Kedua pemuda itu terpaku memandangi hamparan sungai. Bernostalgia waktu di mana mereka bertemu pertama kalinya di tempat ini ketika berumur lima tahun. Kala itu, Fenrir pergi dari rumahnya di kota Known tanpa sepengetahuan orang tuanya. Karena tak ada yang menarik di kota dirinya pun beralih mencari tempat menarik di luar kota. Hingga tibalah ia di hutan lebat yang belum pernah dikunjungi. Dia bahkan tidak takut sedikit pun berjalan seorang diri. Mungkin karena nekat atau memang ia suka tantangan. Tapi yang jelas, Fenrir kecil terus menyisir hutan dan tanpa sengaja menemukan sebuah sungai besar.
Mata anak tujuh tahun yang belum pernah melihat hamparan air yang begitu luas dalam hidupnya itu langsung terpukau. Tentu saja, sebab dirinya mendapat larangan pergi ke tempat berbahaya tanpa ditemani orang dewasa.
Fenrir kecil yang penasaran langsung berjalan ke tepi jembatan yang tanpa pagar membatas. Ia berjongkok, bayangan wajahnya terpampang dari jernih air sungai. Kemudian tangan dicelupkan ke air. Dirinya kembali terkagum. Lantaran ada beberapa ekor ikan yang melintas di bawah air.
"Ada ikannya!" Mata hijaunya berbinar - binar.
Tak bisa lagi menahan keinginan menangkap ikan tersebut, Fenrir kecil pun memasukkan tangannya lebih dalam ke sungai. Namun sayang ikan - ikan yang merasa terganggu justru menjauh. Membuat si anak cemberut. Sampai dia nekat dengan terus mendorong tangannya seraya tangan satu memegangi jembatan yang terbuat dari kayu itu.
"Ayo!" Fenrir terus berupaya keras tampak dari mimik mukanya. Lalu tanpa terduga pegangan pun terlepas, mengakibatkan dia kehilangan keseimbangan.
"Ahhh ...."
Beruntung, ada seseorang yang menahan bajunya sebelum Fenrir benar - benar tercebur, hanya ujung rambutnya saja yang terkena air. Orang itu pun menarik si anak berambut merah tersebut dan akhirnya dia pun terselamatkan.
"T-terima kasih!" Ungkapnya terengah - engah. Dia mengelus dada dan bernafas lega. Hampir saja dirinya tercebur ke sungai karena kenekatannya.
"Ya, sama - sama!" Balas orang itu seraya tersenyum simpul. Anak sepantaran dengan Fenrir. Berambut hijau cerah belah dua dan memakai kemeja putih.
Singkat cerita, keduanya sudah saling mengenal. Anak berambut hijau tersebut bernama Chris. Dia biasa pergi di hutan ini ketika ada waktu senggang sambil belajar teknik bertarung secara otodidak melalui ingatannya ketika melihat para perjaga kota melakukan latihan tarung. Sehabis belajar biasanya Chris pun memanjat pohon besar untuk sekedar bersantai di dahan dan juga mencari buah - buahan di sekitar ketika perutnya keroncongan.
"Wah, jadi kau sering ke sini ya." Netra Fenrir kembali berbinar - binar. Kagum terhadap kegiatan yang Chris lakukan. Padahal umumnya anak seumuran mereka seharusnya tidak pergi ke tempat berbahaya.
Chris bangkit dari posisi duduk dan membalas, "Begitulah!" Dia kemudian berjalan menuju tepi jembatan dan membuka kemeja putihnya. "Hey Fenrir, kau mau berenang?" Ajaknya.
Anak berambut merah delima itu terdiam seraya menggaruk - garuk pipi. Dia sadar tidak dapat melakukan hal yang dibicarakan walau sebenarnya ingin sekali. Meski memiliki sifat nekat yang cenderung tinggi tampak kejadian sebelumnya telah melunturkan sifatnya tersebut saat ini.
Chris beranjak mendekati Fenrir yang masih dalam posisi duduk di tepian sungai. Dia paham betul perasaan teman yang baru dikenal beberapa menit tersebut. "Tenang saja, aku akan mengajarimu berenang."
Fenrir menatap Chris yang berdiri di samping kirinya. "Benarkah?"
Anak berambut hijau itu mengangguk. Dia kemudian mengajak Fenrir ke sisi sungai yang agak dangkal. Walau masih takut masuk ke dalam air, namun dia berusaha untuk meningkatkan keberanian. Sampai beberapa menit berlalu akhirnya dia pun melepaskan baju lalu berjalan secara hati - hati ke sungai.
