangan."

Aku memandangi Gabriel dengan mulut ternganga. Dari planet manakah laki-laki satu ini? Aku harus pindah ke planet itu sekarang juga karena sepertinya planet itu bisa menghasilkan laki-laki ganteng dan humoris.

"Jadi, pizza nggak girly karena berantakan, dan kamu bisa makan dengan tangan?" tanyaku merangkum percakapan kami.

"Yep."

Kami lalu terdiam sesaat saling tatap. Aku mencoba menyimpulkan, apakah Gabriel sedang meledekku dengan kata-katanya atau dia betul-betul serius. Aku yakin dia sedang bercanda.

"Saya hanya bercanda," lanjutnya, sambil tertawa dengan keras. "Coba ada yang bawa kamera untuk memfoto ekspresi kamu tadi. Lucu banget."

Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku tadi. Aku lalu menarik napas, kemudian berkata dengan nada sesarkasme mungkin, "Ha... ha, bagus kalau kamu anggap saya lucu."

Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku tadi. Aku lalu menarik napas, kemudian berkata dengan nada sesarkasme mungkin, "Ha... ha, bagus kalau kamu anggap saya lucu."

Tawa Gabriel semakin menjadi sehingga membuat beberapa mata menatap kami. Kebanyakan mata itu adalah milik wanita. Dalam tatapan mereka seolah-olah terlintas beberapa pertanyaan dan komentar.

Aku nggak percaya ini, dia bisa membuat laki-laki itu tertawa sampai terbahak-bahak?

Apakah kamu pikir dia adik laki-laki itu? Dia nggak mungkin pacarnya, perempuan itu terlalu biasa untuk dia.

Wow, itu adalah gigi paling rapi yang pernah aku lihat.

Aku masih nggak bisa percaya kalau laki-laki itu duduk dengan dia.

Apa yang dia punya yang aku nggak punya, coba?

Aku tersenyum karena rupanya imajinasiku sedang berlari-lari dengan liar hari ini.

Seorang waiter kemudian menghampiri meja kami untuk mencatat pesanan. Dia kembali beberapa menit kemudian membawa segelas pepsi untuk Gabriel.

"Apakah kamu selalu kelihatan seserius ini?" tanya Gabriel setelah waiter itu berlalu.

Aku menatap Gabriel bingung. Apakah maksudnya dengan pertanyaan itu?

"Kamu kelihatan... marah. Waktu saya lihat kamu tadi," lanjut Gabriel.

"Marah? Saya kelihatan marah?" ucapku terkejut. Apakah betul wajahku terlihat marah ketika melihatnya?

"Mungkin nggak marah, tetapi... kesal," tambahnya.

"Oh... ituuu. Saya sebetulnya memang agak 'kesal' kepada kamu karena telah membuat saya menunggu lebih dari setengah jam. Saya sudah siap menelepon MBD untuk membatalkan date ini," balasku, sengaja menekankan kata 'kesal' dalam penjelasanku.

"Oh, ya? Kamu ingin membatalkan date ini?"

Aku mengangguk. "Kok nggak jadi?"

"Karena kamu muncul dan kelihatan lebih seperti bintang film daripada seperti layaknya seorang banker." Aku buru-buru menutup mulutku ketika sadar apa yang baru saja aku katakan.

Gabriel tertawa melihat reaksiku. Untung kemudian makanan kami tiba sehingga aku memiliki waktu beberapa menit untuk mengatur detak jantungku kembali ke normal.

"Jadi, kamu kerja sebagai financial analyst?" tanya Gabriel, setelah waiter berlalu.

Aku sangat bersyukur dia tidak mengangkat kembali topik pembicaraan yang tadi sempat terputus, dan segera menjawab pertanyaannya, "Ya... di sebuah bank di Winston-Salem."

"Kamu keberatan nggak kalau saya tanya-tanya mengenai beberapa investasi saya? Saya hanya ingin memastikan apakah saya sudah cukup berhati-hati dengan uang saya."

