Chereads / The Title: Assassination Arc / Chapter 38 - Bab 38 Kilas balik: Kebohongan yang terkuak

Chapter 38 - Bab 38 Kilas balik: Kebohongan yang terkuak

Tlak!

Pedang kayu saling bertabrakan. Si Anak berambut hitam pun melakukan dorongan kuat menyebabkan sang lawan terpukul mundur. Dilanjutkan, ia melayangkan satu tebasan namun langsung ditangkis. Dua, tiga kali serangan berikutnya pun belum bisa mengikis pertahanan sang lawan. Namun hal itu tidak menggoyahkan semangat dirinya. Ia kembali merangsek maju dan secara cakap memainkan pedangnya, melakukan tebasan berkala menyebabkan lawannya kali ini dibuat kewalahan.

"Fuuh. Sekarang kamu semakin mahir menggunakan pedang ya, Nevtor," cetus sang lawan yang tidak lain Flade, ayahnya. Ia berhasil menjaga jarak beberapa meter.

"Ini semua berkat latihan Ayah," sahut Nevtor. Pegangannya pada gagang pedang tampak tidak kendur sedikit pun.

"Tidak. Itu semua berkat kerja kerasmu sendiri yang giat berlatih selama sebulan ini." Ia tersenyum. Dibalik senyuman itu ada rasa bangga.

Setelah perbincangan itu, Flade langsung mendatangi Nevtor dan melakukan tebasan mendatar. Bahkan saking kerasnya serangan, tubuh anak itu sampai terdorong beberapa meter saat mencoba menahannya. Ia bahkan kembali dikejutkan oleh serangan sang ayah. Namun kali ini dengan lihai, anak itu berhasil menghindar lalu menggunakan kemampuan miliknya yang baru dipelajari beberapa minggu. Teknik asap hitam untuk mengelabui pandangan.

"Teknik itu ...." Saat melihatnya, Flade jadi teringat kembali masa lalu. Terbayang - bayang sosok wanita yang mempunyai teknik serupa. Wanita yang tak lain ibu dari anak yang tengah dirinya lawan saat ini. Pria itu bahkan sampai terdiam untuk beberapa detik memikirkan hal tersebut hingga akhirnya tersadar saat anak angkatnya menyerang dari titik buta.

Tlak!

Pedang kembali beradu saat Flade berhasil menahannya. Nevtor pun lekas menjaga jarak. Ia tidak menyangka bahwa triknya itu bisa dibaca oleh sang ayah.

"Baiklah, latihan kita sudahi sampai sini," ucap Flade. Ia kemudian berjalan menghampiri sang anak berambut hitam tersebut.

"Padahal baru beberapa jam berlatih, mengapa Ayah malah menyudahinya?" Nevtor tampak mengeluh. Mengingat latihan mereka normalnya berlangsung hingga sore atau pun petang hari. Mengapa hari ini berbeda?

"Ayah ada urusan. Jadi latihan kita sudahi dulu. Esok pagi baru kita teruskan," jelas Flade setiba di hadapan sang anak. "Dan ngomong - ngomong, sejak kapan kamu mempelajari teknik asap hitam itu, Nevtor?" Tanyanya penasaran.

"Sekitar dua minggu yang lalu."

"Begitu ya."

"Memang kenapa?"

"Tidak. Ayah hanya ingin tahu saja. Sebab teknikmu itu sungguh luar biasa! Ayah sampai dibuat terkecoh." Ia memuji seraya melipat tangan di dada.

"Meski begitu, tetap saja teknikku itu bisa dibaca mudah oleh Ayah, 'kan?" Meski tampang datar, sesungguhnya ia agak kecewa saat kemampuannya belum memenuhi hasil yang diinginkan.

Flade tahu betul perasaan anak angkatnya itu. Ia pun berlutut menyamai tubuhnya dengan si anak lalu memegang kedua pundaknya lantas berkata, "Kamu tidak perlu kecewa. Lamban laun kamu pasti bisa mengalahkan Ayah. Tinggal bagaimana kamu terus mengasah kemampuanmu dan giat berlatih saja." Mendengarnya, Nevtor mengangguk mengerti.

