Wuush!!
Angin kencang berhembus dan mendorong sang makhluk hitam. Meski sudah mencoba untuk bertahan, nyatanya angin tersebut cukup kuat sehingga pertahanan sang makhluk berwujud 'Nevtor' itu terbongkar, lalu dia terpelanting sampai menabrak bongkahan pilar di belakang.
Ketika hendak bangkit dan menatap langit, sontak saja ia dikagetkan oleh tiga anah panah yang menuju ke arahnya. Secara sigap 'Nevtor' pun melompat mundur lalu berlindung di balik salah satu pilar reruntuhan yang masih berdiri.
Lagi dan lagi, anak panas terus ditembakkan dari busur sosok bersayap empat yang tengah melayang, tujuh meter dari permukaan lantai. Menimbulkan kerusakan begitu hebat hingga mampu menumbangkan pilar yang menjadi tempat berlindung sang lawan.
Namun, saat pilar itu ambruk, ternyata 'Nevtor' yang sembunyi sebelumnya telah tiada. Keberadaannya bahkan tidak dapat terdeteksi oleh sosok bersayap empat yang bernama Einherjar itu.
Buak!!
Satu hantaman keras mendarat di punggung Einherjar hingga dirinya tersungkur ke bawah, menerbangkan debu - debu. Disusul oleh serangan lanjutan, beruntung sosok bersayap itu dapat menghindar lalu terbang menjauh.
Akan tetapi, pergerakannya lekas dihentikan oleh tangan - tangan hitam yang keluar dari bawah tanah. Walau mencoba untuk melawan, sayangnya empat tangan yang mencengkeram keempat sayapnya memiliki kekuatan yang tak sebanding dengannya sehingga itu cukup membuat ia menyerah melakukan perlawanan.
Dari balik kabut yang mulai pudar, makhluk berwujud 'Nevtor' itu pun muncul dan berjalan mendekat. Kendati tanpa ekspresi, tetapi mata merahnya yang memancar cukup mengartikan bahwa dirinya tengah menunjukkan emosi keberhasilannya saat ini.
Sementara di pihak lain, Nevtor sedang berupaya menumbangkan sang musuh menggunakan serangan fisik. Kenyataan bahwa dirinya belum bisa melukai itu dapat dilihat dari senyuman serta ucapan arogan yang dilontarkan oleh lawan yang tak lain Fuliuz.
Sihir bola api biru keluar dari telapak tangan Fuliuz yang kemudian melesat menuju Nevtor yang berlari maju. Si pemuda bermantel itu lantas bergerak menghindar dan ketika telah sampai di hadapan sang musuh, dia langsung mengayunkan pukulan.
Tinju tersebut dengan gampangnya dihindari oleh Fuliuz, namun itu belum bisa membuatnya bisa bernafas lega. Sebab ada serangan berikutnya yang menanti, yakni sebuah tendangan sabit yang hampir saja mendarat di perutnya jika saja dia tak sempat bergerak cepat.
"Nyaris," lirihnya sembari tersenyum.
Kembali, Nevtor melayangkan tendangan. Kemudian dilanjutkan oleh dua pukulan sesaat setelah serangan pertamanya dinyatakan gagal. Sayang, serangan tersebut pun belum juga bisa melukai sang lawan.
"Harus kuakui. Dia benar - benar kuat!" Dalam benaknya, Nevtor memuji sang lawan. Kalau boleh menilai, Fuliuz merupakan musuh pengguna sihir yang cukup kuat dan merepotkan sama halnya dengan Shazer, Sang Kursi Ketujuh yang dulu pernah ia lawan.
Tatkala Nevtor menyudahi pemikirannya, sontak saja sambutan sihir guntur biru telah menantinya dari langit. Berkali - kali serangan tersebut meyambar sang pemuda, namun berkat kecepatan Assassination-nya, hal tersebut bukanlah masalah berarti. Meski di satu sisi, itu pun memaksa dia untuk mundur.
"Engkau memang lawan yang menarik. Dari sekian banyak kroco yang kulawan, hanya engkaulah yang bisa membuat diriku sesemangat ini," ungkap Fuliuz sumringah yang berdiri di pilar.