Kami lalu membahas tentang keadaan keuangannya secara lebih mendetail. Secara tidak langsung Gabriel memberitahuku bahwa dia sudah sangat mapan dan siap melangkah ke jenjang selanjutnya, yaitu pernikahan. Aku mencoba membandingkan Gabriel dengan Trevor dan Reggie. Di usianya yang sudah menginjak 35 tahun, aku seharusnya tidak kaget jika hidup Gabriel memang sudah mapan, bahkan sukses. Akan tetapi, fakta itu bukannya menenangkanku, malah justru membuatku sulit bernapas. Pada Trevor dan Reggie, dengan usia mereka yang masih muda, aku bisa melihat potensi mereka dalam sepuluh tahun ke depan. Sementara pada Gabriel, aku melihat laki-laki yang sudah „jadi‟, yang tidak lagi memerlukan doronganku untuk meraih kesuksesannya. Entah mengapa, aku merasakan ada sedikit kekecewaan ketika menyadari hal ini.

Namun demikian, aku tetap melihat prospek suami yang sangat sempurna pada diri Gabriel. Harus kuakui, secara fisik aku tidak bisa menolak rasa ketertarikanku kepadanya. Aku pun cukup yakin, setelah satu jam mengobrol dengannya, dia juga tertarik kepadaku. Aku lalu menepiskan rasa waswasku yang tidak memiliki dasar yang kuat, dan mencoba mengenali Gabriel lebih jauh lagi.

"Sudah berapa lama kamu jadi anggota MBD?" tanyaku, sambil memotong kue cokelatku dengan sendok.

"Bulan November ini bakalan satu tahun," jawab Gabriel, sambil meminum kopinya.

Mau tidak mau keningku mengernyit. Bagaimana mungkin dia sudah menjadi klien MBD selama hampir setahun dan belum juga menemukan pasangan yang cocok.

"Kamu masih belum menemukan orang yang tepat?" pancingku.

"Saya ketemu beberapa."

"Terus?" Aku mencoba menyembunyikan nada penasaran pada suaraku, tetapi gagal total.

Gabriel menatapku sambil memicingkan matanya. Aku merasa dia sedang mencoba menilaiku. Setelah puas dengan pengamatannya, Gabriel menjawab, "Montana."

Aku mengedipkan mata beberapa kali. Itu jawaban yang sama sekali tidak masuk akal bagiku. Apakah ada yang terjadi di negara bagian itu? Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang ada di Montana. Ada pegunungan dan peternakan kuda, itu saja. Setelah beberapa detik dan otakku tetap tidak bisa menemukan penjelasan yang lebih masuk akal, aku terpaksa bertanya, "Maksudmu?"

"Anak gadis saya."

Apa yang terjadi setelah itu di luar kontrol otakku. Tiba-tiba saja mulutku menyemburkan lemonade yang baru saja kutelan ke wajah, tangan, dan sebagian kemeja Gabriel. Semua orang yang ada di sekelilingku langsung menoleh ingin melihat apa yang sedang terjadi di meja kami.

Hahaha... laki-laki itu pasti akan memutuskan hubungannya dengan perempuan itu setelah kejadian ini. Apakah yang laki-laki itu katakan kepadanya sehingga membuatnya bereaksi seperti itu?

Sudah aku bilang perempuan itu aneh. Aku masih nggak percaya dia menyemburkan minumannya ke laki-laki itu.

Sekali lagi aku mencoba tidak menginterpretasikan tatapan orang-orang yang ada di sekitarku. Aku memerintahkan imajinasiku untuk diam seribu bahasa. Aku sangat menghargai Gabriel yang tidak marah, dia bahkan tidak terlihat tersinggung. Dia hanya mengambil serbet yang ada di pangkuannya untuk mengusap tetesan-tetesan lemonade dari wajahnya.

"Are you okay?" tanyanya khawatir.

Tanpa menghiraukan pertanyaannya aku meluncurkan pertanyaanku sendiri, "Kamu punya anak gadis?" Dengan suara yang cukup keras.

Tiba-tiba waiter yang tadi melayani kami muncul, dan menanyakan apakah semuanya baik-baik saja sambil menatapku khawatir. Aku dan Gabriel mengangguk bersamaan. Waiter itu pun berlalu.