Selanjutnya, Chris mengajari dasar gerakan renang. Kemudian mendemotrasikan cara berenang yang benar. Fenrir mengikuti apa yang dikatakan walau masih kesulitan. Hingga waktu terus bergulir dan langit pun berubah jingga.
"Ah, aku belum bisa melakukannya dengan benar," keluh Fenrir, ia merangkak ke tepi sungai lalu berbaring terlentang dengan kedua tangan yang dilebarkan. Dalam pelajaran renang barusan ia hanya mampu mengayunkan kedua kakinya di air berkat memegangi punggung Chris.
"Wajar saja, kau baru belajar satu hari. Mana mungkin langsung bisa, 'kan? Setidaknya butuh beberapa hari untukmu bisa berenang," terang Chris. Anak itu lalu duduk di samping Fenrir.
Lengang sejenak. Siliran angin berhembus, menerbangkan dedaunan hijau dan kering. Si Anak berambut merah terkagum memandangi panorama langit sore disertai beberapa burung gagak yang melintas, membentuk skuadron. Sungai pun begitu indah karena pantulan matahari yang terpendar.
"Hey Chris ... apa kau punya cita - cita?" Tanya Fenrir tiba - tiba tanpa menoleh.
"Hm ...," Anak berambut hijau itu berpikir sejenak sambil melipat tangan, "... yah, mungkin aku ingin menjadi Titlelist terkuat yakni Title Champion," jawabnya.
Fenrir berdiri dan menatap anak di sampingnya penuh ceriaan dan semangat. "Ya, aku juga sama. Ingin menjadi Titlelist terhebat suatu saat nanti!"
Chris tersenyum dan ikut berdiri, lalu berucap, "Kalau begitu kita adalah rival! Siapa yang lebih dulu menjadi Titlelist terhebat, dialah pemenangnya!"
"Hmph, bukankah itu sudah jelas. Di depan matamu sekarang adalah kandidat itu sendiri." Anak berambut merah delima itu tertawa seraya berkacak pinggang.
"Oh, iya. Kau bahkan belum bisa berenang, bagaimana mungkin bisa menjadi Titlelist terhebat."
Fenrir terdiam, lalu keduanya pun tertawa serentak. Senang rasanya anak berambut merah itu bisa menemukan teman baru di sini. Juga Chris pun sama. Dirinya tidak lagi kesepian atas kedatangan Fenrir. Keceriaan dan keseruan bermain di sungai ini adalah momen yang tidak akan pernah terlupakan bagi mereka. Meski sudah beranjak dewasa sekali pun, keduanya tetap bisa saling bertemu. Mengobrol, bercanda, berlatih dan berenang bersama.
"Masa - masa yang indah ya," kata Fenrir.
"Begitulah. Sudah tiga belas tahun berlalu sejak kita bertemu," balas Chris tersenyum simpul. "... Jadi apa kau masih ingin menjadi Titlelist terhebat?"
"Tentu saja!"
***
Sebuah senjata dilesatkan dan bersiap menusuk jantung Fenrir.
Cringg!!
Sontak, Orca terkejut. Pedang hitam digenggamannya terhempas jauh dan tertancap di tanah ketika beradu oleh knuckle milik pemuda yang saat ini tubuhnya terselimuti aura kebiruan. Aura itu kemudian menjalar ke sepuluh jemari membentuk cakar. Dan pada saat itu juga, Fenrir langsung melesatkan cakaran horizontal berbalut hembusan es. Menyebabkan sang pria berjubah yang persis di dekatnya terlempar jauh dan mendarat dengan kaki terseret. Berkat sihir pertahanan yang dibuat, Orca tidak menerima goresan, hanya kedua paha saja yang terkena dampak serangan tadi hingga membeku.
"Ho-ho. Kau ternyata punya kekuatan tersembunyi ya." Orca senyum lalu menciptakan sihir bola api di tangan kanan dan mengarahkan pada kedua pahanya yang terselimuti es.
Fenrir tak membiarkan. Dia langsung mendatangi si pria dengan pantas.
"Hmph, tidak sabaran juga kau rupanya." Pria berjubah itu merapal dan membuat sihir asap yang dipadatkan. Asap itu kemudian berangsur - angsur membentuk sebuah tombak, lalu dia pun melemparkan dan tombak tersebut menembus tanah.
Duarr!!
Seperti sebelumnya, ledakan terjadi beberapa detik ketika senjata itu menancap. Efek dari ledakan itu menimbulkan angin dahsyat hingga kayu - kayu bekas rumah para warga yang hancur berterbangan, sekaligus mampu menghempaskan korban malang yang bergeletak di tanah. Bahkan Fenrir pun ikut terkena imbasnya. Ia terus bertahan dengan pondasi kedua kaki yang diperkuat dan tangan kanan melindungi mata dari debu yang melintas.