"Jadi begitu. Itulah alasan kau sangat payah. Sebab kau selama ini hanya bisa mengalahkan kroco," timpal Nevtor.
"Ya, begitulah! Saking lemahnya kroco - kroco yang kukalahkan, mereka bahkan tidak dapat menggores diriku yang payah ini. Sama halnya denganmu!" Ia menyodorkan jari telujuknya.
Bukan hanya hebat dalam pertarungan, rupanya Fuliuz pun hebat dalam adu argumen. Akan tetapi dia salah mengira jika sang pemuda di depannya akan termakan omongan itu. Nevtor, merupakan orang yang mempunyai kekebalan terhadap segala bentuk provokasi.
Sementara itu sisi lain, Einherjar masih terjerat oleh tangan - tangan hitam yang membelenggu sayapnya. Semakin dia berupaya makin erat pula jeratan. Sehingga tubuhnya perlahan - lahan terbungkus hingga membentuk kepompong.
'Nevtor' kemudian mengangkat tangan kanan lalu perlahan dikepal menyebabkan kepompong itu juga ikut terhimpit. Namun tanpa terduga, secercah cahaya keluar dari celah kepompong yang mengusik pandangan sang makhluk hitam hingga dia tak menyadari kalau ada sosok putih mendatanginya.
Sosok tersebut mencekik leher sang lawan lalu membawanya ke udara. Walau mencoba meronta - ronta kenyataan bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa - apa dan ditambah kesadaran akan kondisinya saat ini itu cukup menghentikan perlawanannya yang percuma.
Udara semakin menipis dan dingin, disertai ozon yang melintas, menandakan bahwa kedua makhluk itu telah mencapai lapisan stratosfer, lapisan kedua di dunia ini.
Einherjar yang mencekik leher si musuh lantas melepaskan cengkeramannya, mengakibatkan 'Nevtor' pun terjatuh. Bahkan hal itu belum cukup, sosok bersayap empat lalu menghantamkan kedua kakinya ke perut lawan yang tak bisa berbuat apa - apa sehingga kecepatan jatuhnya semakin bertambah. Kemudian tanpa belas kasih, dia melanjutkan serangan, menembakkan sepuluh anak panah yang berhasil menancap pada tubuh sang musuh yang saat ini telah telungkup di pasir.
Jika saja dirinya punya emosi mungkin saat ini ia teramat kesakitan. Bukan, jatuh dari ketinggian seperti itu sudah membuatnya tewas seketika. Namun makhluk itu kembali bangkit. Ia mendongak, menatap sang musuh yang melayang tujuh meter dari permukaan pasir, dan tampak wujud makhluk itu mulai mengelupas menjadi kepingan abu hitam yang terbang mengikut arus angin. Tak lama setelahnya keberadaan ia pun menghilang, berganti menjadi pedang yang jatuh tergeletak dengan bilah patah.
Lengkungan terbentuk di bibir Fuliuz. "Tampaknya, Kartu As milikku menang!"
Seusai perintah sang majikan melalui telepati, Einherjar pun terbang menuju titik buta lalu membidik sang pemuda di hadapannya. Sedangkan Fuliuz menciptakan sihir bola api biru di tangan kanan sekaligus sihir angin di tangan kiri.
Serangan dua arah. Terlebih lagi jarak keduanya sangat dekat, semakin memperkecil persentase dirinya untuk dapat menghindar. Nevtor yang terhimpit situasi genting itu sangat paham. Namun, jauh di benaknya dia tak ingin mati begitu saja. Bagaimana pun ....
"Aku harus menang!" Batinnya.
Tangan kanan dimajukan ke depan. Lima jemari dilebarkan. "Technique: Blind!" Asap hitam keluar deras dari telapak tangan yang kemudian menyelimuti sekitar dengan kegelapan.
"Kau pikir aku akan terjebak dalam kondisi yang sama?!" Fuliuz berseru. Dia lantas menembakkan kedua sihirnya yang disambung oleh sepuluh anak panah yang mengarah ke tempat pemuda bermantel berpijak.
