Chapter 8 - 8. Api

"Hentikan omong kosongmu itu. Kekuatan kita tak akan berfungsi di sana," kesal Kim sembari ke luar akademi.

"Apa katamu?" tanya Alen, masih dengan kebingungannya. Dia mengikuti Kim sampai mereka sudah berada di atap gedung.

"Astaga, sekarang aku tau kenapa kau sangat payah menggunakan kekuatan roh," decak Kim sembari memutar kedua bola matanya. "Alen, inilah alasanku selalu memintamu untuk tidak tidur saat jam pelajaran."

"Aduh, Kim. Kenapa kau malah membahas hal itu?" tanya Alen frustrasi. Dia tidak hanya gelisah karena kaum sayap hitam tertangkap, tetapi juga karena fakta bahwa mungkin orang itu tak akan bisa kembali.

"Konon, katanya desa itu dilindungi oleh Dewa Pelindung. Jika kau ke sana, maka seluruh kekuatanmu akan lenyap," ujar Kim dengan nada serius. Dia memegang salah satu pundak Alen seraya menatap pria itu. "Menurutmu, kenapa para penduduk itu bisa dengan mudah menangkap kaum sayap hitam?"

"Karena kaum sayap hitam tak bisa melawan ... bahkan terbang."

"Hmm, akhirnya kau mengerti juga."

Alen terdiam sesaat. Berusaha mencerna perkataan Kim yang semakin membuatnya bingung. Pasalnya, dia sering pergi ke Desa Aves dan menggunakan kekuatan roh untuk menyembunyikan sayap. Dia tak pernah gagal sedetikpun dalam hal itu.

Alen tak bisa menyelamatkan kaum sayap hitam yang tertangkap. Sudah dipastikan, nyawa orang yang tertangkap itu akan hilang. Sedangkan, hal yang tak pasti adalah bagaimana kekuatannya bisa berfungsi di Desa Aves beberapa waktu yang lalu?

***

Ozi menggendong Ren sampai ke tempat para warga membawa kaum sayap hitam yang tertangkap. Seorang gadis duduk bersimpuh dengan tangan yang diikat ke belakang dan dua orang yang tinggi besar menjaga di kedua sisi. Mereka berdua berusaha menerobos di antara kerumunan warga yang sedang menyaksikan apa yang akan terjadi dengan gadis itu.

"Ozi, apakah ayahmu akan membantai gadis itu?" tanya Ren setelah mereka sudah berada di barisan paling depan.

"Ayahku tidak pernah melawan aturan sekalipun. Meski nyawa adalah taruhannya," jawab Ozi seraya melihat ayahnya muncul dan berdiri di sebelah gadis bersayap hitam.

"Dewa Pelindung mempercayakan desa ini untuk menjadi tempat yang dilindungi dari segala pengaruh buruk yang bisa masuk. Maka dari itu, memusnahkan segala macam keburukan adalah hal yang sepatutnya dilakukan," ujar Mauren di hadapan puluhan warga. "Musnahkan dia!" lanjutnya dengan tegas.

Para warga langsung riuh ketika kedua orang kekar menyeret gadis bersayap hitam itu ke sebuah tiang besar yang sudah dilumuri gas dan minyak tanah. Gadis itu meronta-ronta dan berteriak minta ampun. Tapi kedua orang berbadan kekar itu hanya mendengarkan Mauren sebagai atasannya. "Tolong lepaskan! Ampuni aku! Toloooong!"

"Ozi, kenapa gadis itu sama sekali tak menggunakan kekuatan roh miliknya? Setidaknya, dia harus memunculkan sayap hitamnya," heran Ren setelah berpikir keras.

Ozi melihat gadis bersayap hitam itu berusaha keras melepaskan diri. "Entahlah, gadis itu tampak tak berdaya. Dia tidak terlihat seperti Kaum Aves."

Ren mengangguk mantap. "Kau benar. Dia tampak seperti manusia biasa."

Obor-obor dilemparkan ke tumpukan kayu di sekitar gadis yang diikat di tiang. Jeritan gadis itu langsung dibungkam dengan api yang menyala-nyala. Api dengan cepat merambat hingga ke seluruh kayu yang sudah disiapkan, hingga api itu melahap gadis malang yang tak berdaya. Hal itu membuat Ren memalingkan wajah dan menutup telinga, sementara Ozi menatap nanar ke Ayahnya yang tertawa diiringi sorakan dukungan dari para warga.

