"Ozi, apa kau tahu? Dulu, para manusia berusaha keras untuk bisa terbang. Kemudian, mereka menciptakan alat transportasi yang memuat ratusan orang ... untuk melintas di udara. Mereka menyebutnya, 'Pesawat'." Ozi mendengar dengan kedua alis yang hampir menyatu. "Sekarang, manusia diciptakan dengan sayap sejak lahir dan terbang dengan mudah."
Ozi duduk di samping Ren. "Jadi, kau merasa tidak seperti mereka? Apakah dengan menjadi berbeda ... itu berarti kau bukan bagian dari kami?"
"Bukan begitu. Aku hanya berpikir bahwa diriku harus berusaha lebih keras ketimbang orang lain. Kebanyakan orang sudah mengepakkan sayap saat masih kecil. Sedangkan, aku bahkan tak bisa menggerakkannya sampai sekarang. Aku sedikit merasa ... ini tidak adil. 'Kenapa aku terlahir seperti ini?' pertanyaan itu sering terlintas di kepalaku."
"Ren, kita tak akan bisa menjadi orang lain. Sekeras apapun kita berusaha, hal itu benar-benar mustahil. Satu-satunya yang akan kita dapatkan ... hanyalah kepercayaan diri yang terus menerus turun karena usaha yang telah kita lakukan itu terasa sia-sia."
"Jadi, maksudmu, aku harus berhenti berusaha?"
"Aku tak menyarankanmu untuk menyerah. Kau bisa terus berusaha sesuai keinginanmu. Tapi, jangan terlalu keras juga terhadap diri sendiri. Segala hal memiliki batas yang tak bisa dilewati," jelas Ozi.
Ren tersenyum senang. "Ozi, dari mana kau mengutip kata-kata bijak itu? Kau tampak seperti orang lain. Bagaimanapun, terima kasih!" ucapnya sembari berdiri. Ozi mengangguk dan membalas senyumannya.
"Kau mau ke mana? Apakah kau akan mulai belajar terbang lagi?"
"Berdirilah! Tolong gendong aku sampai ke atas tebing!" pinta Ren setengah memaksa. Ozi pun menuruti keinginannya dan menggendongnya sampai ke atas tebing. Ketika sampai di tebing, betapa terkejutnya dia ketika melihat seorang pria bersayap hitam sedang bersandar di sebuah batu besar.
"Kau!" teriak Ozi setelah melihat orang yang hendak dikenalkan oleh Ren. "Bukankah dia orang yang membuatmu jatuh dari tebing? Waktu itu, bocah ini malah mengomel dan tak minta maaf," ujarnya kepada Ren. Alen melebarkan mata mendengarnya.
Ren tertawa kecil dengan kelakuan temannya yang tidak bisa berbasa-basi. "Jangan berbicara seperti itu. Kau tidak ingat? Dia yang membuatku bisa terbang. Dia adalah dewa keberuntunganku. Perkenalkan dirimu kepadanya!"
Ozi mengulurkan tangan dengan percaya diri. "Aku Ozi! Pria paling tampan dan kaya di desa ini."
"Aku Alen. Pria biasa dari kota seberang. Aku yang akan membantu Ren untuk terbang," sombong Alen sembari menyambut uluran tangan Alen. Ozi menatapnya dengan kesal sembari melepas tangannya.
***
Ozi memperhatikan Alen yang sedang mengajarkan Ren tentang cara dasar terbang. Namun, dia tiba-tiba merasa ragu ketika melihat tak ada yang istimewa dari metode yang Alen gunakan untuk mengajar. Dia menghampiri Alen dan membawa pria bersayap hitam itu sedikit menjauh dari "Apakah kau sungguh bisa membantunya? Jika kau hanya mempermainkan gadis itu, katakan saja dari sekarang dan enyahlah," ancamnya.
Alen hanya diam. Sejujurnya, dia juga tak yakin tentang hal itu. Dia sendiri tak bisa mengendalikan kekuatan roh miliknya. "Haruskah aku mengatakan dengan jujur?" tanya Alen yang sedang dilema.
Ozi terbelalak dan benar-benar tak menyangka pertanyaan itu akan muncul. "Apakah kau sedang bercanda sekarang?"
"Aku tak bermaksud berbohong. Tapi, dia yang memaksaku untuk mengajarinya," ujar Alen dengan suara pelan. "Dia mengancam akan melaporkanku jika tidak mau. Aku bisa apa setelah diancam seperti itu?"
