Evan, Rika dan Anna masih menunggu di depan IGD. Mereka bertiga sampai lupa makan siang karena mencemaskan keadaan Lena.
Sekitar sepuluh menit kemudian dokter serta suster yang memeriksa Lena keluar dari IGD, Rika pun segera menghampiri dokter tersebut.
"Dok, maaf sebetulnya apa yang terjadi pada teman saya?" tanya Rika.
"Kita bicara di ruangan saya saja, Bu. Mari ...," jawab dokter.
"Baik, dok."
Setelah berbicara sebentar dengan dokter, Rika berjalan mengikuti mereka ke ruangan dokter Ahmad yang terletak di samping ruang khusus untuk para perawat di lantai 1.
Sementara itu Anna dan Evan tidak berani menemui Lena sebelum Rika menyuruh mereka untuk masuk ke IGD. Anna yang masih marah dan jengkel terhadap Evan berusaha untuk menjauhkan dia dari Lena.
Anna tetap pada pendiriannya bahwa Lena jatuh sakit disebabkan oleh laki-laki yang sekarang sedang duduk di dekatnya. Dia berpikir kalau Evan tidak layak menjadi kekasih Lena apalagi menjadi suaminya kelak.
Di ruangan dokter Ahmad, Rika tiba-tiba merasa takut dan panik. Tangan Rika bergetar, jantungnya berdegup sangat kencang, padahal dokter sama sekali belum menjelaskan mengenai kondisi Lena kepada Rika.
Rika menarik kursi dengan perlahan, lalu duduk di atasnya. Wajah dokter Ahmad terlihat sangat serius membuat Rika semakin takut.
"Dok ... kalau boleh tahu teman saya sakit apa?" Suara Rika agak bergetar ketika menanyakan kondisi kesehatan Lena.
"Maaf Bu sebelumnya, saya mau bertanya apa ibu Lena pernah mengalami tekanan batin seperti ini atau tidak?"
"Maksud dokter bagaimana? Saya tidak mengerti," jawab Rika bingung.
"Begini, Bu. Ibu Lena sebetulnya mengalami tekanan batin yang amat berat sehingga menyebabkan kondisi psikologisnya terganggu." Dokter Ahmad menjelaskan.
"Maksudnya depresi, dok?" tanya Rika.
"Betul, depresi maksud saya. Selain itu ibu Lena juga sering cemas yang berlebihan."
"Saya tidak tahu kalau Lena ternyata depresi dan sering cemas," ungkap Rika.
"Banyak pasien yang saya tangani awalnya seperti teman anda, tetapi setelah pemeriksaan lebih lanjut ternyata mereka mengalami gangguan psikologis seperti depresi, terkena serangan panik, kecemasan yang berlebihan dan sebagainya." Dokter menerangkan kepada Rika.
"Apa keluarga ibu Lena mengetahui hal ini?" tanya dokter Ahmad.
"Sepertinya tidak tahu, dok. Hubungan Lena dengan keluarganya kurang baik dan sibuk dengan urusannya masing-masing."
"Ibu Lena membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya dan diajak bicara dari hati ke hati. Sebaiknya ibu Lena segera menemui psikiater agar tidak menganggu kesehatan fisiknya juga," tandas dokter Ahmad.
"Apa dia harus dirawat, dok?"
"Tidak perlu, yang penting teman anda harus banyak istirahat dan menenangkan hati serta pikirannya," balas dokter Ahmad.
"Ibu Lena sudah bisa pulang siang ini juga," sambung dokter Ahmad.
"Terimakasih, dok."
"Sama-sama, Bu."
Setelah berbicara dengan dokter Ahmad perasaan Rika sedikit lega karena ternyata Lena baik-baik saja dan tidak menderita penyakit yang serius, namun dia tetap akan membawa sahabatnya menemui psikiater seperti saran dokter Ahmad tadi.
Rika keluar dari ruangan dokter lalu kembali ke ruang tunggu di depan IGD. Rika pun berjalan perlahan menghampiri Anna yang sejak tadi menunggu dengan cemas.
"Hai, An. Gimana? Lo udah nemuin Lena belum?"
"Ehh, Ka. Gua belum masuk ke dalem, kok. Gua nunggu ijin dari lo dulu boleh masuk apa enggak."
"Lho kenapa? Kalo mau ketemu Lena ya masuk aja, gak usah nunggu ijin dari gua segala. Emangnya gua siapanya dia?"
"Habisnya tadi lo ngelarang gua, sih. Ya udah, kalo gitu gua masuk dulu," balas Anna.
"Sebentar, gua mau ngomong sesuatu sama lo. Penting," tegas Rika sambil menarik tangan Anna menjauhi Evan di ruang tunggu.
"Ngomong apaan? Lo mau ke mana? Kok narik-narik tangan gua?"
"Ssttt ... jangan berisik, kita ngobrol di pojok sana, ya." Rika berbisik.
"Iya, deh. Gua ikut aja," sahut Anna cemberut.
