Perlahan, Fenrir membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya hanya langit - langit kayu yang kosong. Netranya lalu menatap ke sekeliling. Dirinya ternyata berada di ruangan, lebih tepatnya sebuah kamar. Dia kemudian berusaha untuk bangkit dari posisi tidur walau masih merasa letih dan sedikit sakit pada tubuhnya.
Pemuda berambut merah delima itu mengamati badannya yang bertelanjang dada. Menyentuh bahu kanan yang telah dibalut oleh perban putih. Meski luka sebelumnya tampak sudah baikan, namun dirinya belum leluasa bergerak.
"Kau sudah bangun rupanya."
Suara itu mengalihkan pandangan Fenrir. Pemilik suara tersebut, Nevtor yang berada di depan pintu kamar. Dia kemudian masuk lalu bersandar pada dinding kamar sambil melipat tangan. Kali ini dirinya hanya mengenakkan mantel hitam.
"Kau sudah satu hari tak sadarkan diri." Nevtor melanjutkan ucapannya.
"Bagaimana kondisi warga desa sekarang?" Kata tersebut yang pertama kali meluncur dari mulut Fenrir.
"Korban yang terluka berhasil diselamatkan, sedangkan yang tewas telah dikebumikan."
"Lalu si pria jubah itu?"
"Dia telah melarikan diri. Aku tidak dapat menangkapnya lantaran kemampuan asapnya. Namun, salah satu komplotannya telah ditahan. Ia saat ini berada di rumah Kepala Desa."
Fenrir terdiam dan menundukkan kepala. Kekecewaan terpampang jelas di mimiknya. Merasa kesal terhadap kegagalan menangkap sang musuh untuk kedua kali, juga tak mampu menyelamatkan warga yang mungkin saja masih bisa tertolong. Bahkan amarah karena dirinya sendiri ia tunjukkan melalui kepalan erat kedua tangan hingga bersuara.
Melihat itu, Nevtor beranjak dari posisi dan berjalan ke pintu keluar. Tanpa sepatah kata, perlahan dia pun menutup pintu. Dia mengerti bahwa Fenrir saat ini membutuhkan waktu sendirian.
Langkah Nevtor sempat terhenti di salah satu kamar yang dihuni oleh lelaki berambut perak yang ditemani oleh dua wanita.
Wash yang bersandar pada kamar tidur dan menyuguhkan wajah ceria, tanpa ragu melahap satu demi satu buah beri merah yang disodorkan oleh kedua gadis yang duduk di samping tempat tidurnya. Walau awalnya dia cukup kesal karena kehilangan senjata miliknya, tetapi berkat datangnya para wanita tersebut--yang salah satu adalah Mia, emosinya seketika berubah.
"Hey Nevtor, masuklah dan kita makan beri bersama!" Ajaknya yang telah menyadari keberadaan Nevtor. Dia seperti pangeran yang tengah sakit dan dirawat oleh para pelayan yang cantik jelita.
"Kami memang sengaja memetik banyak beri di kebun untuk kalian bertiga," tambah Mia. Di bawah bangkunya memang terdapat satu bakul penuh beri merah.
"Terima kasih, namun aku tidak lapar!" Nevtor menolak kemudian lanjut berjalan keluar rumah. Setelah kepergiannya, mereka bertiga pun kembali melakukan aktifitasnya.
Sinar mentari pagi menyambut Nevtor tatkala tiba di teras rumah. Hembusan angin sejuk menerpa tubuhnya kendati berada di sebuah padang tandus. Ada pula beberapa warga yang melintas--membawa beberapa kayu--dan menegurnya walau dia tak menghiraukan. Yang dipikirkan dirinya saat ini adalah ingin secepat mungkin kembali ke kota, dan secepatnya mendapatkan apa yang ia inginkan.
Seekor burung vulture mengepak sayapnya, terbang menjauh dari atap rumah. Netra heterchromia Nevtor menatap burung tersebut intens. Dia sangat terheran - heran mengapa hewan bersayap yang sejatinya pemakan bangkai itu terus mengikuti ke mana mereka pergi. Bahkan sedari awal melakukan perjalanan hingga tiba ke tempat ini.
***
Tiga jam berlalu sejak pertarungan di desa. Si pria berjubah berjalan seorang diri menyusuri gurun. Setiap langkahnya meninggalkan ceruk - ceruk pasir. Dia berjalan kaki sebab Mana miliknya telah habis. Menggunakan kemampuan asap memang menguras semuanya. Namun setidaknya dirinya butuh beberapa menit lagi untuk mengembalikan Mana-nya, dan segera kembali secepat mungkin ke suatu tempat tuk menjual senjata perak yang ia genggam saat ini.
"Kehilangan satu lengan memang cukup sepadan dengan harga dari benda ini," ungkapnya. Dia tersenyum gembira lalu tertawa. "Toh. Lagipula aku bisa memburu mereka lagi ... Si Pemuda klimis beserta Pemuda berjubah hitan itu," sambungnya seraya tersenyum tipis. Netra merahnya memancarkan aura seram dari balik tudung.
"Interesting!"
Serta merta, Orca terperangah. Wajahnya melongos ke belakang. Tetapi ia tidak menemukan apapun selain hamparan pasir tak berujung dan beberapa pohon kaktus.
"Siapa di sana?!" Orca mencoba memastikan apakah ada orang. Tetapi tidak jawaban. Mungkin itu hanya halusinasinya saja. Dia pun kembali memalingkan wajah ke depan.