Ozi memperhatikan Ren yang tampak bersemangat mempraktekkan hal-hal yang sudah diajarkan oleh Alen tadi. Saat itu, dia merasa tak tega jika harus mengatakan sejujurnya. Dia pun menghela napas pasrah. "Untuk sementara, tolong jangan beritahu soal ini. Aku tak mau dia kehilangan harapan seperti beberapa hari yang lalu."
Alen berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, aku tak akan mengatakan hal itu. Tapi, pastikan bahwa dia tak pernah melaporkanku."
"Itu gampang."
Tiba-tiba, suara bising membuat Alen harus bersembunyi di balik batu besar. Sedangkan, Ozi dan Ren berdiri bersebelahan dan melihat ke bawah. Orang-orang sedang menggotong seseorang yang berusaha melepaskan diri. Jika diperhatikan dengan teliti, orang itu tak memiliki sayap. Mereka berdua pun saling pandang dengan raut cemas. "Sepertinya itu dari kaum sayap hitam."
"Apakah mereka sungguh akan menyiksa kaum sayap hitam?" tanya Ren khawatir.
"Entahlah. Sepertinya, ini pertama kalinya mereka berhasil menangkap," jawab Ozi sembari mengingat-ingat.
Ren melihat ke belakang dan kebingungan saat sudah tak ada siapapun di sana. "Ozi, apakah kau melihat kemana perginya Alen?"
"Apa?" panik Ozi. "Jangan-jangan dia pergi untuk menyelamatkan kaum sayap hitam yang tertangkap!"
"Kalau begitu, kita harus mengikuti kemana para warga membawa orang yang tertangkap itu," usul Ren.
***
Alen memasuki sebuah tempat dimana Kim biasanya berada. Dia mencari ke ruang demi ruang agar bisa menemukan wanita itu. Dia terus mencari dengan raut khawatir dan pikiran yang sudah sangat kacau. Bahkan, dia tidak mempedulikan anak-anak yang sedang menatapnya dengan tatapan aneh.
"Alen? Aku baru saja akan menemuimu," ucap Kim dengan heran. Dia menggandeng seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam akademi tempatnya mengajar.
Alen memegang kedua pundak Kim. "Kim, kau baik-baik saja? Sedari tadi kau mengajar adikmu?" cemasnya.
"Aku kan memang mengajar di sini," ujar Kim yang tampak bingung dengan sikap Alen. "Apa ini? Kau kenapa?"
Alen pun menghela napas lega. Dia berdecak ketika menyadari bahwa dia sedang berada di akademi anak-anak. Bahkan, dia sering mengunjungi tempat ini karena ingin mengajak Kim makan siang bersama. Tapi, dia tak menyangka akan memasuki tempat ini tanpa menggunakan akal sehatnya. "Salah satu dari kaum sayap hitam ditangkap di Desa Aves. Karena dia perempuan, aku kira itu kau!" ucapnya dengan suara pelan.
Kim mengerutkan kening. "Kau tau dari mana?" tanyanya, lalu memicingkan mata ke arah Alen. "Tunggu! Kau pasti ke sana lagi, kan?"
Alen mendengkus kesal. "Astaga, Kim. Itu tidak penting sekarang. Seseorang sedang ditangkap sekarang. Kita harus menyelamatkannya," ungkapnya dengan raut gelisah.
Kim menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, dia meminta adiknya untuk pulang lebih dulu. Setelah adiknya menuruti ucapannya, dia mengalihkan perhatiannya kepada Alen. "Apakah kau bodoh? Orang-orang yang telah ditangkap oleh kaum sayap putih tak akan pernah kembali," terangnya. Alen menanggapi dengan mulut setengah terbuka.
"Apa? Kenapa begitu? Kita laporkan saja kepada pemimpin Kota Aves. Kumpulkan penduduk dan gunakan kekuatan kita untuk bernegosiasi dengan kaum sayap putih," usul Alen dengan sedikit kebingungan.
"Hentikan omong kosongmu itu. Kekuatan kita tak akan berfungsi di sana," kesal Kim sembari ke luar akademi.
"Apa katamu?" tanya Alen, masih dengan kebingungannya. Dia mengikuti Kim sampai mereka sudah berada di atap gedung.
"Astaga, sekarang aku tau kenapa kau sangat payah menggunakan kekuatan roh," decak Kim sembari memutar kedua bola matanya. "Alen, inilah alasanku selalu memintamu untuk tidak tidur saat jam pelajaran."
To be continued....