Sebuah palu besar yang terbuat dari sihir asap dihantamkan ke tanah, menyebabkan retakkan lurus hingga ke tempat Fenrir berpijak. Setelahnya, sebongkah batu besar yang runcing pun mendadak muncul dari bawah tanah.
Beruntung, Fenrir cepat menghindar sebelum serangan itu terjadi. Dirinya saat ini berada di udara. Namun alih - alih bisa segera mendarat, ada sebuah tombak meluncur ke arahnya secara mengejutkan.
Brakk!!
Fenrir memukul keras sihir itu hingga hancur berkeping - keping. Tanpa terduga, dia kembali dikagetkan oleh serangan lanjutan dari atas. Meski berupaya menahan nyatanya serangan tersebut masih dapat mematahkan pertahanan si pemuda. Dia langsung jatuh ke bawah, menerbangkan debu - debu berhamburan.
Orca mendarat mulus ke tanah. Tangan kanan memegang sebuah halberd dari asap. Kemudian ia menciptakan sihir tombak di tangan kiri lalu melemparkannya ke wilayah yang masih terselimuti debu. Kembali, terjadi ledakan dahsyat. Menyapu bersih debu - debu tanpa ada keberadaan sang pemuda sebelumnya, hanya terdapat sebuah lubang.
"Lubang?" Orca bergumam lalu tersenyum tipis. Dia nampaknya tahu trik yang digunakan sang lawan saat ini dan lokasi keberadaannya.
Tatkala retakkan terjadi tepat di bawah kakinya, Orca pun langsung menusukan halberd-nya ke dalam tanah, membuat retakkan terhenti dan ia tersenyum lagi.
Tidak lama kemudian tanah bergetar. Kemudian akar berduri muncul dari tanah yang retak tadi. Akar jumlah tiga itu langsung melilit senjata sekaligus seluruh tubuh sang pengguna erat. Membuat si pria berjubah itu kaget, ternyata tebakannya meleset.
"Sial," decaknya. Meski mencoba mengubah tubuhnya jadi molekul asap untuk terbebas dari jeratan yatanya gagal, lantaran akar berduri itu dibaluti es. Atribut es. Musuh alami dari kemampuan asap miliknya. Dia sangat benci hal itu.
Di hadapannya, seseorang tiba - tiba muncul. Orca mendelik tanpa mampu bergerak. Fenrir lantas menyerang, memukul bertubi - tubi perut hingga muka sang lawan. Menghantam keras meninggalkan bekas lebam, sampai jeratan terlepas dengan sendirinya. Tubuh Orca pun terlempar dan mendarat terguling - guling di tanah.
"Uhukk ... uhukk ...."
Cairan merah keluar dari mulut dan memerciki tanah. Walau sudah menerima banyak serangan pria itu masih dapat bangkit tanpa kepayahan.
"Sialan!!" Cercanya. Tatapan nanar dan memburu yang dia berikan. Rambut kuningnya nampak berantakan.
"Akhirnya kau memperlihatkan sifat aslimu," timpal Fenrir. Pendar kebiruan di badannya agak sedikit memudar. "Ini waktunya diriku untuk memenangkan pertarungan," lanjutnya, ia mengangkat kedua tangannya--yang membentuk cakar--setinggi muka lalu mendorong kaki kanan ke belakang.
"Jangan sombong!!!" Gertak Orca, mulutnya mulai berkomat - kamit. "Average Magic: Creation!" Asap abu - abu tampak menyelimuti tangan kanan, lalu pada genggaman si pria terbentuklah sebuah halberd.
Orca menyeringai. Perlahan tubuhnya berubah menjadi asap abu - abu. Asap itu kemudian menyebar, mengelilingi Fenrir dan pelan - pelan membentuk wujud seseorang, yang tak lain sang pria itu sendiri. Sosok dirinya yang bisa dihitung jari ada di tiap tempat. Menatap dengan mata merah yang menakutkan seakan mencengkeram sang pemuda.
"Apakah kau masih bisa membual setelah melihat kemampuanku ini?!" Seru semua pria itu. Suaranya jadi menggema karena berbicara di waktu yang bersamaan.
Satu per satu Fenrir menganalisa. Demi menemukan wujud asli si pria di antara sepuluh sosok yang mengelilinginya. Meski aura, bau maupun penampilan mereka memanglah sama persis, namun ada satu hal yang tak mampu disembunyikannya. Walau itu hanyalah sebatas asumsi saja.
Di waktu yang bersamaan, sepuluh pria yang mengelilingi Fenrir langsung maju dan mengarahkan senjatanya lurus. Bahkan teriakan mereka mengalun bak pasukan yang siap berperang.