Anna dan Rika lalu cepat-cepat ke sudut ruangan tanpa menghiraukan keberadaan Evan yang sudah tidak sabar ingin bertemu Lena.
Evan tidak dapat menunggu lebih lama lagi, ia beranjak dari kursi lalu masuk ke IGD menemui Lena yang terbaring lesu dan lemas. Matanya sembap, ia memegangi dadanya yang masih terasa agak sesak.
Evan sangat terkejut melihat kondisi Lena yang pucat, sedih, muram juga lesu. Seketika ia merasa kasihan kepada perempuan yang dicintainya.
"Len, lo gak kenapa-kenapa, kan?!" tanya Evan tergesa-gesa menghampiri Lena. "Lo abis nangis?"
"Maaf, anda siapa?" tanya Andi.
"Saya Evan, teman dekatnya Lena. Kalau boleh tahu anda siapa?"
"Saya Andi, teman kerja sekaligus orang yang benar-benar mencintai Lena dengan tulus."
"Jadi anda juga mencintai Lena?" tanya Evan tidak percaya.
"Betul, Lena sudah cerita semuanya mengenai anda kepada saya. Saya rasa anda tidak perlu lagi datang dan mendekati Lena karena dia sudah menerima cinta saya," tegas Andi panjang membuat Evan semakin kecewa.
Tadinya Evan datang menemui Lena untuk menyelesaikan masalah di antara mereka dan akan mencoba berteman baik dengannya sesudah masalah mereka tuntas, tapi ternyata Lena malah menerima cinta dari laki-laki lain.
"Vaann ... maafin gua ya soal kejadian di Lembang kemaren, gua gak bermaksud bikin lo kecewa," ucap Lena lirih.
"Gua udah maafin lo, Len."
"Makasih, Van. Lo memang cowok yang baik yang pernah gua kenal tapi gua gak bisa nerima cinta lo."
"Tapi kenapa, Lena?! Bukannya lo juga punya perasaan sama gua? Rika bilang selama ini lo berharap banget jadi pacar gua," jelas Evan tertunduk sedih.
"Gua ... gua gak bisaaa ...." Tiba-tiba Lena menangis di depan Evan dan Andi.
"Gua butuh penjelasan lo, please ... jangan kayak gini." Evan memohon dengan sangat.
"Sorry, gua tetep gak bisa," tandas Lena, dia memalingkan wajahnya dari Evan.
"Kenapaaa?? Apa salah gua ke lo?"
"Lo itu ngingetin gua sama Rendy, dia juga dulu baik banget sama gua sampe akhirnya kita pacaran. Pas kita mau married ternyata dia selingkuh dan married sama cewek laen." Hati Lena teriris-iris waktu mengingat kembali masa lalunya.
"Terus hubungan gua sama Rendy apa?! Lo pikir gua bakal mutusin lo dan married sama cewek laen juga gitu?!" Evan tidak terima dirinya disamakan dengan mantan pacar Lena.
"I--iya, Rendy itu sama baiknya kayak lo. Jujur ... gua takut sama kebaikan lo, gua takut dikecewain lagi. Apalagi kita baru kenal sebentar." Air mata Lena mengalir deras, dia tidak mampu menahan perasaannya.
"Gua gak nyangka pikiran lo sepicik itu, Len! Gua bener-bener kecewa! Jangan lo pikir gua sama kayak mantan lo, ya!"
"Gua gak tau picik atau enggak, yang pasti sifat lo hampir sama kayak Rendy. Gua mohon lo jauhin gua dan jangan pernah lagi ketemuan atau nelepon gua lagi."
"Oke, kalo itu memang mau lo. Tadinya gua pikir kita bisa temenan lagi kayak dulu, tapi gua salah," keluh Evan, perasaannya begitu kacau saat itu.
"Gua gak bisa temenan lagi sama lo, karena itu cuma bikin gua semakin terjebak sama perasaan gua sendiri dan kebaikkan lo," ungkap Lena.
"Gak ngerti ... bener-bener gak ngerti gua sama jalan pikiran lo. Gua pulang aja, percuma dateng ke sini juga," gerutu Evan.
"Silakan anda pergi dari sini dan jauhi Lena, jangan pernah lagi anda mengganggu Lena." Andi tiba-tiba mengusir Evan, dia sungguh tidak tahan melihat pertengkaran antara Lena dan Evan.
Dengan sedih dan kecewa yang mendalam, Evan pun keluar dari IGD meninggalkan Lena bersama Andi di sana. Sesudah Evan pergi, Lena hanya bisa menangis di bahu Andi.
Hati Lena terluka sangat dalam begitu pula dengan Evan yang tulus mencintai Lena, namun cintanya ditolak hanya karena masa lalu perempuan itu.
Meski Andi sudah menyatakan perasaannya kepada Lena bukan berarti Lena sudah membuka hati untuk Andi, semua yang mereka lakukan di hadapan Evan tadi hanya sandiwara agar Evan menjauhi Lena.
☜☆☞