Pertarungan tak terhindarkan. Veronica yang ambisius terus melayangkan tebasan tanpa ampun kepada sang lawan yang tak lain Nevtor. Walau begitu, belum ada satu pun serangan yang berhasil menggoresnya. Kegesitan dan reflek si pemuda dalam menghindar sekaligus menangkis cukup diacungi jempol.
Syaat!!
Satu sayatan horizontal dilesatkan oleh Veronica. Namun lagi - lagi meleset mengenai target. Justru yang dia potong malah tiang lampu jalanan. Lampu itu pun terjatuh hingga pecah dan kaca - kaca berserakan di trotoar.
"Lawanlah aku! Jangan kau menghindar terus!" Gerutu Veronica. Melihat musuh di hadapannya yang hanya menghindar tanpa melakukan perlawanan.
Nevtor memang sejak awal berniat menghindari pertarungan dengannya. Karena luka dalam pertempuran di desa waktu itu belum sepenuhnya membaik, ditambah lagi energi dirinya yang juga belum pulih.
Berbeda dengan Veronica yang seakan haus akan pertarungan. Dia bahkan mencoba memprovokasi sang lawan tanpa henti. Mata amber-nya pun memancarkan kebuasan yang seolah ingin memangsa apapun di depannya. Dibaluri tekad dan semangat yang bagaikan aliran lava, dia sudah seperti api yang tidak bisa dipadamkan meski air mengguyur sekali pun. Memang berbeda sekali akan kepribadian lain dirinya yang kalem dan feminim.
Serangan beruntun yang dilancarkan oleh si wanita berhasil membuat Nevtor tersudut. Langkahnya harus terhenti lantaran sebuah tembok menghadang, gang buntu. Pemuda itu tidak bisa pergi ke mana pun lagi. Hanya bisa menunggu kedatangan Veronica yang kian mendekat.
"Menyerahlah!" Berjarak tujuh meter dengan sang pemuda, Veronica berhenti lalu menggenggam pedang besar dengan kedua tangan dan mengacungkannya secara vertikal setinggi muka. "Dan lawan aku!" Lanjutnya seraya memasang mimik keseriusan.
Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Nevtor harus ikut arus dalam pertarungan ini. Dia pun memegang pedang hitamnya menggunakan tangan kiri dan mengacungkan secara horizontal, lalu memasang raut datarnya, bukan, melainkan keseriusan.
Desiran angin malam menerpa, melewati tubuh keduanya begitu saja. Dan perlahan, sinar rembulan mulai tertutup oleh awan yang bergerak dan hanya menyisakan remang - remang cahaya.
Tap!!
Setelah kedipan mata, keduanya pun serentak merangsek maju. Bilah pedang yang saling bertabrakan, menciptakan sesaat percikan bak kembang api.
Dengan semangat yang berkobar, Veronica dapat dengan mudah mengalahkan cengkeraman pedang sang lawan. Akibatnya, Nevtor pun berhasil dipukul mundur beberapa meter. Momen kelengahan itu langsung disikat oleh si wanita berzirah. Tanpa jeda ia mengayunkan pedangnya, menyebabkan sang lawan kewalahan sehingga terus terpukul mundur.
Tatkala serangan sang musuh mulai kendur, kesempatan emas itu langsung diambil oleh Nevtor. Segera dia memajukan tangan kanan dan lima jemari terbuka. Keluarlah asap hitam deras yang menyelubungi tempat Veronica berpijak.
Dalam kondisi gelap gulita tersebut, si Wanita berzirah tetap tenang lalu beralih mengarahkan pedangnya ke belakang. Seusainya, nampak pendar putih keluar dan menjalar pada seluruh bilah pedang. Kemudian Veronica pun berucap, "Knight Technique: Wind Sweeper!" Pedang dikibaskan secara horizontal, menciptakan angin kencang yang menyapu seluruh asap hitam yang menyelimuti tempatnya.
"Technique: Pierce Slash!"
Nevtor melompat dan melakukan tusukan menukik. Sementara, Veronica lekas menancapkan pedang besarnya ke trotoar lalu tercipta dinding putih di hadapannya. Hingga terjadilah benturan hebat antara pedang hitam sang pemuda dengan tembok tersebut. Namun kekokohan dinding itu bukan main - main. Hebatnya lagi kemampuan sang wanita berzirah itu bisa sekaligus memantulkan. Menyebabkan Nevtor terpental dan menghantam tembok gang di belakang.
Wanita itu kemudian berjalan mendekati sang musuh yang bersandar tak berdaya sembari melemparkan senyuman yang mengartikan kemenangan.