Flade kembali bangkit. "Kalau begitu Ayah masuk dulu." Tampak, Ia berjalan dengan raut wajah gelisah. Kemampuan anaknya barusan benar - benar membuatnya memikirkan kembali insiden hari itu.

Melihat mimik sang suami, Lylia yang baru saja keluar rumah sambil membawa keranjang berisikan pakaian basah pun menegurnya, "Ada apa sayang? Apa ada yang kau pikirkan?" Tanyanya cemas.

Langkah Flade terhenti, menatap sang istri seraya melempar senyum. "Tidak, tidak apa - apa!" Kemudian ia kembali berjalan dan masuk ke dalam rumah.

Sedangkan, Lylia tampak bingung. Tatapannya kemudian beralih ke arah anak berambut hitam yang tengah kembali berlatih.

Nevtor menjatuhkan tubuhnya. Berbaring di atas rumput hijau seraya menatap langit biru serta awan - awan yang bergerak. Ia merasa malas. Berlatih seorang diri benar - benar membuatnya tidak bersemangat. Berbeda sekali sekali kalau berlatih bersama sang ayah.

Tidak lama angin pagi berhembus lembut melewati tubuhnya. Anak itu begitu nyaman hingga kedua matanya terpejam tanpa sadar. Ia berlarut dalam pikiran khayalan. Namun mendadak saja ada ingatan yang terlintas membuatnya tersadar. Ingatan tentang buku usang yang ia temukan waktu di perpustakaan sebulan yang lalu. Buku pribadi milik ayahnya. Sial, benda tersebut benar - benar mengusik pikirannya hingga ia tidak bisa lagi menikmati suasana sekitar.

Nevtor bangkit, mengambil posisi duduk. Beberapa menit setelahnya di kejauhan tampak seorang anak melambaikan tangan padanya. Anak berkuncir yang tak lain Barm. Ia katanya rindu sebab selama sebulan Nevtor tidak pernah lagi kelihatan. Oleh karena itu, untuk melepaskan kerinduannya, Barm ingin mengajak anak itu pergi ke suatu tempat. Meski awalnya agak ragu, Nevtor pun akhirnya menyetujui. Lagian di rumah tidak ada yang bisa ia dilakukan.

"Selama ini sebenarnya apa yang kau lakukan di rumahmu, Nevtor?" Sembari berjalan, Barm bertanya penasaran.

"Aku ... hanya membantu orang tuaku saja."

"Eh, tidak mungkin. Kau pasti bohong!"

Nevtor tidak lagi menanggapi. Hingga sampailah mereka di depan hutan besar yang menjadi pembatas antar desa dan perkotaan.

"Bukankah kita seharusnya dilarang untuk ke sini," kata Nevtor yang memandang pepohonan tinggi menjulang di depan.

"Tenang saja. Tidak ada yang tahu kalau kita di sini." Barm berjalan duluan. Sedangkan, Nevtor masih bergeming. Namun karena tak ingin temannya itu mengalami suatu hal, ia pun segera menyusul masuk ke tempat penuh pepohonan lebat tersebut.

Di dalam sana, agak gelap dan menakutkan. Walau diterangi oleh cahaya yang mengintip dari celah - celah dedaunan tetap saja tidak mengubah suasananya. Bahkan mereka tidak melihat satu pun kehadiran binatang selama diperjalanan. Sampai beberapa meter kemudian, langkah keduanya pun terhenti. Bukan karena telah sampai di tempat tujuan melainkan ada tiga orang yang menghadang. Lagi - lagi, tiga anak yang merundung Nevtor waktu itu. Bahkan Nevtor sempat dibuat kebingungan mengapa mereka bisa ada di tempat ini. Apa hanya kebetulan? Atau memang sejak awal telah dipersiapkan?

"Kalian bertiga sedang apa di sini?" Barm mengajukan pertanyaan.

Anak berambut oren berjalan mendekat. "Hanya menunggu seseorang." Ia berhenti tepat di hadapan Nevtor. Lalu, tanpa diduga dia menarik kasar kerah anak berambut hitam tersebut dan mendorong tubuhnya hingga menabrak salah satu pohon.

