"Aku merahasiakan ini dari Ren. Jadi, tolong jangan beri tahu dia dulu. Kita bisa memberitahukan kepadanya di saat yang tepat."
Ozi sempat terperangah ketika mendengar kebenaran itu. Namun, semakin mendengarnya, dia semakin takjub dengan Nobi yang dengan tulus mengurus seorang anak terlantar. "Aku mengerti."
Di sisi lain, Alen melihat ekspresi Ren yang tadinya gugup berubah menjadi datar setelah mendengar ucapan dua orang di dalam rumah Nobi. Kini, dia dan Ren berada depan pintu sejak beberapa saat yang lalu. Dia tak tau harus berbuat apa di saat seperti ini. Lagi-lagi, dia mendengar persoalan pribadi Ren.
Ren menghela napas, lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Dia menatap Alen, lalu berkata, "Lebih baik kau pergi dari sini sekarang. Kita bisa membicarakan tentang kesepakatan itu di lain waktu. Paman Nobi sedang ada di rumah sekarang. Kau bisa tertangkap jika pamanku sampai melihatmu."
Alen mengangguk setuju tanpa protes. "Eumm, baiklah. Sampai jumpa di tebing besok," ucapnya dengan kaku. Dia melihat Ren yang tersenyum sekali lagi sebelum gadis itu masuk. Dia pun hendak beranjak dari sana. Namun, dirinya berhenti belum sampai selangkah.
"Aku pulang!" salam Ren dengan nada ceria.
"Ren! Kau dari mana saja? Paman Nobi sampai datang ke rumahku untuk mencarimu."
Ren terkekeh. "Astaga, Paman. Kenapa kau malah mencariku ke tempat yang tak mungkin kudatangi?"
"Kau tau apa yang Ozi katakan ketika aku tiba di rumahnya? Masa dia bilang kau kabur! Padahal, pamanmu ini sangat yakin bahwa kau tidak akan kabur," kata Paman Nobi dengan bangga.
"Ouh, Paman. Kau memang paling pengertian," ucap Ren sambil tertawa kecil.
Alen yang sedari tadi belum pergi dari sana pun tersenyum miris. "Kenapa dia terdengar ceria sekali?" gumamnya sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.
Alen tak mengerti, bagaimana manusia bisa berpura-pura baik-baik saja saat sedang terluka? Jika kejujuran terhadap diri sendiri sangat sulit dilakukan, bagaimana seseorang bisa jujur terhadap orang lain? Apa yang membuat gadis itu terus menutupi rasa sakitnya sendirian? Entah mengapa, dia penasaran akan itu semua. Padahal, mereka berdua hanyalah dua orang asing yang tidak sengaja saling mengenal.
***
"Kim, seharusnya kau lebih memperhatikan pekerjaanmu. Lihatlah kita hanya bisa makan makanan seperti ini di kota sebesar ini. Bukankah ini keterlaluan?" gerutu Elsa yang merupakan ibu dari Kim.
Kim melihat beberapa porsi lauk di meja. Baginya, itu sudah cukup untuk dimakan tiga kali sehari. Namun, tidak bagi ibunya yang terus mengeluh karena hanya ada makanan itu setiap hari. "Ibu, bertahanlah sebentar lagi. Aku sedang mengusahakannya."
"Dari dulu, kau selalu mengatakan itu, tapi apa kenyataannya?" keluh Elsa.
"Ibu, jangan memarahi kakak terus. Dia sudah bekerja sangat keras di akademiku," ucap Tim yang sudah lebih dulu mengunyah nasi dan lauk di sana. Kim dan Elsa pun langsung menoleh ke arahnya.
"Astaga, Tim . Ibu tak memarahi kakakmu tanpa alasan," ujar Elsa seraya mengusap-usap kepala Tim. "Kau akan mengerti saat sudah besar nanti," lanjutnya seraya meletakkan nasi dan lauk ke piring.
Kim mengunyah makanannya dengan pelan, tak nafsu makan. Selain karena ibunya yang selalu mengomalinya karena hal yang sama, tetapi juga karena dia harus membicarakan keinginannya. "Ibu, aku akan segera memperpanjang kontrak di akademi tempatku bekerja."
Elsa membanting sendok ke piring hingga Tim tersentak. Untung saja bocah 7 tahun itu tidak tersedak. "Apa? Akademi tingkat pertama itu? Sudah ibu bilang, gajimu sangat kecil di tempat itu! Lagian, apa untungnya mengajar anak-anak yang sulit diatur di tempat itu?"
