Akhirnya penampakan kota Known telah terlihat. Usai menempuh perjalanan cukup lama dan juga melalui halang rintang di setiap medan yang menjengkelkan, ketiganya pun bisa pulang dengan selamat.
Sang kusir terus memacu kereta kuda. Sedangkan di kursi penumpang, Nevtor tampak sibuk memandangi panorama langit yang akan berganti sore. Sementara Wash lagi enak - enakan tidur. Dan sang wanita kriminal, ia sedari awal tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Nampak pasrah akan nasib dirinya yang akan segera menjalani masa kurungan nanti.
"SILAHKAN, SILAHKAN KALAU MAU BELI!"
"HARGA MURAH, BARANG BERKUALITAS. AYO BELI!"
Wash terlonjak dan seketika bangun dari tidurnya saat mendengar sergahan dari para pedagang yang menawarkan produk. Pemuda berambut perak itu terlihat kesal karena mimpi indahnya di rusak. Inginnya ia ngomel - ngomel kepada pedagang, tapi tidak jadi lantaran dia berada di kereta saat ini.
Namun tidak bagi si Kusir. Hingar bingar perkotaan justru bagaikan alunan musik baginya. Karena sudah begitu lama ia tidak merasakan, sebab yang dirasakan Fenrir selama di perjalanan hanyalah deru angin gersang beserta tiupan angin berbalut partikel yang menjengkelkan.
"Baiklah, aku turun di sini saja!" Tanpa meminta untuk berhenti, Wash langsung turun dari kereta ketika berada di kawasan yang sepi. Dirinya kemudian berlari menuju gang sempit yang gelap gulita.
Namun Nevtor hanya terdiam. Sementara, Fenrir yang baru menyadari salah satu penumpangnya telah pergi tanpa sepengetahuan kebingungan. Dia lalu bertanya kepada si pemuda berjubah, "Hey, Nevtor. Ke mana perginya si Maniak penculik konyol itu?"
"Dia tadi pergi dan masuk ke dalam gang."
Fenrir menghela nafas. "Seharusnya bilang dulu kalau mau pergi. Dasar!" Dengan wajah sedikit ketus, dia pun memalingkan wajah dan kembali fokus mengendarai kereta.
Singkat cerita akhirnya mereka tiba di aula depan perpustakaan. Ternyata di sana pun sudah ada sambutan dari gadis kecil yang sudah lama tidak berjumpa. Dia melambaikan tangannya sambil bilang, 'Sini!' berulang kali dengan nada imut.
Laju kereta terhenti tepat di dekat Serena. Sang Kusir langsung mendapatkan pelukan hangat dari si gadis kecil ketika turun dari kursi pengendara. Wajah Fenrir pun tampak memerah.
"Untunglah kau kembali dengan selamat." Serena terus memeluk tubuh si pemuda dengan kedua tangan mungilnya. Bahkan ia juga mengesek - gesekan wajahnya membuat wajah Fenrir bertambah merah seperti tomat. "Aku sangat rindu sekali denganmu, Fenrir!" Lanjutnya dengan nada tersedu - sedu.
"Ya, aku juga rindu dengan Nona. Te-tetapi bisakah Nona melepaskan pelukan, aku jadi malu diliatin orang," pintanya seraya melihat orang - orang yang berlalu - lalang memandangi dirinya dengan tatapan aneh.
Gadis kecil itu mengabaikan perkataan tersebut, dia malah terus menempel bak seekor cicak. "Padahal itu tugas yang berbahaya, loh! Tapi untungnya kau bisa kembali dengan selamat."
"Eh, kenapa Nona baru bilang itu ...."
"Rupanya kau lolicon juga ya," celetuk Nevtor yang baru saja turun dari kereta. Dia memberikan tatapan datar.
Fenrir lekas melepaskan paksa pelukan Serena lalu berdeham. "Memang apa salah jika seorang murid dan gurunya saling melepaskan rasa kangen?" Tanyanya mencoba memperbaiki suasana.
"Tidak ada, lagipula aku tidak terlalu peduli!" Nevtor menjawab dengan santai. Dan Fenrir pun mengenyrit lalu menghela nafas panjang. Wajahnya nampak lesu dan murung.