Aku lalu mengulang pertanyaanku lagi, tetapi kini dengan berbisik. Gabriel mengangguk, dan tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

"Umurnya enam belas tahun," ucapnya, sambil menyodorkan selembar kertas kecil kepadaku. Ternyata foto gadis remaja berambut hitam dengan kawat gigi.

"Wajahnya seperti kamu." Aku mencoba terdengar seramah mungkin sambil membandingkan wajah anak itu dengan Gabriel.

Gabriel tertawa. "Dia lebih kelihatan seperti ibunya sebetulnya."

Saat itu aku sedang memaki-maki MBD di dalam hatiku. Bagaimana mungkin mereka memasangkanku dengan laki-laki yang sudah punya anak? Apakah mereka tidak memahami kalimat "single" se-single-single-nya? Aku ingin laki-laki yang masih single dan tidak pernah menikah. Gabriel jelas-jelas pernah menikah, kalau tidak bagaimana dia bisa punya anak?

Aku menggeleng dan mencoba menjelaskan keadaan ini.

"Sori, saya seharusnya memberitahu kamu sebelumnya." Suara Gabriel terdengar agak kecewa melihat reaksiku.

"Nggak... nggak... ini bukan salah kamu. Ini salah MBD. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya hanya mau dating dengan laki-laki single yang belum pernah menikah. Kelihatannya ada kesalahpahaman." Aku mengatakan semua kata-kata itu secepat mungkin agar tidak menyinggung hati Gabriel.

"Saya masuk ke dalam kategori itu," balas Gabriel, dengan suara tenang.

"What?"

"Priscilla, ibu Montana, dan saya tidak pernah menikah. Kami hidup secara terpisah. Priscilla meninggal dalam boating accident enam bulan yang lalu. Jadi, Montana harus tinggal dengan saya."

Aku hanya ternganga mendengar penjelasannya. Aku merasa seperti sedang menonton sinetron daripada menjalankan hidupku sendiri. Bagaimana mungkin kejadian seperti ini bisa terjadi dalam kehidupan nyata?

"I‟m sorry about... Priscilla," ucapku akhirnya ketika aku bisa mengeluarkan kata-kata lagi.

Gabriel mengangguk dan tersenyum.

Rasa penasaranku seketika muncul. "Kalau usiamu 35 tahun dan Montana 16 tahun, itu berarti dia lahir ketika usia kamu... 19?"

Aku mencoba melakukan perhitungan itu di kepalaku.

Gabriel tertawa mendengar pertanyaanku. "Well, saya masih muda dan berpikir dunia ini milik saya." Gabiel mengedipkan mata kanannya. "Priscilla lebih sial daripada saya. Dia nggak pernah mencapai mimpinya jadi seorang supermodel," lanjutnya.

Kalau ini dalam situasi lain, aku mungkin bisa tertawa mendengar penjelasan Gabriel, tetapi kini aku hanya bisa terdiam.

"Apakah kamu berdua pacaran sejak SMA?" tanyaku, setelah beberapa menit.

"Nggak. Kami kenal di pesta teman kuliah saya."

Aku pasti menatap Gariel dengan wajah penuh kebingungan karena Gabriel tertawa lagi.

"Kami sama-sama drunk. Banyak hal terjadi. Ketika saya bangun, kami berdua ada di satu tempat tidur dan sama-sama tidak mengenakan apa pun. Sebulan kemudian dia datang mencari saya dan mengatakan dia hamil anak saya." Gabriel menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Saya dibesarkan sebagai laki-laki yang baik dan tahu sopan santun. Saya tidak punya pilihan selain menikah dengannya, tapi Priscilla menolak. Dia kurang memiliki insting keibuan. Orangtuanya mencoba meyakinkannya agar menikah dengan saya untuk menyelamatkan nama keluarganya. Mereka salah satu keluarga paling berpengaruh di New England. Priscilla tetap menolak, kami pun berhenti meyakinkannya."

"Montana sekarang ada di mana?" bisikku.