Sementara itu, Fenrir hanya diam. Memejamkan mata dan menajamkan pendengaran. Nampak sedang menunggu sesuatu. Menanti sebuah momen.
Sesaat indra pendengaran menangkap sesuatu, Ia lekas menggeser sedikit tubuhnya ke kiri. Kemudian dari atas, ternyata ada sebuah senjata dan meleset mengenainya. Lalu dengan sekuat tenaga, Fenrir pun melayangkan pukulan, menargetkan wajah sang musuh yang serangan kejutannya telah gagal total.
Buak!!
Keras, tinju yang diberikan mampu merontokkan beberapa gigi sang musuh, cairan pun muncrat dari mulutnya. Orca pun terpental namun hebatnya ia dapat mendarat mulus berkat bantuan halberd yang sengaja ia tancapkan ke tanah. Selain itu, tiruan dirinya yang berjumlah sepuluh pun menghilang, menjadi asap abu - abu berhamburan.
"Kurang ajar!!!" Bentaknya. Ia menciptakan sihir asap padat yang membentuk tombak, lalu melemparkan kepada si pemuda yang mencoba mendekat.
Fenrir menghindar, namun sayang pergerakannya tidak cukup cepat. Tombak itu pun harus tertanam di bahu kanan. Tapi ia tidak peduli. Dirinya terus maju sambil menahan rasa sakit. Dan sampailah dia di teritori sang musuh. Cakaran horizontal pun dikerahkan. Memotong lengan kiri sang lawan layaknya sebuah kertas. Cairan merah segar pun langsung muncrat dan membasahi tanah. Orca teramat kesakitan. Dia mencoba menghentikan pendarahan dengan mantra penyembuhan.
Pendar kebiruan yang menyelimuti tubuh sang pemuda lamban - laun menghilang. Seketika itu juga, Fenrir merasa sangat lemas dan pusing. Ia terhuyung - huyung dengan kedua mata sayu. Nampaknya dia terlalu memaksakan diri menggunakan kekuatannya tadi. Padahal dirinya ingin segera mungkin mengalahkan dan menangkap sang musuh.
"M-maaf. Seperti aku tidak bisa menuntaskan tugas dan janji kita, Chris!" Gumamnya tanpa sadar.
Orca berbalik. Dia benar - benar dibuat geram. Tak lagi bisa menahan diri. Dirinya langsung menyerang si pemuda berambut merah yang sudah tidak mampu melakukan apa - apa lagi. Halberd yang tajam, melintas mengarah leher sang korban.
Cringg!!
Halberd yang seharusnya menebas leher si pemuda malah bertabrakan oleh pedang hitam yang datang. Membuat Orca terperanjat. Tidak mengira jikalau orang yang disangka sudah tumbang ternyata masih sadar.
Lekas, Orca pun menjaga jarak. Namun rupanya si pemuda berjubah itu langsung datang lagi dan menyerang. Tetapi setidaknya serangan yang dilancarkan sama sekali tak berkesan baginya.
Tubuh si Pria kemudian menjadi asap. Dalam kondisinya sekarang dia tidak yakin bisa menang. Apalagi Mana milik telah hampir terkuras. Terlebih, ia belum mengetahui kemampuan asli si pemuda berjubah tersebut. Bisa saja dia mempunyai kekuatan tersembunyi, pikirnya begitu.
"Meski tidak bisa membunuh mereka, namun setidaknya, aku mendapat barang rampasan yang sangat menggiurkan," ujar si pria dalam suara samar - samar deru angin. Tubuhnya yang hanyalah kumpulan asap, terbang mengikuti arus angin.
Nevtor memasukkan pedang hitam ke dalam sarungnya. Dia lalu berpaling, berjalan mendekati Fenrir yang mematung di tempat. Mendadak, si pemuda pun ambruk, namun Nevtor dengan cepat menangkap sebelum tubuhnya jatuh ke tanah.
Beberapa detik kemudian, Edy pun datang, beserta beberapa warga desa. Nevtor dan Edy pun merangkul tubuh Fenrir lalu membawanya ke tempat yang aman. Sementara, dua warga lain menolong Wash yang tidak sadarkan diri di puing - puing rumah. Sedangkan warga yang tersisa lekas menolong korban selamat. Karena pertarungan tadi, ada beberapa dari mereka yang berpindah tempat lantaran dampak dari sihir angin dahsyat milik Orca. Selain itu, ada satu penduduk yang menemukan seorang wanita yang dalam keadaan terikat dan mulut tersumpal kain di dalam salah satu rumah yang masih kokoh.