"Hei, apa yang kamu lakukan?" Barm mencoba mendekati mereka namun anak berbaju biru di belakang memegang erat pundaknya dan menghentikan langkahnya.

"Maaf Barm. Sebaiknya kau diam saja. Ini bukan urusanmu!"

Buak!

Tanpa disangka anak tersebut memukul keras perut Barm, membuatnya berlutut kesakitan seraya memegang perutnya dan terbatuk - batuk.

"A-apa yang kamu lakukan?" Tanyanya terbata - bata.

"Sudah kubilang ini bukan urusanmu!"

Kali ini, sebuah tendangan menghantam tubuh anak malang yang tengah meringis hingga anak tersebut ambruk. Dan ketiga anak berandalan itu serentak tertawa.

"Penghalang sudah tidak ada. Sekarang giliranmu. Sembari tersenyum seringai, anak berambut oren itu menatap remeh Nevtor di hadapannya. "Apa kau siap, Anak aneh?" Hinanya.

Nevtor menghela nafas. Ia menatap sinis lalu membalas, "Siapa yang kau sebut Anak aneh, Bodoh!" Mendengarnya, si anak berambut oren menurunkan kedua alis.

"Hoo. Kau ternyata bisa kurang ajar juga ya." Tangannya semakin erat mencengkeram kerah baju lalu mengangkat tubuh si anak berambut hitam. "Apakah kau bisa berkata seperti itu lagi setelah menerima ... ini!"

Satu pukulan dilayangkan ke arah wajahnya. Namun, Nevtor dengan sigap menghentikannya sekaligus mendorong tubuh anak berambut oren tersebut. Tapi anak itu tidak tinggal diam. Ia kembali mendekat dan mengayunkan pukulan yang sama. Tentu saja, tanpa berarti Nevtor begitu mudah menghindarinya. Meski anak tersebut terus melesatkan tinju itu tidak masalah baginya.

Sadar seluruh usahanya tak membuahkan hasil, dengan nafas tersengal - sengal, anak itu memanggil kedua temannya. "Kalian bantu aku!"

Anak berbaju biru pun mendekat, disusul anak berambut krem di belakang. Mereka akhirnya sampai di tempat Nevtor berpijak, mengelilingi. Lalu, Anak berambut oren tersenyum licik dan kembali maju menyerang diikuti anak berbaju biru.

Sesaat pukulan diayunkan, Nevtor secara sigap menahannya lalu mendorong tubuh si anak berambut oren hingga menabrak temannya, mereka berdua pun jatuh bersamaan. Sementara, Anak berambut krem tampak kesal dan langsung menyerang Nevtor dari belakang. Beruntung, Nevtor sempat menghindar sebelum tinju mendarat di pipinya. Kemudian ia pun mencengkeram pergelangan kanan anak tersebut lalu menariknya ke belakang, menempelkan ke punggungnya. Anak itu tampak kesakitan saat Nevtor memberikan tekanan.

"Berani - beraninya kau melakukan ini kepadaku!!"

Si Anak berambut oren bangkit dan berlari pantas seraya memasang wajah nanar. Nevtor pun mendorong anak dalam cengkeramannya hingga mereka berdua saling bertubrukkan dan jatuh bersamaan. Ketiga anak berandalan itu pun terkulai lemas di tanah.

"Apa hanya itu kemampuan kalian? Bukankah kalian datang ke sini untuk merundungku lagi?" Tukas Nevtor tanpa ekspresi. Ia kemudian beralih menatap Barm yang masih berbaring kesakitan. "Skenario yang bagus. Kau memainkan peranmu cukup baik, Barm!" Lanjutnya.

Kedua alis naik. Barm sungguh bingung maksud ucapan anak itu. "K-kau bicara apa, Nevtor?"

"Aku tahu, bahwa kedatangan mereka bertiga bukanlah sebuah kebetulan. Mereka sejak awal sudah ditugaskan ke sini oleh seseorang yang tak lain ... kau sendiri. Kau dan tiga anak itu bersekongkol, 'kan?" Nevtor menatap dingin anak berkuncir di sampingnya.

Barm mencoba bangkit sambil menahan sakit di perutnya. "A-aku benar - benar tidak mengerti apa yang kau ucapkan?"

