Chereads / The Title: Assassination Arc / Chapter 28 - Bab 28 Teluk Fuliuz ( Revisi )

Chapter 28 - Bab 28 Teluk Fuliuz ( Revisi )

Roda kereta berputar melewati genangan air. Sang kusir tampak fokus mengendarai kereta kuda-nya, sampai tidak menoleh sedikit pun. Dengan kedua tangan yang gemetaran dan keringat dingin yang bercucuran.

Apakah dia belum makan? Bukan, melainkan ia ketakutan. Takut akan penumpang misterius di gerobak belakang. Seorang buronan yang tengah diburu. Poster tentang dirinya bahkan telah menyebar luas menyertakan imbalan menggiurkan bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya.

Akan tetapi, buronan itu bukanlah penjahat biasa. Dia memiliki predikat menakutkan dalam statusnya. Bahkan seorang penjahat kelas kakap atau pun penjual obat - obatan terlarang kalah saing dengannya. Sehingga sang kusir tidak berani untuk melakukan tindakan semacam 'menangkapnya'. Bagaimana tidak, sekedar melihat sosok dirinya saja sudah membuat bulu kuduk si kusir menegang.

Setelah beberapa meter, suhu mendadak berubah dingin. Menyebabkan tiap hembusan nafas sang kusir mengeluarkan asap. Tidak lama setelahnya, butir - butir salju pun turun secara mendadak. Itu pertanda bahwa Sektor Timur telah dekat.

Jika Sektor Utara memiliki iklim tandus dan panas, maka Sektor Timur kebalikannya. Sektor Timur terkenal dengan wilayahnya yang bersalju dan dingin. Sehingga masyarakat baik kota, desa atau pun tempat lainnya harus berpakaian setebal mungkin untuk melindungi tubuh mereka dari suhu ekstrim. Selain itu, mayoritas warga di sana bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka melaut dan menjaring ikan di lautan. Kendati ada satu tempat yang menyimpan sumber daya ikan berlimpah ruah dengan kualitas bagus yang bisa saja membuat mereka kaya mendadak, tetapi para nelayan enggan untuk ke sana.

Tempat itu bernama Teluk Fuliuz. Sebuah teluk yang masih menyimpan segudang kemisteriusan. Tidak ada seorang pun berani memasuki teluk itu sebab rumor yang beredar akan berbahayanya tempat tersebut. Rumor itu mengatakan bahwa ada sebuah kapal nelayan yang hilang dan tidak pernah kembali ketika memasuki kawasan teluk itu. Dan ada juga satu kejadian yang menyatakan kembali akan kengerian tempat tersebut. Kala itu ada seorang lelaki yang nekat masuk ke Teluk Fuliuz. Namun sama seperti sebelumnya, dia tidak kembali.

Berjarak dua puluh meter dari destinasi, berdekatan dengan sebuah pohon rindang yang seluruh daunnya tertutupi oleh salju, roda kereta kuda pun berhenti. Namun sang Kusir masih enggan untuk buka suara karena takut. Tapi sebisa mungkin dia meredam perasaan itu seraya menghela nafas panjang.

"M-maaf Tuan, saya hanya bisa mengantar sampai sini!" Katanya sedikit gagap tanpa menoleh.

Tuan yang dimaksud lekas dari turun dari gerobak penumpang. Tanpa meminta bayaran dan sepatah kata lagi, sang Kusir lantas tancap gas memutar kereta lalu pergi meninggalkan penumpangnya yang guyur oleh salju putih yang turun hingga tudung beserta jubah hitam yang dikenakannya basah.

Penumpang yang tidak lain adalah Nevtor, kemudian mulai beranjak, meninggalkan jejak pada gundukan salju di lantai. Dalam perjalanan menuju pintu masuk di depan sana, pemuda itu hanya disuguhkan hamparan salju dan pepohonan yang bertabur butiran salju tanpa ada kehadiran fauna. Mungkin karena faktor lingkungan seperti ini hewan - hewan tidak bisa beradaptasi.