"Jadi apakah kalian mendapatkan barangnya?" Tanya Serena.
"Oh, iya ...," Fenrir segera mengambil dua kotak kayu yang ditaruh di kursi pengendara lalu menyerahkannya pada sang gadis, "... ini Nona! Satu yang anda pesan dan satu lagi dari pemberian Edy, meski awalnya diberikan untuk diriku namun untuk Nona saja. Dan juga, Edy menitipkan untuk anda!"
"Wah!" Gadis kecil itu menatap dua kotak kecil digenggamannya dengan wajah berseri - seri. "Edy ya. Bagainana kabar dia dan adiknya, Mia?" Tanyanya.
"Edy dan Mia sehat - sehat saja," jawab Fenrir. "Tetapi Nona ...," Ia berjongkok menyamai tubuhnya dengan Serena lalu mendekati telinga si gadis, "... mengapa Anda tidak memberitahukan umur Nona yang sebenarnya kepada mereka?" Tanyanya berbisik.
Serena terkekeh. "Ra-ha-s-i-a!" Jawabnya mengeja seraya menempelkan telunjuk di bibir, membuat si pemuda penasaran. Kemudian gadis itu yang kali ini berbisik di telinga Fenrir, "Tampaknya kau juga sudah akrab dengan Nevtor ya."
"Tidak juga, hanya sedikit! Mungkin itu pun faktor dari perjalanan kami."
"Oh iya?" Ia menyipitkan matanya.
Pemuda itu mengangguk. Dan Nevtor yang merasa dighibahkan itu berdeham. Membuat mereka menoleh padanya lalu Fenrir pun beranjak berdiri.
"Lalu, di mana si Wash itu?" Serena bertanya sembari mencari keberadaan orang yang dimaksud.
Fenrir menghembuskan nafas pelan seraya melipat tangan dan menjawab, "Dia pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku."
"Hm, padahal ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya sebagai bentuk hadiah," gadis itu merogoh saku bajunya hendak mengambil sesuatu, "tetapi apa boleh buat kalau begitu," namun tidak jadi.
"Oh iya Nona, aku pamit dulu! Karena ingin menyerahkan seorang kriminal yang kami bawa kepada penjaga kota," ujar Fenrir sambil menunjuk ke arah gerobak.
"Kriminal?" Serena bingung. Dia kemudian melayang dan melongok melalui kursi pengendara ke gerobak penumpang. "Jadi dia kriminalnya?" Tanyanya.
"Betul!" Jawab Fenrir. Dia kemudian menjelaskan kronologi kejadian yang terjadi. Mulai dari penyerangan mereka di menara dan pertempuran di desa AET yang menyebabkan banyak korban. Bahkan hilangnya senjata milik Wash.
"Begitu ya. Jadi kriminal kelas kakap itu masih bergerak," Serena menopang dagu, "dan 'The Four's Candle' bernama Orca berhasil melarikan diri."
Mendengar nama Orca membuat ego Fenrir naik. Perasaan kecewa masih terbesit di benaknya. Namun kali ini ia bisa menahan diri untuk tidak menunjukkan apa yang dirasakannya saat ini. Dia tidak ingin terlihat lembek dihadapan orang lain. Sebagai Titlelist yang kuat dia haruslah terus bersemangat.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu!" Fenrir beranjak naik ke kursi pengendara dan mengambil tali pecut. "Aku akan kembali usai mengantarkan wanita ini." Kemudian pecutan dilakukan pelan. Kuda mulai berjalan dibarengi roda yang berputar. Meninggalkan mereka berdua hingga kereta pun hilang dibelokkan.
Kepergian pemuda itu membuat suasana begitu sunyi di antara Serena dan Nevtor. Tidak satu kata yang terlontar untuk beberapa detik sampai si pemuda berjubah hitam mulai angkat berbicara.
"Aku sudah menyelesaikan tugas sesuai keinginanmu. Jadi sekarang aku ingin mendapatkan imbalan sesuai keinginanku," tutur Nevtor tanpa ekspresi.