"Sebaiknya hentikan sandiwaramu. Kejadian di sungai waktu itu telah membuatku sadar. Jadi, sekecil apapun argumen yang kau lakukan sekarang itu tidak akan berguna."

Suasana hening mengisi hutan. Mulut seolah - olah kaku. Dan tidak lama, perlahan lengkungan terbentuk di bibir si anak berkuncir. Ia terkekeh seraya bertolak pinggang. Sepertinya dia memang tidak perlu berakting lagi.

"Padahal kita ini teman. Tetapi mengapa kau tega melakukan semua ini. Memangnya apa salahku padamu?"

Mendengarnya, justru Barm tidak bisa menahan untuk tertawa terbahak - bahak. "Teman, huh? Sadar dirilah, Anak aneh!!" Bentaknya. "Selama ini kau hanya mainan bagiku. Aku lebih senang saat kau menderita. Aku juga sangat ingin membuang kehadiranmu dari wajahku!!" Ia kembali tertawa puas.

"Jadi itu sifat aslimu ya. Aku tidak menyangkanya."

"Ya. Jadi, apa kau ingin melakukan hal sama yang kau lakukan pada tiga anak itu untuk membalasku?"

Nevtor menghela nafas. "Aku tidak sepertimu, Barm. Anak baik yang berkedok iblis."

Mata terbelalak. Gigi menggertak jelas. Sungguh, ucapan tersebut benar - benar seperti pukulan telak. Bahkan wajah penuh amarah tidak bisa disembunyikannya. Dia tidak terima hinaan itu. Tanpa berpikir lagi, Barm lantas berlari dan melayangkan pukulan pada anak yang melontarkan kata tersebut.

"Sialan!! Beraninya kau menyebutku iblis!!"

Set!

Nevtor berhasil menghindar. Namun rupanya anak berkuncir itu kembali menyerang secara membabi buta. Tidak, serangannya memiliki pola. Dia seperti bisa bela diri. Tetapi terlepas dari itu, Nevtor tetap tidak mengalami kesulitan untuk bisa menghindari dan menahan serangannya. Hingga setelah anak itu beralih mengayunkan tendangan, Nevtor pun lekas menjaga jarak darinya.

"Cih. Mau berapa kali kau terus mengelak!! Lawan aku, sialan!!"

Emosi di dalam dirinya benar - benar meledak saat ini. Ia ingin, ingin sekali membuat si anak aneh itu babak belur dan bersujud memohon maaf kepadanya. Bukan, bukan itu sebenarnya yang dirinya diinginkan. Di dalam hatinya yang ia inginkan adalah ... yang ia inginkan adalah ... membunuh anak tersebut. Ya, itulah yang diinginkannya.

"Hahaha ...." Ia tertawa menjadi - menjadi lalu mengambil sesuatu dari belakang kaosnya. Itu ... sebuah pisau.

Tap!

Nyaris, beberapa inci lagi saja senjata tajam itu berhasil menembus perut Nevtor kalau saja seseorang tidak segera bertindak. Seseorang itu, lelaki dengan tinggi tubuh hampir dua meter. Dari penampilannya yang bersih elegan seperti ia bukan berasal dari desa. Lelaki itu mengenakkan kemeja putih lengan panjang bergaris keemasan serta celana biru dongker panjang hingga mata kaki. Meski memiliki wajah rupawan bak seorang pangeran, raut wajahnya tampak garang dengan sorot mata tajam. Membuat Barm ketakutan lalu memilih meninggalkan hutan, diikuti ketiga anak berandalan.

"Dasar! Bukankah sangat berbahaya anak - anak memainkan pisau seperti ini!"

Lelaki itu mengangkat pisau di genggamannya dan secara tiba - tiba, tampak api muncul dari tangannya hingga membakar benda tersebut sampai menghilang tak berbekas. Anehnya, warna api yang muncul tidak seperti warna api pada umumnya. Api tersebut berwarna ungu kehitaman. Dan juga, terlihat kalau di punggung tangan kanan lelaki itu, ada simbol seperti gambar naga merah.

Siapa ... siapa dia sebenarnya?