Chereads / The Title: Assassination Arc / Chapter 35 - Bab 35 Kilas balik: Keputusan

Chapter 35 - Bab 35 Kilas balik: Keputusan

Sihir kristal es berjumlah lima dilesatkan dari telapak tangan. Flade secara sigap menangkis dan menghancurkan menggunakan pedangnya hingga kepingan es berhamburan di pasir. Namun tiba - tiba kepingan itu kembali ke bentuk semula dan menyerang sang target dari bawah. Untungnya, Si Titlelist berzirah sudah paham akan pola serangan sang lawan sehingga ia sama sekali tidak menerima luka apapun.

"Sadarlah, Zick! Aku tidak ingin bertarung denganmu. Kita bisa bicarakan hal ini baik - baik!" Tegas Flade yang berjarak 9 meter dari sang lawan bicara.

"Tutup mulutmu!! Aku tidak mendengar apapun dari seorang pengkhianat!!" Gertak Zick. Ia kemudian menciptakan pedang es di tangan kanan lalu merangsek maju.

Criiing!

Senjata mereka saling bertabrakan. Sang pengguna saling bertatapan. Zick lantas melakukan tendangan mengakibatkan sang lawan terpukul mundur. Flade bahkan tidak diberikan kesempatan bernafas sebab sudah ada tujuh sihir kristal es yang mengarah padanya. Situasi itu memaksa dirinya mengeluarkan teknik pertahanan yang membentuk tembok tanah setinggi 3 meter dan sihir itu pun tak mampu menembusnya. Tetapi, Sang Penyihir telah memperhitungkan hal tersebut. Ia lantas menghentakkan kaki ke pasir lalu terciptalah sihir duri es yang tepat mengenai bahu sang target yang tak menyadarinya sehingga pertahanan miliknya hancur.

Buak!

Sesaat setelah tembok menghilang, satu pukulan keras menghantam tepat muka sang lawan, membuatnya terpental dan pedang di genggaman terlempar jauh. Ia memuntahkan sedikit darah dan mencoba menghentikan pendarahan di bahu kirinya.

"Jika saja kau tidak bersikeras atas keputusanmu, kau tak akan menerima semua luka itu." Pedang es di genggamannya perlahan hilang. Zick berjalan gagah menuju sang pria berzirah yang mencoba bangkit sambil meringis kesakitan. "Saat ini aku masih berbaik hati. Aku ingin kau melupakan keegoisanmu, dan kuanggap tindakan pengkhiatanmu tidak pernah terjadi. Bagaimana?" Lanjutnya, ia berdiri 2 meter di depan sang lawan.

Mendengar ucapan barusan justru membuat Flade tertawa. Ia meludahi darah dan membalas, "Kau seolah - olah menganggap tindakan yang kau ambil itu benar?" Mendengarnya, Zick mengerutkan dahi.

"Apa?!"

"Bukankah kita telah diajarkan bahwa membunuh orang tidak berdosa itu perbuatan salah dan melawan hukum."

"Tindakan yang kuambil itu berdasarkan apa yang tercantum dalam tatanan pemerintah. Perintah absolut untuk menghapuskan para ras Assassination. Apa kau lupa?"

"Tidak. Tindakan yang kau ambil berdasarkan hasrat dirimu sendiri. Tatanan pemerintah tidak menyebutkan kita harus membunuh seorang bayi yang tak bersalah!"

"Kau seorang pemimpin. Seharusnya kau bisa mengambil keputusan dengan bijak, bukan malah termakan oleh emosi dirimu sendiri. Sadarlah, Zick!" Sambungnya kembali menegaskan. Ada sesuatu di genggaman tangan kanannya.

"Cih," Zick berdecak kesal. "Kau benar - benar dibodohi rasa ibamu itu ya, Flade. Aku lelah mendengar semua ocehan tidak bergunamu." Seraya merapal, dia mengarah telapak tangan kanan ke depan, melebarkan lima jemari lalu menciptakan tiga sihir kristal es. "Akan kuberi kau kesempatan sekali lagi. Apakah kau tetap bersikeras akan keputusanmu atau kau mau melupakannya?"

Flade tersenyum tanpa sepatah kata, dan Zick langsung paham arti ungkapan itu.