Ozi menyusul Ren yang keluar dari kerumunan dengan terburu buru. Namun, dia melihat Ren tiba tiba bersimpuh setelah berhasil keluar. "Ren, kau baik-baik saja?"

Ren menggenggam tanah kuat-kuat dengan memejamkan mata. "Tidak. Sayapku ... terasa seperti terbakar," rintihnya sambil menggelengkan kepala.

Mendengar itu, Ozi langsung berjongkok di depan Ren. "Cepat naik ke punggungku! Aku akan membawamu ke dokter!"

"Tapi, di sini banyak orang," ucap Ren dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Kau masih memikirkan itu di saat seperti ini? Kau harus segera ke dokter!" cemas Ozi. Dia pun langsung membawa Ren untuk terbang. Tanpa sadar, ayahnya bisa melihat hal itu.

***

"Apa lagi ini?" tanya Alen setelah membukakan pintu untuk Kim yang sedari tadi mengetuk pintu dengan keras.

"Asap pabrik, kendaraan, dan kebakaran ada di mana-mana. Puluhan orang dinyatakan meninggal karena salah satu diantaranya," ucap Kim penuh dengan kegelisahan. "Apa yang harus kita lakukan, Alen?"

Alen terdiam sejenak, sebelum akhirnya menanggapi. "Aku akan segera kembali!" ujarnya sambil melangkah ke luar.

Kim mencengkeram lengan Alen. "Tunggu! Jangan bilang bahwa kau akan ke Desa Aves! Kau telah lihat sendiri kan bagaimana kaum mereka mengembalikan tulang-tulang dari salah seorang di antara kita?"

Alen mengabaikan perkataan Kim dan pergi ke suatu tempat. Dia memilih untuk segera bertindak ketimbang terlalu lama berpikir. Setelah itu, tujuannya saat ini adalah terbang ke perbatasan berharap Ren ada di sana. Sesuai dugaannya, Ren sendirian di sana yang mungkin sedang menunggunya untuk mengajari terbang. Tanpa ragu lagi, dia berbicara tepat setelah mendarat di hadapan Ren.

"Aku butuh bantuanmu!" tutur Ren dan Alen bersamaan. Mereka berdua langsung terdiam sejenak dengan situasi tak terduga itu.

"Kau saja yang duluan!" kata Alen, menganggap bahwa lebih baik wanita berbicara lebih dahulu.

"Baiklah," ucap Ren seraya memberi jeda sebelum mengungkapkan keinginannya. "Bawalah aku ke kotamu!"

Alen terbengong sejenak. "Apa? Itu mustahil, Ren. Bukankah kau tau bahwa aturan kita sama? Kita berdua tak boleh melewati batas wilayah!" tanggapnya terhadap permintaan Ren. Setelah itu, Ren diam dan suasana kembali hening.

"Kau bisa melanggarnya. Kita berdua pasti bisa melakukan itu," ungkap Ren sambil menatap lekat kedua mata Alen. "Kau bisa memasuki wilayah ini tanpa tertangkap. Itu artinya, aku juga bisa ke tempatmu tanpa tertangkap."

Alen tak mengerti dengan kondisi saat ini. Apa yang sedang dipikirkan oleh Ren pun tentu tak bisa dia pahami. Hal itu sementara menggagalkan niatnya untuk meminta bantuan. Dengan sedikit bimbang, dia menghela napas pasrah. "Ren, sebelum memutuskan, aku akan membawamu kesana sebentar. Setelah itu, terserah apapun keputusanmu."

"Memangnya apa yang terjadi sampai wajahmu seperti itu?" heran Ren. Tanpa menjawab, Alen memberi isyarat kepadanya untuk naik ke punggung. Setelah itu, Alen membawanya terbang ke tempat tujuan mereka.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di Kota Aves. Ren tercenung melihat pandangan Kota Aves dari atas. Asap tebal nan hitam memenuhi langit, hingga angkasa tak terlihat biru lagi. Tak ada udara segar, yang ada hanyalah udara kotor yang menyesakkan.

"Bagaimana? Apakah kau masih ingin tinggal di sini?" tanya Alen dengan wajah sedih kepada Ren yang sedang digendongnya di punggung. "Dunia tak seindah yang kau pikirkan. Dari kejauhan, tempat ini terlihat mewah. Namun, ini jauh lebih buruk dari yang terlihat."

To be continued....