"Dia ada di salah satu boarding school di Boston. I will never let her out of my sight until she‟s 40. Saya tidak mau dia membuat kesalahan yang sama seperti saya dan Priscilla."

"Seberapa sering kamu ketemu dengan anak kamu?" tanyaku.

"Sesering mungkin, selama saya bisa mengambil off dari pekerjaan saya. Liburan Thanksgiving nanti saya akan membawanya ke Rhode Island mengunjungi grandparents-nya."

Rhode Island adalah salah satu negara bagian di timur laut Ameriak Serikat, yang juga dikenal sebagai New England. Kebanyakan keluarga dengan old money, yaitu keluarga yang kekayaannya turun-temurun semenjak Amerika Serikat merdeka dari Inggris di tahun 1800-an, tinggal di wilayah ini.

"Orangtua Priscilla?"

Gabriel mengangguk. "Saya memiliki hak asuh anak penuh atas Montana, tetapi saya tidak bisa melarangnya bertemu dengan satu-satunya grandparents yang dia pernah kenal. Lagi pula, mereka mencintai Montana, begitu pula sebaliknya."

Aku mengangguk, menyetujui keputusannya. Aku mendengarkan cerita Gabriel dengan saksama. Di satu sisi aku kagum karena dia telah memikul tanggung jawab sebesar itu pada usia yang sangat muda dan tetap bisa meraih sukses. Di lain sisi aku tahu Montana-lah penyebab kenapa aku, seperti juga beberapa wanita lainnya menurut Gabriel, memutuskan mundur teratur. Aku masih terlalu muda untuk jadi seorang ibu dari gadis berumur enam belas tahun.

"Did I scare you off?" tanya Gabriel tiba-tiba.

Aku berpikir sejenak. Apakah aku harus berbohong kepadanya, dan mengatakan aku tidak peduli bahwa dia sudah punya anak? Tujuanku meminta pertolongan MBD agar aku tidak perlu lagi membuang waktu mencari suami di tempat yang salah atau menghabiskan waktu dengan orang yang salah. Aku juga yakin Gabriel sudah cukup dewasa untuk mengerti jika aku menolaknya.

"Ya. Kalau saya mau jujur, kamu sudah membuat saya takut setengah mati," ucapku.

Tanpa kusangka-sangka Gabriel justru tertawa. "Setidak-tidaknya kamu jujur kepada saya soal ini. Tidak seperti mereka yang mengatakan tidak mempermasalahkan hal ini, tetapi kemudian tidak mau menjawab telepon saya."

"Ada yang begitu?" tanyaku terkejut. Menurutku tindakan itu sangat tidak sopan. Gabriel mengangguk.

"Are you finished with your dessert?" tanyanya.

"Yes, I‟m done," ucapku.

Dalam perjalanan pulang menuju Winston-Salem aku menelepon Sandra dan memberitahunya agar menambahkan satu lagi persyaratan yang harus dipenuhi oleh date-ku, yaitu mereka tidak boleh punya anak di luar nikah.

* * *

Bulan Oktober pun tiba, dan aku sudah menjadi klien MBD selama enam minggu. Reggie sempat meneleponku untuk mengajakku ke luar, tetapi aku menolaknya. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak bisa menjalin hubungan romantis dengannya, meskipun aku terbuka apabila dia masih mau berteman denganku. Reggie memahami penjelasanku dan kami sempat bertemu makan siang ketika dia harus datang ke Winston-Salem untuk mengikuti seminar psikologi, yang diadakan Wake Forest University. Hingga kini Trevor tidak pernah meneleponku, dan aku sangat bersyukur oleh karenanya.

Setelah Gabriel, aku sudah pergi berkencan dengan empat laki-laki lagi. Tiga dari mereka bahkan tidak aku pertimbangkan sama sekali. Rob Adams sangat mengingatkanku akan Brandon. David Wu ternyata tidak bisa membedakan warna cokelat dengan hitam, alias buta warna. Ben Stewart, yang meskipun usianya sudah 38 tahun, masih memulai setiap kalimatnya dengan, "My mother said...". Hanya satu dari mereka yang betul-betul menarik perhatianku. Dia bernama Jacob Sutter. Meskipun wajah dan penampilan keseluruhannya bisa digolongkan biasa saja, sepanjang kencan pertama kami aku selalu merasa nyaman dengannya. Berbeda dengan Gabriel, yang menjatuhkan "bom atomnya" kepadaku dua jam setelah aku bertemu dengannya, Jacob kelihatannya tidak memiliki rahasia yang harus disembunyikan.