Kombinasi elemen api dan angin tersebut membentuk pusaran badai api besar yang menjulang tinggi dan menyesakkan. Dipadukan oleh puluhan panah yang masuk pada lubang pusaran dan menghujani area sang lawan, manawarkan suasana yang mengerikan. Peluang bahwa si musuh bisa selamat nampaknya nol besar. Bagaimana tidak, ruang untuk bergerak atau pun menghindar dari kawasan itu amatlah sempit bagi manusia.
Fuliuz menikmati pemandangan itu dengan senyuman. Dalam batinnya, dia saat ini tengah merayakan kemenangannya. Dapat mengalahkan Noble Assassination yang memiliki kekuatan maha dahsyat merupakan kenikmatan terbesar baginya yang seorang Ordinary Assassination. Ya, walau sebenarnya status ia sekarang adalah Extreme Assassination. Namun setidaknya hal itu patut diapresiasikan.
Berangsur - angsur badai api pun menghilang. Fuliuz menatap lamat - lamat kawasan yang barusan terkena dampat sihirnya. Dia sana terdapat mantel yang telah hangus menerpa dan sebuah ....
"Lubang?" Ia kebingungnan. Pertanyaan yang menghiasi pikiran lekas terjawab saat dirinya masih dapat merasakan hawa keberadaan orang yang dikira telah tiada. Bukan hal itu saja, dia bahkan kembali dikagetkan ketika melihat pion kebanggaannya yang melayang di hadapan sebelumnnya menghilang entah ke mana.
Perasaan mencekam tiba - tiba merayap ke seluruh tubuh. Pria berjubah tersebut lantas membalikkan badan dan mendapati sosok yang tengah berdiri sambil memegang pedang dengan bilah hitam berpadu warna putih terang. Rambutnya acak - acakan dan menutupi setengah wajah, terlihat juga bahwa wajah kirinya mengalami luka bakar. Selain itu, dibalik setengah mantel yang dikenakannya, terdapat luka yang sama di bahu kiri.
Meski bisa menghindari situasi maut tadi, dampak akan serangan itu tak bisa dipungkiri. Walau seorang Assassination, kenyataan bahwa dia juga seorang manusia biasa.
Sebelumnya, saat malapetaka itu hendak merenggut nyawa dirinya, Nevtor yang berada di balik badai api menggunakan teknik 'penggali' yang dia pelajari pada masa di mana ia masih menjadi Titlelist. Sayang, teknik itu tidak cukup cepat dari laju serangan yang datang sehingga jilatan api pun membakar sisi kiri tubuh dan setengah mantelnya. Beruntung dia hanya mendapat luka bakar kecil.
Nevtor yang kembali ke permukaan dengan rambut berantakan di titik buta sang Einherjar, lantas mengarahkan tangan kanan pada pedang miliknya yang tergeletak jauh di hamparan pasir. Dengan cepat senjata hitam itu pun kembali kepada sang pemilik layaknya palu thor.
Beberapa detik usai mengucapkan teknik miliknya, dari gagang pedang, muncul gumpalan aura hitam yang lalu membentuk ular raksasa dan melahap sosok bersayap empat yang melayang dalam sekali telan. Bilah yang sebelumnya hancur pun perlahan beregenerasi dan membentuk bilah baru berwarna putih. Perpaduan warna putih dan hitam pada bilah tersebut sungguh menakjubkan.
Dengan cepat Nevtor pun menghilang dan kini berpindah ke titik buta sang lawan yang dibaluri oleh keterkejutan.
"Bilah itu? Begitu ya. Jadi Einherjar telah dilahap oleh kemampuan pemuda. Sial!" Batin Fuliuz. Ia berdecak dan mengertak gigi. Dugaannya tepat sekali.
"Persiapan telah selesai!" Nevtor mengangkat tinggi pedang hitam - putihnya secara vertikal menggunakan kedua tangan. Semacam pendar hitam berpadu kemerahan pun muncul dari gagang pedang lalu merembet ke ujung hingga membungkus seluruh bilah. "Nikmatilah rasa keputusaan! Cruel Technique: Absolute of Slash!"
