"Terima kasih untuk hari ini, Dok. Saya akan pulang," pamit Ren sembari berdiri dan menggenggam lengan Ozi. Setelah Dokter Bima mengangguk dan mereka berdua langsung keluar dari rumah Dokter Bima.
Ozi lebih tak memahami sikap Ren yang tak mau menjelaskan secara langsung. "Ren, Dokter Bima harus tahu bahwa kau memang masih bisa terbang," ucapnya
Ren tiba-tiba berhenti berjalan, lalu tersenyum tipis. "Apakah kau yakin bahwa itu bukan sebuah kebetulan?" tanyanya sembari menatap Ozi.
"Tidak mungkin. Kau mengepakkan sayapmu tepat di depan mataku," tukas Ozi.
"Sudahlah, jangan konyol," sanggah Ren. "Keberuntungan tak datang berkali-kali. Mungkin, aku mendapat salah satu keberuntungan yang tak akan terulang," gumamnya yang masih bisa didengar oleh Ozi. Lantas, dia lanjut melangkahkan kaki untuk pulang.
Ozi menghela napas pasrah. Ini bukan waktunya untuk berdebat. Dia pun hanya mengikuti Ren dengan terbang rendah di belakang gadis itu.
***
Di tengah keheningan malam dan dinginnya angin yang bertiup. seorang lelaki bersayap hitam duduk di atap gedung tinggi dengan ekspresi datar sembari melihat kendaraan-kendaraan roda enam yang berjalan sendiri di bawah sana. Sesekali, dia juga memperhatikan gedung-gedung tinggi yang satu per satu mematikan lampu di setiap lantai.
"Alen, kau pergi ke Desa Aves lagi?" tanya seorang gadis yang baru saja mendarat di belakang Alen. Dengan tatapan khawatir, dia berkata, "Apakah kau sudah gila? Bagaimana jika kau tertangkap?"
Alen menoleh ke belakang dan mendapati seseorang yang dekat dengannya sedang berjalan ke arahnya. "Apakah kau sedang overthingking sekarang?" sarkasnya.
"Tentu!" tangkasnya setelah duduk di samping Alen.
"Astaga, Kim! Harusnya aku yang overthingking! Tadi, aku menabrak seseorang hingga terjatuh dari atas gedung. Sekarang, aku sedang berpikir keras tentang itu. Bagaimana jika dia melaporkan kepada pemimpin wilayah? Bagaimana jika mengingat wajahku? Bagaimana jika mereka tiba-tiba datang kemari dan mengutukku??" beber Alen hampir tidak memberi spasi setiap dia mengucapkan sebuah kalimat. Kim pun memundurkan punggungnya karena air liurnya bermuncratan dari mulut.
Kim tertawa miris, lalu mengangguk-anggukkan kepala. "Ha ha! Benar! Kau memang Raja Overthingking."
"Jangan hanya mengkritikku! Beri aku solusi bagaimana aku harus bertindak?" dengkus Alen.
"Baiklah!" tanggap Kim. "Pertama, mereka tak akan melakukan apapun meski melaporkan ke pemimpin wilayah. Kedua, mereka juga tak bisa datang kemari, meskipun mereka memiliki ribuan gambar wajahmu. Terakhir, mereka tak memiliki kekuatan sihir seperti kita. Jadi, tidak mungkin mereka akan mengutukmu!" jelasnya mengungkapkan dengan kecepatan yang stabil.
Setelah mendengar ucapan gadis di sampingnya, Alen tersenyum senang. "Woaah! Kau memang luar biasa, Kim. Beruntungnya aku memiliki teman sepertimu," ucapnya sambil merangkul pundak Kim.
Kim merasakan getaran aneh ketika Alen menyentuhnya. Secepat mungkin, dia mendorong bahu Alen, berharap lelaki itu tak mendengar detak jantungnya. Kim tetap mencoba untuk mengontrol ekspresi dan ketengannya agar Alen tak curiga.
Dengan gugup, Kim mencoba membuka topik pembicaraan lain. "By the way? Bukankah kau sedang berusaha untuk meningkatkan kemampuan menggunakan sihir?"
Alen mengendikkan bahu sambil menatap ke langit yang terdapat bulan sabit di sana. "Ouh! Entahlah. Aku merasa sangat lambat dalam hal itu," jawabnya sambil tersenyum sedih.