"Serangan yang sia - sia. Aku sudah tahu semua kemampuan milikmu," ujarnya setiba di hadapan sang pemuda seraya menodongkan pedang. "Jika kau ingin menang ... gunakanlah kekuatan tersembunyimu itu." Sudut kiri bibir merah melengkung. Insting keinginan bertarung dalam dirinya masihlah belum padam.
Sayangnya, dia tidak menuai respon apapun. Pemuda di depan hanya bungkam seribu bahasa. Apakah dia sudah pingsan?
"Hey, hey, bangunlah! Kutahu kau belum mati!"
Lagi - lagi tak ada reaksi. Hal itu membuat Veronica agak kesal. Ia kemudian mengangkat pedangnya tinggi melewati batas kepala. Bersiap untuk memenggal kepala sang korban yang masih terdiam. Tidak peduli membawanya hidup atau mati, yang terpenting dia bisa memuaskan nafsu bertarungnya.
"Baiklah kalau begitu," tatapan murkanya berganti kekejaman, "matilah!!" Dia mengayunkan pedang disertai suara melengking.
Akan tetapi, mendadak bilah pedangnya hancur berkeping - keping. Dirinya dibuat terkejut seraya menatap kepingan yang berjatuhan di depan matanya. Bagaimana bisa senjatanya hancur? Padahal sang musuh tidak bergerak atau menyerang. Dia juga tidak merasakan ada kerusakan pada pedangnya. Bagaimana bisa?
Sementara Veronica kebingungan, Nevtor yang masih sadar menggenggam senjatanya kembali yang sempat terlepas lalu menyerang. Ketajaman bilah pedangnya mampu menebus armor sekaligus melukai perut kiri sang lawan. Setidaknya bukan area yang fatal, sebab ia tak ingin melakukan pembunuhan yang tidak perlu.
Kesakitan, si Wanita lekas menahan perut kiri untuk mencoba menghentikan pendarahan. Kemudian dia berbalik dengan wajah murka. Namun karena luka cukup serius dia tidak bisa memenuhi harapan untuk balas menyerang. Veronica hanya bisa berlutut lemas di trotoar sambil menahan rasa sakit dan melontarkan ucapan kekesalan pada sang musuh dengan nada sarkas walau percuma.
"Mengapa pedangku bisa hancur. Trik apa yang kau gunakan tadi?!" Tanyanya dengan nada kasar.
Nevtor menyarungkan pedang lalu menjelaskan, "Pierce Slash. Kemampuan itu bukanlah sekedar serangan biasa, melainkan bisa menembus segala apapun bahkan jenis pertahanan walau tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Sejak awal aku mengincar senjatamu. Memang butuh beberapa detik untuk serangan itu aktif dan menghancurkannya."
Kedua mata Veronica membulat. Data yang dia dapatkan dalam mematai - matai tempo lalu itu sungguh tidak sempurna. Dia mengira jikalau kemampuan si pemuda tadi hanyalah serangan biasa tanpa ada efek khusus.
Melihat si wanita berzirah membatu, Nevtor mulai bergerak menjauh hingga sosoknya hilang dibelokkan kanan gang. Dan tidak lama setelahnya, datanglah seseorang dari sudut kiri gang. Pemuda yang tidak lain adalah Fenrir dengan nafas ngos - ngosan karena sejak tadi mencari keberadaan Veronica. Dia pun langsung berlari menghampiri si wanita yang masih terdiam sambil memegang perutnya yang mengeluarkan banyak darah.
"Veronica, kau tida--"
"Sialan!!"
Teriakan serta hantaman tangan si wanita pada trotoar membuat langkah Fenrir terhenti. Pemuda itu terkejut sebab ini pertama kalinya melihat Veronica marah. Dalam beberapa bulan bersamanya dia memang tidak pernah melihatnya meluapkan emosi tersebut bahkan sedikit. Diingatannya, sosok Veronica merupakan wanita kalem, murah senyum dan penuh kesabaran. Selain itu, dirinya juga ramah tangan dalam menolong siapa saja di kota ketika mereka butuh bantuan.
Tiba - tiba, kemurkaan wanita itu berubah menjadi isak tangis. Dia merasa kegagalan dalam tugas ini bentuk ketidakbecusan dirinya. Secara Veronica-lah yang diharapkan oleh salah satu Title Champion untuk menangkap Assassination bernama Nevtor. Demi mendapatkan kelayakan dirinya sebagai kandidat baru untuk menggantikan Kursi terdahulu, Title Champion.
"Maafkan aku kak. Maafkan aku!" Perkataan itu dibaluti isak tangisnya. Air mata terus menetes dan berjatuh ke trotoar.
