"Bagaimana? Apakah kau masih ingin tinggal di sini?" tanya Alen dengan wajah sedih kepada Ren yang sedang digendongnya di punggung. "Dunia tak seindah yang kau pikirkan. Dari kejauhan, tempat ini terlihat mewah. Namun, ini jauh lebih buruk dari yang terlihat."
"Begitu banyak buku yang kubaca mengenai kehancuran dunia yang terjadi beberapa kali. Kini, aku melihatnya secara langsung tentang bagaimana kacaunya dunia yang sedang kita huni," ujar Ren dengan mata berkaca-kaca yang tentunya tidak mampu dilihat oleh Alen.
"Ren, aku ingin kau membantuku memperbaiki semua ini," ungkap Alen.
"Apa? Aku bukannya tidak mau, tapi ... bagaimana aku bisa membantumu? Terbang saja aku tidak bisa," ucap Ren merasa tidak enak. Dia bisa melihat wajah Alen yang tampak putus asa dari samping.
"Aku akan berusaha membuatmu terbang. Sebagai gantinya, kau harus menyetujui syarat dariku!" tanggap Alen dengan nada serius. Sedangkan, Ren hanya bisa menelan ludah dan bersiap mendengar kesepakatan macam apa yang ingin disampaikan oleh Alen.
***
Ozi berdiri di depan meja kerja ayahnya. Dia menunduk sembari mendengar ayahnya yang sedang memberikan petuah. "Ozi, jika kau menggantikanku nanti, kuharap kau tidak melanggar norma-norma yang telah berlaku secara turun-temurun. Salah satunya adalah tetap menjaga kesucian desa ini dari kaum sayap hitam," terang Mauren.
Ozi mengangguk paham. Kemudian, dia mengangkat kepalanya untuk menatap wajah ayahnya. "Ayah, ada hal yang ingin kutanyakan," ucapnya dengan ragu.
"Aku sedang sibuk hari ini. Kau bisa mengajukannya lain kali," ujar Mauren sembari berdiri dan merapikan dasi serta setelan yang sedang dipakai. Kemudian, dia berjalan keluar dan memutar knop pintu.
Ozi menghentikan langkah ayahnya dengan langsung mengajukan pertanyaan. Berbicara dengan ayahnya "Kenapa kaum sayap hitam dianggap keturunan iblis? Bukankah mereka sama seperti kita? Mereka terlahir seperti kita, bentuk sayap yang sama dan hanya warna saja yang membedakan."
Mauren mengurungkan niatnya untuk keluar. Padahal, dia sudah memutar knop dan pintu pun sudah setengah terbuka. Dia menutup pintu kembali dan berbalik. "Bukankah kau telah mempelajarinya di Akademi Kepemimpinan? Tentunya, bukan hanya itu yang berbeda. Mereka memiliki kekuatan roh yang yang tak bisa dianggap remeh."
"Itu tidak ada hubungannya dengan iblis. Bukankah setiap makhluk memiliki kelemahan dan kelebihan? Tapi kenapa kalian mempermasalahkan hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan hal yang kalian khawatirkan?" tanya Ozi dengan nada sedikit dinaikkan.
Mauren mendekati Alen, lalu menepuk sebelah pundak anaknya. "Kau masih terlalu muda untuk mengerti. Dunia tak sesederhana yang kau pikirkan, Ozi," ucapnya sembari berbalik dan keluar dari ruang kerjanya.
Ozi menyibak jendela ruang tamu, di mana dia bisa melihat secara langsung ayahnya yang bertemu dengan dua orang. Mereka bertiga pun pergi terbang setelah berbincang beberapa saat. "Kenapa mereka terlihat sangat serius?"
Ozi pun memutuskan untuk mengikuti ayahnya. Namun, saat membuka pintu depan, Nobi sedang berdiri dengan tangan yang hendak mengetuk. Lantas, mereka berdua terdiam menatap satu sama lain.
Sesaat kemudian, Nobi berdehem seraya menurunkan tangan. "Hari ini, apakah kau bertemu dengan Ren?"
"Tidak, Paman," ucap Ozi dengan wajah polos. "Aku baru saja ingin pergi ke rumahmu untuk bertemu dengannya. Kau tidak berpikir untuk mencarinya di sini, kan?"
Nobi menepuk jidat. "Ya ampun! Dia tak mungkin datang kemari," ujarnya. Ren tak pernah datang ke rumah Mauren sekalipun, meski sudah berteman dengan Ozi sejak kecil. "Apalagi, jika dia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu."