Pedang diayunkan dengan kekuatan penuh. Tebasan vertikal beraroma kehancuran pun melintas yang meluluh lantahkan segala apapun yang menghalangi jalurnya.
Seolah kedua kakinya telah kaku, Fuliuz hanya bergeming dan menelan ludah pahit. Bukti bahwa tebasan yang memiliki makna mutlak itu benar - benar telah menggoyahkan mentalnya. Ketidakberdayaan jelas dia ungkapkan melalui ekspresi kepasrahan.
Di jalur kegelapan yang menyatu dengan suasana sekitar, wujud Fuliuz seakan terurai menjadi serpihan - serpihan layu sesaat setelah serangan perkasa menghantam dirinya. Bukanlah jeritan yang terdengar melainkan senyuman yang terlihat. Puncaknya, terjadi guncangan hebat yang menggema ketika tebasan itu beralih menabrak reruntuhan. Menyebabkan pondasi bangunan kuno itu roboh, menerbangkan partikel debu serta material tajam yang berhamburan segala penjuru. Bahkan tidak sampai situ saja, bekas dari serangan tadi pun meninggalkan retakkan cukup dalam, terhubung ke arah sang pemuda yang berdiri di antara kehancuran.
***
Seutas senyum tampak terukir di bibir kiri sosok yang menanti di pintu masuk teluk. Wujudnya lalu berubah menjadi sekelompok kekelawar yang terbang masuk.
Setibanya di pesisir pantai, para kekelawar itu mengubah wujudnya menjadi sosok tadi. Sesuai dugaan dia pun disambut oleh tiga lelaki yang telah menunggu. Walau dipandang oleh tatapan tajam dan ditodong tombak panjang, hal itu tidaklah membuatnya gentar.
Dari arah belakang tiga lelaki itu, datang sang pria berotot serta wanita yang juga memberikan tatapan sama.
"Siapa engkau? Dan ada keperluan apa engkau datang ke teluk terhormat kami ini?" Tanya pria berotot itu. Nada bicaranya cukup sopan.
"Siapa aku dan apa keperluanku, kau tidak perlu tahu," jawab sosok berjubah itu.
Mendengar jawaban yang tak mengenakkan di telinganya, Sera merasa geram. Dia lantas berjalan menuju sosok berjubah itu sambil mempererat tombak di genggamannya. Namun pergerakannya langsung dicegat oleh tangan sang ayah.
"Apabila engkau tidak ingin memberitahukan maksud tujuanmu, sebaiknya pergi atau kami tidak segan - segan untuk mengusir dirimu secara kasar!" Tegas pria itu.
"Interesting! Cecunguk seperti kalian ingin mengusir diriku?"
Seketika suasana berubah. Rantai demi rantai pun muncul dari dalam pasir. Rantai hitam serta merah yang bisa hitung oleh jari itu bergerak dan mengelilingi tubuh sang sosok berjubah seolah - olah hidup.
"Sadarilah posisi kalian, wahai hama!"
Dalam sekali perintah, tiga rantai pun melesat dan menyerang ketiga lelaki. Bahkan saking cepatnya, rantai tersebut telah membunuh mereka sebelum bisa berkedip.
Si pria serta putrinya terlonjak dan mulut seolah kaku menyaksikan kengerian itu. Sepasang mata mereka membulat, menatap takut dan pilu rantai - rantai yang telah mematahkan leher, menusuk perut dan menembus tenggorokan ketiga lelaki yang merupakan saudara mereka sendiri.
Tak kuasa lagi memandang semua itu, Sera lantas memalingkan pandangan, namun bersamaan itu sebuah benda secara tiba - tiba membelenggu lehernya sehingga dia kesulitan bernafas dan tombak di genggaman pun terjatuh. Disusul oleh rantai lain, kedua tangan yang mencoba melepaskan logam di lehernya langsung ditarik dan ikut dibelenggu. Kemudian di sambung kedua kakinya dan tubuh si wanita pun diangkat tinggi - tinggi.
Mendengar rintihan putri semata wayangnya, sang pria meraung - meraung, memohon kepada sosok berjubah untuk melepaskannya. Namun alih - alih permintaan dikabulkan, dia justru mendapat hantaman keras di perut hingga tersungkur. Dan ketika dirinya mencoba bangkit sebuah rantai lebih dulu mencengkeram lehernya lalu mengangkat tubuh pria malang tersebut.