Mendengarnya, Fenrir yang hendak mendekati sang wanita mengurungkan niat. Kini dia hanya bisa terdiam. Mengerti betul bagaimana perasaan wanita itu saat ini sebab dirinya juga pernah jatuh pada kondisi yang sama.
"Kegagalan memang bentuk awal dari keterpurukan. Namun kau bisa mengatasi itu dengan bangkit dan terus semangat. Jangan menyerah, kutahu kalau kau adalah Titlelist terhebat!" Kata penyemangat itu yang keluar dari mulut Fenrir secara tiba - tiba.
Tangisan Veronica terhenti. Dia menengadah, menatap sang pemuda yang telah menyuguhkan senyum merekah. Suasana itu pun disambut oleh rintik - rintik hujan yang mulai turun. Membasahi pakaian mereka, dan menghapus air mata kegagalan.
***
Hujan deras mengguyur penjuru kota Known. Namun hal itu tidak menyulutkan semangat para Titlelist dan Penjaga dalam pencarian. Mereka terus berlarian ke sana - kemarin, meninggalkan jejak cipratan air di trotoar.
Nevtor masih berusaha untuk bisa keluar dari kota. Tetapi upayanya yang ternilai nihil itu memaksa dirinya henti sejenak untuk memulihkan energi yang terkuras. Jika dia menggunakan teknik lagi kemungkinan bakal langsung pingsan. Walau bisa saja menggunakan kekuatan Assassination, namun dia punya alasan khusus untuk tidak menggunakannnya saat ini.
Dari tadi, mata Nevtor sibuk memerhatikan kondisi di luar melalui jendela. Dia sekarang berada di dalam salah satu rumah yang dihuni oleh seorang wanita dan anak perempuannya. Beruntung, mereka tidak mengetahui identitas asli dirinya. Jadi Nevtor tidak perlu repot - repot memaksa atau pun mengacam mereka untuk menutup mulut bahwa dirinya berada di sini. Ditambah cuaca saat ini yang juga sebuah peruntungan, dia cukup beralasan saja kalau membutuhkan tempat berteduh.
"Kak, Kak," anak perempuan itu menarik - narik jubah Nevtor, "Kakak berasal dari mana?" Tanyanya.
Si pemuda yang sedari tadi menatap jendela itu beralih menatap sang anak lalu menjawab, "Hmm ... Kakak berasal dari kota di selatan sana," dustanya.
Perkataan itu menoreh keceriaan di wajah sang anak. "Wah, apakah kota tempat Kakak tinggal sama bagusnya dengan kota ini?"
"Hmm ...."
Ketika Nevtor hendak menjawab kembali pertanyaan dari gadis kecil itu yang nampak penasaran, seketika Ibunya datang dan menarik sang anak. "Maaf, kalau dia banyak nanya!" Ujarnya sembari menundukkan kepala. Si Anak yang melihat tingkah ibunya itu pun ikut melakukan hal yang sama.
"Tidak apa - apa! Namanya juga anak - anak," balas Nevtor. Tatapannya kemudian beralih kembali pada jendela. Orang - orang tadi yang mengejarnya sudah tidak lagi ada. Namun mendadak ada suara ketukan pintu.
Wanita pemilik rumah lekas membukakan pintu. Walau Nevtor sebenarnya ingin melarang, namun karena takut dicurigai jadi dirinya pun pasrah dan berharap saja yang ada di balik pintu bukanlah orang - orang yang tengah mencarinya.
Pintu dibuka. Sosok yang mengenakkan baju hujan berwarna ungu bertudung tengah berdiri diguyur hujan. Tubuh sosok tersebut memiliki tinggi yang mungkin sepantaran dengan anak perempuan di belakang. Namun yang mengherankan, posisi berdirinya, bukan melainkan dia melayang beberapa meter di permukaan trotoar.
"Ada yang bisa kubantu?" Tanya Si Ibu tanpa menaruh curiga.
Bukannya menjawab, sosok tadi malah mengarahkan telapak tangan yang terbuka lalu menyemburkan gas yang membuat sang wanita langsung jatuh pingsan. Dan si Anak yang khawatir pun beranjak mendekati ibunya, tetapi efek dari gas tadi masihlah ada sehingga dirinya malah ikut menghirup dan tidak sadarkan diri.
Intuisi langsung memandu Nevtor untuk menjaga jarak lalu menghunuskan pedangnya dan masuk dalam mode siaga.
"Jangan khawatir ...," suara itu nampak familiar di telinga Nevtor, "... aku tidak akan menyerangmu atau pun memberitahu keberadaanmu," dia pun melepaskan tudungnya.