"Ren benar-benar tidak ada di rumah? Apakah dia kabur?" tanya Ozi dengan khawatir. Dia pun langsung mengingat dengan jelas ucapan ayahnya saat di rumah Nobi. Juga, tentang ucapan dokter ketika Ren tiba-tiba merasa terbakar pada sayapnya.
"Ozi, jaga bicaramu! Memangnya dia mau kabur ke mana?" decak Nobi.
Ozi melihat beberapa orang yang sedang lewat memperhatikan mereka dengan tatapan sinis. "Ayo kita bicara di tempat lain!" ajak Ozi.
Setelah itu, mereka pergi ke rumah Nobi untuk melanjutkan pembicaraan. Mereka duduk di ruang tamu dan duduk berhadapan. Ozi menuang minuman sendiri ke dalam gelas sampai penuh, lalu meneguknya hingga habis. "Paman, jujurlah terhadapku! Sebagai orang yang merawat Ren semenjak dia kecil, kau pasti tau banyak tentangnya."
"Aku tak mengerti apa yang ingin kau bicarakan. Langsung saja ke intinya!" omel Nobi dengan raut kesal. Dia pun ikut menuangkan minuman ke dalam gelas, lalu meneguknya hingga habis.
"Apakah pernah terjadi sesuatu ketika Ren masih kecil?" tanya Ozi dengan wajah serius.
Nobi mengibaskan telapak tangannya ke udara seraya tertawa hambar. "Aiihh, itu bukan urusanmu. Kenapa kau menanyakan itu?" tanyanya dengan acuh tak acuh.
"Paman, jangan mengelak terus. Tolong beritahu aku tentang itu karena ini menyangkut hidup dan mati keponakanmu," ungkap Alen frustrasi.
Nobi pun langsung berpikir keras dan mau sedikit terbuka kepada Alen. "Jika memang begitu, aku akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang telah kuketahui."
Ozi memberikan sebuah kertas yang telah dilipat menjadi beberapa bagian. Nobi membukanya dan membaca isinya dengan saksama. "Paman, itu adalah surat pemeriksaan dari Dokter Bima. Kemarin, Ren pingsan ketika aku membawanya ke rumah dokter itu."
"Kenapa dia pingsan? Dia juga tak memberitahuku tentang itu!"
"Dia menyaksikan eksekusi yang dilakukan ayahku terhadap salah satu kaum sayap hitam yang melewati perbatasan. Namun, entah mengapa dia merintih kesakitan dan bilang kalau sayapnya terasa terbakar," ujar Ozi sambil mengingat.
Nobi terbelalak ketika teringat sesuatu. "Apakah ayahmu melakukan eksekusi dengan membakar orang itu hidup-hidup?" tanyanya dengan wajah cemas bercampur amarah.
"Benar. Aku yakin Ren menyaksikan semua prosesnya karena saat itu dia sedang bersama denganku," jelas Ozi tanpa ragu. "Dokter Bima mengatakan bahwa tidak ada luka di sayap Ren, baik luar maupun dalam. Seingatku, beliau mengatakan bahwa itu berasal dari pikiran Ren sendiri."
"Selama merawatnya, aku tak pernah sekalipun menyalakan api. Suatu waktu, aku menyalakan lilin karena lampu padam. Sesaat setelah melihat api kecil itu, Ren yang saat itu masih berusia dua tahun berteriak sangat keras karena kesakitan," terang Nobi sambil melihat sebongkah lilin yang terpajang di ruang tamu yang bahkan tak sempat meleleh. Ozi ikut melihat lilin tersebut seraya menyimak.
"Paman, apakah kau tidak tahu penyebabnya? Apakah Ren tahu kenapa dia bisa seperti itu?" tanya Ozi setelah mendengar penjelasan dari Paman Nobi.
Nobi menggeleng. "Bertahun-tahun aku mencari jawaban, jejak orang tua Ren yang tak pernah muncul semakin membuatku menyerah. Jadi, membiarkan dia hidup di sini sebagai ponakanku. Seakan aku memanglah adik dari orang tuanya," ungkap Nobi dengan menghela napas setelahnya. "Aku merahasiakan ini dari Ren. Jadi, tolong jangan beri tahu dia dulu. Kita bisa memberitahukan kepadanya di saat yang tepat."
Ozi sempat terperangah ketika mendengar kebenaran itu. Namun, semakin mendengarnya, dia semakin takjub dengan Nobi yang dengan tulus mengurus seorang anak terlantar. "Aku mengerti."
To be continued....