Serena tersenyum lalu merogoh saku baju. "Ya, janji adalah janji," ujarnya. Dan mendadak tatapan gadis kecil itu berubah seratus delapan puluh derajat. Mata amethyst-nya begitu tajam menatap. Bagaikan kepribadian dirinya telah berganti. "Sesuai perjanjian aku akan memberikan apa yang kau inginkan, Nevtor atau bisa kukatakan ... Sang As-s-a-ss-i-nation!"
***
"Persembunyianku istanaku! Persembunyianku istanaku!" Dengan wajah ceria, Wash berjalan di kawasan utara kota Known yang sunyi tanpa ada orang, menuju sebuah rumah kecil yang tak lain tempat persembunyiannya.
Setiba di ambang pintu lelaki itu lekas membuka. Namun dia terdiam saat hidung mencium aroma menyengat dari dalam. Bau seperti kebakaran.
Dia pun segera masuk dan menuju ruangan rahasia yang berada di dasar rumah. Langkahnya sempat terhenti saat mengetahui bahwa ruangan itu telah terbuka dan mendapati adanya asap yang keluar. Kaget akan hal itu, Wash bergegas menuruni tangga yang berderit dan alangkah terkesiapnya dia ketika masuk ke ruangan rahasia itu.
"Apa ... apaan ... ini ...." Dia terbeliak dan mematung, lalu berlutut di lantai dengan kedua tangan menjambak rambutnya sendiri. Memandangi penuh kesal, ruangan miliknya yang telah dilahap si jago merah. Bahkan benda - benda di sekitar pun tak luput dari pembakaran, menghanguskannya menjadi abu.
Bentuk kekesalan pun langsung Wash luapkan dengan memukul lantai kayu begitu keras hingga retak. Bahkan benturan itu membuat lima jemarinya mengeluarkan darah.
"Siapa yang berani melakukan ini?!" Teriaknya.
"Aku!"
Kata pengakuan itu berasal dari belakang. Wash pun menoleh dengan wajah geram, memastikan siapa gerangan. Ternyata seorang wanita berambut jingga yang memakai zirah dan juga memegang sebuah pedang besar digenggaman tangan kanan.
Walaupun tampang wanita itu tampak familiar, namun karena ingatannya cukup buruk dan bertambah emosi dirinya yang saat ini meledak - ledak, Wash tidak dapat mengingat.
"Aku yang membakar tempatmu ini!" Ungkap wanita berzirah itu sekali lagi.
Pemuda berambut perak itu perlahan bangkit lalu mengepalkan kedua tangan erat. Kemudian berbalik dan berucap lantang, "Kenapa kau merusak ruanganku ini!!!" Dia pun lantas maju dan melayangkan pukulan.
Wanita itu tersenyum tipis. "Karena tempat ini ...," kemudian pedang diayunkan dan dengan gampangnya memotong lengan kanan Wash, "... begitu menjijikan!" Dilanjutkan, ia melakukan tusukan dan menembus perut sang lelaki.
"Ohook!!"
Cairan merah menyebur dari mulut sekaligus lengan kanan Wash, menciprati dinding sampai muka si wanita dan zirahnya. Wash mundur terhuyung - huyung sampai akhirnya jatuh telungkup. Darah kembali mengalir dari perut yang bolong hingga membanjiri lantai.
"Si-sialan ... k-kau ...." Perlahan, netra peraknya redup dan mulut kaku. Dia tidak lagi bergerak.
Sang Wanita berzirah tersenyum tipis kembali lalu membersihkan wajah, bilah pedang dan zirahnya menggunakan secarik kain putih. Seusainya, dia pun memasukkan pedangnya ke sarung yang ada di pinggul kanan kemudian beranjak menaiki tangga.
Seorang warga tampak membatu melihat rumah dihadapannya yang telah dilahap api hingga ke bagian atap. Dan dari dalam, wanita berzirah pun keluar kemudian berjalan meninggalkan lokasi kejadian. Terlihat samar - samar, di tengkuknya terdapat sebuah simbol perisai, simbol tertanda seorang Title Knight.
"Satu selesai, tinggal satu lagi!" Dia tersenyum jahat dan tertawa licik.