Langkah Nevtor terhenti setiba di pintu masuk teluk yang berupa retakan besar pada tebing setinggi lima puluh meter yang tertutupi tanaman rambat. Pemuda itu pun merasakan atmosfer yang berbeda dari tempat tersebut. Hawa mencekam yang begitu kuat dari mencuat dalam seakan melarang dirinya untuk masuk.

Sayangnya itu tak berarti baginya. Tidak peduli seberapa menakutkan dan berbahaya kawasan itu, Nevtor tetap akan masuk.

Dia lekas mengambil ramuan biru dari saku bajunya lalu tanpa ragu meneguknya hingga tandas. Beberapa detik setelahnya, tidak terasa ada efek sama sekali.

Tanpa menunggu lama lagi dia pun lekas masuk ke teluk. Yang nyatanya rumor bilang tempat tersebut menakutkan dan berbahaya tidaklah demikian. Malahan teluk ini begitu menakjubkan untuk dipandang. Mata seakan terhipnotis oleh keindahan alamnya. Dengan air lautan yang terpantul pendar hangat mentari sehingga terlihat sangat jernih sampai - sampai terumbu karang kelihatan jelas. Kemudian pada tepi pantai banyak pohon kelapa yang menjamur, dan ada pun tumbuhan lain yang menutupi seluruh area perbukitan bak hutan. Dihuni beragam jenis reptil seperti kadal, ular dan binatang vertebrata lainnya. Serta burung walet yang menguasai udara, berterbangan ke sana - kemarin dan ada beberapa yang bertengger pada tebing curam yang berada pada di sisi barat dan timur teluk. Selain itu, silir angin yang tidak terlalu kencang pun senantiasa menerpa seakan memanjakan tubuh. Suasana yang tidak bisa didapatkan dari kawanan luar sana yang dingin dan hanya kekosongan. Seolah - olah, Teluk Fuliuz berada pada dimensi yang berbeda.

Nevtor lekas menuruni tangga berkelok - kelok yang menghubungkan langsung pada pesisir pantai. Walau teluk ini terbilang sempurna, tetapi terasa ada hal yang kurang. Bahwa tidak terlihat keberadaan orang satu pun. Bahkan si pemuda tidak melihat ada sebuah pemukiman, baik di pesisir pantai atau pun di perbukitan. Bagaikan tempat ini belum terjamah oleh manusia.

Kumpulan pasir putih langsung menyambut sang pemuda setiba di tepi pantai. Disusul suara ombak yang bagai senandung melodi.

Pandangan Nevtor beredar, mencari sebuah reruntuhan kuno yang katanya dekat dengan teluk ini. Yang sepertinya tidak ada. Bagaimana tidak. Penampakan akan reruntuhan tersebut bahkan tidak tampak sekilas pun. Jikalau memang ada, pastilah telah terlihat saat memasuki tempat ini. Sebab kau bisa melihat seluruh area teluk dari atas sana.

Apakah tempat itu hanyalah kebohongan? Apakah dirinya telah ditipu?

Ketika pemuda itu mencoba optimis dan mencari keberadaan reruntuhan kuno itu kembali, datanglah sosok wanita berpakaian dari bahan anyaman daun. Meski penampilannya bak orang udik, tetap saja keanggunan serta kulit putih molek sang wanita tidaklah merusak citra dirinya. Apalagi melihat dua gundukan kembar miliknya yang hanya terbungkus dedauan hijau, membuat siapa pun pasti semakin terpukau.

"Apakah ada sesuatu yang membuat engkau datang ke tempat kami?" Tanya wanita itu dengan nada lemah lembut.

Bukannya menjawab, si Pemuda malah diam. Dia tengah memikirkan ucapan itu. Kami? Sepertinya ada orang lain selain si wanita. Pikirnya begitu.

"Anu ... Tuan!"

Panggilan darinya menyadarkan Nevtor dari lamunan. Pemuda itu kemudian bertanya, "Apa ada orang lain selain dirimu di teluk ini?"

"Tentu ada."

"Kalau begitu bisakah kau antarkan aku kepada mereka?"

---

Keduanya mendaki tebing curam pada sisi barat teluk. Bebatuan yang menjadi pijakkan begitu tajam sehingga Nevtor harus ekstra hati - hati dalam melangkah.