MBD mungkin sudah siap mencekikku karena setiap kali mereka menanyakan apakah mereka sudah mempertemukanku dengan laki-laki yang berpotensi sebagai suami, aku akan menjawab tidak "COLD", yang berarti „meleset jauh dari sasaran‟. Atau sudah "WARM", artinya „cukup mendekati sasaran‟. Khusus kencanku dengan Gabriel, aku akan menjawab sudah cukup "HOT" yaitu „tepat sasaran‟, kalau saja dia tidak memiliki anak gadis yang umurnya lebih cocok jadi keponakanku daripada anakku. Sejujurnya, menurutku MBD betul-betul telah melaksanakan tugas mereka dengan baik. Aku yakin, aku tidak akan bisa menemukan semua laki-laki yang telah dipasangkan denganku oleh MBD jika aku mencari mereka sendiri. Oleh karena itu, aku berencana menemui Jacob lagi malam ini untuk memastikan apakah aku bisa mengubah pendapatku tentangnya, dari "cukup mendekati sasaran" menjadi "tepat sasaran".

Untuk kencan pertama kami Jacob-lah yang datang dari Durham, tempat dia tinggal, untuk menemuiku di Winston. Untuk kencan kedua aku mengambil jalan tengah dan memintanya menemuiku di Burlington karena aku tidak mau membebaninya datang jauh-jauh ke Winston lagi. Aku berjanji bertemu Jacob di salah satu restoran Jepang yang telah direkomendasikan banyak orang kepadaku. Jacob mengatakan dia tidak pernah makan makanan mentah, tetapi dia akan memberanikan diri mencobanya denganku. Aku sedang meluncur di I-40, jalan raya yang menghubungkan Winston dengan kota-kota lainnya, ketika tiba-tiba kurasakan setir mobil terasa agak berat dan lari ke kiri.Aku memang kurang paham urusan otomotif, tetapi aku tahu jika mobil yang biasa dikendarai terasa agak lain ketika sedang dikemudikan, maka pastilah ada komponen mobil itu yang tidak bekerja dengan sempurna.

Perlahan-lahan kutepikan mobil ke bahu jalan dan berhenti. Kubiarkan mesin tetap hidup dan hanya menarik rem tangan, kemudian keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan. Ternyata ban depan sebelah kiri memang agak sedikit kempes. Aku mempertimbangkan, apakah dengan kondisi ban seperti itu aku bisa sampai ke Burlington, yang masih membutuhkan waktu lima belas menit lagi. Aku bisa menelepon AAA, perusahaan yang menyediakan berbagai jasa yang berhubungan dengan isu-isu travel, mulai dari peta hingga mengganti ban yang kempes. Mereka akan mengganti banku selama aku makan siang dengan Jacob. Kulirik jam tanganku, aku masih ada waktu setengah jam sebelum waktu pertemuanku dengan Jacob. Melihat kondisi ban mobilku, sepertinya ban itu tidak akan bertahan sampai di Burlington. Kalau aku harus menunggu hingga AAA datang, bisa jadi aku akan terlambat berkencan dengan Jacob.

Aku pun segera mengambil keputusan. Kumatikan mesin mobil, kemudian membuka bagasi dan mengeluarkan dongkrak serta kunci ban. Untung saja hari ini aku hanya mengenakan jeans dan sweater turtleneck. Jadi, aku bisa lebih leluasa bergerak. Ketika aku sedang memompa dongkrak itu dengan kakiku, tiba-tiba kulihat sebuah Volvo SUV berhenti persis di belakang mobilku. Aku memperhatikan pemilik mobil itu, yang mengenakan kacamata hitam, keluar dari kendaraannya dengan langkah yang cukup luwes untuk ukuran laki-laki sebesar dia. Apakah dia juga mengalami masalah dengan mobilnya sepertiku? pikirku.

