Tanpa kata, tanpa ekspresi, Anak itu tertunduk sambil terus berjalan. Tetes demi tetesan air pun jatuh dari rambut serta pakaiannya yang basah. Penduduk desa yang berpapasan dengannya hanya terheran - heran tanpa ada yang menegur. Namun tidak bagi anak - anak yang melihat kehadirannya. Mereka justru menertawai dirinya yang malang seraya mencemooh. Diantara mereka, ada tiga pelaku yang membuat dirinya mengalami hinaan ini. Tetapi apa mau dikata, ia tak mampu melakukan apapun dan hanya bisa bungkam.
Setelah diguyur oleh perlakuan buruk tersebut, Anak itu akhirnya tiba di rumah. Ia kembali mengangkat wajah. Menatap ke sisi kanan rumah, tampak sang ayah yang tengah sibuk berlatih menggunakan pedang kayu. Flade, yang telah mengetahui kehadiran anak itu pun menghentikan kegiatannya. Namun saat melihat keadaan anaknya yang cukup memilukan itu, ia pun segera berlari menghampiri.
"Apa yang terjadi denganmu, Nevtor? Kenapa tangan dan kaki bisa terluka seperti ini, dan juga mengapa kamu bisa basah kuyup begini?" Tanyanya seraya mengecek kondisi sang anak. Kau bisa langsung tahu dari rautnya betapa ia sangat mengkhawatirkan anak angkatnya tersebut.
"Um, aku tadi tercebur di sungai karena tidak hati - hati saat hendak menangkap ikan."
Kendati tampang anak itu datar, Flade menganggap ucapannya sebagai kebenaran. Sebab selama ini, anak itu selalu memasang ekspresi yang sama. Jadi tidak ada seorang yang tahu apakah dia berkata benar atau salah. Hanya dirinya yang tahu semua itu.
Flade menghela nafas lalu berucap seraya mengelus rambut anak itu, "Berhati - hatilah lain kali ya, Nevtor!" Mendengarnya, Anak itu mengangguk.
Namun saat sang ayah hendak kembali ke tempatnya, Nevtor pun sontak bertanya, "Um, Ayah. B-bolehkah, aku ... berlatih bela diri bersama Ayah?"
Flade tampak diam. Kemudian ia pun tersenyum. "Boleh. Namun apakah ada alasan yang membuat kamu ingin belajar bela diri?"
"Um ... itu, aku hanya bosan terus membaca buku di perpustakaan. Dan juga, ... aku ingin seperti Ayah. Menjadi seorang lelaki yang hebat!" Jawabnya jujur tanpa ekspresi.
Mendengar jawaban anaknya itu, Flade tidak bisa menahan untuk tertawa. Bukan karena lucu, melainkan ia begitu senang dan bangga. Ini juga pertama kali anak angkatnya itu begitu terbuka terhadapnya.
"Baiklah. Ayah akan ajarkan kamu tentang seni bela diri, agar kamu kelak bisa menjadi lelaki seperti Ayah. Tidak, melainkan melampaui Ayah," ujarnya seraya melipat tangan di dada, membuat Nevtor semakin mengagumi sosok Flade. "Namun sebelum itu, obati dulu lukamu dan ganti pakaianmu. Esok pagi, baru kita mulai latihannya," jelasnya. Ia kembali ke tempatnya lalu mulai berlatih lagi.
Sesuai apa yang dikatakan, Nevtor pun bergegas masuk ke dalam rumah. Dirinya tidak sadar kalau ada seseorang yang melihat dan mendengarkan percakapannya barusan dari jendela kamar. Sosok itu, Karl.
---
Hari berganti. Pukul enam pagi, Nevtor begitu semangat untuk siap berlatih. Flade pun menerangkan sekaligus mendemotrasikan terlebih dahulu dasar - dasar gerakan menyerang, bertahan dan menghindar. Baik memperagakan menggunakan anggota tubuh atau pun pedang kayu. Tidak butuh waktu lama juga bagi anak angkatnya menyerap seluruh penjelasan. Mengingat Flade yang seorang Titlelist jadi penuturan yang diberikan mudah untuk dipahami.