"Aku ingin kau membuka portal menuju reruntuhan bernama Geliuz," titah sosok berjubah itu kepada sang pria.
"Ap-a ... y-yang ingin eng-kau ... l-akukan ... di-san--argh ...." Rasa sakit meradang sesaat rantai yang membelenggu lehernya kian menguat.
"Sudah kukatakan, apa keperluanku, kau tak perlu tahu! Jika kau menolak," sosok itu berpaling ke arah sang wanita yang tampak lemas, "maka putrimu akan kulenyap--"
"Ba-baik-lah ... akan ku-lakukan. Namun to-long, jangan s-sakiti put-riku!"
Sosok itu tersenyum. "Baik."
Benda yang menyesakkan leher terlepas. Dengan mata yang agak sayu, Sera memfokuskan pandangan kepada sang ayah yang juga melihat ke arahnya dengan senyuman.
"A-ayah ... jangan ...." lirihnya. Sayangnya ucapan itu tak sampai pada sang ayah.
Si pria memejamkan mata. Dalam hati dia merapalkan mantra untuk membuka portal menuju reruntuhan Geliuz. Dan tak lama, ombak pada lautan mulai mengganas, disusul oleh awan yang seketika berubah gelap. Guntur dan angin tornado pun ikut andil pada sisi tengah lautan, yang kemudian pusaran air besar perlahan - lahan terbentuk di sana.
"I-itu portalnya. E-ngkau cukup ber-diri di pusaran itu," jelas si pria tersendat - sendat.
"Apa kau kira aku bodoh?"
Rintihan kembali terdengar ketika tarikan rantai yang mencekik leher menguat.
"A-apakah di situasiku sekarang ... diriku b-bisa me-mbohongi dirimu?"
"... Ya, kau benar!" Sosok itu tersenyum kembali. "Kondisimu yang sekarang memang tak dapat berbohong."
Sebuah rantai runcing dengan ukuran yang lebih besar dari rantai lainnya muncul dari bawah pasir lalu diarahkan pada sang wanita yang masih terkekang lemas.
"Namun ...."
Melihat hal itu, si pria pun seketika histeris dan berontak sampai air mata membasahi kedua pipi.
"Ti-tidak. Ja-ngan, jangan la-kukan itu ...."
Walau kedua tangan mencoba menggapai dan mulut meminta permohonan, kenyataannya semua tindakan itu sia - sia.
Ratapan ketakutan sang pria sebelumnya tidak lagi terdengar. Ia mendelik melihat putrinya yang telah tak bernyawa. Tubuhnya seakan mati rasa, tidak mampu bergerak bahkan menggerakkan satu jari sekali pun.
"Situasiku saat ini ... bisa berbohong." Kali ini seutas senyuman kepuasan terukir di bibirnya.
Tidak lama berkabung, kedua tangan dikepalkan erat hingga bersuara. Mata merahnya menatap benci dan marah sosok yang telah membunuh keji putrinya. "Sialan kau. Akan kubunuh kau. Akan kubunuh!!!" Geramnya menjadi - jadi. Dirinya seolah tak peduli lagi terhadap kondisinya. Seingin mungkin meraih dan mencekik leher sosok di depan hingga tewas. Sayangnya, dia tidak dapat memenuhi harapan itu.
Sosok berjubah tertawa puas menonton tingkah pria yang seakan kerasukan setan itu. "Ya, itulah yang ingin kulihat sedari tadi. Rasa keputusasaan dan kegilaaan!"
"Kubun--"
Jeritan mendadak senyap. Ketika besi panjang nan runcing masuk dan mengoyak tenggorokan. Cairan merah segar pun muncrat setelahnya, membasahi pasir serta tudung sang sosok berjubah. Kemudian, dua tubuh yang tak lagi berguna, dibuang begitu saja tanpa rasa iba. Kedua mayat tersebut tergeletak sejajar dan saling tatap. Meneteskan darah yang perlahan jatuh ke mata.