Aku menatapnya bingung. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Jelas-jelas aku tidak mengenalnya, tetapi tata krama tetap harus didahulukan.

"Yes?" Jawabanku lebih terdengar seperti pertanyaan.

"Flat tire?" tanyanya lagi.

"Yes," jawabku lagi. Aku masih bingung. Siapakah orang ini?

Kemudian seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, "Kamu nggak ingat saya, ya?"

Aku tersenyum sopan kepadanya, tetapi aku yakin wajahku menggambarkan kebingunganku.

"Saya Reilley. Kamu membantu saya memilih lettuce di Fresh Market. Masih ingat?"

Reilley melepaskan kacamata hitamnya, dan mata birunya langsung menatapku dengan jenaka. Saat itu juga aku bisa merasakan sengatan listrik yang menyerang tubuhku. Aku tidak bisa bernapas. Aku berhenti memompa dongkrak dengan kakiku, lalu tertawa cemas. "Kok bisa bertemu kamu lagi di sini, ya?" Suaraku agak bergetar.

Kulihat Reilley sedang menarik lengan sweater cokelatnya sambil tersenyum. "Ban serepnya di mana?" tanyanya, dan melangkah mendekatiku.

Tiba-tiba ada angin yang cukup kuat berembus melewati tubuh Reilley yang besar ke arahku, dan aku bisa mencium bau cologne-nya. Untuk mencegah imajinasiku agar tidak memikirkan yang tidak-tidak, aku buru-buru menjawabnya, "Di bagasi," sambil menunjuk ke bagasi mobil yang terbuka. Aku lalu berlutut di samping mobil dan mulai melepaskan semua baut ban satu per satu.

Kudengar ada suara gedebuk yang sangat halus, dan ban serep sudah berada di sampingku.

"Boleh saya bantu?" tanyanya, sambil mengambil kunci ban dari genggamanku.

Aku sebetulnya mau protes karena aku wanita mandiri yang bisa mengganti ban sendiri, aku tidak memerlukan bantuannya. Reilley melihat ekspresi wajahku dan menambahkan, "Kini giliran saya membantu kamu," ucapnya pelan.

Aku mengangguk dan mempersilakannya mengganti ban mobilku. Dalam waktu lima menit dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, lalu meletakkan ban yang kempes, dongkrak, dan kunci ban di bagasi mobil.

"Thank you," ucapku ketika Reilley menutup bagasi mobilku. Kuserahkan selembar tisu basah kepadanya. Reilley mengambilnya dan mengusap kedua telapak tangannya. Aku kemudian mengambil tisu bekas itu dari genggamannya.

"Kamu akan ke mana?" tanyanya.

"Burlington," jawabku. Tiba-tiba angin bertiup dan aku harus memeluk tubuhku untuk mengusir udara yang tiba-tiba terasa agak dingin.

Tanpa kusangka-sangka Reilley menarikku ke pelukannya dan mengusap punggungku. Sekali lagi aku merasakan sengatan listrik yang tadi menyengatku. Bau cologne-nya yang tadi hanya samar-samar kini menyengat indra penciumanku dengan kekuatan penuh. Bau cologne itu semakin mengingatkanku betapa gantengnya Reilley, dan aku tahu aku harus menjauh darinya sebelum terlena dalam pelukannya. Akan tetapi, tubuhnya memang hangat sehingga aku tidak mencoba melepaskan diri.

Setelah beberapa detik, dia berkata, "Better?"

Aku mengangguk. Reilley kemudian menuntunku menuju mobil, membuka pintunya dan membiarkanku masuk. Setelah itu, ia menutup pintu mobil dan menunggu hingga aku menghidupkan mesin. Reilley mundur satu langkah untuk memeriksa banku sekali lagi, kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya sebagai tanda oke. Aku pun menurunkan kaca mobilku dan berkata, "Thank you. Again," ucapku.