Namun tanpa terduga, ada seseorang di depan sana. Orang yang mengenakkan jubah hitam. Menyuguhkan senyuman tanpa arti. Bahkan aura menakutkan dan penuh teror yang mencuat keluar dari tubuhnya mampu membuat Orca bergidik. Aura dirinya benar - benar kalah saing dengan orang tersebut.
"Si-siapa kau?" Tanya Orca sedikit gagap.
"Hanyalah orang yang tersesat dan mencari suatu barang yang hilang," jawab orang itu dengan santainya seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana.
"B-barang?"
"Ya, barang yang ada digenggamanmu saat ini." Dia menunjuk senjata perak di tangan kanan si pria.
Tubuh Orca langsung membeku. Bukan karena perkataan barusan melainkan dirinya melihat sebentuk simbol di punggung tangan kanan orang itu. Sebuah simbol yang dipercaya telah lama menghilang. Simbol suatu ras di masa lampau yang telah punah dari peradaban.
"K-kau ... Ext--"
Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, sebuah rantai besar berujung runcing lebih dulu menembus mulut hingga tenggorokan si pria. Bahkan saking panjangnya rantai tersebut sampai menembus pasir beberapa meter.
"Ohokk!!"
Cairan merah menyembur dari mulut sang pria begitu banyak hingga menutupi dagu. Ketika dirinya akan segera ambruk, mendadak puluhan rantai lain muncul dari dalam tanah dan menghujam seluruh tubuhnya. Menghancurkan semuanya baik daging, sel maupun organ dalam, dan hanya menyisakan darah segar yang membanjiri lingkungan gurun, termasuk pohon kaktus di dekatnya.
Kebiadaban itu pun ditutup oleh tawa orang berjubah tersebut. Dia kemudian berjalan dan mengambil senjata yang tergeletak berlumuran darah di pasir yang semula emas kini berubah merah. Lalu tiba - tiba, tubuhnya berubah menjadi sekumpulan kekelawar hitam yang terbang mendekati rembulan.
***
Tiga hari telah berganti. Luka Fenrir, Wash dan Nevtor sudah sedikit baikan. Ketiganya siap untuk segera kembali ke kota Known. Kereta kuda pun sudah disiapkan oleh Edy untuk mereka. Selain itu, seluruh penduduk berkumpul di depan rumah Edy. Mereka mengungkapkan rasa terima kasih kepada ketiganya karena telah menyelamatkan desa dari serangan waktu itu.
Senyum ramah dilontarkan oleh Fenrir. Dia juga membalas dengan berkata, 'jikalau itu hal lumrah dilakukan bagi kami untuk menolong sesama', tanpa menyebutkan status. Setidaknya mereka tak perlu mengetahui identitas dirinya yang seorang Titlelist. Demi menghindari segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Dua warga menyuruh wanita dengan kedua tangan terikat untuk segera naik ke gerobak kereta. Wanita komplotan kriminal waktu itu. Sebelumnya Fenrir mengajukan permintaan pada Kepala Desa untuk membawa si wanita ke kota bersamanya. Ia ingin menyerahkannya kepada pihak yang berwewenang.
Tatkala semuanya selesai, Fenrir lekas menaiki kursi pengendara. Dilanjutkan oleh Nevtor dan Wash di gerobak penumpang yang pada atap tertutupi terpal coklat tanpa jendela.
Edy menghampiri sang kusir dan berucap, "Sekali lagi, terima kasih karena telah menolong adikku!" Ungkapnya. Ia lalu menyodorkan box kayu kecil pada si kusir. "Memang tidak banyak yang bisa kami berikan, tapi terimalah, sebagai ucapan terima kasih dari kami!"
"Eh, ti-tidak perlu, lagipula ...."
"Kalau begitu, kami memaksa! Terimalah!" Edy menyela.
Melihat raut serius pria itu membuat Fenrir segan untuk menolaknya. Ia pun mengambil kotak yang diikat tersebut dan menaruh di samping kursi, lalu mengungkapkan, "Terima kasih!"
Edy mengangguk. "Jangan lupa sampaikan salamku pada anak perempuan itu ya."
"Ya, akan kusampaikan!"
Di sisi lain, Mia menghampiri gerobak penumpang. Tangan kanannya menjinjing bakul penuh beri merah. Ia pun memberikan kepada Nevtor dan Wash. Awalnya Nevtor ingin menolak, namun ucapannya kalah cepat dari si lelaki berambut perak di dekatnya. Tanpa rasa segan dia langsung mengambil bakul tersebut. Dirinya bahkan tersipu malu saat menoreh senyum manis dari sang wanita berkepang tersebut.
Pecutan tali dilakukan. Kuda pun meringkik dan mulai berjalan. Para penduduk termasuk Edy dan Mia melambaikan tangan seraya berkata, 'Semoga kalian selamat sampai tujuan!'. Wash dengan cepat membalas. Bahkan warna merah terpampang jelas di wajah. Dia tak berkedip memandangi para gadis desa.
Nevtor menatap wanita terikat yang bersandar diam dipojokkan. Pandangannya kemudian teralihkan karena panggilan dari lelaki di dekatnya yang sedang sibuk memakan beri hingga mulutnya bleberan.
"Kau mau, Nevtor?" Tawarnya sambil menyodorkan tiga beri di telapak tangan kanan.
"Tidak," jawab Nevtor singkat. Dia beralih melihat langit yang biru dengan awan - awan yang bergerak acak. Dan tiba - tiba dia mengerutkan dahi, saat melihat seekor burung vulture yang terbang mengikuti laju kereta.