"Ayolah, Alen! Siapa peduli jika kau tak punya kekuatan sihir sekalipun? Kalau perlu, aku akan tetap berada di sisimu sampai kita tua nanti agar kau tak kesusahan," ujar Kim sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih dan berjejer rapi. "Semangatlah!" lanjutnya. Alen hanya tersenyum simpul seraya mengangguk menanggapi sahabatnya yang memang sudah hampir memasuki level expert dalam menguasai kekuatan roh.
Setelah mengobrol semalaman, Alen dan Kim terbang berdampingan menuju rumah masing-masing. Mereka saling melambaikan tangan setelah sampai di pertigaan, lalu berpisah di sana. Alen pun terbang sendirian di suasana yang sepi dan hanya ada lampu penerangan jalan yang masih menyala.
Sebelum Alen memasuki rumah, sayap di punggungnya bercahaya sangat terang. Beberapa saat kemudian, sayap hitam itu perlahan menghilang seakan masuk ke dalam tubuh bagian belakang milik Alen. Itu adalah keistimewaan yang dimiliki oleh kaum bersayap hitam, kekuatan roh yang sudah mereka miliki sejak lahir. Mereka menyebutnya sebagai "Sihir."
Setelah tak ada sayap di tubuhnya, Alen langsung berbaring di kasurnya sembari menutup mata. Tanpa sadar, terbayang secerca cahaya menyilaukan yang telah dilihatnya beberapa hari yang lalu. "Kenapa menyilaukan sekali?" tanyanya kepada dirinya sendiri. Perlahan, dia membuka mata dan menghela napas ketika melihat langit-langit kamar.
Ingatannya terarah ketika dia menabrak seorang gadis yang sedang duduk di tebing. Saat, kekuatan roh miliknya keluar dan mengenai sayap putih yang telah menyilaukan matanya. Dan tanpa disangka, kekuatan tersebut berfungsi untuk pertama kalinya. "Haruskah aku bertemu dengannya lagi?"
***
Ren mengantri di bawah karena dia tak bisa terbang ke tempat yang seharusnya dia berada untuk berlari. Suasana ramai orang yang berebutan membuatnya selalu didahului oleh orang lain. "Kak! Aku datang lebih dulu! Jadi, tolong isikan emberku!" teriaknya kepada seorang pemuda yang sedang bertugas saat itu.
Alasan tempat mengambil air itu dibuat lebih tinggi, karena sayap mereka yang akan menjadi masalah. Banyak yang akan saling mendorong atau bahkan terdorong oleh sayap. Juga, sayap mereka akan bergesekan satu sama lain.
"Cepat berikan aku air, istriku sudah menunggu di rumah!" teriak seorang paruh baya yang baru saja datang. Orang lain yang sedang mengantri pun menggerutu di belakang pria tersebut.
"Hey, Pak! Saya datang satu jam sebelum Anda datang!" kesal Ren seraya berteriak kepada pria paruh baya itu. Tak ada yang menghiraukan teriakannya. Petugas yang mengambilkan air itu pun kewalahan menangani warga yang tidak sabar menerima jatah air.
Ren melihat dari bawah dan hanya bisa tercengang melihat itu. Dia pun memutuskan untuk duduk di batu di bawah mereka, menunggu sampai tak begitu ramai. Bahkan, mungkin dia akan menunggu sampai benar-benar tidak ada orang.
"Maaf, semuanya. Sepertinya ... air hanya tersisa untuk satu orang!" ucap petugas air itu kepada beberapa orang yang masih menunggu.
Ren berdiri dan mendongak. "Apakah kau tidak mau memberikan kepadaku saja? Aku sudah mengantre sejak pagi!" ucap Ren setengah berteriak.
"Baiklah, yang lainnya dimohon untuk kembali ke rumah masing-masing dan kembali esok hari. Saya akan mencatat nama kalian untuk diprioritaskan besok," ujar petugas air. Dia pun mengambil dua ember milik Ren, lalu mengisi keduanya sampai penuh.
Sayangnya, ember itu segera direbut oleh salah seorang warga hingga warga-warga lain pun ikut memperebutkannya. Ren hanya bisa tertawa hambar sendirian, membuat mulutnya setengah terbuka. Dari kejauhan, Ozi melihat itu dan terbang mendekat dengan membawa dua ember penuh air.
Tepat saat Ozi berada di dekat Ren, ember yang diperebutkan warga terjatuh dengan posisi terbalik. Sehingga, air yang tertumpah membasahi tubuh serta sayap Ren. Parahnya, ember tersebut mendarat tepat di kepala Ren. Suasana hening untuk sesaat sebelum akhirnya para warga membubarkan diri tanpa peduli dengan keadaan Ren. Ozi mematung sejenak sebelum akhirnya mendarat perlahan.
To be continued....