"It was my pleasure," balasnya, sambil tersenyum. Ketika dia mengucapkan kata- kata itu, seperti ada sesuatu dalam otakku yang berbunyi klik... klik... klik.... Aku merasa kata-kata itu penting dalam konteks yang lain, tapi aku tidak bisa ingat di mana aku pernah mendengar kata-kata yang sama diucapkan.

Reilley kemudian berjalan menuju mobilnya. Aku baru sadar, aku masih menggenggam tisu bekas yang tadi digunakan Reilley. Kulemparkan tisu itu ke lantai mobil dan akan kubuang ke tempat sampah kemudian. Kuperhatikan lalu lintas yang ada di sebelah kiriku melalui kaca spion, kemudian meluncurkan mobil kembali ke jalan raya. Sepanjang perjalanan untuk menemui Jacob, aku merasa tidak tenang karena seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suatu teka-teki yang tidak

terselesaikan atau ditinggalkan tidak terjawab. Yang jelas, aku tidak bisa menghapuskan bau cologne Reilley dari kepalaku, terutama karena bau itu sekarang menempel pada sweater-ku.

Pada akhirnya, kencanku dengan Jacob tidak berjalan sebaik yang aku harapkan. Jacob sadar bahwa aku tidak menumpukan perhatianku kepadanya sepanjang kencan kami. Ia terlihat kecewa dan mengakhiri kencan kami lebih cepat dengan alasan dia harus mengunjungi temannya yang baru saja melahirkan. Sejujurnya, aku merasa bersalah terhadap Jacob. Akan tetapi, kepalaku terlalu penuh dengan sosok laki-laki bermata biru yang bisa menenggelamkanku hanya dengan tatapannya sehingga aku tidak terpikir untuk mengatakan kata "maaf" kepadanya.

* * *

Seperti biasanya, Didi akan meneleponku setelah kencanku untuk mengetahui hasilnya. Dia bahkan lebih tertarik terhadap Jacob dibandingkan aku.

"Bagaimana date-nya, Mbak?" tanya Didi, penuh semangat.

"Biasa saja," jawabku. Aku baru saja membuka pintu depan apartemen ketika telepon selularku berbunyi.

"Lho kok nggak excited begitu sih? Ada yang salah?" Didi terdengar curiga.

Tentu saja ada yang salah. Bukannya memikirkan Jacob, selama perjalanan pulang dari Burlington aku justru memikirkan Reilley.

"Nggak, nggak ada yang salah," jawabku, sambil melangkah masuk ke dalam apartemen.

"Jadi, ada apa dong? Kemarin Jacob kan sudah masuk zona HOT, kok sekarang jadi COLD sih?"

Aku memang tidak pernah bisa berbohong kepada adikku ini. Dia terlalu jeli melihat tingkah laku manusia.

"Ya, kayaknya Jacob nggak cocok deh untuk aku." Kulepaskan sepatu dan berjalan menuju kamar tidur.

"Oh, ma...n, padahal aku sudah setuju sekali dengan yang ini," teriak Didi kecewa.

Aku terpaksa tertawa mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu. "So, kapan date selanjutnya?"

"Belum ada. Sandra belum telepon lagi," jawabku.

Didi mengembuskan napasnya, dan berkata, "Oh begitu."

"By the way, aku tadi bertemu Reilley," ucapku tanpa ancang-ancang. Daripada menyimpan rahasia ini dan berisiko diomeli habis-habisan oleh Didi karena tidak menceritakan kepadanya, aku memutuskan mengambil jalan aman dan berkata jujur.

"Reilley? Cowok yang dari Fresh Market itu?" Suara Didi langsung terdengar ceria.

Aku memang sempat menceritakan pertemuanku dengan Reilley beberapa bulan yang lalu itu kepada Didi. Pada saat itu aku belum memiliki perasaan apa-apa terhadap Reilley, selain bahwa dia ganteng sekali.

"Yep," jawabku, sambil mengatur telepon selularku agar suara Didi bisa terdengar melalui speaker. Aku kemudian menanggalkan sweater dan celana jeans yang aku kenakan dan menggantinya dengan kaus longgar dan celana piyama.