Selanjutnya, Flade meminta anak itu mempresentasikan apa yang ia pelajari barusan. Pria itu ingin Nevtor melakukan gerakan menyerang terhadap boneka kayu sebagai target. Saat ini menggunakan serangan fisik dulu. Anak berambut hitam tersebut mengangguk mengerti lalu melakukan apa yang diperintahkan. Walau gerakan awalnya cukup kaku dan kepayahan, namun lamban laun ia mulai menyesuaikan. Tanpa kenal lelah dan mengeluh, ia terus berlatih cukup giat, membuat sang ayah tampak berdecak kagum. Ia tersenyum dan terus menyuarakan kata semangat.
Pagi berikutnya, latihan hari ini adalah gerakan pertahanan. Nevtor diminta bebas melakukan serangan apapun kepada sang ayah dan tidak perlu menahan diri. Anak itu menyanggupi, ia pun mulai maju menyerang. Sementara Flade begitu mudah menahan serangan anak itu. Bahkan seluruh serangan yang dilayangkan sama sekali belum bisa membobol pertahanannya. Anak itu juga sadar, kalau sang ayah masih belum sepenuhnya serius. Tapi ia tidak akan menyerah. Ia kembali maju sambil meningkatkan daya serangannya, baik pukulan atau pun tendangan. Flade pun tersenyum saat serangan anak itu sedikit berkembang. Kali ini ia tidak boleh meremehkan. Sementara itu di dalam kamar, Karl tampak terpukau terhadap aksi sang kakak. Mata sapphirenya berbinar - binar dengan mulut terbuka.
"Huff ...." Nevtor berbaring seraya merentangkan kedua tangan dan mengatur nafas. Keringat yang bercucuran dari pelipis berjatuh ke rerumputan hijau yang jarang.
"Baiklah, latihan cukup sampai sini. Beristirahatlah!" Ujar Flade kemudian beranjak masuk ke dalam rumah. Beberapa menit setelahnya seseorang keluar sambil membawa segelas air putih.
Kedua mata dibuka, sesosok bayangan tepat menutupi wajahnya. Nevtor lekas bangkit dan mengambil posisi duduk. Ternyata pemilik bayangan itu, Karl, adiknya.
"Ini! Aku bawakan air untuk Kakak. Kakak pasti haus," ucapnya seraya memberikan segelas air itu, dan Nevtor pun mengambilnya lalu mengucapkan, "Terima kasih," kemudian menenguknya hingga tandas. Rasa dahaga pun perlahan mereda.
"Kakak keren. Walau pertahanan Ayah begitu kokoh, tapi Kakak tidak pantang menyerah." Anak berambut coklat itu mengangkat kepalan kedua tangan. Ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap sosok sang kakak. Dilubuk hatinya, ia ingin sekali seperti sang kakak.
"Kamu melihatnya ya." Nevtor memalingkan pandangan. Meski tanpa ekspresi, sebenarnya ia merasa sedikit malu.
"Eh, ya ... aku melihatnya dari dalam kamar." Ia tersenyum lebar seraya menggaruk - garuk kepala.
Suasana lenggang sejenak. Kemudian angin pun mulai berhembus kencang, menerpa rambut kakak beradik itu. Diikuti awan mendung yang perlahan menutupi langit dan matahari.
"Seperti akan terjadi hujan. Sebaiknya kita segera masuk," ujar Nevtor sambil menatap langit. Dan Karl mengangguk mengerti. Mereka berdua pun segera masuk ke dalam rumah.
Bersamaan kepergian mereka, rintik - rintik air mulai berjatuhan dari langit. Membasahi rerumputan hijau. Mengguyur penjuru desa. Para penduduk yang berada diluar pun segera menghentikan aktifitasnya dan mencari tempat berteduh. Tidak ketinggalan hewan - hewan juga turut ikut mencari tempat berlindungnya masing - masing.