"... Baikl--"

Sesaat sihir hendak diluncurkan, tiba - tiba segenggam pasir terbang ke arah muka sang penyihir sehingga pandangannya terhalang serta membuat sihir pun melesat ke arah langit malam.

Flade yang telah mengambil tindakan itu lekas mendatangi sang lawan. Ia berencana membuatnya pingsan dengan satu pukulan telak. Akan tetapi sialnya, ia terlalu cepat mengambil keputusannya tersebut.

"Arggg," Flade meringis sakit. Ia mundur lalu berlutut sambil memegangi pergelangan kanannya yang terkena sayatan akibat sihir pertahanan sang lawan--9 kristal es yang berputar di area tubuh. Cairan merah yang mengalir jatuh membasahi pasir keemasan.

"Kau benar - benar menguji kesabaranku ya, Flade!!" Zick datang dengan wajah murka dan menendang muka sang pria berzirah hingga tubuhnya ambruk. Di lanjutkan, ia berkali - kali menginjak kepala pria malang tersebut hingga mengeluarkan darah. Kemudian menciptakan pedang es di tangan kanan lalu melayangkan tusukan.

"Sebaiknya kau mati saja!!!"

Crattt!

Pergerakan mendadak terhenti. Pedang es digenggaman terjatuh. Mulut memuncratkan darah segar dan tubuh seketika hilang keseimbangan. Dirinya jatuh telungkup dengan cairan merah yang mengalir. Tepat di belakang tubuhnya tertancap sebuah belati hitam.

Melihat kejadian itu membuat Si Pria berzirah sangat terkejut. Dengan kepayahan dia berusaha bangkit. Ia pun lekas mencabut senjata dari tubuh si penyihir yang berstatus Title Unique itu lalu membalikkan badannya. Untuk sesaat dia berkabung, lalu perlahan menutup mata sang penyihir es yang telah tak bernyawa itu. Bola matanya kemudian beralih pada sang pelaku, yang tak lain Sang Assassination wanita bernama Celia yang berada tak jauh dari mereka. Rupanya ia masih hidup.

Celia kembali terjatuh. Ia bahkan tak mengerti tindakan yang barusan dirinya lakukan. Saat itu seakan - akan tubuhnya bergerak sendiri. Dalam sisa kesadarannya, ia menatap pria berzirah yang telah berdiri tepat di hadapannya.

"Kenapa kau menolongku?" Tanya Flade. Namun tak menuai respon apapun. Wanita itu tampak semakin lemah dengan mata yang sayu.

Tatapan teralihkan oleh tangisan bayi yang tergeletak di atas pasir. Flade pun mengangkat dan memandangi sang bayi yang memiliki warna bola mata berbeda itu. Bayi tersebut tampak merasa nyaman dalam gendongan dirinya sehingga tangisan pun terhenti. Si Pria berzirah tidak bisa menahan senyuman.

"N-Nevtor ...."

Mendengar satu kata tersebut, Flade kembali menatap sang wanita. Dari apa yang ia lihat sekarang seperti wanita itu telah tiada.

Beberapa menit kemudian, Flade menguburkan dengan layak sajad mereka, bersebelah. Dia berlutut dan berdoa, kemudian bangkit memandang sang bayi dalam gendongan. Ada perasaan bingung. Terkait apa yang dikatakan oleh rekannya untuk membawa bayi itu sepertinya memang sebuah kesalahan. Dia tidak tahu reaksi apa yang diberikan oleh para Petinggi dan masyarakat setelah membawanya ke kota, dan dia juga tidak punya alasan kuat untuk meyakinkan mereka. Ah, ia benar - benar bimbang saat ini.

Tidak lama, sebuah solusi untuk mengatasi kegundahannya tersebut terbesit begitu saja di kepalanya. Ia berencana membawa sang bayi ke desa tempatnya tinggal. Setelah menimbang - nimbang, akhirnya ia membulatkan tekad lalu mulai berjalan. Melangkah menuju utara yang di seberang sana tampak sekilas sebuah hutan. Titik pertemuan yang sebelumnya Naia katakan kepada Celia.

Matahari perlahan menampakkan diri, menyinari padang pasir hingga sekumpulan pasir begitu gemerlap bagai berlian. Angin sejuk pun menerpa dan menerbangkan pasir serta mengibaskan rambut coklat sang pria yang tengah berjalan.