"Di mana?" Kini suara Didi semakin meninggi, yang menandakan dia sudah sangat tertarik terhadap Reilley dan siap melupakan Jacob.

Aku lalu menceritakan pertemuanku dengan Reilley. Didi mendengarkan dengan saksama dan sesekali menarik napas karena kaget.

"Oh, my God. He is so sweet," ucap Didi, dengan nada seperti si punguk yang merindukan bulan.

"You think so?" tanyaku ragu. Aku tidak tahu apakah normal menyukai laki-laki yang baru aku temui dua kali.

"Of course I think so. Aku jadi penasaran ingin lihat tampangnya. Mata birunya tuh sebiru apa, ya?"

"Biru sekali deh pokoknya. Laut Pasifik juga kalah," ucapku bersemangat. Sejujurnya, aku tidak pernah terlalu memikirkan sebiru apakah mata Reilley, tetapi kelihatannya penggambaranku barusan cukup mengena.

Didi tertawa mendengarnya. "Kayaknya dia suka deh kepada kamu, Mbak."

Kata-kata Didi menyadarkanku akan perasaanku sendiri, tetapi aku tetap belum berani menerimanya sebagai suatu kenyataan.

"Ah, nggaklah. Dia hanya baik saja kok," balasku salah tingkah.

"Menurutku malahan kelewat baik. Mana ada sih orang zaman sekarang yang mau berhenti di pinggir tol untuk membantu orang?"

"Kalau di D.C. sih nggak mungkin, tetapi di sini masih banyak kok orang yang mau membantu orang lain. "Aku memberi penjelasan bahwa memang budaya di kota besar akan sedikit berbeda dengan di kota kecil.

"Tetap saja aneh. Dari cara dia omong ketika bertemu Mbak kayaknya dia berhenti bukan karena memang berniat membantu siapa saja, tetapi karena orang yang bakal dia bantu itu Mbak."

"Jangan bikin aku ge-er deh," omelku.

Didi tertawa tergelak. "Sayang ya Mbak nggak sempat minta nomor teleponnya. Kalau nggak kan setidak-tidaknya Mbak bisa telepon dia."

"Doakan aku supaya bisa bertemu dia lagi. Mudah-mudahan kali itu aku nggak lupa minta nomor teleponnya. Eh, tetapi... bagaimana mintanya ya, Di?"

Meskipun aku cukup berpengalaman dengan laki-laki sebelum aku bertemu dengan Brandon, selalu merekalah yang meminta nomor teleponku terlebih dahulu sehingga aku tidak memiliki pengalaman melakukan sebaliknya.

"Ya, bilang saja Mbak minta nomor telepon dia. Beres, kan." Didi terdengar tidak sabaran.

"Memang kamu pernah minta nomor telepon cowok?" Aku tahu jawaban pertanyaan ini, tetapi aku hanya ingin menggoda adikku. Didi tipe perempuan yang super gengsi untuk minta nomor telepon dari laki-laki mana pun.

"Apa maksud Mbak tanya begitu?" Didi terdengar tersinggung, tetapi aku tahu dia paham aku hanya bercanda.

"Ya, nggak ada apa-apa, hanya tanya saja," balasku pura-pura cuek.

Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan, kemudian kudengar suara Didi berteriak, "Be there in a sec." Lalu Didi berkata padaku, "Mbak, sudah dulu ya ngobrolnya. Aku sudah dijemput nih oleh teman."

"Kamu mau ke mana?" tanyaku ingin tahu.

"Biasa... ke library, mau research." Cara Didi mengatakan kata library dan research terkesan dia akan melakukan hal yang akan membawa kebahagiaan baginya. Aku tertawa pada diriku sendiri, menertawakan adikku yang kutu buku itu.

"Well, have fun," ucapku memberinya semangat.

"I will. Oh... ya, omong-omong jangan lupa minta nomor telepon Reilley kalau bertemu dia lagi, oke."

Sebelum aku menjawab, Didi sudah menutup teleponnya. "Oke," ucapku pelan.