Setelah cukup tinggi terlihat ada sebuah lubang yang kemungkinan gua. Sesampai di mulut gua, Nevtor meminta rehat sejenak seraya mengambil nafas. Dia cukup terheran - heran melihat si wanita yang tampak tidak letih sedikit pun meski mendaki tebing yang tingginya lima puluh meter. Apa mungkin karena sudah terbiasa? Setidaknya itulah tebakannya.

Ketika tenaga telah pulih kembali, mereka kembali bergerak memasuki gua yang pada sisi kanan terdapat sebuah tiang kayu bersimbolkan belati menyilang.

Nevtor berjalan mengikuti si wanita yang membawa obor. Selama menyisir gua, dirinya melihat gambar - gambar di sepanjang dinding. Gambar itu seperti mengukir sejarah masa lampau karena berisikan coretan sebuah peperangan antar dua pihak. Satu pihak diberi warna merah, sedangkan pihak lainnya diwarnai hitam. Mereka saling bertempuran hingga pihak warna hitam pun mundur mungkin karena kekalahan. Namun ada beberapa dari mereka yang tampak bergabung dengan pihak merah. Kemudian selanjutnya ...

Tidak ada. Ketika makin ke dalam gambar tersebut tidak lagi ada.

Akhirnya keduanya sampai pada ruangan besar. Ruang itu hanya diterangi obor yang digantung pada langit - langit membentuk silang. Ada pula beberapa ekor kekelawar yang menggantung, decitannya amat nyaring. Di bawahnya terdapat sebuah singgasana berbahan batu yang diduduki oleh pria yang tengah menopang dagu sambil memasang raut tajam.

"Aku telah membawanya, Ayahanda!" Si wanita berjongkok--dengan betis kiri menyentuh lantai dan tangan kanan menempel pada lutut kanan--sembari menundukkan kepala.

"Bagus, Putriku!" Balas pria itu. Bertelanjang dada, memperlihatkan dada bidang dan otot bisep-nya yang menonjolkan kejantanan. Kemudian dia beranjak dan berjalan maju lalu terhenti saat memunggungi putrinya.

Tatapan tajam yang diberikannya, menandakan kewaspadan kepada Nevtor.

"Kalau boleh tahu, siapa engkau?" Tanyanya dengan nada rupawan.

Si pemuda diam sesaat, lalu menjawab, "Nevtor!"

"Nevtor?" Pria itu menjeda. "Nama yang bagus!" Pujinya.

Sang pria berjalan dan mengitari Nevtor sembari menatap intens. "Wahai pemuda, apa yang membuat engkau datang ke sini?"

"Aku ingin bertemu, The Twin!"

"The Twin?" Gumamnya bingung.

"Aku dengar mereka berada di sini, lebih tepatnya reruntuhan bernama Geliuz."

Mendengar itu, si Pria terdiam sejenak lalu mendadak tertawa. Dia kemudian beranjak kembali ke singgasana-nya dan menopang dagu. Beberapa detik setelahnya, dia pun menjentikkan jari.

Dari sudut gelap ruangan, tiba - tiba muncul tiga lelaki bersenjatakan tombak kayu yang kemudian mereka menodongkannya kepada Nevtor. Tatapan kebuasan ketiganya bagai singa yang siap menerkam dan mengoyak sang mangsa.

"Ada keperluan apa engkau menemui, Tuan Fuliuz dan Geliuz?" Tanya si Pria di singgasana-nya.

"Tuan Fuliuz? Geliuz?" Batin Nevtor.

"Selain itu, diriku cukup heran, mengapa engkau bisa memasuki teluk ini. Sihir macam apa yang engkau gunakan sebenarnya?"

"... Tidak ada. Aku hanya menggunakan sebuah ramuan yang kudapatkan dari seseorang."

Sudut kiri bibir si pria melengkung dan menautkan kedua alis. "Oh, begitu ya. Jadi gadis kecil itu masih hidup." Kedua mata merahnya memancar dalam kegelapan. Para kekelawar di atas kembali berdecit keras lalu terbang dan hinggap di singgasana. "Apakah engkau termasuk golongan pihak merah?" Lanjutnya bertanya.