***

Satu hari menjelajahi hutan akhirnya Flade berhasil keluar. Ia telah membuang semua perlengkapannya dan hanya menggunakan kaos hitam lengan panjang saat ini. Dirinya begitu lapar dan haus. Rasa sakit pun telah menuntut diri. Kedua kaki seakan tidak mau lagi untuk melangkah lebih jauh. Tetapi untungnya ada pertolongan yang datang. Seorang pria tua serta putrinya yang tengah menunggangi kereta kuda. Keduanya segera membantu dan membawa Flade ke tempat tinggal mereka.

"Kalau boleh tahu, apa yang Anda lakukan di dalam hutan hingga terluka seperti ini, Tuan Flade? Dan juga apakah bayi itu anak Anda?" Tanya pria tua yang mengenakkan baju coklat polos itu sambil membungkus kening Flade dengan sebuah perban.

Saat ini, Flade menyembunyikan statusnya sebagai Title Epic. Dia mengaku hanya orang desa yang hendak kembali ke kampung halamannya di Sektor Selatan. Ia bercerita kalau diperjalanan tanpa sengaja bertemu oleh sekelompok penjahat yang menculik seorang wanita beserta bayinya. Dirinya mencoba menolong namun ia tak mampu menolong sang ibu. Juga satu penjahat berhasil melarikan diri membawa kereta yang ia tumpangi.

"Jadi begitu ya." Selesai memberi perban, pria tua itu berjalan menuju dapur dan mengambil sepiring sup hangat serta segelas air putih yang kemudian ia taruh di atas meja, depan Flade. "Silahkan dimakan! Maaf kalau hanya berupa sup!" Sambungnya. Ia kemudian duduk di kursi seberang.

"Tidak apa - apa. Ini pun sudah lebih dari cukup! Terima kasih, Tuan Agil!" Flade mulai melahap sup hingga habis dan meneguk air minum setelahnya. Energinya pun telah kembali.

"Kalau mau, Anda bisa menggunakan kereta kuda milik kami untuk Anda kembali ke desa," ucap Agil semenit setelah Flade menghabiskan makanannya.

"Ti-Tidak terima kasih! Aku tidak ingin merepotkan Anda lebih dari ini."

"Tenang saja. Lagi pula terlalu berbahaya melakukan perjalanan tanpa kendaraan, apalagi waktu malam tiba. Belum lagi jarak antara Sektor Selatan sangatlah jauh. Setidaknya butuh tujuh hari untuk sampai di sana."

Mendengar itu, Flade diam. Apa yang diterangkan sang pria memang sangat tepat. Namun ia tidak ingin merepotkan orang asing yang baru dikenal. Dia juga sadar, bahwa kebohongan yang ia berikan tidak pantas menerima kebaikan lebih dari yang ia harapkan.

Melihat Flade yang berlarut dalam pemikirannya, Agil beranjak dari kursi dan menghampiri, lalu memegang pundak kanan pria berambut coklat itu dan berkata, "Beristirahatlah dulu malam ini! Kereta kuda akan kusiapkan jika Anda mau berangkat." Kemudian ia mengambil piring dan gelas di atas meja lalu beranjak ke dapur.

Flade tidak bisa berkata apa - apa lagi. Dia berdiri dan menundukkan kepala ke arah Agil. "Terima kasih banyak!"

Kain yang menutupi pintu kamar tersikap. Di baliknya Flade muncul. Gadis berambut merah pendek yang sedari tadi duduk di tepi kasur pun menoleh.

"Terima kasih sudah menjaganya, Lina!" Ungkap Flade, dan Si Gadis pun bangkit.

"Sama - sama, Tuan Flade! Kalau begitu saya permisi!" Lina membungkuk lalu beranjak keluar kamar.

Setelah kepergiannya tatapan Flade beralih pada jendela. Suasana di luar sudah gelap, tidak terasa kalau malam telah tiba. Kemudian dia berjalan menuju bayi yang tertidur pulas di atas kasur yang empuk. Perasaan bimbang kembali terlintas ketika memandangnya.

"Apakah keputusanku membawanya ke desa adalah pilihan tepat?" Tanpa ekspresi, dia bertanya pada dirinya sendiri di dalam hati.