"Tapi, aku senang melakukannya, Bu," sanggah Kim. Bukan bermaksud membantah, dia hanya mengungkapkan apa yang telah dia rasakan selama dia mengajar.
Elsa membelalakkan mata. "Apa dengan begitu kau akan menjadi kaya?"
Suara ketukan pintu membuat mereka semua terdiam. Kim berdiri dan langsung membuka pintu. Rupanya, Alen berdiri di depan pintu sambil membawa sekantong plastik berisi makanan. "Ibu dan Tim ada di rumah?" Kim tersenyum tipis sambil mengangguk. Dia membuka pintu lebar-lebar agar Alen bisa melihat ibu dan adiknya. Setelah itu, Kim memberi isyarat dengan kepala agar Alen masuk.
"Oh, Alen! Selamat datang! Kebetulan kami sedang makan. Jadi, makanlah sekalian bersama kami!" seru Elsa dengan ramah. Dia pun berdiri dan mengulurkan tangan untuk menerima pemberian Alen.
"Aku membawakan makanan kesukaan Ibu dan Tim," ucap Alen sembari duduk di depan meja makan setelah Elsa mengizinkannya. Dia melihat tempe, tahu, telur ceplok, dan sebotol kecap sudah disajikan dengan rapi di atas meja.
Elsa membuka kantong plastik berisi dua kotak makanan. Dia pun membukanya sampai tercium aroma khas ayam goreng kecap dan satu kotak lainnya berisi beberapa potong daging sapi matang yang telah dipanggang dan dibumbui. "Woahhh! Kau selalu repot-repot membawa makanan ke sini! Terima kasih, Alen. Aku terus bersyukur telah menganggapmu seperti anakku sendiri!" ujar Elsa dengan semangat.
"Tidak apa-apa, Bu. Aku senang melihat Tim memakan makanan dengan lahap," kata Alen sambil tertawa kecil melihat mulut Tim yang penuh dengan makanan dan bumbunya berantakan di luar bibir.
***
Setelah makan siang di rumah Kim, Alen langsung menuju tebing, tempatnya bertemu dengan Ren. Dia tak melihat siapapun ketika mengarahkan pandangan ke bawah tebing. Hari ini, dia sengaja datang lebih awal karena mereka akan segera membuat kesepakatan sesuai yang dikatakan Ren kemarin. Namun, saat ini dia malah gelisah karena gadis itu tak kunjung muncul.
Alen menunggu Ren selama berjam-jam. Dia bersandar di sebuah batu besar, mondar-mandir di atas tebing tanpa sayap, serta berharap gadis itu tidak ingkar janji. Di benaknya, sempat terpikir tentang keadaan gadis itu setelah mendengar kebenaran yang dirahasiakan. Untuk ke sekian kalinya, dia menghela napas. "Ah, sial! Pasti gadis itu mengingkarinya!" umpatnya.
Alen sangat merasa dikhianati. Dia terlalu cepat memberi kepercayaan kepada orang yang baru sebentar dikenalnya. "Sia-sia saja aku menunggunya!" kesal Alen seraya memunculkan kembali sayapnya. Akan tetapi, sebuah batu kecil mampu membuatnya terlonjak kaget.
Alen melihat ke bawah tebing dan mendapati Ren sedang melambaikan kedua tangannya. Dia yang tadinya kesal, sekarang malah tersenyum senang. Tanpa ragu, dia melesat ke bawah. "Ren? Aku sungguh berpikir bahwa kau mengkhianatiku!"
Ren tak menanggapi perkataannya, tapi malah celingukan kesana-kemari dengan gelisah. Setelah melihat sekelilingnya aman, dia akhirnya menatap wajah Alen. "Tidak ada waktu untuk membicarakan itu!"
"Kenapa tidak bisa? Bukankah kau sudah berjanji padaku?" bingung Alen.
"Kemarin, ternyata Ayah Ozi mengamati perbatasan dari kejauhan. Kemungkinan besar, dia melihat dirimu saat keluar dari desa ini," ucap Ren dengan cepat. Dia tak memberi kesempatan Alen untuk berbicara. "Jadi, cepatlah pergi sebelum dia menangkapmu hari ini!"
Tak lama kemudian, suara orang berteriak mengagetkan kedua orang itu. Mauren dan kedua orang berbadan kekar terbang cepat ke arah mereka berdua. Dengan sigap, Alen menggenggam erat tangan Ren.
"Ikutlah denganku!" kata Alen menatap kedua mata Ren.
To be continued...