Sebab bosan karena hujan yang kunjung reda, Nevtor memilih untuk pergi ke perpustakaan di bawah rumahnya. Ruangan yang dibangun oleh sang ayah. Memiliki ukuran 7 x 5 meter. Terdapat banyak sekali buku di sana, beragam juga kategorinya. Kendati begitu usang dan minim penerangan, perpustakaan tersebut tidak membuat anak berambut hitam itu malas untuk selalu berkunjung. Jika ada waktu luang pasti ia akan menyempat diri ke sana.
Setelah menuruni tangga yang agak reyot, si Anak akhirnya tiba di dasar. Netra sapphire dan rubynya langsung terfokus pada meja kayu yang terangi dua buah lilin. Tampak pula ada sebuah buku di sana. Sebelum dirinya seperti ada seseorang yang berkunjung ke sini.
Nevtor beranjak mendekat. Ia menatap buku di permukaan meja. Buku berukuran cukup besar dan sedikit usang. Terdapat juga robekan pada bagian sampul. Namun ada perasaan tidak biasa saat anak itu menyentuhnya. Benda itu seolah - olah mengundang rasa penasaran. Ada semacam keinginan yang mendorong dirinya untuk segera membacanya. Tetapi, saat ia mencoba membalikkan sampulnya, seseorang tiba - tiba menghentikan. Orang itu, Flade. Garis wajahnya cukup tegang saat melihat Nevtor mengetahui tentang buku tersebut. Ia kemudian mengambilnya segera.
"Ini buku pribadi Ayah. Kamu tidak boleh membacanya," tegasnya. Tanpa sepatah kata lagi ia pun beranjak pergi dan menaiki tangga.
Sementara, Nevtor terdiam. Anak - anak seumurannya mungkin menganggap perkataan itu sesuatu yang sepele dan tak perlu dipikirkan. Tapi baginya, nampak ucapan tersebut memiliki makna yang terselip di dalamnya. Buku itu pasti menyimpan sebuah rahasia tersembunyi. Rahasia yang tidak boleh dirinya ketahui. Itulah tebakan yang bisa ia pikirkan.
Pukul enam pagi. Pelajaran hari ini tentang gerakan menghindar. Flade meminta muridnya untuk menyerangnya dan biarkan ia menunjukkan gerakan mengelak serangan yang benar. Nevtor mengangguk. Ia mulai melakukan apa yang diperintah. Meski pikiran masih terbayang oleh kejadian kemarin, tapi ia mencoba terlihat seolah - olah itu tak pernah terjadi. Ia tidak ingin ayahnya curiga.
Seet!
Flade bergerak mundur. Serangan sang anak hampir saja mengenai dirinya. Tidak menyangka kalau anaknya itu sudah berkembang pesat dalam waktu sesingkat ini. Tiga hari bukanlah waktu untuk kau bisa langsung menjadi seorang petarung, tetapi tampaknya anak itu telah menepis fakta tersebut. Flade menilik kalau anaknya memiliki potensi yang terpendam. Atau mungkin, karena dirinya keturunan suku terlarang. Tapi apapun itu, sekarang ia cukup bangga atas pencapaian anak angkatnya tersebut.
"Baiklah, latihan menghindar kita sudahi," jelas Flade seraya berjalan menghampiri dua pedang kayu yang berjejer vertikal di dinding rumah. "Karena kamu sudah paham seluruh gerakan, baik menyerang, bertahan atau pun menghindar, sekarang kita akan beralih ke tahap pertarungan." Ia melemparkan salah satu pedang kayu ke arah Nevtor, dan anak itu pun menangkapnya.
"Ini adalah latihan yang sesungguhnya. Ayah ingin kamu menyerang dengan seluruh kemampuanmu, dan Ayah juga tidak akan menahan diri. Jadi bersiaplah," imbuhnya tersenyum. Di balik senyum itu ada arti keseriusan.
Nevtor menggenggam erat gagang pedang dengan kedua tangan. Meski tanpa ekspresi, sesungguhnya tatapan itu menujukkan arti keyakinan besar.
"Ya, aku juga tidak akan menahan diri."